Anda di halaman 1dari 45

Tutorial Klinik

MENINGOENCEPHALITIS

Disusun oleh
Maria Monasias N 1610029012
Gita Rosalina 1610029071

Pembimbing
dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang
menutupi otak dan medula spinalis). Encephalitis adalah peradangan jaringan otak
yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medulla spinalis.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan otak.
Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di
banyak negara, insidens sebenarnya masih belum diketahui. Meningitis bakterial
terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-negara
Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih
sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering terjadi pada
musim panas.
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada
meningitis yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan
gambaran yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain
(lyme disease, sifilis dan tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak,
abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID,
immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bakterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus.

1.2. Tujuan Penulisan


1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalakasanaan terhadap
meningoencephalitis.

2
BAB II

STATUS PASIEN

Allonamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 29 September 2016.


Alloanamnesis diberikan oleh ibu pasien.

1. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : an. A
Usia : 4 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jl. Pasundan RT. 27 No. 43 Samarinda
Anak ke : 2

Identitas Orangtua
Nama Ayah : Tn. MS
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : SMP
Ayah perkawinan ke : 1
Nama Ibu : Ny. IS
Usia : 31 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMK
Ibu perkawinan ke :1

Tanggal MRS : 29 September 2016


Tanggal pemeriksaan : 29 September 2016

3
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan penurunan kesadaran, dirujuk dari RS Dirgahayu
dengan encephalitis post extubasi 2 hari sebelumnya. Riwayat kejang
sebanyak 2 kali. Kejang pertama berdurasi > 5 menit pada 23 September
2016 pukul 23.00. Kejang kedua berdurasi > 30 menit pada 24 September
2016 (5 hari sebelum masuk rumah sakit) pukul 10.00. Tidak ada riwayat
kejang sebelumnya. Demam 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu


-
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lainnya yang memiliki keluhan serupa. Ibu
menderita hipertensi. Tidak ada riwayat alergi di keluarga.

Riwayat Sosio-ekonomi
1. Pasien tinggal bersama bapak, ibu, kakak, adik, dan nenek.
2. Rumah terbuat dari beton, terdapat 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, 1
dapur, kamar mandi dengan wc di dalam rumah. Ventilasi cukup.
3. Jarak rumah satu dengan yang lainnya dekat.
4. Sumber air minum : air yang dimasak. Sumber air untuk MCK : air
PDAM.
5. Listrik dari PLN.

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Berat badan sekarang : 14 kg
Tinggi badan sekarang : 108 cm
Gigi keluar : 8 bulan

4
Tersenyum : -
Miring : -
Tengkurap : 3,5 bulan
Duduk : 5 bulan
Merangkak : -
Berdiri : 8 bulan
Berjalan : 9 bulan
Berbicara 2 suku kata : 8 bulan

Makan dan minum anak


ASI : -
Susu sapi/ buatan : +
Jenis susu : -
Takaran : -
Bubur susu : -
Tim saring : -
Buah : +
Lauk dan makan padat : +

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit Kehamilan : -
Obat-obatan yang sering diminum : vitamin dan tablet Fe

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah Sakit
Persalinan ditolong oleh : dokter
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : sectio cesarea

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak : baik
Keluarga berencana : Ya

5
Riwayat Imunisasi Dasar
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+)
Campak (+) (+) //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) ////////////
Hepatitis B (+) (+) (+)

1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 September 2016

Keadaan umum : lemah


Kesadaran : GCS E2V2M3

Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 102 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 25 x/menit, regular
Suhu : 36,7oC, aksiler
Tekanan Darah : 100/50 mmHg

Status gizi :
Berat badan : 14 kg
Tinggi Badan : 108 cm
BB/U : di antara +2 SD dan -2 SD (gizi baik)
PB/U : di antara +2 SD dan -2 SD (normal)
BB/TB : di antara -3 SD dan -2 SD (kurus)

Berdasarkan kurva z-score, status gizi pasien tersebut adalah normal.


Pasien tidak mengalami gangguan pertumbuhan namun tergolong kurus.

6
Regio Kepala/Leher
1. Bentuk kepala normal, rambut berwarna hitam
2. Ubun-ubun besar cekung (-),ubun-ubun besar cembung (-)
3. Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sianosis (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), pupil anisokor (-)
4. Pernapasasan cuping hidung (-)
5. Faring hiperemis (-)
6. Mulut berselaput putih (-)
7. Kaku kuduk (-)

Regio Thorax
Paru-paru
1. Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi intercosta (-)
2. Palpasi : Pergerakan dada simetris, raba fremitus simetris
3. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
4. Auskultasi : Suara napas simetris, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba pada midclavicula line ICS V sinistra
3. Perkusi : Batas jantung kanan : parasternal line dekstra,
Batas jantung kiri : midclavicula line ICS V sinistra
4. Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Regio Abdomen
1. Inspeksi : kontur datar
2. Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
3. Perkusi : Distribusi timpani di keempat kuadran, shifting dulness
(-)
4. Palpasi : Soefl, defans muskular (-), hepar dan lien dalam batas
normal, nyeri tekan abdomen di empat kuadran (-)

7
Regio Ekstremitas
1. Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), petekie (-)
2. Palpasi : Akral hangat, edema (-), nyeri tekan (-), refleks
fisiologis normal, refleks patologis (-), tanda kernig (+),
tonus otot 2 2
2 2

1. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah
Tanggal 29 September 2016

Hb 11,1

Hct %

Leukosit 11.000

Trombosit 232.000

LED -

GDS -

Radiologi
- Rontgen thorax: pulmo: bronkopneumonia, cor dalam batas
normal.
- CT Scan kepala: kesan: infark cerebri bilateral dd subdural
hematoma di sinus sagitalis superior bagian occipital, odem
serebri.

