Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

RINITIS ALERGI





Oleh
Hidayatullah
H1A 010 049


PEMBIMBING :
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL


DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
MATARAM
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan
proses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada
mukosa hidung. Rinitis alergi merupakan penyakit yang imunologi yang paling sering
ditemukan. Prevalensi penyakit ini berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat
dalam dekade terakhir. Prevalensi di Indonesia belum diketahui pasti, namun data dari
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi berkisar 10 26%.
1,2

Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel
mast, basofil dan eosinofil akibat reaksi alergen dengan IgE spesifik yang melekat di
permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin.
Histamin akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat.
1

Rinitis alergi bukan penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada
kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada penderitanya. Tak
hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk
mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah
menjadi kronis.














2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung.
Hidung luar berbentuk
piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah:
3,4

1. pangkal hidung (bridge)
2. dorsum nasi
3. puncak hidung
4. ala nasi
5. kolumela
6. lubang hidung


Gambar 2.1 Hidung bagian luar
5

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
3,4

1. tulang hidung (os nasalis)
2. prosesus frontalis os maksila
3. prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu:
3,4

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis
superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
(kartilago alar mayor)
3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Gambar 2.2. Kerangka hidung
3

3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
3,4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
3,4,5

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina prependikularis os ethmoid,vomer,
krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) & kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
3,4


Gambar 2.3 Dinding medial hidung
Bagian depan hidung dinding hidung lateral licin, yang disebut agar nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
3,4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka superior, konka media,
konka inferior dan konka supreme. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
4

lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
suprema biasanya rudimenter.
3,4


Gambar 2.4 Dinding lateral rongga hidung
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.
3

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak di anatara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.
3,4

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.
3

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis yang memisahkan rongga terngkorak dan rongga hidung.
3

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna). Bagian
bwh rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a.
5

palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
3


Gambar 2.5 Perdarahan hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina major, yang disebut
Pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis, terutama
anak-anak.
3

Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai intrakranial.
3


2.2. Fisiologi Hidung
Fungsi hidung adalah
3
:
1. Sebagai jalan napas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara
6

memeceah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu, untuk mempersiapakan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan
cara mengatur kelembaban dan mengatur suhu. Fungsi mengatur kelembaban
udara ini dilakukan oleh palut lendir. Sedangkan fungsi mengatur suhu ini
dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi berlangsung optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37
0
C.
3. Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh:
a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b) silia
c) palut lendir
d) enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut
lysozyme.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir akan dialirkan ke
nasofaring oleh gerakan silia.
4. Indera Penghidu
Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior
dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidng akan menebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).
6. Membantu proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatu mole turun untuk aliran udara.

7

7. Refleks Nasal
Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.3. Rinitis Alergi
2.3.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi lainnya menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai IgE.
1


2.3.2. Insiden
Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan.
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar
antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir. Usia rata-rata
onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang saat usia
20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda).
Dalam beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita rinitis alergi, lebih banyak
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Riwayat keluarga atopi mempunyai
prevalensi lebih besar daripada nonatopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka
risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Rinitis alergi dan atopi
secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki
potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Peran lingkungan rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.
1,2,7




8

2.3.3. Jenis-jenis alergen
Berdasarkan cara masuknya alergen dibedakan atas:
1

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan

2.3.4. Klasifikasi rinitis alergi
Berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its
Impact Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu atau lebih dari 4
minggu

Berdasarkan berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibedakan menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, olahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

2.3.5. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu:
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktifitas)
setelah pemaparan 24 dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
9

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag dan
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Precenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan sel T helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 3
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stiimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil jaringan target. Respon ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak6-8
jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
10

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma
bronkial dan rinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon Primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons
sekunder.
2. Respon Sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tertier.
3. Respon Tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.

