Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh:
Sandy Kurniawan
NIM. 03.37489.00145.09
Pembimbing:
dr Hj Sukartini, Sp.A
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga
Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti “sengal-sengal”.
Dalam pengertian klinik, asma dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak
oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi
yaitu pereda (reliever) dan pengendali (controller). Tata laksana asma dibagi menjadi
dua kelompok besar yaitu pada saat serangan (asma akut) dan di luar serangan (asma
kronik).1,2,3
2
Kortikosteroid atau steroid merupakan obat yang sangat efektif untuk terapi
gangguan pernafasan sebagai anti inflamasi. Pada awalnya steroid inhalasi dirancang
sebagai preparat alternatif untuk menghindari efek sistemik yang terjadi pada
pemberian steroid oral dan parenteral. Setelah akhirnya diketahui bahwa proses
inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama, maka steroid inhalasi
Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki efek anti
inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal mungkin. Termasuk
dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain Beclometasone Dipropionate (BDP),
Dipropionate (FDP).4,5,6,7
2.2 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi
hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
2.1.2 Epidemiologi
ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini.
Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya
terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki :
Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada
Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan
4
penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara
12.000–13.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu
mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di
antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter
luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang
beberapa pusat pendidikan. Pada Tabel 1. dapat dilihat beberapa hasil survei
2.1.2 Patogenesa
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
5
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada
mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan
dewasa.8
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma
klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih
6
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat
(late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi
oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang :
eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th),
limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun
TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,
mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T
rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,
7
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi
fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah
remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin
dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas
juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan
Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi,
remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis
infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan
epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
8
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses
remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil
dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling
telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini
diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
2.1.4 Patofisiologi
disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding
bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi
jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan
aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan
abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan
perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit
saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama
serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi
ventrikel kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang
dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama
dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang
dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan
minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk
9
mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan
2.1.5 Diagnosis
gejala awal berupa batuk dan/atau mengi. Pada alur diagnosis selain anamnesis yang
fasilitas yang tersedia. KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan
sebagai berikut: Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam
gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara
lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
10
menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat
reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan
Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1
pertama) ≥ 15%
bronkodilator
Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total, bila terjadi peningkatan dari nilai normal
2.1.7 Penatalaksanaan
proses tumbuh kembang secara optimal. Penatalaksanaan asma secara global yang
dianjurkan oleh WHO meliputi; pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi
farmakologi, pemakaian tes objektif faal paru untuk menilai dan memonitor
11
perjalanan asma, edukasi asma pada penderita. Pengobatan asma didasarkan pada
keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi atau saat di luar serangan. Pada saat
serangan, asma dapat digolongkan dalam keadaan asma ringan, asma sedang dan
asma berat. Diluar serangan pembagian asma menjadi 3, yaitu asma episodik jarang,
asma episodik sering, asma persisten (asma berat dan asma sangat berat).1,2,3
Obat asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(“reliever”) dan obat pengendali (“controller”). Obat pereda digunakan pada saat
eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi
Tabelpereda
Termasuk obat 1. Klasifikasi Derajat Penyakit
asma adalah: inhalasi Asma
agonispada
b2 Anak
aksi cepat (terbutalin,
xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol,
pencegahan dan untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama,
tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini
adalah: inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid
12
(beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat),
inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat ( prokaterol, bambuterol, salmeterol,
klenbuterol), dan golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin),
saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat
mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral,
inhalasi. Secara garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer,
MDI (metered dose inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling
dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ
sasaran, awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga
lebih kecil.9,11
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang
digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.9,11
dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan
mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik,
13
sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam
bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler,
menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak
usia sekolah.9,11
Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari cairan ( pada
nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa
( MDI = Meterred Doze Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry
Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran napas bersama proses
respirasi sesuai dengan ukuran partikel yang terbentuk dengan mekanisme hukum
Brown yaitu impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur dan
menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi karena pergerakan
partikel sampai pada mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi.9
Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron. Penyebaran
partikel obat akan tergantung kepada besaran mikronnya; partikel dengan ukuran 5-
10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada trakeobronkial sedangkan
partikel <1 mikron akan keluar dari saluran napas bersama proses ekspirasi.9
14
Gambar 2. Besar Partikel dan Penetrasinya ke Saluran Napas
Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari
50% anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (“metered dose
dengan usianya.3
15
soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and
inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke
saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik
yang serius.8
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak
digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara
saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini
glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target. Selanjutnya kompleks
tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen respon
proses transkripsi gen , suatu proses yang rumit, memerlukan waktu 6 – 12 jam.