LCS
- Pewarnaan gram : coccus gram positif
- Selected organism: Staphylococcus haemolyticus

Tes kepekaan antibiotik (7/10/2016)


8
- Quinupristin/Dalfopristin, S
- Linezolid, S
- Vancomycin, S
- Tetrasiklin, S
- Resisten terhadap antibiotik lainnya

2. Diagnosis IGD
Susp. Encephalitis dd Meningoencephalitis

3. Penatalaksanaan IGD
1. Terapi Suportif :
- O2 NRM 5 lpm
- Co Sp.A

4. Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam

5. Follow up
HARI/TANGGAL PEMERIKSAAN PLANNING

25 Oktober 2016 S: Demam naik turun, kejang (-) P: IVFD D5 ½ NS 1200 ml/24 jam

O: E1V3M4, BB: 14 kg, Nadi: 120 Inj. Vancomisin 210 mg/8jam


x/mnt, RR: 20 x/mnt, anemis (-/-),
Captopril 7 mg/ 12 jam
ikterik (-/-) vesikuler, wheezing (-/-
Spironolacton 14 mg/24 jam
), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
Lasix 14 mg/12 jam
distensi (-), bising usus (+) N,
Valsartan 15 mg/24 jam
ekstremitas akral hangat, spastik
Susu peptamen 6 x 100 cc
(+)
MLP 2x/hr
A: Meningoencephalitis bacterial +
rubella infection + gizi kurang +
hipertensi

9
26 Oktober 2016 S: demam (+), kejang (-) P: IVFD D5 ½ NS 1200 ml/24 jam

O: E1V2M3, BB: 14 kg, Suhu: Inj. Vancomisin 210 mg/8jam


38,1°C, Nadi: 149 x/mnt, RR: 33
Captopril 7 mg/ 12 jam
x/mnt, TD: 130/61 mmHg, anemis
Spironolacton 14 mg/24 jam
(-), ikterik (-) vesikuler, wheezing
Lasix 14 mg/12 jam
(-/-), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
Valsartan 15 mg/24 jam
distensi (-), bising usus (+) N,
Susu peptamen 6 x 100 cc
ekstremitas akral hangat, CRT < 3’’
MLP 2x/hr
A: Meningoencephalitis bacterial + Injeksi Paracetamol 4 x 150 mg
rubella infection + gizi kurang +
hipertensi

27 Oktober 2016 S: demam ↑↓, kejang (-) P: infus D5 ½ NS 1200 cc/24 jam

Inj. Vancomisin 210 mg/8 jam


O: KU lemah, E1V2M2, BB: 14
kg, Suhu: 38,1°C, Nadi: 112 x/mnt, Po. Captopril 7 mg/12 jam
RR: 26 x/mnt, TD: 115/57 mmHg,
Spironolakton 14 mg/24 jam
anemis (-), ikterik (-) vesikuler,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-), Lasix 14 mg/12 jam
abdomen soefl, distensi (-), bising
Valsartan 15 mg/24 jam
usus (+) N, ekstremitas akral
hangat, CRT < 3’’, spastik + + Nifedipine 1,4 mg/6 jam
+ +
Jika krisis HT, TD sistol > 164/ TD
A: Meningoencephalitis bacterial +
diastol > 102, extra nicardipin 1,4 mg
rubella infection + gizi kurang +
sublingual
hipertensi
Susu peptamen 6 x 100 cc

MLP 2x/hari

28 Oktober 2016 S: demam kadang-kadang, kejang P: infus D5 ½ NS 1200 cc/24 jam


(-)
Inj. Vancomisin 210 mg/8 jam

10
O: KU lemah, E2V3M3, BB: 14 Po. Captopril 7 mg/12 jam
kg, Suhu: 37,8°C, Nadi: 110 x/mnt,
Spironolakton 14 mg/24 jam
RR: 25 x/mnt, TD: 113/57 mmHg,
anemis (-), ikterik (-) vesikuler, Lasix 14 mg/12 jam
wheezing (-/-), ronkhi (-/-),
Valsartan 15 mg/24 jam
abdomen soefl, distensi (-), bising
usus (+) N, ekstremitas akral Nifedipine 1,4 mg/6 jam
hangat, CRT < 3’’, spastik + +
Jika krisis HT, TD sistol > 164/ TD
+ +
diastol > 102, extra nicardipin 1,4 mg
A: Meningoencephalitis bacterial +
sublingual
rubella infection + gizi kurang +
hipertensi membaik Susu peptamen 6 x 100 cc

MLP 2x/hari

29 Oktober 2016 S: demam naik turun, kejang (-) P: infus D5 ½ NS 1200 cc/24 jam

O: KU lemah, E2V3M3, BB: 14 Inj. Vancomisin 210 mg/8 jam


kg, Suhu: 38,1°C, Nadi: 118 x/mnt,
Inj. Paracetamol 150 mg/6 jam
RR: 21 x/mnt, TD: 142/85 mmHg,
anemis (-), ikterik (-) vesikuler, Po. Captopril 7 mg/12 jam
wheezing (-/-), ronkhi (-/-),
Spironolakton 14 mg/24 jam
abdomen soefl, distensi (-), bising
usus (+) N, ekstremitas akral Lasix 14 mg/12 jam
hangat, CRT < 3’’,
Valsartan 15 mg/24 jam

A: Meningoencephalitis bacterial + Nifedipine 1,4 mg/6 jam


rubella infection + gizi kurang +
Jika krisis HT, TD sistol > 164/ TD
hipertensi
diastol > 102, extra nicardipin 1,4 mg
sublingual

Susu peptamen 6 x 100 cc

MLP 2x/hari

11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Fisiologi
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis
cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Piameter : Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang
belakang, mengikuti tiap sulkus dan girus. Piameter ini merupakan
lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri atas jaringan
penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi
nutrisi pada jaringan saraf.
b. Arachnoid : Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piameter dan durameter.
Membran ini dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaitu
spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum subarachnoid
yang berisi cerebrospinal fluid.
c. Durameter : Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara
konvensional durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal
dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat,
kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan
membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya
merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam
tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan
durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial
durameter.

