Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di hidung. Menurut
sifatnya rinitis dibagi menjadi dua yaitu rinitis akut dan rinitis kronis. Rinitis kronis merupakan
suatu penyakit infeksi hidung yang berulang dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan
mukosa konka1.
Sebagai istilah klinis, rinitis mengacu pada sekelompok heterogen gangguan hidung ditandai
dengan 1 atau lebih dari gejala berikut: bersin, hidung gatal, rhinorrhea, dan hidung tersumbat 2.
Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas bau, pasien menderita
anosmia, ingus kental hijau, kusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung
tersumbat. Mukosa hidung menghasilkan secret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk
krusta berbau busuk1. Prevalensi menunjukkan bahwa 44% sampai 87% dari pasien dengan
rhinitis mungkin memiliki rinitis campuran, kombinasi alergi dan rinitis non alergik 3. Prevalensi
di indonesia rinitis kronis adalah 2,4% (berdasarkan keluhan responden)4.
Rinitis kronis adalah rinitis simplek kronis, rhinitis hipertrofi, rhinitis atrofi, rinitis sika, dan
rinitis kaseosa. Rinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada
rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi, dan rinitis hipertrofi5.
Rinitis alergi melibatkan antibodi reaginik, basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator
seperti histamine, prostaglandin dan leukotrien, yang ada gilirannya bekerja pada saluran hidung
dan menimbulkan menifestasi klinis. Rinitis vasomotor suatu keadaan idiopatik beberapa
hipotesis telah dikemukakan penyebabnya adalah neurogenik (disfungsi system otonom),
neuropedtida, nitrit oksida, dan trauma. Rinitis atrofi disebabkan karena infeksi kuman spesifik,
yang tersering ditemukan spesies klebsia, defiensi FE, vitamin A, sinusitis kronik yang akan
menyebabkan adanya atrofi mukosa dan tulang konka. Rinitis hipertrofi karena proses inflamasi
kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer atau sekunder. Rinitis medikamentosa karena
pemakaian obat topikal vasokontriktor yang berulang dalam waktu yang lama yang akan
menyebabkan fase dilatasi berulang (rebound dilation), keadaan ini diikuti dengan penurunan
sensitivitas reseptor alfa adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi7.
1

Penatalaksanaan rinitis tergantung dari rinitis nya, rinitis alergi dengan antihistamin dan bisa
juga dengan dekongestan nasal spray, rinitis atrofi diberikan dapat bersifat konservatif yaitu
pemberian antibiotika berspektrum luas atau dengan uji resistensi kuman, rinitis medikamentosa
hentikan pengobatan,obat dekonestan oral, rinitis hipertofi bisa dilakukan tindakan operatif
kepada konka, rinitis vasomotor bisa menghindari stimulus, dan dengan obat obatan
dekongestan7. Prognosis apabila faktor pencetus bisa dihindarkan atau dengan pengobatan yang
baik maka akan mendapatkan hasil yang baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
hidung luar, dapat dibedakan atas tiga bagian; yang paling atas, a) kubah tulang, yang tak dapat
digerakan; dibawahnya terdapat b) kubah kartilago yang sedikit bisa digerakan; dan yang
paling bawah adalah c) lobulus hidung yang mudah digerakan. Belahan bawah aperture hanya
kerangka tulangnya saja, memisahkan luar dengan hidung dalam. Disebalah superior, struktur
tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung,
semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina
perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus
maksilaris madeial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai
hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerakan, dibentuk
oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan
tepi atas kartilago septum kuadrangularis, sepertiga bawah hidung luar atau lobules hidung,
dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobules menutup vestibulum nasi dan
dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, dilateral oleh ala nasi dan anterosuperior oleh ujung
hidung, mobilitas lobules hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan
bersin. Otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas tulang pipi hidung, pipi anterior, dan
bibir atas menjamin mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong
hidung luar. Jaringan lunak di antara hidung dan dalam dibatasi di sebelah inferior oleh Krista
piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum nasi, dan tepi bawah kartilago
lateralis superior sebagai batas superior dan lateral. Struktur tersempit dari seluruh saluran
pernapasan atas adalah apa yang disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh ahli anatomi,
atau sebagai katup hidung.

