Anda di halaman 1dari 26

SMF/ Lab Ilmu Kesehatan Anak Tinjauan Pustaka

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KORTIKOSTEROID INHALASI PADA ASMA


ANAK

Disusun Oleh:
Sandy Kurniawan
NIM. 03.37489.00145.09

Pembimbing:
dr Hj Sukartini, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Samarinda
2010
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma

dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat

menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun

akibat bolos kerja atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga

menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.1,2

Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti “sengal-sengal”.

Dalam pengertian klinik, asma dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak

napas berulang dengan atau tanpa disertai mengi.2

Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang

paroksismal, berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan

oleh konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi

lendir kental yang berlebihan.2

Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya

tentang penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta

medikamentosa. Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu pereda (reliever) dan pengendali (controller). Tata laksana asma dibagi menjadi

dua kelompok besar yaitu pada saat serangan (asma akut) dan di luar serangan (asma

kronik).1,2,3

2
Kortikosteroid atau steroid merupakan obat yang sangat efektif untuk terapi

gangguan pernafasan sebagai anti inflamasi. Pada awalnya steroid inhalasi dirancang

sebagai preparat alternatif untuk menghindari efek sistemik yang terjadi pada

pemberian steroid oral dan parenteral. Setelah akhirnya diketahui bahwa proses

inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama, maka steroid inhalasi

direkomendasikan untuk diberikan sedini mungkin pada asma persisten untuk

mencegah terjadinya “airway remodelling“.4,5

Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki efek anti

inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal mungkin. Termasuk

dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain Beclometasone Dipropionate (BDP),

Budesonide (BUD), Triamcinolone Acetonite (TA), Flunisonide, Fluticasone

Dipropionate (FDP).4,5,6,7

2.2 Tujuan

Memberikan tambahan pengetahuan mengenai asma pada anak dan

penggunaan kortikosteroid inhalasi dalam penatalaksanaannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,

sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini

hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,

bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1,2,3

2.1.2 Epidemiologi

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan

diperkirakan 4–5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit

ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini.

Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya

terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki :

perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.2

Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada

penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia,

namun diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di beberapa negara angka

kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik

Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan

4
penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara

12.000–13.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu

mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di

antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter

luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang

dirawat karena serangan asma yang berat.2

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia jug telah dilakukan di

beberapa pusat pendidikan. Pada Tabel 1. dapat dilihat beberapa hasil survei

prevalensi asma pada anak di Indonesia.

Tabel 1. Prevalensi Asma di Indonesia

2.1.2 Patogenesa

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang

timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.

5
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,

sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.8

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang

khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara

dan peningkatan reaktivitas saluran napas.Gambaran khas adanya inflamasi saluran

respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada

mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun

asmanya ringan atau tidak bergejala. 1,3.8

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan

dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi

diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan

dewasa.8

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya

menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E

melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan

berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma

reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin,

leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-

mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema,

peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran

klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih

kembali( serangan asma hilang) dengan pengobatan.8

6
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat

(late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi

oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang :

eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th),

limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun

kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte – macrophage colony –

stimulating factor (GM – CSF), Thl terutama memproduksi IL – 2, IF gamma dan

TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,

yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2

bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat . Masing –

masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil

memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP)

dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator

inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin,

LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag

mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T

cell expression and presumably secreted (RANTES) .Semua mediator diatas

merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan,

mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat

kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel,

penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada

rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,

7
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi

irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.8

Remodeling Saluran Napas

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang

proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan

fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah

remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin

dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas

juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-

5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan

kolagen di lamina propia. 8

Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan

Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi,

epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses

remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis

mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa,

infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan

perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten

dan memberikan gambaran klinis asma kronis.8

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan

epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat

antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi

8
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses

remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga

atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil

dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling

telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini

diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat

untuk mencegah terjadinya proses remodeling.8

2.1.4 Patofisiologi

Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang

disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding

bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi

jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan

aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan

fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil), penyebaran

abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan

perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit

saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama

serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi

ventrikel kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang

dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama

dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang

dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan

minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk

9
mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan

dalam jumlah besar.1,8

Gambar 1. Perubahan saluran napas pada asma

2.1.5 Diagnosis

UKK Pulmonologi PP IDAI telah membuat pedoman nasional asma dengan

gejala awal berupa batuk dan/atau mengi. Pada alur diagnosis selain anamnesis yang

