Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka
kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat
pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan
estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.1,2
Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat,
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis.
Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi.1
Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan
di masyarakat. Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago
septum, yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum
biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus yang
merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi. Kelainan ini dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang
bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur,
sakit kepala, infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
a. Struktur Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di
antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas
tiga bagian, yaitu yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan.4
Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

pangkal hidung (bridge),


dorsum nasi,
puncak hidung,
ala nasi,
kolumela, dan
lubang hidung (nares anterior).5

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari :

Tulang hidung (os nasal),


Prosesus frontalis os maksila, dan
Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,


Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga

sebagai kartilago alar mayor,


Beberapa pasang kartilago alar minor, dan
Tepi anterior kartilago septum.5

Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan


ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan
nasofaring.4,5
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding,
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.4,5
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah :

lamina perpendikularis os etmoid,


os vomer,
krista nasalis os maksila, dan

krista nasalis os palatina.5


Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh


mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut
agger nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.

Gambar 3. Septum Nasi

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan


letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior, dan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini bersifat rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus,

yaitu meatus inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di


antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung.

Pada

meatus

inferior

terdapat

muara

(ostium)

duktus

nasolakrimalis.5
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus,

hiatus

semilunaris,

dan

infundibulum

etmoid.

Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat


muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus
superior merupakan ruang di antara konka superior dan kona media. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.4,5

Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi

Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung


dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini

berlubang-lubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabutserabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid.5
b. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah :

prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris,

bula etmoid,
agger nasi, dan
resesus frontal.

KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai

tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior,


yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoidalis superior.5

Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Perdarahan Hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.

etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.


sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-

cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina


mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung


bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.5

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang


berasal dari n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion


ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari

n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di


atas ujung posterior konka media.

Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf

ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.5

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan

fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa


pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh cilliated pseudostratified collumnar epithellium yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran
udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel
epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa
submukosa.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang

penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh pseudostratified
columnar non-ciliated epithellium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu
sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.

Di bawah lapisan epitel terdapat tunika propria yang banyak

mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh


darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dari tunika propria, tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler
periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka
ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastin
dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid mempunyai sfingter otot.
Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih
dalam, lalu ke venula. Dengan susunan demikian, mukosa hidung menyerupai
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.4,5

Fisiologi Hidung

Berdasarkan

teori

struktural,

teori

revolusioner

dan

teori

fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi
respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik

untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
serta 5) refleks nasal.5

Sebagai Jalan Napas

Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke

atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah


nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini


dilakukan dengan cara :
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih
37oC.

Sebagai Penyaring dan Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu

dan bakteri dan dilakukan oleh :


a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.

Indra Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Resonansi Suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,


sehingga terdengar suara sengau.

Proses Bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n,

ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara.

Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan

dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi


mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang
bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.4,5

2. EMBRIOLOGI HIDUNG

Selama minggu keenam, foveanasalis menjadi semakin dalam,

sebagian karena pertumbuhan prominensia nasalis sekitar dan sebagian


karena penetrasi ke mesenkim dibawahnya (lihat Gambar 2.12A). mula-mula
membran oronasalis memisahkan kedua lekukan dari rongga mulut primitif
melalui foramen yang baru terbentuk, koana primitif (lihat Gambar 2.13C). 6

Kedua konkaini terletak dikedua sisi garing tengah dan tepat di

belakang palatum primer. Kemudian dengan terbentuknya palatum sekunder


dan perkembangan lebih lanjut rongga hidung primitif, terbentunya koana
definitif di taut antara rongga hidung dan faring. 6,7
Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum dinding
hidung lateral dan meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan os
sfenoidale. Sinu-sinus ini mencapai ukurannya yang maksimal selama
puberitas dan ikut membentuk wajah yang definitif. 6,8

Gambar 6. Aspek frontal wajah. A. Mudigah 7 minggu. Prominensia

maksilaris telah menyatu dengan prominensia nasalis mediana. B. Mudigah


10 minggu. C. Foto mudigah manusia pada tahap perkembangan serupa
dengan gambar A. 6

Gambar 7. A. Potongan sagital melalui fovea nasal dan batas bawah


prominensia nasalis mediana pada mudigah 6 minggu. Rongga hidung
primitif dipisahkan dari rongga mulut oleh membrane oronasalis B.
potongan serupa seperti A yang memperlihatkan membrane oronasalis
sedang pecah. C. mudigah 7 minggu dengan rongga hidung primitif yang
berhubungan langsung dengan rongga mulut. D. Potongan sagital melalui

wajah mudigah 9 minggu yang memperlihatkan pemisahan rongga hidung


dan mulut definitif oleh palatum primer dan sekunder. Koana definitif
terletak di taut antara rongga mulut dan faring. 6

3. DEVIASI SEPTUM NASI

Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung,

tetapi pada orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah.
Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi
itu cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung.
Dengan demikian dapat terjadi gangguan fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi.2

a. Definisi dan Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi

peralihan posisi septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi
berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I

: benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,


namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media).
4. Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di
sisi lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.1,9

Gambar 8. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,

yaitu :
1) Spina dan Krista

Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum

yang dapat terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago


septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina.
Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi
vertikal.
2) Deviasi

Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk C atau

S yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya
mengenai kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi

Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan

menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai


dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4) Sinekia

Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka

di hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.1,2

Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :

1) Dinding Lateral Hidung

Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan

kompensasi yang terjadi pada sisi konka septum.


2) Maksila

Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya

asimetri dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi


datar, pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3) Piramid Hidung

Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan

deviasi pada piramid hidung.


4) Perubahan Mukosa

Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit

menyebabkan

efek

kering

sehingga

terjadi

pembentukan

krusta.

Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan


proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi.

Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena


Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.1

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau

ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral
hidung.3

Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4,

yaitu :
1)

Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal

2)

Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir

3)

Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal

4)

Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung

luar.3

Gambar 9. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk

b. Etiologi

Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung

dan biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung,


seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat
trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth
Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan
pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum.
Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus) dapat
menambah trauma pada septum.1,2

Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan.

Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak
langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk
pengaman ketika berkendara.1,3

Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan.

Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan
inferior telah menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum
dan palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum.2

c. Gejala Klinis

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan

hidung yang unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi
hidung yang mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat
mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di
sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat
deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat
ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.2

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari

gejala berikut ini :

Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril

Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi

Perdarahan hidung (epistaksis)

Infeksi sinus (sinusitis)

Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal


drip.

Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada


bayi dan anak.9,10

Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum

yang ringan hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran


pernapasan atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi
respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara
perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung.
Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi yang juga terkait dengan deviasi
septum nasi. Namun, apabila common cold telah sembuh dan proses

inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga
akan menghilang.10

d. Diagnosis

Diagnosis

deviasi

septum

ditegakkan

berdasarkan

anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1

pada anamnesa, jika deviasi septum ringan hanya

menunjukkan gejala seperti common cold, pada deviasi septum yangh


bermakna pasien biasa mengeluh terjadi sumbatan pada salah satu atau
kedua hidung, ada perdarahan pada hidung (epistaxis), nyeri kepala dan
sekitar mata yang biasanya dialami sudah lama. Adanya post nasal drip,
dan pasien juga mengeluh menggorok saat tidur yang terutama dialami
pada anak dan bayi.

Pada pemeriksaan fisik, inspeksi langsung pada batang

hidung tanpa menggunakan spekulum terlebih dahulu, karena ujung


spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Inspeksi termasuk pada
vestibulum, piramida hidung, palatum dan gigi karena struktur ini sering
terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. Pada
deviasi septum yang berat tampak penonjolan septum ke arah deviasai.1,2

Pada

pemeriksaan

dengan

menggunakan

rhinoskopi

anterior dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi, tetapi pada


deviasi yang ringan hasil pemeriksaan bisa normal.1

Pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya.

Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum


nasi

yang

bengkok.

Pemeriksaan

nasoendoskopi

dilakukan

bila

memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk


melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus
paranasal, dilakukan pemeriksaan X-ray sinus paranasal.1

e. Penatalaksanaan

Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan

tindakan koreksi septum.


Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan :
o

Septoplasty (Reposisi Septum)


Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii)
dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi
dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau
posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya
bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi
ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi
reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle
nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap
pertumbuhan wajah pada anak-anak.

Gambar 10. Teknik operasi septoplasty

SMR (Sub-Mucous Resection)


Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua
sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang
atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-

perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan


langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak
hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak
diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anakanak

karena

dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan

menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.2,9,10,11


Gambar 11. Teknik operasi SMR (submucosa resection)

f. Komplikasi

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga

merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi


septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk
polip. Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada
hidung atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi
sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan
terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera
setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena

trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama


operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.10,11

g. Prognosis

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi

peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi
cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan perawatan
setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga menghindari
trauma pada daerah hidung.1
BAB III
KESIMPULAN

Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir atau

paling sering terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi septum meningkat
pada laki-laki karena lebih banyak terpapar dengan lingkungan dan trauma.
Deviasi septum yang ringan tidak memberikan keluhan, sedangkan yang berat
dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat obstruksi nasal.9

Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan


pemberian obat-obatan untuk mengatasi gejala pada pasien. Namun untuk
mengkoreksi deviasi septum, tindakan pembedahan sangat penting. Tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien sehingga
menyebabkan berbagai komplikasi. Tingkat keberhasilan tindakan pembedahan
yang diharapkan tergantung pada berat ringannya deviasi septum nasi yang
terjadi.9

Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum nasi

lebih baik dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan sub-mucous


resection (SMR) karena adanya komplikasi post-SMR, seperti perforasi septum,
perdarahan, dan saddle nose.10,11

DAFTAR PUSTAKA

1. Goldenberg D, Goldstein B. Handbook of otolaryngology head and neck


surgery. New-York: Thieme, 2013. p.211-214
2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
3. Snow J, Wackym A. Ballengers otorhynolaryngology head and neck surgery
17. BC Dacker, 2009. p. 561-562.
4. Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga.
Jakarta : EGC. 1997 : hlm 173-188.
5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 118-122.
6. Sadler. T.W. Langmans Medical Embryology. 13 th ed. Wolters Kluwer.
Philadelphia. 2015
7. Bie G.U.V. Embryology. Louis Bolk Institute. Netherland. 2011
8. Schoenwolf.G.C., Bleyl.S.B., Brauer.P.R., Francist-West.P.H. Larsens
Human embryology. 4th ed. Philadelphia.2009
9. Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations.
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of
Heidelberg : Germany. Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223. Available
at

http://www.rhinologyjournal.com/Rhinology_issues/44_Baumann.pdf

(Accessed : 2012 April 7)

10. Park JK, Edward IL. Deviated Septum. The Practice of Marshfield Clinic,
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2005.
Available

at

http://www.marshfieldclinic.org/proxy/MC-ent-

DeviatedSeptum.1.pdf (Accessed : 2012 April 7)


11. Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose
and Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.
12. Widjoseno-Gardjito, editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Wim
de Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC.
2005 : hlm 365-366.
13. Lore JM, Medina J. An athlas of head and neck surgery. 4th ed. Elsevier
saunders. 2005. p. 300-7

Anda mungkin juga menyukai