Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kanker pada anak umumnya jarang dibandingkan angka kejadian


kanker pada orang dewasa. Pada anak angka kejadian kanker sangat kecil berkisar
2 – 4%, dibandingkan angka kejadian penyakit lainnya seperti infeksi dan alergi.
Namun, dari data statistik menunjukkan kejadian penyakit kanker pada anak saat
ini memperlihatkan kecenderungan meningkat, dibandingkan dua dasawarsa yang
lalu. Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai kurang lebih
33% dari kegasanasan pediatrik. Leukemia dibagi menjadi leukemia limfoblastik
akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).1,2
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40 % dari keganasan.
Leukemia akut pada anak mencapai 97 % dari semua leukemia pada anak dan
terdiri dari 82 % LLA dan 18% LMA. Insidensi rata-rata 4,5 kasus/tahun/100.000
anak di bawah 15 tahun. Di negara berkembang terjadi 83 % LLA, sedangkan
LMA terjadi sebanyak 17 %. Di RSU Dr Sardjito LLA 79 %, LMA 9 % dan
sisanya leukemia kronik. Sedangkan di RSU DR.Soetomo pada tahun 2002 LLA
sebanyak 88 % ,LMA 8% dan 4 % leukemia kronik.2,3,4,5
Insidens terjadi lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit
hitam, namun di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi daripada anak
kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun
terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 pasien mencapai
2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien
leukemia baru di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta, sementara di RSU Soetomo
sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 % kasus leukemia baru. Rasio laki-laki dan
perempuan yang mengalami LMA adalah mendekati 1.4
Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari semua
kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukemia mieloblastik akut
(LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia, dengan insidens yang tetap dari
lahir sampai usia 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Leukemia
sisanya ialah bentuk kronis; leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan

1
pada anak. Insidens tahunan dari keseluruhan leukemia adalah 42,1 tiap juta anak
kulit putih dan 24,3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan
oleh rendahnya kejadian kejadian LLA pada orang kulit hitam.3,4
Gambaran klinis yang umum dari leukemia adalah serupa karena
semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum tulang. Tetapi, gambaran
klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada perbedaan dalam respon
terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leukemia adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel
pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam
sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini
keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah
tepi.3,6
Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel
darah normal dan imunitas tubuh penderita. Pada leukemia ada gangguan dalam
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses
tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
meninggalkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.6
2.2 Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak – anak merupakan 30 – 40% dari
keganasan. Insidens rata – rata 4 – 4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15
tahun. Di negara berkembang, didapatkan LLA sebesar 83%, AML sebesar 17%,
didapatkan lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia
kejadian leukemia pada lebih tinggi daripada anak kulit putih. Di Jepang
mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru.
Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2,76/100.000 anak
usia 1 – 4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap
bulan di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr. Soetomo
sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.3,6
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu LLA 82% dan LMA 18%. Leukemia kronik mencapai
3% dari seluruh leukemia pada anak. Di RSU Dr. Sardjito, LLA 79%, LMA 9%,
dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002,
LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik. Rasio laki – laki dan perempuan

3
adalah 1,5 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur
2 – 5 tahun, spesifik untuk anak kulit puti dengan ALL, hal ini disebabkan
banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang ini. Kejadian ini tidak tampak pada
kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor – faktor
lingkungan di negara industri yang belum diketahui.3
2.3 Etiologi
Etiologi leukemia tidak diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa
faktor predisposisi yang diduga memegang peranan. Faktor instrinsik (host) dan
faktor ekstrinsik (lingkungan), yaitu :4,6,7
a. Faktor Instrinsik
1. Keturunan dan kelainan kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada
saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada saudara
lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang
menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidens leukemia terjadi
lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fanconi) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang
abnormal seperti pada sindrom Down, sindrom klinefelter dan sindrom turner
kemudian anak – anak dengan cacat genetik (Trisomi 21, sindrom Bloom, anemia
“fanconi’s dan ataksia telangiektasia).
2. Defisiensi imun dan defisiensi sumsum tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem
tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya
berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang
mungkin sebagai penyebab leukemia.
Kejadian leukemia akut khususnya LLA juga meningkat pada anak – anak
dengan imunodefisiensi congenital seperti sindrom wiskott – Aldrich,

