Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

RHINORRHEA
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok
RSUP PERSAHABATAN

Disusun oleh :
RYAN GAMMA ANDIRALDI PUTRA
14110221043

Pembimbing :
dr. Deasy Anggraeni, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
REFERAT

RHINORRHEA
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun Oleh:
RYAN GAMMA ANDIRALDI PUTRA
14110221043

Mengesahkan:
Koordinator Pendidikan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Ketua

Wakil

dr. Dody Widodo, Sp.THT-KL

dr. Yulvina,Sp.THT-KL

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan yang berjudul
RHINORRHEA. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok di


RSUP Persahabatan.
Penyusunan laporan ini dapat terselesaikan tak lepas dari pihak-pihak yang
telah banyak membantu penulis dalam merampungkan laporan ini. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Deasy Anggraeini, Sp THT-KL selaku pembimbing dari referat ini, dr.
Dody Widodo, Sp.THT-KL selaku koordinator pendidikan di SMF Telinga
Hidung dan Tenggorok RSUP Persahabatan dan dr. Yulvina, Sp.THT-KL
selaku wakil koordinator pendidikan di SMF Telinga Hidung dan
Tenggorok RSUP Persahabatan atas bimbingan dan kesabarannya selama
selama penulis menempuh pendidikan di kepaniteraan klinik.
2. Dokter-dokter Spesialis THT di SMF Telinga Hidung Tenggorok RSUP
Persahabatan atas kesabaran dan bimbingannya selama penulis menempuh
pendidikan di kepaniteraan klinik.
3. Para staf medis dan non-medis yang bertugas di SMF Telinga Hidung
Tenggorok RSUP Persahabatan atas bantuannya untuk penulis.
4. Teman-teman seperjuangan di kepaniteraan klinik Telinga Hidung dan
Tenggorok.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang dapat membangun laporan ini kedepannya sangat
penulis harapkan demi perbaikan materi penulisan dan menambah wawasan
penulis.
Jakarta,

Maret 2015

Penulis

BAB I
Pendahuluan
I.1. Latar belakang

Hidung merupakan organ pertahanan pada mekanisme pernafasan , keluhan


menimbulkan rangkaian gangguan mulai dari ketidaknyamanan dan penyakit
ringan yang berlangsung sementara, seperti infeksi saluran pernapasan atas hingga
gangguan yang dapat mengancam jiwa seperti atresia koana pada neonatus.
Gejala penyakit hidung dapat lokal maupun sistemik. Gejala gejala lokal
dapat berupa Rinorrhea, kongestif, perdarahan, nyeri anosmia atau perubahan
penghidu lain serta sekret post-nasal. Penyakit sistemik dapat bermanifestasi
dengan gejala dan perubahan jaringan hidung yang nyata.
Secara fisiologi hidung dan sinus paranasal memiliki fungsi diantaranya;
fungsi respirasi, penghidu, fonetik serta fungsi statik dan mekanik dan refleks
nasal. Fungsi tersebut dapat mengalami gangguan apabila terjadi kerusakan atau
ada sumbatan pada hidung. Keluhan berupa keluar cairan dari hidung merupakan
keluhan yang pernah dirasakan oleh setiap orang dan bisa disertai dengan gejala
lain. Rinorrhea bukanlah suatu penyaki tetapi merupakan suatu gejala yang
ditimbulkan dari penyakit tertentu. Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala
berupa Rinorrhea atau keluarnya cairan dari dalam hidung. Bisa penyakit
peradangan, massa, trauma dan lainnya
I.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini yaitu:
1. Sebagai pra-syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF RSUP
Persahabatan, Jakarta.
2. Menambah ilmu dan wawasan serta membuka pikiran tentang ilmu
kesehatan telinga hidung dan tenggorok khususnya cairan atau sekret
yang keluar dari hidung.

BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan
hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir
atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu:
1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan
2. Di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
3. Paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang
dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal
hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu
diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum.
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini
bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah
yang disebut filtrum, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah
inferior oleh dasar hidung

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk

kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang

banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yang lebih luas

dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat

muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid.
Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai
infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan
dasarnya

menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus

zigomatikus os maksilla.

Gambar 3. Sinus Paranasal

Pendarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri


maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina

yang

keluar

dari

foramen

sfenopalatina

bersama

nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka


media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.

Gambar 4. Pendarahan Hidung

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus.

Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan


cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus
etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan
memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis
anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial

dan

lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion

sfenopalatina,

selain

memberi

persarafan

sensoris,

juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion


ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

II.2. Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Respirasi
Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaringg udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2. Penghidu

Terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung


stimulus penghidu.
3. Fonetik
Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas
5. Refleks nasal
Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk hidung menuju sistem respirasi melalu nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengaturan suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh:
1. Rambut (vibrissae)
2. Silia
3. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
lebih besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Fungsi Penghidu
Bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

10

Fungsi

hidung

untuk

membantu

indra

pengecapan

adalah

untuk

membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga
untuk membedakan rasa asam.
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
II.3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (respiratori) dan mukosa penghidu (olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang bersilia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak
bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal
dan selreseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

11

a. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous
kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang
vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa
respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini
memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan
untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan
mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari
epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi
dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000
sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus
untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel
penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang
melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor
dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar
Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
Cavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi
depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke
belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996;
Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3
m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan
satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia

12

tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler
1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active
stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan
lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak
mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira
1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti
efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger
1996).
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan
mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan
yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981;
Waguespack 1995; Ballenger 1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan
diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia.
Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada
permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya
sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan
membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu
pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian
mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih
baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Waguespack 1995; Ballenger 1996).
b.

Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan
bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar
lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan
mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar(Waguespack 1995; Ballenger
1996; Weir 1997; Lindberg 1997).

13

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein


sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Diduga mukoglikoprotein ini
yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar,
menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur
dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan
virus yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara
silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar.
(Sakakura 1994).
c.

Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel.
Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas
kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).

d.

Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini
dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut
jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981;
Ballenger 1996).
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung.
Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis
semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang
melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masingmasing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996;
Lindberg 1997).

14

Gambar 5 Histologi hidung


Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pda anyaman
kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar dan dindingnya dilapisi oleh
aringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid memiliki otot
sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang
lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.

II.4. Sistem Transpor Mukosilier


Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersamau udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenar seromusinosa submukosa.

15

Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
dari permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA
sekretorik.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme
dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas,
sedagkan IgG beraksi dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika
terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret
sepanang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah.
Setingi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang
ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport dan sekret akan
melewati mukosa yang yang rusak tersebut. Jika sekret lebih kental, sekret akan
terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan
pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus
atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.
Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding lateral:
1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekretnya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi prosesus unsinatus, dan sepanjangn dinding medial konka
inferior menuju nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba
eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
skuamosa di nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan
gaya gravitasi dan proses menelan.

16

2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang


bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
postero-superior orifisium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung
dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret dari
septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke
belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.
II.5. Rhinorrhea
Berasal dari kombinasi bahasa Yunani rhinos yang berarti hidung dan
rrhea yang berarti aliran atau pembuangan atau pengeluaran. Rinorrhea dapat
didefinisikan sebagai keluarnya cairan dari hidung atau sering disebut pilek.
Sering muncul dari alergi atau penyakit tertentu dan menjadi gejala umum dalam
demam atau common cold. Hal ini dapat menjadi suatu efek dari menangis,
paparan suhu dingin, penyalahgunaan obat seperti opioid.
II.5.1 Tanda dan Gejala
Meskipun pilek itu sendiri merupakan gejala penyakit infeksi, alergi, iritasi
atau jenis peradangan hidung, namun masih ada beberapa gejala lain selain pilek
itu sendiri. Selain keluarnya cairan dari mukosa hidung yang bisa saja berwarna
jernih, kekuningan, kehijauan atau kecoklatan yang dapat menjadi salah satu
pertanda dari suatu penyakit.
Biasanya pilek juga disertai dengan kongesti di mukosa hidung sinusitis,
bersin, sakit kepala, menggigil, hilang kesadaran, sakit tenggorokan, demam,
epistaksis, gangguan pernapasan. Bisa juga menderita batuk ataupun malaise.
II.5.2 Etiologi
Rhinorrhea adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihubungkan hanya dengan
satu penyebab tapi berbagai penyebab.
a. Alergi
Dipicu oleh alergen atau suatu benda asing yang masuk ke dalam hidung
melalui udara dan debu.
b. Infeksi