13
Gambar 1: Anatomi meningeal

II. Meningitis
Meningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges, lapisan yang
tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,
disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi secara
akut dan kronis.
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid
dan piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada
MB, terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya
proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim
otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke
medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga
sebagai penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang
sembuh dari meningitis bakterial.

1. Etiologi
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Nisseria meningitidis,
Streptococcus pneumonia, dan Haemophylus influenza.
Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan umur :

14
1. Neonatus : Escerichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria
monositogenes
2. Anak di bawah 4 tahun : Hemofilus influenza, Meningococcus, Pneumococcus.
3. Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus.

Tipe Meningitis
• Meningitis Kriptikokus
adalah meningitis yang disebabkan oleh jamur kriptokokus. Jamur ini bisa
masuk ke tubuh kita saat kita menghirup debu atau tahi burung yang kering.
Kriptokokus ini dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian tubuh lain.
Meningitis Kriptokokus ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 di
bawah 100.

Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus
dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen ( sebuah protein)
yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur
kriptokokus dari contoh cairan. Tes CRAG cepat dilakukan dan dapat
memberi hasi pada hari yang sama. Tes biakan membutuhkan waktu satu
minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang
belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India.

• Viral meningitis
Termasuk penyakit ringan. Gejalanya mirip dengan sakit flu biasa, dan
umumnya si penderita dapat sembuh sendiri. Frekuensi viral meningitis
biasanya meningkat di musim panas karena pada saat itu orang lebih sering
terpapar agen pengantar virus. Banyak virus yang bisa menyebabkan viral
meningitis. Antara lain virus herpes dan virus penyebab flu perut.

• Bacterial meningitis
disebabkan oleh bakteri tertentu dan merupakan penyakit yang serius. Salah
satu bakterinya adalah meningococcal bacteria. Gejalanya seperti timbul
bercak kemerahan atau kecoklatan pada kulit. Bercak ini akan berkembang

15
menjadi memar yang mengurangi suplai darah ke organ-organ lain dalam
tubuh dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

• Meningitis Tuberkulosis Generalisata


Gejala : demam, mudah kesal, obstipasi, muntah- muntah, ditemukan tanda-
tanda perangsangan meningen seperti kaku kuduk, suhu badan naik turun,
nadi sangat labil/lambat, hipertensi umum, abdomen tampak mencekung,
gangguan saraf otak.
Penyebab : kuman mikobakterium tuberkulosa varian hominis.
Diagnosis : Meningitis Tuberkulosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
cairan otak, darah, radiologi, test tuberkulin.

• Meningitis Purulenta
Gejala : demam tinggi, menggigil, nyeri kepala yang terus-menerus, kaku
kuduk, kesadaran menurun, mual dan muntah, hilangnya nafsu makan,
kelemahan umum, rasa nyeri pada punggung serta sendi.
Penyebab: Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitides
(meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa.
Diagnosis : dilakukan pemeriksaan cairan otak, antigen bakteri pada cairan
otak, darah tepi, elektrolit darah, biakan dan test kepekaan sumber infeksi,
radiologik, pemeriksaan EEG.

2. Patogenesis dan Patofisiologi


Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput otak
(meningen terdiri dari durameter, arakhnoid dan piameter) dan secara
kimiawi oleh sawar darah otak. Istilah meningitis merujuk pada infeksi yang
menyerang meningen. Infeksi yang ada menyebabkan selamput meningen
meradang dan membengkak, dan proses inflamasi yang adamerangsang
reseptor nyeri yang ada pada selaput itu, sehingga menimbulkan gejala nyeri
dan kaku kuduk.

16
Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial dengan berbagai cara. Secara
alami bisa penyebaran secara hematogen dan infeksi di nasofaring atau
perluasan infeksi dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau infeksi
telingah tengah. Infeksi bakteri pada SSP juga dapat terjadi karena trauma
kepala yang merobek duramete, atau akibat tidakan bedah saraf.
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring.
Bakteri menghasilkan imunoglobulin A protease yang bisa merusak barrier
mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring
setelah menempel pada sel epitel bakteri menyelinapmelalui celah antar sel
dan masuk ke aliran darah.
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterialis akut mempunyai
kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen sehingga
bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya
menghadangstruktur asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri
kemudian akan mencapai kapiler susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang
subaraknoid. Kurangnya pertahanan seluler di dalam ruang subarakhnoid
membuat bakteri yang ada bermultiplikasi.
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi
inflamasi yang disebabkan adanya komponen diniding sel bakteri. Endotoksin
(bagian dari dinding sel bakteri gram negatif) akan menyebabkan sel-sel
endotelial dan sel glia lainnya melepaskan sitokin pro inflamasi terutama
tumor necrosing factor (TNF) dan interleukin α dan β ( IL-1).
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin ( meliputi
pelepasan IL-6, platelet activating factor dan leukotrien) yang akan merusak
sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya
leukosit dan komplomen ke dalam ruang subaraknoid disertsi masuknya
albumin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya edema vasogenik di otak.
Leukosit dan mediator–mediator pertahanan tubuh lainnya akan
menyebabkan perubahan perubahan patologis lebih lanjut (seperti trombosis
vena dan dan vaskulitis ) sehingga akan terjadi iskemi otak dan dapat
menimbulkan edema sitotoksik di otak. Proses inflamasi lebih lanjut akan
menyebabkan gangguan reabsorbsi cairan serebrospinal di granula arakhnoid

17
yang berakibat meningkatnya TIK sehingga dapat menimbulkan edema
interstisial di otak. Keadaan edema otak itu akan diperberat dengan
dihasilkannya asam arakhidonat dan metabolitnya yang dikeluarkan oleh sel
otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan dari leukosit PMN.