Gambar 1.1 Anatomi hidung


2. Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior himgga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Selanjutnya, pada dinding lateral
hidung terdapat pula konka yaitu a) konka superior, b) konka media, c) konka inferior, dengan
rongga udara yang tidak teratur diantara nya meatus superior, meatus media dan meatus
inferior. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung, jumlah, bentuk, ukuran dan simetri bervariasi. Sinus sinus ini membentuk
rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang sesuai: sinus maksilaris,
sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok kelompok sel
etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara
4

ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mucus, dan bersilia, secret disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Selain itu terdapat duktus nasolakrimalis
bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media
merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel sel sinus
etmoidalis bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus
sfenoetmoidalis4.
Gambar 1.2 Anatomi Hidung Dalam

Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ
menjadi dua hidung. Bagian tualang dari septum terdiri dari 1) kartilago septum
(kuadrangularis) di sebelah anterior, 2) lamina perpindikularis tulang etmoidalis disebelah atas,
3) vomer dan rostum sphenoid di posterior dan suatu Krista di sebelah bawah, terdiri dari 4)
Krista maksila dan Krista palatine. Septum hidung dilapisi oleh mukosa hidung.

Gambar 1.3 Anatomi Septum Hidung


Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsiatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merukan tempat ventilasi dan dreanase dari sinus sinus yang letaknya di anterior yaitu
sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.

Gambar 1.3 Anatomi KOM


Sinus Paranasalis
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung, jumlah dan bentuk ukuran, dan simetris bervariasi. Sinus sinus ini membentuk
rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang sesuai ; sinus maksilaris,
sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Semuanya bermuara kedalam hidung, seluruh sinus dilapisi
oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus,
6

dan bersilia. Pada orang dewasa sinus berisi udara. Sinus maksilaris rudimenter, atau antrum
umumnya telah ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada masa kanak
kanak dalam tulang wajah.

Gambar 1.4 Anatomi sinus paranasal


3. Suplai Darah
Cabang sfenoplatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan
septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus
frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarai oleh suatu
cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbital serta alveolaris dari arteri maksilaris
interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus
sfenoidalis. Vena vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrane
mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum
di mana ia membentuk jaringan erktil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior dan sfenopalatina6.
Gambar 1.5 Suplai darah pada hidung

B. Rinitis Kronis
Rinitis Kronis merupakan suatu penyakit infeksi hidung yang berulang dengan tanda
adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka1. Rhinitis kronis dibagi dalam beberapa
macam yaitu rhinitis simplek kronis, rhinitis hipertrofi, rhinitis atrofi, rhinitis sika, dan
rhinitis kaseosa. Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai
pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa5.
1. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh raksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersenditisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Karakteristik klinis rinitis alergika adalah bersin, hidung tersumbat, beringus, dan gatal di
hidung, setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantai oleh IG E.
a. Etiologi Rinitis Alergi
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak - anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
b. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau, debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan, udang
kepiting
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan misalnya penisilin dan sengatan lebah
4. Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
8

c. Klasifikasi Rinitis Alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasrkan sifat berlangsungnya yaitu:
1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis ). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebab nya spesifik,
yauitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai lakrimasi )
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ii timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun.
d. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA Allergic
Rhinitis and its Impact on Astma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi :
1. Intermitan ( kadang kadang ) : apabila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukanngangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja
2. Sedang berat bila terdapatsatu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
e.

Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
10

GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1
pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Universitas Sumatera Utara Pada RAFC, sel
mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet
dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:

11

1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
f. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
adalah

terdapatnya serangan

bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang

normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
process).

Bersin

dianggap

patologik,

sendiri

(self

cleaning

bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,

terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala

lain

ialah

keluar

ingus

(rinore)

yang

encer

dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering
kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien.

g. Pemeriksaan Fisik

12

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain
pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering
juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
h. Pemeriksaan Penunjang
1.a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi.

Lebih bermakna

adalah

dengan RAST (Radio Immuno

Sorbent

Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
1.b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau

intradermal

yang

tunggal

atau

berseri

(Skin

End-point Titration/SET).

SET

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
13

yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET,

selain

alergen

penyebab

juga

derajat

alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji
kulit

seperti

tersebut

diatas

kurang

dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan

dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada

diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

i. Pengobatan
1. Menghindari allergen penyebab. Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dengan allergen,
menjauhkan allergen dari pasien.
Terapi simtomatik dengan obat obatan. Antihistamin oral merupakan senyawa kimia yang

2.

dapat melawan kerja histamine dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor
histamin. Antihistamin H1 yang sering digunakan adalah etanolamin, etilendiamin, akilamin,
fenotiazin, dan agen lain seperti siprohrptadin, hidroksizin dan piperazin. Diberikan juga suatu
dekongestan secara tunggal atau dengan antihistamin H1 lokal atau peroral pada pengobatan
rinitis alergika7.
j. Prognosis
Pasien rinitis alergi yang tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki
prognosis baik.
2.Rinitis Atrofi
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka7. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan
jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
terutama pada umur sekitar pubertas.

