Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Wide nasal cavity syndrome adalah suatu kondisi medis dimana konka
nasalis diangkat seluruhnya ataupun sebagian melalui pembedahan. Kondisi ini
biasanya ditemukan pada orang-orang yang telah menjalani operasi sinus atau
operasi hidung lainnya. Pada saat operasi terlalu banyak konka yang keliru
diangkat dan hidung secara harafiah menjadi kosong. Penderita sindrom ini
menjelaskan adanya perasaan takut tidak bisa mendapatkan cukup udara ketika
mereka bernapas, namu merasa hidup mereka menjadi kosong sekaligus merasa
terhalang pada saat yang bersamaan.1
Tanda-tanda umum lainnya dari sindrom ini adalah napas yang pendek dan
kesulitan bernapas lainnya, tumpulnya kemampuan menghidu dan mengecap,
gangguan saat tidur. Tanda-tanda ini sering muncul bertahun-tahun setelah operasi
atau terjadinya kerusakan terhadap konka.2
Houser membagi Wide Nasal Cavity Syndrome berdasarkan reseksi konka,
yaitu reseksi pada konka inferior, konka media, dan reseksi pada kedua konka
tersebut. Angka kejadian dari Wide Nasal Cavity Syndrome masih belum diketahui
dengan pasti karena belum adanya penelitian, namun diperkiran ada sekitar 20%
pasien yang menjalani pengangkatan konka akan mengalami gejala seperti ini.1

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI


A. Anatomi
Hidung
Secara anatomis, hidung terbagi atas hidung luar dan rongga dalam hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala
nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : tulang hidung (os nasal), prosesus frontal os
maksila, dan prosesus nasal os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasal lateral superior, sepasang kartilago nasal lateral inferior
yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan tepi anterior kartilago
septum.3

Gambar 1. Anatomi hidung luar3

Gambar 2. Anatomi kerangka tulang dan tulang rawan hidung3


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior sedangkan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikular
os etmoid, vomer, krista nasal os maksila, dan krista nasal os palatina. Bagian
tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangular) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
yang lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.3,4

Gambar 3. Anatomi kavum nasi dan konka


Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimal. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3,4
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriform, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriform merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid.
Tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-

serabut saraf olfaktori. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.3,4
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1.Arteri Etmoidal anterior; 2.Arteri Etmoidal posterior cabang dari arteri
oftalmika; 3.Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksila interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang arteri maksila interna, diantaranya ialah ujung arteri
palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabangcabang arteri fasial.3
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labial superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.3
Vena vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus. Venavena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.3
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoid anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliar, yang
berasal dari nervus oftalmik. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmik dan cabang maksilar nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmik memberikan cabang nervus nasosiliar yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoid anterior dan etmoidal posterior
dan nervus infratroklear. Nervus etmoid anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoid anterior
melalui foramen etmoid anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasal

internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensoris dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konkha media Nervus Olfaktor turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktor dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktor di daerah sepertiga atas hidung.3
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologic dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiration) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.3
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak
bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal,
dan sel reseptor penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih
terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia,
menjadi sel epitel skuamosa.3
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lender pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid.3
Pembuluh darah mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara
paralel. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga
sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot
polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke

venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung yang menyerupai jaringan


kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengkerut. Vasodilatasi
dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.3

B.

Fisiologi

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu
karena terdapatnya mukosa olfaktori dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang bergunan untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) reflex nasal.3
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.3
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat
celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.3
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c)
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.3
Fungsi Penghidu3
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktori pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau apabila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat.juga untuk membedakan rasa asam yang
berasal dari cuka dan asam jawa.
Fungsi Fonetik3
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng)
rongga mulut tertutuo dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
Refleks Nasal3
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi liur, lambung dan pankreas.

BAB III
8

WIDE NASAL CAVITY SINDROME


A.