3. Manifestasi Klinis
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus,
yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam
sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda Kernig’s dan Brudzinky
positif.
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia penderita serta
virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam
yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya
penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan
kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Gejala pada bayi yang
terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit,
tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku,
dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan.

4. Diagnosis
1. Segera lakukan pemeriksaan fisik umum dan nerologi pada kecurigaan
meningitis bakterialis untuk menemukan sumber infeksi, penyakit yang
mendasari dan kontraindikasi tindakan LP.
2. Segera ambil darah untuk pemeriksaan rutin dan kultur bakteri.
3. Lakukan pemeriksaan CT-Scan/ MRI, berikan dahulu antibiotika empirik
(sesuai umur dan kecurigaan bakteri penyebab.
4. Berikan dexametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian dosis
pertama antibiotika.

18
5. Jika LP tertunda sedapat mungkin LP dilakukan dalam 2-3 jam setelah
pemberian antibiotik agar masih dapat menjumpai bakteri atau gambaran
CSS yang khas.

5. Cara Pencegahan
Kebersihan menjadi kunci utama proses pencegahan terjangkit virus atau
bakteri penyebab meningitis. Ajarilah anak-anak dan orang-orang sekitar
untuk selalu cuci tangan, terutama sebelum makan dan setelah dari kamar
mandi. Usahakan pula untuk tidak berbagi makanan, minuman atau alat
makan, untuk membantu mencegah penyebaran virus. Selain itu lengkapi
juga imunisasi termasuk vaksin-vaksin seperti HiB dan MMR.

6. Penatalaksanaan
a. Rejimen terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola
resistensi antibiotika setempat (jika data tersedia). Jika tidak ada data local
yang tersedia, dapat diikuti rekomendasi umum sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 2.
b. Sesuaikan antibiotika segera setelah hasil kultur didapatkan.
c. Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotika. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB (10 mg per
pemberian pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2 – 4 hari.
d. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan
penyebabnya adalah H. influenza atau N. meningitides
e. Pada kecurigaan infeksi N.meningtidis berikan kemoprofilaksis kepada
(lihat Tabel 3) :

 Orang yang tinggal serumah


 Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan
pasien
 Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan
pasien dalam 7 hari terakhir.
 Murid sekolah yang sekelas dengan pasien

19
 Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan secret
mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir.

Tabel 2. Terapi empiris pada meningitis bakteralis


Pasien Bakteri penyebab yang Antibiotika
sering

Neonatusa Streptokokus grup B. Listeria Ampisilin plus


sefotaksim
Monocytogenes, Escherichia
coli

2 bulan – 18 tahun Neisseria meningitides, Seftriaksonb atau


Streptococcus pneumonia, sefotaksimc, dapat
Hemophilus influenza ditambahkan
vankomisind

18 – 50 tahun S. pneumonia, N. meningtidis Seftriaksonb, dapat


ditambahkan
vankomisind

> 50 Tahun S. pneumonia, L. vankomisind ditambah


monocytogenes, bakteri gram ampisiline, ditambah
negative Seftriaksonb

a. Dosis sesuai umur, berat dan prematuritas


b. Anak : 100 mg/kg/hari IV atau IM dalam dosis terbagi q12h, dosis
maksimum 2 gram/hari
Dewasa : 2 gram IV atau IM q12h, dosis maksimum 4 gram sehari.
c. Anak : 200 mg/kgBB/hari IV dibagi q6h. Dewasa : 2 gram/hari q4-6h.
Dosis maksimum 12 g/hari
d. Anak : 60 mg/kgBB/hari dibagi q6h. Dewasa : 1 gram IV q12h.
e. Anak : 200 – 400 mg/kgBB/hari IV dibagi q4h. Dewasa : 2 gram IV q4h.
Dosis maksimum 12 g/hari.

Tabel 3. Rejimen profilaksis pada infeksi N. meningitides


Nama Obat Dosis sesuai umur

Rifampisina ≤ 1 bulan : 5 mg/kgBB > 1 bulan : 10 mg/kgBB


p.o.q12h untuk 2 hari (maksimum 600 mg),
p.o.q12h untuk 2 hari

20
Seftriakson ≤ 12 tahun : 125 mg IM > 12 tahun : 250 mg IM
dosis tunggal dosis tunggal

Siprofloksasinb < 18 tahun : tidak ≥ 18 tahun : 500 mg p.o


direkomendasikan dosis tunggal.
a
Jangan diberikan pada ibu hamil, hati-hati pada ibu yang minum obat KB
b
Jangan diberikan kepada ibu hamil dan menyusui

7. Komplikasi
a. Komplikasi segera : edema otak, hidrosefalus, vaskulitis, thrombosis sinus
otak, abses efusi subdural, gangguan pendengaran.
b. Komplikasi jangan panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada pasien anak, epilepsi.

8. Prognosis
Prognosis meningitis bakterialis tergantung pada kecepatan mendiagnosis
dan memberi terapi. Dengan pemberian antibiotika yang tepat penyakit ini
pada umumnya dapat diatasi, walaupun seringkali kematian disebabkan oleh
hebatnya respon imunologi pada pasien. Kematian paling banyak ditemukan
pada pasien terinfeksi S. pneumoniae dan pasien yang dating dengan
penurunan kesadaran. Deksametason terbukti menurunkan kematian dan
gejala sisa neurologi pada pasien dan anak dan dewasa, khususnya di negara
maju. Tidak ada data dari negara berkembang yang menunjukkan keunggulan
pemberian deksametason.