14

a. Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan patofgenesis rinitis alergi dikemukakan, antara lain:
1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies klebsiella, terutama
klebsiela ozaena. Kuman yang lainnya juga sering ditemukan adalah stafilokokus, streptokokus
dan pseudomonas aeruginosa. 2) defisiensi FE, 3) defiensi vitamin A, 4) sinusitis kronik, 5)
kelainan hormonal, 6) penyakit kolagen, yang termasuk pentyakit autoimun7.

b. Patogenesis
Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik dan
fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan
ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara
patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian

besar

kasus

merupakan

tipe

I.

Endarteritis

di

arteriole

akan

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali
yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan
saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie
mendeteksi adanya antibody yang
surfaktan

berlawanan

dengan

surfaktan

protein A.

Defisiensi

merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi Fungsi

surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai
pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya
lendir dan juga diperberat

dengan keringnya mukosa hidung dan

hilangnya

silia.

Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
15

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :


-

Mukosa hidung, berubah menjadi lebih tipis


Silia hidung, silia akan menghilang
Epitel hidung, terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak sial menjadi epitel kubik
Kelenjar hidung mengalami degenerasi atrofi atau jumlah nya berkurang8.

c. Gejala klinis
Keluhan biasanya berupa napas berbau ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat 7. Keluhan lain
dari rinitis atrofi yaitu penurunan penciuman, nyeri kepala dan epistaksis9. Meskipun jalan napas
jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas
lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke system saraf pusat telah bergerak
semakin jauh dasri gambaran.
Pada pemeriksaan hidung, didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media
menjadi hipertrofi atau atrofi, ada secret purulen dan krusta yang berwarna hijau7.
d. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan dapat bersidat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong
dilakukan pembedahan.
Pengobatan konservatif. Diberikan antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji
resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat
hasil proses infeksi serta secret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang
dapat digunakan dalam larutan garam hipertonik. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan
dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat. Air masuk nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, larutan ini dipakai 2 kali sehari.
Pengobatan operatif, jika dengan pengobatan tidak ada apa perbaikan maka dilakukan tindakan
operatif. Tindakan ini bertujuan untuk menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi
pengeringan dan pembentukan krusta, mengistirahatkan mukosa dan memungkinkan terjadi
regenerasi. Tekinik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal10 9.
e. Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan penyakitnya.
16

3. Rinitis hipertofi
Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukan perubahan mukosa hidung pada konka
inferior ynag mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi
infeksi bakteril, misalnya sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat hidung yang
tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Secret biasanya banyak dan
mukopurulen.
Pada pemeriksaan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya
berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya pasase udara dalam rongga
hidung menjadi sempit. Secret mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan sptum
dan juga di dasar rongga hidunh.
Tujuan terapi adlah mengatasi factor-faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis
hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat
dilakukan kausatik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau dengan kauter
listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak menolang, dapat dilakukan luksasi konka, frakturisasi
konka multiple, konkoplasti atau bila perlu dilakukan konkotomi parsial7.
4. Rinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis. Gejalanya mirip dnegan rinitis
alergi, tetapi bukan suatu reaksi allergi atau inflamasi. Rinitis ini digolongkan menjadi no alergi
bila adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diindentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai ( anamnesis, tes kulit, kadar antibody IgE spesifik serum).
a. Etiologi
Belum diketahui, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal;
1. Neurogenik (disfungsi system otonom). Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter
moradrenalin dan neropeptida Y yang menyebabkan vosokontriksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan
adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
17

2. Neuropeptida, pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C dihidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan penimgkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar.
3. Oabat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamine, klorpormazine, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor local
4. Faktor fisik, iritasi asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang dingin, dan bau
yang merangsang
5. Factor endokrin, seperti kehamilan, pubertas, hipertiroidisme
6. Factor pisikis, seperti cemas, tegang.

b. Patofisiologi
Rangasangan saraf simpatis akan menyebabkan terlepasnya asetilkolin, sehingga
terjadi dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler
dan sekresi kelenjar, sedangkan rangsangan sraf simpatis mengakibatkan sebaliknya.

c. Mainifestasi klinis
Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien, rinorea yang
mucus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin, dan tidak disertai gatal
dimata. Gejala memburuk pada pagi hari atau bangun tidur karena udara yang ektrim,
udara lembab, dan juga karena asep rokok dan sebgainya. Berdasarkan gejala yang
menonjol, dibedakan atas golongan obstruksi (tersumbat), rinore (runner) dan golongan
bersin(sneezers). Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukan gambaran klasik berupa
ademe mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau tua atau berwarna pucat,
permukaan berbenjol. Pada rongga hidung biasa nya mukoid, pada golongan rinore biasa
sekret yang ditemukan serosa dan dalam jumlah banyak.
d. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan periksaan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit
biasanya negative. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.
18

e. Penatalaksanaan
Di cari faktor yang mempengarhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Terapi bervariasi, tergantung factor penyebab dan gejala yang
-

menonjol secara umum terbagi atas:


Menghindari penyebab
Pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka yang
hipertrofi dengan nitras argenti 25% atau trikloroasetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya budesonid, dengan dosis 2x100-200, dapat ditigkatkan

sampe 400 mikrogram, sehari.