cermat beberapa pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan tergantung pada

fasilitas yang tersedia. KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan

sebagai berikut: Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan

karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam

keluarga atau penderita sendiri.1

Sedangkan GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut:

gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara

lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini

10
menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan

batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan

dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat

reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan

dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.1,3

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat

ditegakkan bila didapatkan :

 Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1

(forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik

pertama) ≥ 15%

 Kenaikan ≥ 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator

 Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total, bila terjadi peningkatan dari nilai normal

akan menunjang diagnosis. Foto toraks untuk melihat adanya gambaran

emfisematous atau adanya komplikasi pada saat serangan.1

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan tatalaksana asma secara umum adalah untuk menjamin tercapainya

proses tumbuh kembang secara optimal. Penatalaksanaan asma secara global yang

dianjurkan oleh WHO meliputi; pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi

farmakologi, pemakaian tes objektif faal paru untuk menilai dan memonitor

11
perjalanan asma, edukasi asma pada penderita. Pengobatan asma didasarkan pada

keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi atau saat di luar serangan. Pada saat

serangan, asma dapat digolongkan dalam keadaan asma ringan, asma sedang dan

asma berat. Diluar serangan pembagian asma menjadi 3, yaitu asma episodik jarang,

asma episodik sering, asma persisten (asma berat dan asma sangat berat).1,2,3

Obat asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda

(“reliever”) dan obat pengendali (“controller”). Obat pereda digunakan pada saat

eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi

maka obat ini dihentikan.1,10

Tabelpereda
Termasuk obat 1. Klasifikasi Derajat Penyakit
asma adalah: inhalasi Asma
agonispada
b2 Anak
aksi cepat (terbutalin,

salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil

prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid),

xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol,

orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol). Obat pengendali asma digunakan untuk

pencegahan dan untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan

demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama,

tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini

adalah: inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid

12
(beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat),

inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat ( prokaterol, bambuterol, salmeterol,

klenbuterol), dan golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin),

antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).1,2,3

2.2 Terapi Inhalasi

Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam

saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat

mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral,

karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.9,11

Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi

inhalasi. Secara garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer,

MDI (metered dose inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling

sering digunakan adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki keuntungan

dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ

sasaran, awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga

lebih kecil.9,11

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per

inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang

digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.9,11

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat

dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan

mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik,

13
sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam

bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler,

Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya

menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak

usia sekolah.9,11

2.2.1 Mekanisme deposisi obat pada paru

Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari cairan ( pada

nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa

( MDI = Meterred Doze Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry

Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran napas bersama proses

respirasi sesuai dengan ukuran partikel yang terbentuk dengan mekanisme hukum

Brown yaitu impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur dan

menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi karena pergerakan

udara melalui inspirasi dan ekspirasi, sedangkan sedimentasi adalah sampainya

partikel sampai pada mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi.9

Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron. Penyebaran

partikel obat akan tergantung kepada besaran mikronnya; partikel dengan ukuran 5-

10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada trakeobronkial sedangkan

partikel <1 mikron akan keluar dari saluran napas bersama proses ekspirasi.9

14
Gambar 2. Besar Partikel dan Penetrasinya ke Saluran Napas

Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari

50% anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (“metered dose

inhaler”).Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan

dengan usianya.3

Tabel 2. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur

2.3 Kortikosteroid Inhalasi

Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral,

parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-

15
soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and

triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran

pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara

inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke

saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik

yang serius.8

2.3.1 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak

digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara

topikal maupun secara sistemik. Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di

saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini

dicapai dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke saluran napas dan

menghambat keberadaan sel inflamasi di saluran napas. Oleh karena itu,

kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, sehingga berdampak

pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan

produksi mukus dan peningkatan respon β-adrenergik.12

Kortikosteroid menembus membran sel dan akan berikatan dengan reseptor

glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target. Selanjutnya kompleks

tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen respon

glukokortikoid yang spesifik (“specific glucocorticoid response element”) untuk

dapat mengatur transkripsi gen. Jadi kortikosteroid mengendalikan inflamasi melalui

proses transkripsi gen , suatu proses yang rumit, memerlukan waktu 6 – 12 jam.