III. Ensefalitis
Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang
disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai
dengan gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis.
Penyakit ini dapat ditegakkan secara pasti dengan pemeriksaan
mikroskopik dari biopsi otak, tetapi dalam prakteknya di klinik, diagnosis ini
sering dibuat berdasarkan manifestasi neurologi, dan temuan epidemiologi,
tanpa pemeriksaan histopatologi.

21
Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja yang memberikan kesan
adanya ensefalitis, tetapi tidak ditemukan adanya peradangan otak dari
pemeriksaan patologi anatomi, maka keadaan ini disebut sebagai ensefalopati
Jika terjadi ensefalitis, biasanya tidak hanya pada daerah otak saja yang
terkena, tapi daerah susunan saraf lainnya juga dapat terkena. Hal ini terbukti
dari istilah diagnostik yang mencerminkan keadaan tersebut, seperti
meningoensefalitis.
Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat
dibandingkan meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal,
seperti kaku kuduk, maka penanganan penyakit ini harus diketahui secara
benar. Karena gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah
kelainan atau gangguan pada kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran
secara menetap.
Tentunya keadaan seperti diatas tidak terjadi dengan begitu saja,tetapi hal
tersebut dapat terjadi apabila infeksi pada jaringan otak tersebut mengenai
pusat-pusat fungsi otak. Karena ensefalitis secara difus mengenai anatomi
jaringan otak, maka sukar untuk menentukan secara spesifik dari gejala klinik
kira-kira bagian otak mana saja yang terlibat proses peradangan itu.
Angka kematian untuk ensefalitis masih relatif tinggi berkisar 35-50% dari
seluruh penderita.Sedangkan yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang
nyata dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin menderita retardasi
mental dan masalah tingkah laku.

Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis,
misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab
yang terpenting dan tersering ialah virus.
Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi
radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Berbagai jenis
virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama sesuai
dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam
ensefalitis virus.

22
IV. Meningoencephalitis
Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang
menutupi otak dan medula spinalis). Encephalitis adalah peradangan jaringan otak
yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medulla spinalis.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan otak.

1. Epidemiologi
Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di
banyak negara, insidens sebenarnya masih belum diketahui. Meningitis
bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-
negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis
virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering
terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi,
yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah
mengalami epidemik meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari
satu abad, sehingga disebut “sabuk meningitis”. Epidemik biasanya terjadi
dalam musim kering, dan gelombang epidemik bisa berlangsung dua atau tiga
tahun, mereda selama musim hujan. Angka serangan dari 100–800 kasus per
100.000 orang terjadi di daerah ini yang kurang terlayani oleh pelayanan
medis. Kasus-kasus ini sebagian besar disebabkan oleh
meningokokus. Epidemik terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah
melanda seluruh wilayah ini pada 1996–1997, yang menyebabkan lebih dari
250.000 kasus dan 25.000 kematian.
Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana orang
tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama
mobilisasi, kampus perguruan tinggi dan ziarah Haji tahunan. Walaupun pola
siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor sudah
dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk meningits. Faktor-
faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh penduduk),
kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam jumlah
besar), kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi

23
kehidupan yang miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu), dan
infeksi konkuren (infeksi pernafasan akut).
Ada perbedaan signifikan dalam distribusi lokal untuk kasus meningitis
bakterial. Contohnya, N. meningitides grup B dan C menyebabkan
kebanyakan penyakit di Eropa, sedangkan grup A ditemukan di Asia dan
selalu menonjol di Afrika, di mana bakteri ini menyebabkan kebanyakan
epidemik besar di daerah sabuk meningitis, yaitu sekitar 80% hingga 85%
kasus meningitis meningokokus yang didokumentasikan.

2. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada
meningitis yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan
gambaran yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain
(lyme disease, sifilis dan tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak,
abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID,
immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bakterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus.

Tabel 1. Penyebab meningitis bakterialis


Neonatus (usia <3 Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria
bulan)
Bayi dan anak (usia >3 monocytogenes
S. pneumonia; N. meningitidis; H. inf uenzae
bulan) usia <50
Dewasa S. pneumonia; N. meningitides
tahun
Dewasa usia >50
(imunokompeten S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
)tahun
Fraktur monocytogenes
Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus
kranium/pasca-bedah aureus; bakteri gram negatif (Klebsiella,
saraf
Proteus, Pseudomonas, E. coli); Streptococcus grup A
Kebocoran CSS dan D; S.gram
Bakteri pneumonia;
negatif; H. inf uenzae
S. Pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes

24
Imunodefi siensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S.
pneumonia; Pseudomonas aeruginosa; Streptococcus
grup B; Staphylococcus aureus

Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus


golongan enterovirus di mana termasuk di dalamnya adalah coxsackieviruses,
echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan
enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis viruses)
adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan meningoencephalitis.
Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu HSV, EBV, CMV
lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps adalah virus yang
paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak tervaksinasi sebelumnya.
Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningitis yaitu Borrelia burgdorferi
(lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis, Toxoplasma,
Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection.
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau (2)
sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa
hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

25
Tabel 2. Virus penyebab meningoensefalitis
Akut Subakut
Adenoviruses HIV
1. Amerika utara JC virus
 Eastern equine Prion-associated encephalopathies
encephalitis (Creutzfeldt-Jakob disease, kuru)
 Western equine
encephalitis
 St. Louis encephalitis
 California encephalitis
 West Nile encephalitis
 Colorado tick fever
2. Di luar amerika utara
 Venezuelan equine
encephalitis
 Japanese encephalitis
 Tick-borne
encephalitis
 Murray Valley
encephalitis
Enteroviruses
Herpesviruses
 Herpes simplex
viruses
 Epstein-Barr virus
 Varicella-zoster virus
 Human herpesvirus-6
 Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic choriomeningitis virus
Measles virus (native atau vaccine)