Operasi, dengan bedah beku, elekrokauter, atau konkatomi konka inferior.
Neurotomi nervus vidianus sebagai saraf otonom mukosa hidung, jika cara-cara di atas
tidak berhasil. Operasinya tidak mudah dan komplikasinya cukup berat7 9.
f. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat

membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resistensi terhadap pengobatan yang diberikan.

5. Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakain vasokonstriktor topikal ( tetes hidung atau
semprot hidung ) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse).
a. Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ sangat peka terhadap rangsangan atau iritan,
sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokontriksi. Obat topikal vasokontriktor
dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan
berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.
Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi,
sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih
19

sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar
agonis alfa adrenergic yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan
penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu
toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasikontriksi (dekongestan
mukosa hidung) menghilang. Akan tetapi terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa
hidung. Keadaan ini juga dsebut sebagai rebound congestion.
b. Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan
tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi
tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
c. Penalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari.
Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)7.
d. Prognosis
Pasien yang menghentikan pemakaian obat-obatan tetes hidung akan menunjukan
penyembuhan sempurna7.

20

BAB III
KESIMPULAN
Rinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di hidung. Menurut
sifatnya rinitis dibagi menjadi dua yaitu rinitis akut dan rinitis kronis. Rinitis kronis merupakan
suatu penyakit infeksi hidung yang berulang dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan
mukosa konka.
Rinitis kronis adalah rinitis simplek kronis, rhinitis hipertrofi, rhinitis atrofi, rinitis sika,
dan rinitis kaseosa. Rinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada
rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi, dan rinitis hipertrofi.
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang, keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadangkadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh
gejala konjungtivitis alergi. Gejala rinitis atrofi yaitu Keluhan biasanya berupa napas berbau ada
ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala
dan hidung merasa tersumbat. Gejala utama rinitis hipertrofi adalah sumbatan hidung atau gejala
di luar hidung akibat hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan
tidur. Secret biasanya banyak dan mukopurulen. Gejala rinitis medikamentos pasien mengeluh
hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi
konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Dalam pengobatan yang sesuai akan ada perbaikan
dalam setiap penyakitnya.

21

Daftar Pustaka

1. Jumarto arif, Hartanto Rudy, Prastiyanto Didik. (2009). Aplikasi Jaringan Saraf Tiruan
Backpropagation Untuk Memprediksi Penyakit THT Di Rumah Sakit Mardi Rahayu
Kudus. Jurnal Teknik Elektro. Vol. 1. No. 1.
2. Wallace, D.V., Dykewicz, M.S., Bernstein, D.I., Bernstein, I.L., Blessing-Moore, J., Cox,
L. et al. The Joint Force on Practice Parameters, representing the AAAAI, ACAAI,
JCAAI. The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice parameter. J
Allergy Clin Immunol. 2008; 122: S1S84
3. Bousquet, J., Khaltaev, N., Cruz, A.A., Denburg, J., Fokkens, W.J., Togias, A. et
al. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update (in collaboration with
the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen). Allergy. 2008; 63: 8160
4. Riset Kesehatan Dasar. Diakses : 24 Desember 2015. Terdapat pada:
http://www.depkes.go.id/Riskesda/2013.
5. Acute And Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L Disease Ear, Nose And Throat. Edisi 4.
New Delhi. Gapson Paper LTD. 2007. Hal: 145-8.
6. Adams, L. G. et al. anatomi hidung. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 1997.p. 174-176.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rinitis Alergi. Dalam Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2012. p.128-144.
8. Moore EJ, Kern EB. Atropic Rhinitis: A Review of @$@ Cases. In: American Journal of
Rhinology. Vol. 15. 2001: 355-61.
9. A. Mansyoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Satu, FK UI, Jakarta; 2001.p.
100-101.
10. Braun et al. Atrophic Rhinitis - Empty Nose Syndrome: A Clinical, Endoscopic and
Radiological Entity. Journal of Otology & Rhinology 2014.3:4

22

Anda mungkin juga menyukai