4
hipogamaglobulinemia congenital, dan ataxia – telangiectasia, memiliki
peningkatan predisposisi berkembangnya keganasan limfoid.
3. Kondisi perinatal
Merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada anak, seperti yang
dilaporkan oleh Cnattingius dkk (1995). Faktor – faktor tersebut adalah penyakit
ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir rendah
> 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu, dkk (1996) melaporkan
bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol dan tembakau, meningkatkan risiko
terjadinya leukemia pada bayi.
Berbagai virus yang dilaporkan mempengaruhi dan berhubungan
dengan perkembangan leukemia, ketika masa prenatal, ibu terinfeksi virus
influenza atau varisela. Namun, laporan ini belum dibenarkan sepenuhnya.
b. Faktor Ekstrinsik
1. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidens leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, ankylosing spondilitis
dan penyakit hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita
leukemia memiliki latar belakang radiasi. Sebelum proteksi terhadap sinar rutin
dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih
besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom
tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak.
Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sinar
radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak.
Hal ini dihubungkan. dengan mutasi ras dan polimorfisme yang mengakibatkan
inaktivasi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP) dan penurunan
(NADPH)-quinone oxidoreductase.
2. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama hidrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Rempasan benzen dalam jumlah besar
dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976)

5
telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama
dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA. Kloramfenikol dan
fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui
diakahiri dengan leukemia, demikian juga dengan arsen dan obat-obat
imunosupresif.
3. Infeksi Virus
Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-
cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim
RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik.
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab
leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil
penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain
enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C,
yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.
2.4 Patogenesis
Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk
hematologis dan turunannya, proliferasi sel ganas induk ini menghasilkan sel
leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoeisis normal, sehingga terjadi
bone marrow failure, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga
menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan
hiperkatabolik. Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya
termasuk asal mula “gugus sel” (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik
dan morfologi, kegagalan differensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi
terhadap sel normal.8
Pada keadaaan sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan dengan
infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol
sesuai dengan dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi
sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat

6
berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel
leukemia memblok produksi sel darah putih , merusak kemampuan tubuh terhadap
infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang
termasuk sel darah darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai
oksigen pada jaringan.2,8
Menurut smeltzer dan bare (2001) analisa sitogenetik menghasilkan
banyak pengetahuan mengenai abrasi kromosomal yang terdapat pada pasien
dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang
menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur
yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik
dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya
proliferasi sel abnormal.2
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian kromosom
(bahan genetik sel kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi
kromosom) mengaganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehinga sel
membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akirnya sel – sel ini menguasai
sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel sel yang menghasilkan sel – sel
darah yang normal. Kanker ini bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk
hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.2
Leukemia merupakan prolifeasi dari sel pembuat darah yang bersifat
sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukmia dikatakan penyakit darah yang
disebabkan karena terjadinya kerusakan pembuat sel darah yaitu sumsum tulang.
Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum
tulang bekerja aktif membuat sel – sel darah tetapi sel – sel darah yang dihasilkan
adalah sel darah yang tidak normal.2
Di semua tipe leukemia, sel yang berproliferasi data menekan produksi
dan elemen di darah yang menyusup sumsum tulang dengan berlomba – lomba
untuk menghilangkan sel normal yang berfungsi sebagai nutrisi untuk
metabolime.

7
Gambar 1. Skema hematopoesis9
2.4 KLASIFIKASI2
Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis
 Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat
cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka
penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga hari.
 Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat
sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1
tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.
2. Tipe sel predominan yang terlibat:
 Sel limfoid
 Sel mieloid
3. Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan
pada sediaan darah tepi.
 Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut
leukemia limfositik.
 Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil,
dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.

8
Gambar 2. Klasifikasi leukemia berdasarkan morfologi2

4. Menurut jumlah leukosit dalam darah, diklasifikasikan di bagi menjadi


tiga tipe utama :
 Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari
normal, terdapat sel-sel abnormal.
 Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang
dari normal, terdapat sel-sel abnormal.
 Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari
normal, tidak terdapat sel-sel abnormal.
Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat
dibagi menjadi:
1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering
terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang
terutama telah berumur 65 tahun atau lebih.
2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa
daripada anak-anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik
akut.