Definisi

Wide nasal cavity syndrome adalah suatu kondisi medis yang


menggambarkan suatu kelumpuhan pada hidung dikarenakan konka nasal
diangkat seluruhnya atau sebagian melalui pembedahan. Kondisi ini merupakan
suatu komplikasi yang dapat dialami setelah beberapa bulan atau tahun menjalani
operasi pengangkatan konka inferior dan atau konka media. Konka nasal
membantu menghangatkan dan melembabkan udara yang kita hirup. Wide nasal
cavity syndrome biasanya terjadi ketika konka nasal ini rusak oleh karena suatu
penyakit dan tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini juga dapat terjadi karena
pembengkakan konka. Kondisi ini biasanya harus menjalani pembedahan untuk
mengangkat konka nasal yang rusak. Akan tetapi setelah diangkat konka nasal
tidak lagi dapat menghasilkan lendir dan silia sehingga mengakibatkan hidung
terasa kering. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan saraf penghidu.
Gejala yang paling umum dirasakan adalah hidung yang tersumbat, meskipun
pada pemeriksaan secara klinis ataupun pencitraan tidak ditemukan adanya
sumbatan pada hidung tersebut.1,2,5
Houser membagi Wide Nasal Cavity Syndrome berdasarkan reseksi konka,
yaitu reseksi pada konka inferior, konka media, dan reseksi pada kedua konka
tersebut. Angka kejadian dari Wide Nasal Cavity Syndrome masih belum diketahui
dengan pasti karena belum adanya penelitian, namun diperkiran ada sekitar 20%
pasien yang menjalani pengangkatan konka akan mengalami gejala seperti ini.1

B.

Patofisiologi

Patofisiologi dari Wide Nasal Cavity Syndrome masih belum dapat


dijelaskan dengan pasti, namun beberapa hipotesa menyatakan bahwa kondisi ini
terjadi karena hilangnya fungsi hidung (humidifikasi, menghangatkan dan
menyaring udara yang dihirup) karena daerah mukosa yang berkurang
menyebabkan berkurangnya reseptor sensorik, suhu dan taktil, yang dibutuhkan

untuk penyaringan udara yang dihirup. Hilangnya fungsi ini diperkirakan terjadi
sekitar 23% setelah reseksi pada konka.1,5
Perubahan inilah yang mendasari terjadinya perubahan pada fungsi paru.
Hidung memegang peranan penting pada pembukaan bronkiolus perifer dan
mengoptimalkan ventilasi alveolar. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan
pertukaran gas, meningkatkan tekanan negatif pada toraks serta meningkatkan
aliran balik jantung dan vena pulmonal. Perubahan inilah yang menyebabkan
sensasi tersumbat pada hidung sampai sesak nafas.1,5
Rasa kekeringan pada faring juga kadang dirasakan oleh penderita
dikarenakan gagalnya proses humidifikasi yang seharusnya diperankan oleh
mukosa hidung sehingga menyebabkan kekeringan pada mukosa rhinofaring.1
Rinitis atrofi dan Wide Nasal Cavity Syndrome merupakan komplikasi
yang dapat terjadi setelah reseksi konka. Reseksi dalam skala yang besar (total
atau subtotal) dapat meningkatkan risiko terjadinya Wide Nasal Cavity Syndrome.
Namun, kondisi ini juga dilaporkan terjadi pada reseksi pada sebagian konka,
khususnya pada konka inferior. Sedangkan keterlibatan banyaknya mukosa yang
direseksi tidak ditemukan pada terjadinya Wide Nasal Cavity Syndrome.1
Wide Nasal Cavity Syndrome dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
ENS-IT (Empty Nose Syndrome Inferior Turbinectomy), ENS-MT (Empty Nose
Syndrome Media Turbinectomy), dan ENS-both. Diantara ketiga jenis tersebut,
ENS-IT merupakan yang paling banyak ditemukan.1

C.