26
Mumps virus (native atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella

Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis


juga dapat merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik
dan gangguan neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis
di U.S adalah golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile
encephalitis viruses), enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting
encephalitis pada anak dan dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.3

3. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti
(sinusitis, mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1 bulan
adalah Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-
10% kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada
golongan usia ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan
streptococcus grup B lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena
bakteri golongan gram negatif frekuensinya mulai menurun. Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini
menyebabkan kebanyakan kasus meningitis bakterial. H. influenzae dapat
menginfeksi khususnya pada anak-anak yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang
memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi
sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat

27
penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh
darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses
opsonisasi oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu pasteurella
multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing.
Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan
morbiditas dan mortalitaas yang tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai
menyebabkan meningitis pada bayi berumur < 6 bulan. Infeksi bermula saat
ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial
dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal
melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi
infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya antibody tertentu
saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator
dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor
necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric
oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator inflamasi ini menyebabkan
terganggunya keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi, neuronal toxicity,
peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi leukosit. Sel endotel
kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bacterial mengalami
peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme sawar darah
otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal injury.

4. Manifestasi Klinis
Gejala meningoensefalitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :

28
 Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
 Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif,
dan koma.
 Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
 Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
 Tanda kernig positif: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
 Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi
lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada
salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremitas yang
berlawanan.
 Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
 Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
 Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
 Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata.

2.5. PEMERIKSAAN FISIK


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang
menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura
jahitan, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
29
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih
mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku
kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar 2. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari


pasien yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 %
dari pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.

Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan


mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol, ptosis,
saraf cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea
adalah tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak.
Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural, atau
abses otak.
-
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome
beberapa hari gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam,
sakit kepala, dan keluhan perut, yang diikuti dengan gejala khas kelesuan
30
progresif, perubahan perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum
pada presentasi. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki
ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant coma,
transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness), atau
peripheral neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan
pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi
neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status mental, fungsi
neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat membantu
mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi virus
West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam
eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus
dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan
kardiovaskular atau tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC, diferensial, kadar protein dan
glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis ditandai dengan pleositosis
neutrophilic, cukup dengan protein tinggi nyata, dan glukosa rendah. Viral
meningitis ditandai dengan protein pleositosis limfositik ringan sampai sedang,
normal atau sedikit lebih tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada encephalitis
menunjukkan pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar
glukosa normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV.
Extreme peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa menunjukan infeksi
tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal. Cairan
serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri, jamur, virus, dan
mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk mendiagnosis enterovirus
dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat dari biakan virus. Leukositosis
adalah umum ditemukan. Kultur darah positif pada 90% kasus.

31
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi komponen
ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang
lambat, walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin
normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan otak difus parenkim atau
kelainan fokal. 8
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma
pneumoniae, cat-scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM serum atau
CSF untuk infeksi virus West Nile tersedia, tetapi reaktivitas silang dengan
flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi. pengujian serologi tambahan
untuk patogen kurang umum harus dilakukan seperti yang ditunjukkan oleh
perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain pengujian serologi, sampel CSF dan
tinja dan usap nasofaring harus diperoleh untuk biakan virus. Dalam kebanyakan
kasus ensefalitis virus, virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan
pengujian ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih belum
ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab
ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak
mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat yang tidak menunjukkan
perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. HSV, rabies ensefalitis, penyakit
prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit dan kuru) dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan rutin kultur atau biopsi patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin
penting untuk mengidentifikasi arbovirus dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis,
infeksi jamur, dan penyakit non-menular, terutama primer SSP vasculopathies
atau keganasan.

2.7. Cairan Serebrospinalis


Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah
satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medulla spinalis terhadap
trauma atau gangguan dari luar.
Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500
ml/hari, sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150ml dalam
sewaktu. Ini merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan, sirkulasi

32
dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah cairan serebrospinal tetap dalam
sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5kali dalam sehari. Perubahan
dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit-penyakit neurologi.
Selain itu juga untuk evaluasi pengobatan dan perjalanan penyakit,serta
menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah suatu
tindakan yang aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan diagnose,
mengidentifikasi organism penyebab serta dapat untuk melakukan test
sensitivitas antibiotika. Cairan serebrospinalis mengelilingi ruang sub araknoid di
sekitar otak dan medulla spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak.
Cairan cerebrospinalis menyerupai plasma darah dan cairan interstisial, tetapi
tidak mengandung protein. Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh plesus koroid
dan sekresi oleh sel-sel ependimal yang mengitari pembuluh darah serebral dan
melapisi kanal sentral medulla spinalis. Fungsi cairan cerebrospinalis adalah
sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medulla spinalis, juga
berperan sebagai media pertukaran nutrient dan zat buangan antara darah dan otak
serta medulla spinalis.

Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal


pada beberapa gangguan sistem saraf pusat

Agen Tekanan Hitung Kadar Kadar Mikrobiologi


Infeksi Leukosit Glukosa Protein
Meningitis 200-300 100-5000 <40 >100 Patogen spesifik pada
Bakteri > 80% 50% bakteri gram dan
PMN 80% dari hasil kultur
Meningitis 90-200 10-300 Normal N / sedikit Isolasi virus,
Viral Limfosit meningkat pemeriksaan PCR
Meningitis 180-300 100-500 Menuru Meningkat, Kultur Basl tahan
33
TB Limfosit n, <40 >100 asam, PCR
Meningitis 180-300 10-200 Menuru 50-200 Dengan tinta india,
Kriptokokus Limfosit n antigen kriptokokus,
kultur
Meningitis 90-200 10-300 N N / sedikit Negatif
aseptic Limfosit meningkat
Keganasan Mononuk Menuru Meningkat Negatif
lear n
Nilai normal 80-200 0,5 50-75 15-40 Negatif
Limfosit