2.3.6. Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapat serangan bersin berulang, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banayk air mata keluar (lakrimasi). Kadang-
11

kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
1

Pada pasien rinitis sering dibagi menjadi tipe "sneezer and runner" dan tipe
"blockers". Pasien rinitis alergi biasanya tipe "sneezer and runner". WHO initiative
ARIA 2000 membedakan kedua tipe rinitis tersebut sebagai berikut:
6

"Sneezer and runner" "Blockers"
Bersin
Ingus encer (+rinore posterior)
Hidung gatal
Hidung tersumbat (variabel)
Ritme diurnal (memburuk saat siang hari,
membaik saat malam hari)
Berhubungan dengan konjungtivitis
Bersin minimal atau tidak
Mukosa nasal menebal
Lebih sering rinore posterior
Hidung tidak gatal
Hidung tersumbat sering parah
Gejala dapat terus menerus saat siang dan
malam hari, memburuk di malam hari

2.3.7. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamesis saja.
1,6

Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah:
- bersin-bersin lebih dari 5 kali setiap kali serangan
- rinore (ingus bening, encer) dan banyak
- gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
- gatal di mata, berair, kemerahan
- hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
- hiposmia/anosmia
- sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
- variasi diurnal (memburuk pagi-siang hari, membaik saat malam hari)
- penyakit penyerta : sakit kepala (berhubungan dengan tekanan pada
hidung dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan
konsentrasi, gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis,
gejala sesak napas/asma
12

- frekuensi serangan, lama sakit (intermitten/persisten), beratnya
penyakit, efeknya pada kualitas hidup, seperti adakah gangguan pada
pekerjaan, sekolah, berolah raga, bersantai, dan melakukan aktivitas
sehari-hari
- faktor pemicu gejala : di lingkungan rumah, kamar tidur, tempat kerja,
sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu gejala. Bila pasien
alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam rumah dan
membaik di luar rumah. Gejala juga dipicu bila pasien membersihkan
rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi
terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk
dengan lingkungan dengan kelembaban tinggi, dan pada sore hari.
Asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum,
masakan, dan polutan juga dapat memicu serta memperberat rinitis.
- sumber penting alergen di lingkungan pasien : kualitas udara dan
sistem ventilasi di rumah maupun di ruang kerja, binatang pelliharaan
- riwayat pengobatan yang pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan
serta kepatuhan berobat
- Pasien sering menggerak-gerakan mulut dan gigi saat tidur, terutama
pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa penuh di telinga akibat
sumbatan tuba

2. Pemeriksaan Fisik
Anak-anak memiliki gejala spesifik, yaitu
1

- allergic shiner yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung;
- allergic salute yaitu anak sering menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal;
- allergic crease yaitu timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah akibat sering menggosok hidung
Pada anak dengan sumbatan hidung kronis dapat menimbulkan facies
adenoid karena sering bernapas lewat mulut. Hal ini akan menyebabkan
lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi sehingga
13

terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Kadang-kadang ditemukan
adanya krusta dan kulit yang kasar di daerah nostril atau lubang hidung.
1

Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi (irawati).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka media atau inferior pucat/livid,
diliputi sekret hidung seromukoid, edem atau hipertrofi. Perhatikan juga
daerah septum nasi (lurus, deviasi, spina/krista), serta adakah polip nasi.
1

Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan nasoendoskopi, apakah ada
gambaran konka bulosa, atau polip kecil didaerah meatus medius serta
keadaan kompleks osteomeatal.
1

Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic
tounge (permukaan lidah sebagian kecil dan sebagian kasar) yang biasanya
akibat alergi makanan, adenoid membesar, permukaan dinding faring posterior
kasar (Cobble stone appearance) dan penebalan lateral pharyngeal bands
akibat sekret mengalir ke tenggorok yang kronik.
1

3. Pemeriksaan Penunjang
In Vitro
Merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini
dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita
sehingga dapat dilakukan pada bayi dan anak kecil serta dapat
dilakukan pada pasien dimana tes kulit tidak dapat dilakukan yaitu
penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan trisiklik,
atau penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis
atrofi berat. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
14

basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
1

In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
1


2.3.8. Terapi
1. Menghindari alergen penyebab
Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
1

a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif).