16
Mekanisme utama steroid pada asma diduga melalui inhibisi pembentukan sitokin

tertentu, seperti IL1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8. Disisi lain

steroid juga meningkatkan pembentukan reseptor β2 sehingga mampu mencegah

reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat β2 agonis jangka panjang. Steroid juga

mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka panjang juga mengurangi jumlah sel

mast.12,13

2.3.2 Preparat steroid inhalasi.

Preparat steroid inhalasi dirancang dengan tujuan untuk mendapatkan efek

topikal pada saluran pernapasan yang maksimal dan efek samping sistemik yang

minimal.Sekitar 70% - 90% dari dosis obat yang diinhalasi akan terdeposisi di

orofaring, sebagian tertelan masuk ke lambung, hanya 10% - 30% yang akan

mencapai paru. Obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan kemudian akan

mengalami proses inaktivasi di hepar. Selanjutnya, baik obat yang tertelan maupun

obat yang terdeposisi di paru akan diabsorpsi masuk sirkulasi sistemik.14

17
Gambar 3. Distribusi Kortikosteroid Inhalasi

Bioavaibilitas sistemik preparat inhalasi steroid adalah jumlah obat yang

diabsorpsi melalui paru-paru dan jumlah obat yang diabsorpsi melalui saluran

pencernaan (obat yang tertelan dan obat yang lolos dari proses inaktivasi di hepar).

Obat steroid inhalasi yang mencapai paru-paru hampir seluruhnya diabsorpsi,

sehingga keseimbangan antara efek terapi dan efek samping sistemik sepenuhnya

tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan. Hal ini penting dipertimbangkan,

karena pada anak kecil sangat besar kemungkinan obat tertelan.13

18
Tabel 3. Rasio bioavaibilitas paru dibanding bioavaibilitas sistemik
berbagai steroid inhalasi

19
Tabel 4. Preparat Steroid Inhalasi yang tersedia

20
Gambar 5. Dosis berbagai Steroid Inhalasi menurut GINA 2006

Penghantaran obat ke paru-paru dan bioavaibilitas sistemik juga ditentukan

dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI (“Pressured Metered Dose

Inhaler”), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5 – 25%, dengan sistim DPI (Dry

Powder Inhaler) mencapai 10-35%. Penggunaan “spacer / holding chamber” akan

mengurangi deposisi obat diorofaring dan meningkatkan deposisi obat di paru-paru.

Berkumur setelah menggunakan obat inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk

mengurangi jumlah obat yang tertelan.14

Kortikosteroid inhalasi yang biasa digunakan adalah :

Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan jarang dipakai

karena efektifitasnya yang rendah dan efek samping yang besar.13

Beklometason dipropionat (BDP) merupakan steroid inhalasi yang pertama kali

digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai setelah 5 jam. Di

jaringan paru akan segera mengalami pemecahan menjadi beklometason

monopropionat (BMP) yang mempunyai potensi lebih kuat dibanding BDP.

Pemecahan BMP di hepar lebih lambat dibanding Budesonid, sehingga efek

sistemiknya lebih besar.13

21
Budesonid (BUD) nerupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti. Kadar

puncak tercapai setelah 15 – 30 menit inhalasi, terdeposisi 25%-30% di jaringan paru.

Dimetabolisme secara cepat dan sempurna di hepar, bentuk metabolitnya diekskresi

melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid.