2.8. Diagnosa Banding


1. Kejang demam
Kejang Demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38°C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranial. Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang
demam fokal, lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam. Pada
kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat, dan hanya
sekali dalam 24 jam.
2. Infark Cerebral
Infark otak merupakan kematian neuron, glia dan vaskulator yang disebabkan oleh
tiadanya oksigen atau nutrien atau terganggunya metabolisme. Tiap penyebab infark
(anoksia, iskemik atau hipoglikemia) memiliki gambaran khas tersendiri, begitu pola
zona predileksi dan gambaran histopatologinya. Infark anoksia disebabkan oleh
tiadanya oksigen walaupun sirkulasi darah tetap normal. Infark hipoglikemik terjadi
bila kadar glukosa darah turun dibawah angka kritis selama periode yang
berkepanjangan. Dari ketiga jenis infark tadi, yang paling sering dijumpai adalah
infark iskemik yang menyebabkan hipoksia sekunder, terganggunya nutrisi seluler,
dan kematian sel otak.
5. Perdarahan Cerebral
Perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim
tak dan bukan disebabkan oleh trauma.

34
2.9 Penatalaksanaan
a. Kejang diatasi dengan :
Anti Kejang.
- Beri Diazepam iv pelan-pelan dengan dosis 0,3-0,5 mg/menit
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20mg. Obat yang praktis diberikan yaitu
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg. Atau:
Diazepam rektal 5mg untuk anak dengan BB kurang dari 10kg;
Diazepam rektal 10mg untuk BB lebih dari 10kg;
Diazepam rektal 5mg untuk anak dibawah 3 tahun;
Diazepam rektal 7,5mg untuk anak diatas 3 tahun
- Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulangi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih kejang, dianjurkan ke RS, agar dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
- Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara iv
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan
1mg/kg/menit atau kurang dari 50mg/menit. Bila kejang berhenti,
dosis selanjutnya adalah 4-8mg/kg/hari,dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif.
b. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis diberantas dengan obat
– obatan atau dengan operasi
c. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan
dapat diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis
pertama 10 mg lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam.

35
Kortikosteroid masih menimbulkan pertentangan. Ada yang
setuju untuk memakainya tetapi ada juga yang mengatakan
tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan
jalan nafas.
d. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
e. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2
– 3 minggu, bila gagal dilakukan operasi.
f. Fisioterapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.
2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa
menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika
yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar
daripada konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid
berarti daya tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit
dan fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai
spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta
dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika
diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.

Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :


a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus: 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari

36
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 4 – 8 gram/hari

dibagi dalam 4 kali pemberian.


d. Ceftriaxon
- Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 -
2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang
disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis
dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.
- Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari
50 mg/kg BB, satu kali sehari.

37
- Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali
sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan
melalui infus paling sedikit 30 menit.1,3

Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika
yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini.

No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain


1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila sensitif dan atau
Enterobacteriaceae ditambah aminoglikosida secara
intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti


dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata , patut sekresi hormon
antidiuretik , kejang , peningkatan tekanan intrakranial, apnea, aritmia, dan koma.
Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema
serebral .
Dengan pengecualian dari HSV dan HIV, tidak ada terapi spesifik untuk
virusensefalitis . Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU,

38
yangmemungkinkan terapi agresif untuk kejang, deteksi tepat waktu kelainan
elektrolit dan bila perlu, pemantauan jalan napas dan perlindungan dan
pengurangan peningkatan tekanan intrakranial. Asiklovir adalah pilihan
perawatan untuk infeksi HSV. Infeksi HIV dapat diobatidengan kombinasi ARV.
Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan doksisiklin, eritromisin, azitromisin,
klaritromisin atau, meskipun nilai mengobati penyakitmikoplasma SSP dengan agen ini
masih diperdebatkan. Perawatan pendukung sangat penting untuk menurunkan
tekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tekanan perkusi serebral yang
memadai dan oksigenasi.

Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Semakin muda semakin bagus prognosisnya
2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh
sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama.
Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf secara
permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka panjang.

39
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 ANAMNESIS
Teori Kasus
1. Meningoencephalitis adalah peradangan
1. Pasien berusia 4 tahun 5 bulan
pada selaput meningen dan jaringan otak.
2. KU : penurunan kesadaran
Meningoencephalitis memberikan keluhan
sakit kepala, demam, perubahan tingkat
3. Riwayat kejang sebanyak 2 kali dengan durasi
kesadaran (letargik, tidak responsif, dan >5 menit dan >30 menit.
koma), kejang.
4.

Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama pasien datang adalah


penurunan kesadaran. Dari hasil alloanamnesis dengan ibu pasien, didapatkan
riwayat kejang sebanyak dua kali sebelum terjadi penurunan kesadaran. Pasien
mengalami demam sebelum terjadi kejang. Hasil anamnesis ini mendukung
diagnosis meningoencephalitis, sesuai dengan literatur. Diagnosis
meningoencephalitis ditegakkan dari anamnesa adanya kejang, demam, dan
penurunan kesadaran.