17

Infeksi virus maupun bakteri dapat memicu rhinorrhea. Agen tersebut yang
bertanggung jawab dalam ISPA.
c. Bahan Iritan
Bahan iritan seperti penghilang cat kuku, cat, sampah, asap dan debu.
d. Makanan pedas
Makanan yang pedas atau kaya akan rasa pedas di dalamnya terdapat
sebuah senyawa kimia capsaicin atau sejenisnya dapat menyebabkan
inflamasi jaringan hidung yang menyebabkan keluarnya cairan mukosa
yang cair.
e. Cedera kepala
Cedera yang mengenai kepala atau otak juga dapat menyebabkan
Rinnorhea. Sebagai contohnya pada fraktur basis cranii yang menjadi
alasan utama penyebab cerebrospinal rhinorrhea.
II.5.3 Patofisiologi
Secara histologis, mukosa hidung dilapisi dengan epitel kolumnar yang
bersilia dan mengandung sel goblet serta kelenjar serosa dan mukosa. Apabila
terjadi peradangan, akan terjadi hipersekresi dan kerja silia terganggu. Pada
fraktur basis cranii akan terjadi bocornya cairan serebrospinal yang akan mengalir
ke hidung

II.5.4 Diagnosis
Dalam diagnosis penyakit dengan gejala rinore dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik serta penunjang agar tatalaksana dapat dilakukan secara
adekuat.
Gejala pilek adalah awal atau sumber indikasi dari suatu penyakit. Sekret
hidung dari satu atau kedua rongga hidung, konsistensinya sekret, encer, bening
seperti air, kental, nanah atau bercampur darah. Sekret ini keluar hanya pada pagi
hari atau pada waktu-waktu tertentu saja karena sangat penting untuk menentukan
diagnosa dan penatalaksanaannya.

18

Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya jernih


hingga purulen. Sekret yang jernih seperti air dan banyak jumlahnya khas untuk
alergi hidung. Bila sekret berwarna kuning kehijauan biasanya berasal dari
sinusitis dan hidung dan bila bercampur darah hanya satu sisi patut dicurigai
adanya suatu massa atau tumor hidung. Sekret dari hidung yang turun ke
tenggorok disebut dengan post nasal drip yang kemungkinan berasal dari sinus
paranasal.
Anamnesa yang baik perlu menanyakan onset, progresifitas, karakteristik
cairan, faktor yang memperbaiki dan memperburuk, riwayat trauma, tanda
peradangan, riwayat alergi, pekerjaan, serta riwayat pengobatan.
Pemeriksaan fisik dari rhinorrhea terdiri dari pemeriksaan bagian wajah dan
hidung terutama di daerah sinus maksilaris dan frontalis. Sifat dan warna mukosa
hidung juga dinilai. Periksa hidung, cek aliran udara dari kedua rongga hidung.
Evaluasi ukuran, warna dan kondisi dari mukosa hidung. Apabila mukosa
berwarna merah atau berwarna pucat, biru atau abu-abu maka periksa juga area di
bawah masing-masing turbinate.
Pemeriksaan penunjang seperti smear eosinophil dan prick test yang tepat
serta stain Gram dan kultur bakteri dan jamur, dan foto rongent dari sinus pada
kasus yang dicurigai rhinosinusitis dapat membantu diagnosis pada kasus
rhinorrhea yang menetap.

II.5.6 Rhinorrhea akibat cairan serebrospinal


Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalah suatu keadaan adanya hubungan
yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung.
Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang
memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai
dengan adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan
jalan keluar cairan serebrospinal (CSS) ke rongga hidung
Anamnesis yang lengkap merupakan langkah pertama dalam membuat
diagnosis kebocoran CSS. Gejala utama rinore CSS adalah adanya cairan bening