15

Antihistamin generasi-1
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2
golongan menurut keamanannya, kelompok pertama adalah asetamisol
dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik (sudah ditarik dari
peredaran), dan kelompok kedua adalah loratadin, cetirizin, fexofenadin,
desloratadin dan levocetirizin.
b. Dekongestan
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
c. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometoson, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
d. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipiirakan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

16

4. Imunoterapi
a. Desensitisasi dan hiposensitisasi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
b. Netralisasi
Cara ini dilakukan untuk alergi terhadap makanan. Pada netralisasi tubuh
membentuk "blocking antibodi" seperti pada desensitisasi.

2.3.9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering ialah
1. Polip hidung
Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Hal ini mungkin bisa terjadi bahwa adanya perubahan patologis yang
berhubungan dengan rinitis dapat mengakibatkan obstruksi di tuba eustachius
dan disfungsi telinga tengah. Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa
bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa
telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah
dan efisiensi silia berkurang. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada
rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke
nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus
dan tuba auditoria. Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator
dan sitokin yang mempengaruhi terjadinya inflamasi dan kondisi seperti ini
dapat berulang hingga kronis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang
kadarnya tinggi pada pasien OMSK; demikian juga tumor necrosis factor-
(TNF-) yang dihubungkan dengan kronisitas pada otitis media juga memiliki
kadar yang tinggi. Selain faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK juga
dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi.
Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan eosinophilic cationic protein
(ECP), IL-5 dan basic major protein (BMP) yang tinggi pada pasien otitis
media dengan rinitis alergi dibandingkan dengan pasien otitis media tanpa
rinitis alergi.
7

17

3. Sinusitis paranasal
Hubungan antara alergi dan sinusitis ada 2, yaitu:
1,6

a. Alergi mungkin memberikan kontribusi terhadap obstruksi ostium sinus
b. Rinitis alergi perenial memiliki beberapa bentuk sinusitis kronis,
khususnya sekret hidung dan obstruksi.

2.3.10. Prognosis
Secara umum baik. Penyakit rinitis alergi secara umum berkurang seiring
bertambahnya usia, namun kemungkinan asma bronkial meningkat. Remisi
spontan dapat terjadi 15-25% selama jangka waktu 5-7 tahun, remisi untuk alergi
musiman lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun).
6























18

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.I
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pejeruk, Ampenan
Tanggal Pemeriksaan : 10 Juli 2014

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Sering pilek dan bersin-bersin
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik THT dengan keluhan utama sering pilek dan bersin-
bersin. Keluhan ini sudah dirasakan hilang timbul sejak > 6 bulan yang lalu,
terutama bila terpapar debu dan cuaca dingin. Pilek berupa cairan ingus encer dan
jernih. Bersin-bersin yang bisa sampai 5 kali tiap terpapar, yang disertai hidung
tersumbat, gatal pada hidung, dan sakit kepala. Pasien mengalami keluhan ini
sekitar 4 kali dalam seminggu. Riwayat demam sebelum keluhan tidak ada. Tidak
ada keluhan gangguan penciuman. Keluhan telinga sakit dan penuh juga tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma (-) , HT (-), DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga/Sosial :
Pasien mengaku didalam keluarganya tidak ada yang memiliki keluhan yang
serupa. Riwayat asma (-).
Riwayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, ataupun obat-obatan.

3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
19

Tanda vital :
- TD : 110/70 mmHg BB : 48 Kg
- Nadi : 84 x/menit TB : 145 cm
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu : 36.5
0
C
Status Lokalis :
Pemeriksaan Telinga
No. Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga : aurikula,
preaurikuer, retroaurikuler.
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, lesi
pada kulit (-), hematoma (-),
massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-).
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, lesi
pada kulit (-), hematoma (-),
massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-).
3. Liang telinga (MAE) Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-), furunkel (-),
otorhea (-).
Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-), furunkel (-),
otorhea (-).
4. Membran timpani

Intak, retraksi (-), hiperemi
(-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light
(+).