Diagnosis

Mendiagnosis Wide Nasal Cavity Syndrome agak sulit diakrenakan tidak


adanya definisi klinis secara konsensus, beragamnya gejala yang dapat terjadi
mulai dari keluhan fisik sampai psikis dan sosial. Diagnosis dapat ditegakkan dari
manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik serta endoskopi hidung.1

10

Gejala yang paling sering terjadi adalah rasa tersumbat pada hidung yang
kadang dapat menimbulkan rasa sesak napas. Gejala lainnya seperti nyeri yang
disertai rasa kekeringan pada hidung dan faring juga dapat ditemukan. Intensitas
gejala bervariasi, mulai dari ringan sampai berat sehingga menghambat kegiatan
sehari-hari. Penderita mungkin juga akan mengalami kurangnya konsentrasi,
mudah lelah, kecemasan, dan gangguan emosional lainnya.1
Gejala lain yang sering ditemukan, antara lain: sensasi aliran udara yang
berlebihan, hipersensitivitas terhadap udara dingin, hiperventilasi, kesulitan untuk
bernapas, nyeri pada hidung, sakit kepala, rasa kekeringan pada hidung dan faring,
sulit tidur, dan kelelahan. Selain itu, juga dapat ditemukannya krusta.1
Selain itu, terdapat pula kuesioner SNOT (Sino Nasal Outcome Test)-20
atau SNOT-25 yang berisikan 25 pertanyaan dengan nilai 0-5. Kuesioner ini selain
berguna dalam menegakkan diagnosis juga dapat digunakan untuk memilih
pengobatan selanjutnya yang akan dipilih.1
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran rongga hidung yang
sebelumnya dilakukan pembedahan dengan berkurangnya atau hilangnya struktur
konka. Mukosa umumnya pucat dan kering.1,6
Tes diagnostik merupakan suatu tes yang sederhana yang dilakukan
sebelum dilakukannya terapi. Sepotong kapas basah ditempatkan pada rongga
hidung dan dibiarkan selama 20-30 menit. Apabila keluhan dirasakan berkurang
maka dapat didiagnosis sebagai Wide Nasal Cavity Syndrome dan dapat
mengindikasikan dilakukannya pembedahan.1,6
Diagnosis Wide Nasal Cavity Syndrome ditegakkan secara klinis. Pada
pemeriksaan

radiologis

menunjukkan

gambaran

yang

bervariasi.

Dapat

menunjukkan gambaran penebalan mukosa pada hidung, dan ditemukannya


gambaran opak pada sinus maksila pada 50% kasus.1

11

Rinomanometri tidak berguna dalam mendiagnosis Wide Nasal Cavity


Syndrome, pemeriksaan ini hanya membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang
menyumbat hidung.1
Pada MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat ditemukan adanya proses
spesifik pada daerah temporal, serebellum dan amigdala. Pemeriksaan
bakteriologik disarankan untuk penderita dengan adanya krusta atau secret yang
purulen, yang membutuhkan pengobatan antibiotik.1

F.

Penatalaksanaan

Lini pertama dari pengobatan Wide Nasal Cavity Syndrome adalah


perawatan medis. Meliputi irigasi hidung (garam fisiologis, derivat sulfur dan
lain-lain), pemberian salep hidung, antibiotik, aerosol dan kortikosteroid topikal.
Meskipun begitu, pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dalam
menangani Wide Nasal Cavity Syndrome.1,6
Tujuan dari operasi perbaikan endonasal adalah dengan menurunkan
volume rongga hidung untuk meningkatkan hambatan aliran udara masuk ke
dalam hidung,

sehingga menurunkan aliran udara masuk ke dalam hidung

sehingga meningkatkan kelembaban udara serta mengarahkan aliran udara dari


bagian hidung yang dioperasi ke sisi hidung yang sehat. Prinsip dari operasi ini
terdiri dari menempatkan sebuah implant pada septum, bagian dasar atau dinding
lateral dari hidung.1
Mikroplasti endonasal adalah salah satu cara pembedahan yang dapat
dipilih. Teknik pembedahan ini bervariasi, namun hasil yang didapatkan cukup
memuaskan. Hal ini dicapai dengan implantasi submukosa konka dari tulang
rawan septum untuk mengembalikan volume konka inferior. Tujuannya adalah
untuk memulihkan daerah mukosa yang cukup sehingga menjamin berjalannya
fungsi fisiologis untuk menghangatkan, menyaring dan humidifikasi udara yang
masuk ke dalam hidung.1

12

Houser menjelaskan mengenai teknik pengisian aselular submukosa kulit.