Budesonid mempunyai kemampuan berikatan (afinitas) dengan reseptor

glukokortikoid 7 kali lebih besar disbanding deksametason.13

Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang

tinggi terhadap reseptor steroid, sebagian kecil diabsorpsi di lambung dan

dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi sesuai dengan respon

klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000 kali lebih tinggi dibanding

BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki afinitas terhadap reseptor steroid

1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan mometason furoat, 3 kali lebih tinggi

dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh

afinitas FP pada reseptor steroid lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA

4 jam.13

Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah

disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot laring,

namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan

cara berkumur atau cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.14

Beberapa efek samping sistemik akibat steroid inhalasi yang pernah

dilaporkan adalah efek pengurangan masa tulang, hambatan pertumbuhan melalui

penekanan aksis “Hypothalamic-pituitary-adrenal”(HPA) dan katarak. Masih terjadi

kontroversi tentang hambatan pertumbuhan akibat steroid inhalasi, mengingat asma

22
sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti bahwa efek

supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak bersifat

permanen.14,15

Gambar 6. Mekanisme terjadinya penurunan massa tulang pada penggunaan


kortikosteroid

Gambar 7. Mekanisme terjadinya supresi pertumbuhan pada penggunaan kortikosteroid

23
BAB III

KESIMPULAN

Menurut GINA (Global Initiative For Asthma), batasan asma menggambarkan

konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan sebagai gangguan

inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel

eosinofil dan limfosit T. Hal ini menyebabkan pelepasan mediator yang dapat

mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran

mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.Bertujuan

24
untuk mencegah dan mengendalikan asma, mengurangi frekuensi dan keparahan

ekserbasi dan menghilangkan obstruksi aliran udara.

Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang digunakan untuk mengatasi

obstruksi jalan napas yang reversibel dan mengendalikan gejala serta mengurangi

hiperaktifitas bronkus pada asma kronis. Kortikosteroid dapat diberikan secara

parenteral, oral atau dengan inhalasi.

Preparat steroid inhalasi mempunyai keuntungan dapat memberikan efek

topikal yang maksimal pada saluran pernapasan dengan efek samping sistemik yang

minimal. Beberapa preparat steroid inhalasi yang pernah dikenal antara lain:

Flunisolid, Triamsinolon Asetonid, Beklometason dipropionat, Budesonid dan

Flutikason propionat. Flutikason propionat merupakan steroid inhalasi yang memiliki

afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid. Oleh karena hanya sebagian kecil saja

yang diabsorpsi di lambung dan mengalami metabolisme sempurna di hepar, maka

diharapkan efek sistemik yang timbul juga sangat minimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Supriyatno, B, Setyanto DB. Asma. Dalam: Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008;71-185
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Asma. Dalam: Hassan R, Alatas H.
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, 2005;1203-28
3. National Heart, Lung and Blood Institute, World Health Organization. Global
Initiative For Asthma : Global Strategy for asthma management and prevention.
Maryland, 2006

25
4. Irwin RS, Richardson ND. Side Effects With Inhaled Corticosteroids: The
Physician's Perception. Chest. Vol 130. 2006;41S-53S
5. Roland NJ, Bhalla RK, Earis J. The Local Side Effects of Inhaled Corticosteroids:
Current Understanding and Review of the Literature. Chest. Vol 126. 2004;213-9
6. Rowe BH, Vethanayagam D. The role of inhaled corticosteroids in the
management of acute asthma. European Respiratory Journal. Volume 30, No 6.
2007;1035-37
7. Cochrane MG, et all. Inhaled Corticosteroids for Asthma Therapy. Chest. Volume
117. 2000;542-50
8. Setiawati L, Makmuri MS. Tatalaksana Asma Jangka Panjang Pada Anak. Divisi
Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya
9. Pradjnaparamita. Terapi Inhalasi. Cermin Dunia Kedokteran. Vol 35. No
7.2008;389-93
10. Supriyanto B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia. Vol 55. No 3. 2005;237-43
11. Yunus F. Terapi Inhalasi Asma Bronkial. Cermin DUnia Kedokteran. No 101.
1995;25-28
12. McFAdden ER. Inhaled Glucocorticoids and Acute Asthma. Am J Respir Crit
Care Med. Vol 157. 1998;677-78
13. Colice Gl. Comparing Inhaled Corticosteroids. Respiratory Care. Vol 7.
2000;846-53
14. Barnes PJ. Inhaled Glucocorticoids for Asthma. N Engl J Med. Vol
332.1995;868-75.
15. Allen DB. Inhaled corticosteroid therapy for asthma in preschool
children:Growth Issues. Pediatrics. Vol 109 2002;373-80.

26

Anda mungkin juga menyukai