9
3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang
berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa
muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak
4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa.
Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit
Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan
LLA sering terjadi pada anak-anak.
2.4.1 Leukemia Limfoblastik Akut
2.4.1.1 Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal
dari sel-sel prekursor limfoid, yang dihambat pada stadium awal diferensiasi dan
terhitung dari ¾ kasus leukemia pada anak. Kira – kira 3000 anak di amerika
serikat dan 5000 anak di eropa didiagnosa LLA setiap tahun. Puncak insidens
LLA terjadi antara 2 – 5 tahun. LLA menyerang 80% pada anak – anak dan 20%
leukemia pada dewasa. Pada LLA, penderita dewasa memiliki prognosis lebih
jelek dibandingkan anak – anak.4,7,10
LLA merupakan gangguan heterogen secara biologis,sehingga morfologi,
imunologi, sitogenetik, biokimia, dan karakterisasi genetik molekuler dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis atau eksklusi kemungkinan penyebab lain dari
kegagalan sumsum tulang dan untuk mengklasifikasi subtipe dari LLA. Hampir
sebagian kasus LLA menunjukkan abnormalitas kromosom dan genetik yang
mana terjadi secara spontan yang penting dalam mengatur gen pada populasi sel
limfoid.6
LLA terjadi lebih sering pada penderita dengan immunodefisiensi
(hipogammaglobulinemia) kongenital, ataksia-telangiektasi atau dengan dengan
defek kromosom konstitusional (trisomi 21).6
LLA merupakan neoplasma yang terdiri atas limfosit prekursor B (pre – B)
atau prekursor T (pre – T) yang imatur (limfoblas). Sebagian besar ( lebih kurang
85%) merupakan tumor pre- B yang bermanifestasi sebagai leukemia akut anak –
anak dengan kelainan yang luas pada sumsum tulang dan darah perifer. LLA pre –

10
T yang lebih jarang ditemukan cenderung terdapat pada remaja putra sebagai
limfoma yang mengenai kelenjar timus (yang membentuk massa mediastinal).6
Identifikasi abnormalitas kromosom yang spesifik berperan penting dalam
menentukan terapi dan prognosis dalam subtipe tertentu dari LLA. Beberapa
abnormalitas kromosom yang umum pada LLA meliputi gen fusi TEL –AML1,
dengan menggunakan teknik molekuler, dapat ditemukan pada 25% kasus pre –B
ALL. Adanya translokasi menentukan banyak prognosa. Translokasi BCR –ABL
t(9,22) p180 ditemukan kira – kira 3% - 5% kasus pada LLA anak – anak. Adanya
translokasi ini dihubungkan dengan sel darah putih yang tinggi pada diagnosis dan
respon yang rendah terhadap terapi. Penyusunan dari gen MLL pada kromosom
11q23 yang ditemukan sebesar 80% dari kasus LLA pada bayi. Anak – anak muda
dengan abnormal genetik memeiliki prognosa dan survival ± 20% dengan terapi
yang intensif. Anak-anak dengan penyusunan gen MLL>1 tahun dari umur pada
diagnosis ditemukan memiliki prognosa yang lebih baik daripada bayi-bayi
dengan translokasi yang sama, tetapi jauh lebih buruk daripada pasien yang sesuai
usia tanpa penyusunan dari gen MLL.6
2.4.1.3 Patologi
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi dan
imunologi, dan genetik sel induk leukemia. LLA mempunyai homogenitas pada
fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Gambaran sitologi sel induk sangat
bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada satu
klasifikasi yang memuaskan. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel
leukemia itu berasal dari sel tunggal.6
A. Morfologi
Sistem FAB (Prancis-Amerika-Inggris) membedakan tiga subtipe secara
morfologi L1, L2 dan L3 yaitu :
- L1terdiri dari sel – sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin
homogen, anak inti umumnya tidak tampak, dan sitoplasma sempit.
- L2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

11
- L3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin
berbercak, banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik
dan bervakuolisasi. Identik dengan burkitt like leukemia.3,6
Diperkirakan 85% dari anak – anak dengan LLA memiliki dominan tipe
L1, 14% subtipe L2, dan 1% subtipe L3, sementara subtipe L2 umumnya banyak
terdapat pada dewasa. Subtipe L3 menunjukkan pada imunofenotip populasi dari
sel B matur.3,6