19

yang mengalir dari hidung. Pada kasus trauma, lebih kurang 55 % kasus rinore
CSS muncul dalam 48 jam setelah trauma, menjadi 70% pada akhir minggu
pertama ketika edema yang menghambat aliran kebocoran CSS menghilang.
Hiposmia atau anosmia merupakan keluhan tambahan lainnya yang terjadi
pada 60% - 80% kasus rinore CSS sebagai akibat kerusakan saraf olfaktori akibat
fraktur fossa kribriformis
Terapi
Penatalaksanaan konservatif pada rinore CSS dapat berupa istirahat di
tempat tidur dengan meninggikan kepala 15-30 derajat, sehingga mengurangi
jumlah cairan CSS yang keluar. Mencegah timbulnya batuk, bersin, nasal blowing
dan mengejan. Pencahar diberikan untuk mencegah mengejan. Disamping itu juga
diberikan antitusif dan antiemetik. Apabila tidak terdapat perbaikan dalam 72 jam,
drainase lumbal kontinu berulang dilakukan untuk empat hari berikutnya untuk
mengeluarkan CSS 150 ml/hari
Tindakan operasi pada rinore CSS dapat dibedakan atas pendekatan
intrakranial dan ekstrakranial, dengan kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Pemilihan pendekatan tergantung pada penyebab kebocoran, lokasi
kebocoran, adanya peningkatan tekanan intrakranial dan adanya ensefalokel.
Pendekatan intrakranial memerlukan kraniotomi dapat berupa kraniotomi
frontal atau kraniotomi fossa media. Pendekatan ini cenderung dengan morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi serta perawatan yang lebih lama. Di samping itu
anosmia merupakan komplikasi yang sering pada tindakan kraniotomi akibat
cedera terhadap saraf olfaktori yang tidak dapat dihindari. Kelebihan pendekatan
ini adalah dapat melakukan penutupan defek pada dura secara rapat dan
penutupan kebocoran multipel.
Pendekatan intrakranial selanjutnya dibedakan atas ekstradural dan
intradural. Pada pendekatan ekstradural otak terhindar dari regangan saat
tindakan, berbeda dengan pendekatan intradural, meskipun memberikan lapangan
pandang yang lebih baik, namun tindakan ini menyebabkan otak terpapar
sehingga risiko terjadinya infeksi lebih tinggi. Pada kedua tindakan ini dilakukan
pengeluaran CSS melalui drain lumbal untuk beberapa hari pasca operasi sampai
diperkirakan edema otak menghilang.

20

BAB III
Kesimpulan
Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret
atau cairan yang keluar bisa bersifat serosa, mukopurulen. Rhinorrhea sendiri
bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit. Oleh
karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang cermat
dan teliti penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa kelainan yang
mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna menurunkan

21

angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang mendasari


rhinorrhea serta komplikasinya.

II.5.5 Klasifikasi dan Penatalaksanaan


Tabel 1. Perbedaan Rhinitis

Definisi

Rhinitis Alergi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

Rhinitis Vasomotor
Keadaan Idiopatik yang

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi

didiagnosa tanpa adanya infek

dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

alergi, eosinofilia, perubahan

mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan

hormonal, dan pajanan obat.

alergen tersebut.
Menurut WHO
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
Penyebab

terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE


Kontak dengan alergen

Etiologi dan patofisiologi belu

Klasifikasi WHO 2001 (Initiative ARIA)

diketahui dengan pasti namun

Berdasarkan sifatnya:

ada hipotesis:

1. Intermitten
Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
2. Persisten
Gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu

1. Neurogenik
2. Neuropeptida
3. Nitrit Oksida
4. Trauma

Derajat:
1. Ringan

22

Tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan


aktivitas harian, bersantai, olahraga, bekerja, belajar
dan hal lain yang mengganggu
2. Sedang-Berat
Diagnosis

Terdapat satu atau lebih gangguan diatas


Anamnesa:

Anamnesa:

Bersin berulang (terutama pagi hari)

Hidung tersumbat,

Kontak dengan debu

bergantian kanan dan kiri

Rinore encer dan banyak

Rinore mukoid/serosa

Hidung tersumbat

Gejala memburuk pagi ha

Hhidung dan mata gatal (dapat disertai lakrimasi)

waktu bangun tidur


Bersin

Pemeriksaan Fisik:
Rinoskopi anterior

Mukosa edema

Basah

Berwarna pucat

Sekret encer yang banyak

Persisten : mukosa inferior tampak hipertrofi

Allergic Shinner

Pencetus: rangsangan non


spesifik (asap, bau

menyengat, makanan peda


udara dingin)
Pemeriksaan:
Mukosa hidung edema
Konka berwarna merah
gelap/merah tua

Allergic Salute

Permukaan konka

Allergic Crease

licin/hipertrofi

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit


tinggi: gangguang pertumbuhan gigi geligi
Dinding posterior faring tampak granuler dan

Rongga hidung terdapat

sekret mukoid sedikit/sero


banyak

edema
Dinding lateral faring menebal

Penunjang:

Geographic Tongue

Eosinofil jumlah sedikit


Uji Kulit Negatif

Pemeriksaan Penunjang:

IgE normal

Eosinofil meningkat

23

Serum IgE meningkat (tes RAST atau ELISA)


Sitologi: Eosinofil banyak (alergi inhalan), basofil >
5 sel/lap (alergi makanan), sel PMN (infeksi bakteri
Uji Kulit: SET untuk alergi inhalan, IPDFT untuk
Terapi

alergi makanan.
1.Menghindari kontak dengan alergen

1. Hindari stimulus

2.Medikamentosa :