4.2 PEMERIKSAAN FISIK


Teori Kasus
1. Inspeksi  penurunan tingkat kesadaran
5. Inspeksi  kesadaran somnolen
(somnolen, apatis, koma), ubun-ubun
6. Palpasi  tanda Kernig, demam
membumbung, kejang 7. Perkusi  tidak terdapat kelainan
2. Palpasi  tanda Kernig, kaku kuduk, tanda
8. Auskultasi  tidak terdapat kelainan
Brudzinsky, demam
3. Perkusi  tidak terdapat kelainan.
4. Auskultasi  tidak terdapat kelainan

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien dalam


keadaan somnolen, tanda vital tidak dalam batas normal (demam naik turun pada
hasil follow up). Terdapat tanda rangsang meningeal pada pasien yaitu tanda

40
Kernig. Pemeriksaan fisik pasien diatas mendukung diagnosis
meningoencephalitis, namun tanda meningeal yang lain seperti kaku kuduk dan
tanda Brudzinsky tidak ditemukan.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
1. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan 1. Lumbal pungsi dilakukan, didapatkan
pada pasien yang dicurigai meningoencephalitis Staphylococcus haemolyticus
adalah lumbal pungsi. 2. CT Scan kepala: kesan: infark cerebri
2. CT scan atau MRI merupakan studi bilateral dd subdural hematoma di
neuroimaging yang menunjukkan hasil normal sinus sagitalis superior bagian
atau pembengkakan otak difus parenkim atau occipital, odem serebri
kelainan fokal lainnya. 3. EEG tidak dilakukan
3. EEG dapat menunjukkan aktivitas gelombang
lambat walaupun perubahan fokal mungkin ada.
Pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan teori adalah lumbal pungsi
dengan hasil ditemukan bakteri Staphylococcus haemolyticus, serta dari CT scan
kepala ditemukan adanya kesan odem serebri. Pemeriksaan EEG tidak dilakukan.

4.4 Penatalaksanaan
Teori Kasus
Bila kejang, diberi obat anti kejang seperti 1. Terapi dari IGD:
diazepam rektal 5 mg atau 10 mg tergantung - O2 NRM 5 lpm
berat badan atau umur. - Co Sp.A

Bila terdapat tanda-tanda peningkatan TIK, 2. Terapi di Ruangan:


diberi manitol dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB Terapi suportif:
secara IV dalam 30-60 menit dan dapat - infus D5 ½ NS 1200 cc/24 jam
diulang 2 kali dengan jarak 4 jam. - susu peptamen 6 x 100 cc
Terapi kausatif:
Antibiotika spektrum luas harus diberikan
secepat mungkin tanpa menunggu hasil - Inj. Vancomisin 210 mg/8 jam

biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti Terapi simtomatik:


dengan antibiotika yang sesuai. Pemberian - Po. Captopril 7 mg/12 jam
antibiotika dianjurkan secara intravena yang - Spironolakton 14 mg/24 jam

41
mempunyai spektrum luas baik terhadap - Lasix 14 mg/12 jam
kuman gram positif, gram negatif, dan - Valsartan 15 mg/24 jam
anaerob serta dapat melewati SDO. - Nifedipine 1,4 mg/6 jam
- Jika krisis HT, TD sistol > 164/
TD diastol > 102, extra
nicardipin 1,4 mg sublingual

Terapi kausatif pada kasus di atas menggunakan antibiotik Vankomisin.


Vankomisin adalah pilihan terapi untuk infeksi stafilokokus yang bersifat serius,
di mana penisilin dan sefalosporin tidak dapat digunakan (resisten). Vamkomisin
juga dapat melewati SDO. Spektrum antibakterial vankomisin adalah bakteri
kokus gram positif dan kokus gram negatif. Sementara, Stafilokokus hemolitikus
merupakan bakteri kokus aerob gram positif. Selama masuk IGD dan ruangan,
tidak ada kejang sehingga tidak diberikan diazepam.
Level tekanan darah pasien (TB 108 cm, umur 4 tahun 5 bulan):
SISTOL (mmHg) DIASTOL (mmHg)
P50 95 51
P90 109 66
P95 112 70
P99 120 78
Pasien mengalami hipertensi (>P95 = > 112/70) dengan tekanan darah 130/61
mmHg (26/10/2016), 115/57 mmHg (27/10/2016), 113/57 mmHg (28/10/2016),
dan 142/85 mmHg (29/10/2016). Obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan
tekanan darah pasien adalah captopril (golongan ACE inhibitor), spironolakton
(diuretik), lasix/furosemide (diuretik), valsartan (golongan ARB), dan nifedipin
(golongan CCB).

42
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien an. A, laki-laki, berusia 4 tahun 5 bulan, datang dengan keluhan
penurunan kesadaran, disertai kejang dua kali dan demam dua hari SMRS.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah Meningoencephalitis. Tatalaksana
yang diperoleh pasien ini adalah terapi suportif, terapi simptomatis dan terapi
kausal

Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai


dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah dubia ad bonam.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. Diunduh dari


http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm.
2. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. Diunduh dari
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi23.pdf.
3. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial
Meningitis. The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16. Diunduh
dari http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf.
4. Cambell W, DeJong’s The Neurologic Examination Sixth edition,
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277.
5. Lumban tobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental,
FKUI, Jakarta, 2004; 7-111.
6. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktek. EGC, Jakarta; 5-
53.
7. Posner JB, Schiff ND, Saper CB, Plum F, Plum and Posner Diagnosis of
Stupor and Coma fourth edition, Oxford University Press, Oxford, 2007;
38-42.
8. Markam S, Penuntun Neurologi, Binarupa Aksara, Jakarta; 18-50.
9. Chusid JG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bagian
Satu, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 1990; 150-190.
10. Duus Peter, Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan
Gejala edisi II, EGC, Jakarta; 78-127.
11. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E, Clinical Neuroanatomy and
Neuroscience Fifth edition International edition, Saunders Elsevier,
British, 2007; 225-257.
12. Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006.
Lumbar Puncture. The New England Journal of Medicine. 12 : 355 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf.
13. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI;
1999. h. 339-76.
14. Sudewi, Raka; Sugianto Paulus; Ritarwan Kiking. 2011. Infeksi pada
Sistem Saraf. Surabaya. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.
44
15. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology.
8 th ed. New York: McGraw-Hill; 2015.

45

Anda mungkin juga menyukai