Pada bagian kulit memperlihatkan terjadi penggabungan antara 3-6 bulan dan
volume yang dihasilkan terbukti efektif dan tahan lama.1
Namun, indikasi pembedahan harus dipertimbangkan secara cermat pada
semua kasus dan disarankan untuk mengikuti konseling neuropsikologi setelah
dilakukan operasi, mengingat dampak psikologis yang mungkin dialami apabila
terjadi kegagalan dalam operasi. Teknik ini akan berhasil apabila masih ada
bagian dari konka yang tersisa. Jika tidak, maka masalah yang akan dihadapi
selama operasi akan lebih sulit.1

G.

Pencegahan

Konservasi konka selama pembedahan sinus atau rinoplasti adalah dasar


dalam meminimalkan terjadinya Wide Nasal Cavity Syndrome. Pengangkatan
konka inferior adalah prosedur umum untuk mengatasi obstruksi hidung pada
kasus terjadinya hipertrofi konka sehingga meningkatkan volume rongga hidung.
Namun dengan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, maka ada beberapa
teknik yang direkkomendasi sehingga dapat mencegah terjadinya Wide Nasal
Cavity Syndrome.1
Teknik-teknik yang saat ini direkomendasikan adalah: 1. Operasi dengan
menggunakan laser dan kauterisasi; 2. Reseksi sebagian dari konka, dengan menyisakan
minimal 50% konka; 3.Tidak mengangkat mukosa ; 4. Reseksi submukosa oleh mikrodebrider, yang juga dapat menjaga permukaan mukosa agar tetap baik; 5. Operasi dengan
menggunakan radio frekuensi.

13

BAB IV
RESUME
Wide nasal cavity syndrome adalah suatu kondisi medis yang
menggambarkan suatu kelumpuhan pada hidung dikarenakan konka nasal
diangkat seluruhnya atau sebagian melalui pembedahan. Kondisi ini merupakan
suatu komplikasi yang dapat dialami setelah beberapa bulan atau tahun menjalani
operasi pengangkatan konka inferior dan atau konka media.
Gejala yang paling sering terjadi adalah rasa tersumbat pada hidung yang
kadang dapat menimbulkan rasa sesak napas. Gejala lainnya seperti nyeri yang
disertai rasa kekeringan pada hidung dan faring juga dapat ditemukan. Intensitas
gejala bervariasi, mulai dari ringan sampai berat sehingga menghambat kegiatan
sehari-hari. Penderita mungkin juga akan mengalami kurangnya konsentrasi,
mudah lelah, kecemasan, dan gangguan emosional lainnya.
Lini pertama dari pengobatan Wide Nasal Cavity Syndrome adalah
perawatan medis. Meliputi irigasi hidung (garam fisiologis, derivate sulfur dan
lain-lain), pemberian salep hidung, antibiotik, aerosol dan kortikosteroid topical.
Meskipun begitu, pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dalam
menangani Wide Nasal Cavity Syndrome. Selain itu juga dapat dilakukan tindakan
pembedahan.

14

DAFTAR PUSTAKA
1.

Coste, A. Dessi, P. Serrano, E. Empty Nose Syndrome. European Annals


of Otorhynolaryngology Head and Neck Disease. Elsevier Masson S.A.S.
2012: 93-97.

2.

Liebman, J. Nardi, J. Body Signs: How to Be Your Own Diagnostic


Detective. 2008: 92-94

3.

Soetjipto D, Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku ajar ilmu kesehatan


telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi keenam. Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. 2010: 118-122

4.

Kaluskar, S. Omagh, N. Turbinates are The Guardian of Your Lungs. Gujarat


Journal Otorhynolaryngology and Head&Neck surgery. 2012:1-3

5.

Edward, C. Jeffrey, D, Marilene, B. Empty Nose Syndrome. Current


Allergy and Asthma reports. 2015:2-5

6.

Steven, M. Does the Methode of Inferior Turbinate Surgery Affect the


Development of Empty Nose Syndrome. 2014:1-3

15

Anda mungkin juga menyukai