Intak, retraksi (-), hiperemi
(-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light
(+).


Pemeriksaan Hidung
Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra
Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-), Bentuk (N), inflamasi (-),
20

deformitas (-), massa (-). deformitas (-), massa (-).
Rinoskopi Anterior :
Vestibulum nasi N, ulkus (-) N, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (N), mukosa hiperemi
(-), sekret (+)
Bentuk (N), mukosa hiperemi
(-), sekret (+).
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-)
Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-)
Konka media Hipertrofi (-), pucat (-),
kongesti (-)
Hipertrofi (-), pucat (-),
kongesti (-)
Konka inferior Edema (+), Hipertrofi (-),
pucat (+), kongesti (-).
Edema (+), Hipertrofi (-), pucat
(+), kongesti (-).

Gambar :

Pemeriksaan Sinus Paranasal
Sinus
Nyeri Tekan Transiluminasi
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Maksilaris (-) (-) (+) (+)
Frontalis (-) (-) (+) (+)
Interpretasi : Sinus paranasalis normal



Edema (+)
Pucat (+)
Edema (+)
Pucat (+)
21

Pemeriksaan Tenggorokan
No. Pemeriksaan Keterangan
1. Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda
2. Mulut
Mukosa mulut basah berwarna merah muda
3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)
4. Gigi Lubang (-)
5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).
6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),
pseudomembran (-).
7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
8. Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-),
granul (-), sekret (-)
9. Tonsila Palatina Hiperemi (-), ukuran T1, kripte melebar (-),
detritus (-).

3.4. Diagnosis
Suspek Rinitis Alergi
DD : Rinitis vasomotor
3.5. Planning
Planning Diagnosis :
- Rontgen Waters
- Hitung eosinofil
- Skin Prick test

Planning Terapi :
- Kombinasi Cetirizin 10 mg (antihistamin) dan Pseudoefedrin 60 mg
(dekongestan)
- Vit.C 1 x 50 mg.


22


3.6. KIE
a) Hindari faktor alergen
b) Gunakan masker bila membersihkan rumah
c) Konsumsi vitamin yang dapat meningkatkan daya imun tubuh
d) Olah raga yang teratur
e) Istirahat yang cukup

3.7. Prognosis
Bonam























23

BAB 4
PEMBAHASAN

Diagnosis pasien pada kasus ini ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan informasi mengenai gejala yang
mengarah kepada diagnosis rinitis alergi yaitu sering pilek, bersin-bersin lebih dari 5 kali tiap
serangan yang disertai gatal-gatal pada hidung dan mata, hidung tersumbat, dan sakit kepala
terutama bila terpapar debu atau saat cuaca dingin. Pada pemeriksaan fisik dijumpai konka
pada rongga hidung kanan tampak edema dan berwarna pucat, dan tampak sekret jernih.
Pemeriksaan penunjang seperti hitung eosinofil dan skin prick test perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis rinitis alergi. Selain itu, pemeriksaan rontgen waters juga diperlukan
untuk mengetahui apakah pilek berulang yang dialami pasien sudah menimbulkan komplikasi
atau tidak (sinusitis).
Terapi yang paling ideal untuk pasien ini adalah menghindari alergen, bila sudah
diketahui alergen penyebabnya. Terapi simptomatiknya diberikan antihistamin dan
dekongestan. Konsumsi vitamin juga dianjurkan untuk meningkatkan daya imun tubuh.

















24

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, Nina, Elise Kasakeyan, dan Nikmah Rusmono. Alergi Hidung. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2006.
2. Blumenthal, Malcolm N. Kelainan Alergi Pada Pasien THT. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997
3. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Sumbatan Hidung. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2006.
4. Hilger, Peter A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997
5. Saladin. 2003. Anatomy and Physiologi : The Unity and Form and Function, 3rd
edition. The McGrawHill Companies
6. Lumbanraja Patar LH. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. Medan : FK
USU, 2007
7. Utami, Tutie Ferika, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton
Christanto, (2010), Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif
Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi 179

Anda mungkin juga menyukai