Gambar 3a. Subtipe L1

Gambar 3b. Subtipe L2

Gambar 3c. Subtipe L3

12
B. Imunoofenotipik.
Klasifikasi imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan
leukemia akut sesuai tahap – tahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan
kelompok saat ini mengklasifikasikan LLA dalam prekusor sel B atau leukemia
sel T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 20, CD22, ddan CD 79. Karakteristik
sel B matur adalah immunoglobulin pada permukaan., sementara sel T membawa
imunofenotip CD 3, CD7, CD5 atau CD 2.3
Dengan menggunakan tabel monoclonal antibody dan perkembangan
multiparameter fluorescence-activated cell sorter (FACS) machine, dapat
mengklasifikasikan LLA sel B atau sel T ke dalam derajat diferensisasi dan
maturasi dari klon B normal yang terganggu karena transformasi keganasan . Sel
B matur LLA jarang dan diperkirakan hanya 1- 2% dari semua kasus. Tipe LLA
ini diartikan sebagai adanya permukaan immunoglobulin, paling sering IgM, yang
mana monoclonal dari rantai κ atau λ.6,8,11
ALL sel T diklasifikasikan kedalam 3 stadium yaitu awal (stadium 1)
menengah (stadium 2), dan akhir (stadium 3). Umumnya leukemia sel T
menunjukkan adanya bentuk antigen dari T limfosit awal (stadium 1), sebaliknya
dari limfoma sel T dimana biasanya sel sel keganasan menunjukkan fenotip yang
intermediet atau matur.6,11
Sel – sel blas leukemik dianalisis berdasarkan surface marker myeloid
dan limfoid untuk membedakan LLA dari leukemia mielogenik akut serta
menentukan subklasifikasi LLA. Enzim terminal deoxytransferase (TdT) dan
DNA polymerase khusus yang diekspresikan hanya oleh limfoblas pre –B dan
pre-T ditemukan lebih dari 95% kasus. Subklasifikasi dilakukan berdasarkan asal
limfoblas :
1. Perkembangan sel – sel LLA pre – B terhenti pada stadium yang
mendahului ekspresi immunoglobulin permukaan, sel – sel limfoblas
mengekspresikan antigen pan sel – B CD 19.
2. Perkembangan sel – sel LLA pre – T terhenti pada stdium maturasi
intatimik yang dini; sel – sel limfoblas sring mengkspresikan CD1a dan
secara bervariasi mengekspresikan penanda sel- T yang lain.6,11

13
Gambar 4. Representation of stages of lymphoid differentiation and
immunophenotyping in B and T –cell precursor ALL of childhood6

Tabel 1. Klasifikasi imunologi LLA8

C. Sitogenetika dan genetika molekuler


Analisis sitogenetik konvensional mendeteksi hanya sel neoplastik
yang aktif secara mitosis (metaphase). Dewasa ini, perkembangan terbaru dari
teknik molekuler sitogenetik, melipuri metode terbaru dari pita- pita kromosom
dan standard fluorescent in situ hybridization (FISH) dengan teknik molekuler
genetik dari spektrum karyotipe dan comparative genomic hybridization (CGH)
menyatakan keabnormalan kromosom dari sel leukemia dari sebagian kasus LLA

14
pada anak – anak. Abnormalitas sitogenetik yang dilaporkan pada LLA meliputi
jumlah kromosom (ploidy) dan penyusunan struktural.6
Lebih kurang 90% dari LLA mengalami perubahan kromosom. LLA
pre – B dan pre – T berkaitan dengan translokasi kromosom rekuren yang nyata
dengan menunjukkan bahwa mekanisme molekuler yang berbeda mendasari
patogenisisnya. Penyimpangan kromosom atau genetik yang penting meliputi :6
- Hiperdiploidi ( kromosom 51 hingga 60) : berkaitan dengan fenototip sel
pre –B dan memiliki prognosis yang relatif baik.
- T (12;21) : berkaitan dengan fenotip sel pre – B yang dini dan memiliki
prognosis yang baik.
- T (9;22), kromosom philadelphia : ditemukan pada 55 kasus – kasus LLA
pre – B anak – anak dan hingga 25% kasus – kasus pada orang dewasa;
disertai dengan prognosis yang buruk.
- Translokasi yang meliputi kromosom 11 pada pita q23, berkaitan dengan
onset yang dini (usia 2 tahun), fenotipe pre – B yang dini dan prognosis
yang buruk.