16
Mekanisme utama steroid pada asma diduga melalui inhibisi pembentukan sitokin
tertentu, seperti IL1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8. Disisi lain
reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat β2 agonis jangka panjang. Steroid juga
mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka panjang juga mengurangi jumlah sel
mast.12,13
topikal pada saluran pernapasan yang maksimal dan efek samping sistemik yang
minimal.Sekitar 70% - 90% dari dosis obat yang diinhalasi akan terdeposisi di
orofaring, sebagian tertelan masuk ke lambung, hanya 10% - 30% yang akan
mencapai paru. Obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan kemudian akan
mengalami proses inaktivasi di hepar. Selanjutnya, baik obat yang tertelan maupun
17
Gambar 3. Distribusi Kortikosteroid Inhalasi
diabsorpsi melalui paru-paru dan jumlah obat yang diabsorpsi melalui saluran
pencernaan (obat yang tertelan dan obat yang lolos dari proses inaktivasi di hepar).
sehingga keseimbangan antara efek terapi dan efek samping sistemik sepenuhnya
tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan. Hal ini penting dipertimbangkan,
18
Tabel 3. Rasio bioavaibilitas paru dibanding bioavaibilitas sistemik
berbagai steroid inhalasi
19
Tabel 4. Preparat Steroid Inhalasi yang tersedia
20
Gambar 5. Dosis berbagai Steroid Inhalasi menurut GINA 2006
dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI (“Pressured Metered Dose
Inhaler”), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5 – 25%, dengan sistim DPI (Dry
Berkumur setelah menggunakan obat inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk
Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan jarang dipakai
digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai setelah 5 jam. Di
21
Budesonid (BUD) nerupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti. Kadar
melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid.
Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang
dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi sesuai dengan respon
klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000 kali lebih tinggi dibanding
BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki afinitas terhadap reseptor steroid
1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan mometason furoat, 3 kali lebih tinggi
dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh
afinitas FP pada reseptor steroid lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA
4 jam.13
Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah
disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot laring,
namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan
22
sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti bahwa efek
supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak bersifat
permanen.14,15
23
BAB III
KESIMPULAN
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel
eosinofil dan limfosit T. Hal ini menyebabkan pelepasan mediator yang dapat
24
untuk mencegah dan mengendalikan asma, mengurangi frekuensi dan keparahan
obstruksi jalan napas yang reversibel dan mengendalikan gejala serta mengurangi
topikal yang maksimal pada saluran pernapasan dengan efek samping sistemik yang
minimal. Beberapa preparat steroid inhalasi yang pernah dikenal antara lain:
afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid. Oleh karena hanya sebagian kecil saja
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe NN, Supriyatno, B, Setyanto DB. Asma. Dalam: Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008;71-185
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Asma. Dalam: Hassan R, Alatas H.
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, 2005;1203-28
3. National Heart, Lung and Blood Institute, World Health Organization. Global
Initiative For Asthma : Global Strategy for asthma management and prevention.
Maryland, 2006
25
4. Irwin RS, Richardson ND. Side Effects With Inhaled Corticosteroids: The
Physician's Perception. Chest. Vol 130. 2006;41S-53S
5. Roland NJ, Bhalla RK, Earis J. The Local Side Effects of Inhaled Corticosteroids:
Current Understanding and Review of the Literature. Chest. Vol 126. 2004;213-9
6. Rowe BH, Vethanayagam D. The role of inhaled corticosteroids in the
management of acute asthma. European Respiratory Journal. Volume 30, No 6.
2007;1035-37
7. Cochrane MG, et all. Inhaled Corticosteroids for Asthma Therapy. Chest. Volume
117. 2000;542-50
8. Setiawati L, Makmuri MS. Tatalaksana Asma Jangka Panjang Pada Anak. Divisi
Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya
9. Pradjnaparamita. Terapi Inhalasi. Cermin Dunia Kedokteran. Vol 35. No
7.2008;389-93
10. Supriyanto B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia. Vol 55. No 3. 2005;237-43
11. Yunus F. Terapi Inhalasi Asma Bronkial. Cermin DUnia Kedokteran. No 101.
1995;25-28
12. McFAdden ER. Inhaled Glucocorticoids and Acute Asthma. Am J Respir Crit
Care Med. Vol 157. 1998;677-78
13. Colice Gl. Comparing Inhaled Corticosteroids. Respiratory Care. Vol 7.
2000;846-53
14. Barnes PJ. Inhaled Glucocorticoids for Asthma. N Engl J Med. Vol
332.1995;868-75.
15. Allen DB. Inhaled corticosteroid therapy for asthma in preschool
children:Growth Issues. Pediatrics. Vol 109 2002;373-80.
26