2. Medikamentosa:

Antihistamin -> AH1

dekongestan oral

Dekongestan

obat cuci hidung

Kortikosteroid

kauterisasi konka AgNO


25%

3. Operatif

Kortikosteroid

Konkotomi parsial

3. Operasi:

Konkoplasti

Bedah beku

4. Immunoterapi
IgG blocking antibody dan penurunan IgE

elektrokauter

konkotomi parsial konka


inferior

Tabel 2. Perbedaan Rhinitis (Lanjutan)

Penyebab
Rhinitis

Virus

Simpleks

Diagnosis
Hidung kering, panas dan gatal
Bersing berulang
Hidung tersumbat
Ingus encer kental bila infeksi sekunder oleh
bakteri
Demam

Rhinitis

Infeksi Berulang di

Nyeri kepala
Sumbatan hidung

24

Hipertrofi

Rhinitis

hidung/sinus

Sekret banyak (mukopurulen)

Lanjutan rinitis

Nyeri kepala

alergi/vasomotor

Konka hipertrofi, permukaan berbenjol-benjol

infeksi hidung yang kronik

karena mukosa hipertrofi


Bau napas

Atrofi

Ingus kental berwarna hijau


Krusta hijau
Gangguan penghidu
Sakit kepala
Hidung tersumbat
Rongga hidung lapang

Rhinitis

Corynebacterium Difetria

Difteri

Konka inferior dan media bisa hipertrofi atau atro


Demam, toksikemia, limfadenitis, pralisi
Ingus bercampur darah

Pseudomembran putih, krusta coklat di nares dan


Rhinitis

M. Tuberculosis

cavum nasi
Hidung tersumbat

TB

Sekret mukopurulen

Rhinitis

BTA (+)
Sama dengan rinitis akut lain

Treponema pallidum

Sifilis

Bercak pada mukosa (gumma/ulkus)


Sekret mukopurulen berbau + krusta, perforasi

Rhinitis

Dapat terjadi bersama dengan

Jamur

sinusitis dan bersifat invasif


atau non-invasif
(Aspergillus, Candida,

septum/hidung pelana
non-invasif
menyerupai rinolit (gumpalan jamur) dengan
inflamasi mukosa yang lebih berat
tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang

Histoplasma, Fussarium dan


Mucor)

invasif
ditemukannya hifa jamur di lamina propria
perforasi septum atau hidung pelana
sekret mukopurulen

25

ulkus atau perforasi pada septum dan disertai


dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman
(Black Eschar)

Tabel 3. Perbedaan Sinusitis

Akut
Waktu
Patologi

Anamnesis

0 4 minggu
Penyumbatan kompleks

Sinusitis
Sub Akut
4 minggu 3 bulan
Sama dengan sinusitis akut

> 3 bulan
Silia rusak

osteomeatal oleh infeksi,

mukosa hid

obstruksi mekanis, alergi

kerusakan

mukosa reversibel
hidung tersumbat
nyeri daerah sinus

Sama dengan sinusitis akut tapi

Sekret d

tanda radang akutnya mereda

Post nas

nyeri alih

Rasa tid

tenggor

maksila: kelopak mata, gigi,

Penden

dahi, depan telinga


etmoid: pangkal hidung,

Nyeri k

bola mata, pelipis

Ganggu

frontal: dahi, kepala

Batuk

sfenoid: verteks, oksipital,

Gejala s

26

belakang bola mata,

mukopu

mastoid
demam, lesu
Pemeriksaa
n

Ingus kental, berbau


bengkak daerah
muka/pipi/kelopak mata

Sama dengan sinusitis akut tapi


tanda radang akutnya mereda

Tidak sebe

bengk

mukosa konka edema

sekret

hiperemis

post n

post nasal drip


transluminasi (+)
Terapi

air fluid level


1. Antibiotik

1. Antibiotik spektrum luas

1. Antibio

2. Dekongestan lokal tetes

2. Dekongestan lokal tetes hidung

2. Dekong

3. Analgetik

3. Analget

4. Antihistamin

4. Diaterm

5. Mukolitik

5. Pungsi

6. diatermi

6. Operasi

hidung
3. Analgetik

7. Pungsi irigasi

CWL, B

DAFTAR PUSTAKA
Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
Hall J. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC
Moore. Anatomi Klinis
Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia.
www.google.com

27

Anda mungkin juga menyukai