Gambar 5. Kromosom abnormal8


LLA dapat diklasifikasikan kedalam 4 subtipe berdasarkan jumlah
kromosom :
- Hiperdiploid (dengan lebih dari 47 kromosom, 35 - 45% dari kasus)

15
- Pseudodiploid ( 46 kromosom dengan structural atau abnormalitas
numerik, kira – kira 40% kasus)
- Diploid ( 46 kromosom, 10 – 15% kasus)
- Hipodiploid ( kurang dari 46 kromosom, kira – kira 8% kasus).6
Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik,
imunologik dan kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen
permukaan sel yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka
imunofenotipe dapat ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari
sel progenitor , lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan 1% berasal
dari sel B yang relatif matang. Imunofenotipe ini mempunyai implikasi prognostik
maupun terapeutik. Subtipe dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi
relatifnya ditunjukkan pada gambar 5. Beberapa kasus belum dapat
diklasifikasikan karena menunjukan ekspresi antigen yang berkaitan dengan
beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau bifenotipik).6
Kariotipe dari sel leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan
terapeutik. Mereka menunjukan tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk
mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada transformasi leukemia. LLA anak
dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy)
dan atas penyusunan kembali (rearrangement) kromosom struktural misalnya
translokasi. Translokasi adalah struktural yang paling sering mengalami
perubahan kromosom pada LLA. Paling sering pada golongan pseudodiploid dan
hipodiploid. Hal ini berperan penting dalam proses leukomogenik dan sebagian
besar kasus (translokasi t (9;22),t(4;11) dan t (1;19) yang dihubungkan dengan
risiko awal dari gagalnya pengobatan. Translokasi yang paling sering pada LLA
adalah t (12;21), memiliki prognosa yang baik.6
Gen gabungan pertama yang dijelaskan pada LLA adalah BCR-ABL dari
t(9;22) (q34;q11) juga berkenaan dengan kromosom Philadelphia (Ph) yang
didentifikasi sebagai translokasi dengan prognosa yang buruk dalam pada LLA
anak. Kromosom Philadelphia ditemukan 955 kasus pada leukemia mielogenk
kronis., 25% pada kasus LLA dewasa, dan 3- 5% kasus pada LLA anak – anak.
Secara klinis, pasien dengan blast Ph+ adalah orang tua, jumlah leukosit yang

16
tinggi, sirkulasi persentasi blast yang tinggi, frekuensi yang tinggi pada FAB
morflogi L2, frekuensi yang tinggi pada susunan saraf sentral dan lebih sering
pada karyotipe diploid dari pada kasus dengan Ph negatif.6
Satu dari perkembangan yang menarik dari LLA adalah identidikasi TEL –
AML1, perubahan genetik pada kasus ini. Penggabungan TEL – AML 1dibentuk
oleh translokasi pada (12;21), teknik molekuler modern yang menunjukkan
translokasi ini yang diperkirakan ¼ kasus LLA pada anak- anak. TEL – AML 1
ekspresi dihubungkan dengan prognosa yang baik, dengan angka keselamatan
mencapai 90%.6,11
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidil tranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA
sel progenitor-B dan sel T. Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal,
ini dapat berguna untuk mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik
yang sulit. Misalnya, aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin
menolontg untuk membedakan relaps susunan saraf sentral awal dengan
meningitis aseptik.6
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada
waktu diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel
blas leukemia di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat.
Karena itu, tidak ada sistem pembagian stadium (staging) untuk LLA.6
2.4.1.3 Diagnosis
a. Manifestasi Klinis
Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya
kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya nonspesifik
dan meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus
atau eksantem dan penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna.
Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan
(trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan) gambaran ini biasanya
mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.2,3,4,6
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal
menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah

17
dan sesak nafas, anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam
karena, berkurangnya jumlah sel darah putih perdarahan, karena jumlah trombosit
yang terlalu sedikit.2,3,4,6
Pada pemeriksaan inisial, umumnya penderita, dan lebih kurang 50%
menunjukan petekie atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang mungkin
disebabkan oleh sebab spesifik seperti infeksi saluran napas atau otitis media.
Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di
bawah arkus kosta), dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang
lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan atralgia yang disebabkan
oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekapansi
rongga sumsum tulang akibat sel leukemia. Jarang ada gejala kenaikan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah, yang menunjukan keterlibatan
selaput otak. Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua
dan lelaki lebih banyak, 66% menunjukkan massa mediastionum anterior, suatu
gambaran yang sangat berkaitan dengan subtipe leukemia.2,3,4,6
b. Pemeriksaan penunjang
Anemia, leukosit abnormal, hitung jenis leukosit, dan trombositopeni
biasanya ditegakkan dalam diagnosis, menunjukkan derajat sumsum tulang yang
telah diinfiltrasi dengan leukemia limfoblas. Jumlah leukosit dengan rentang
antara 0,1 sampai 1500x109 dan meningkat (> 10x109) terdapat pada setengah dari
pasien. Hiperleukositosis (>100x109/L) terjadi kira – kira 10 – 15% dari pasien.6
Derajat hitung leukosit meningkat saat diagnosis merupakan perkiraan
yang kuat dalam prognosa LLA. Neutropeni (kurang dari 500 granulosit /mm3)
adalah fenomena umum dan dihubungkan dengan risiko yang meningkat dari
infeksi yang serius. Hipereosinofilia umumnya ada dalam penegakan diagnosis.
Jumlah trombosit yang menurun (50 x 109) biasanya ada pada diagnosis dan dapat
dibedakan dari trombositopenia imun. Perdarahan akut tidak jarang, ketika jumlah
trombosit rendah sampai 20 x 109, demam dan infeksi tidak ditemukan.
Koagulapati, biasanya ringan, dapat tejadi pada sel T LLA dan jarang
dihubungkan dengan perdarahan akut. Lebih dari 75% dari anemia, biasanya
normokrom normositik dan dihubungkan dengan retikulosit normal hingga

18
rendah. Anemia dan trombositopenia sering ringan pada dengan sel T LLA.
Pansitopenia diikuti dengan dengan waktu penyembuhan spontan yag merupakan
awal dari LLA pada kasus yang jarang dan harus dibedakan dengan anemia
aplastik.6
Pada pemeriksaan awal umumnya terdapat anemia, meskipun hanya kira-
kira 25% mempunyai Hb 6%. Kebanyakan penderita juga trombositopeni, tetapi
kira-kira 25% mempunyai trombosit 100.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan
hitung sel darah putih kurang dari 10.000/mm3, sekitar 20% memiliki hitung sel
darah putih yang lebih besar dari 50.000/mm3. Jumlah total sel darah putih bisa
berkurang, normal ataupun bertambah, tetapi jumlah sel darah merah dan
trombosit hampir selalu berkurang.2
Diagnosis leukemia dikesankan oleh adanya sel blast pada preparat
hapusan darah tepi tetapi dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang, yang
biasanya diganti sama sekali oleh limfoblas leukemia. Adanya > 20% sel blast
yang ditemukan pada sum – sum tulang.2,3,4
Pemeriksaan darah rutin (misalnya hitung jenis darah lengkap) bisa
memberikan bukti bahwa seseorang menderita leukemia.2,3
Kadang-kadang, sumsum tulang pada awalnya hiposeluler. Pemeriksaan
sitogenetik pada kasus-kasus ini mungkin bermanfaat untuk mengidentifikasi
abnormalitas spesifik yang berkaitan dengan sindroma preleukemia. Jika sumsum
tulang tidak dapat diaspirasi atau cuplikannya hiposeluler, maka diperlukan
sumsum tulang maka dapat dilakukan dengan biopsi sum – sum tulang.2,3
Radiografi dada diperlukan untuk menentukan apakah ada massa
mediastinum. Radiografi tulang mungkin menunjukkan perubahan trabekula
medulla, defek korteks, atau resorpsi tulang subepifiseal. Penemuan ini tidak
mempunyai arti klinis ataupun prognostik, sehingga survei skeletal biasanya tidak
diperlukan. Cairan serebrospinal harus diperiksa untuk menemukan sel leukemia
karena keterlibatan awal susunan saraf sentral mempunyai implikasi prognostik
penting. Kadar asam urat dan fungsi ginjal harus ditentukan sebelum terapi
dimulai.2

19
Tabel 2. Persentase gejala klinis LLA6

2.4.1.4 Diagnosis Banding


Penyakit-penyakit yang termasuk adalah penyakit dengan kegagalan
sumsum tulang, seperti anemia aplastik dan myelofibrosis. Mononukleosis
infeksiosa menimbulkan beberapa gambaran klinis serupa, tetapi pemeriksaan
teliti aspirat sumsum tulang memperlihatkan populasi sel normal.3
Infiltrasi sumsum tulang oleh sel maligna lain kadang-kadang
menyebabkan pansitopeni. Tumor pediatrik yang dapat menginfiltrasi sumsum
tulang-tulang meliputi neuroblastoma, rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing, dan
jarang retinoblastoma. Sel-sel tumor ini biasanya terdapat dalam kelompok-
kelompok yang tersebar di seluruh jaringan sumsum tulang tetapi kadang-kadang
dapat juga mendesak total sumsum. Biasanya pada kasus-kasus ini ada bukti
adanya tumor primer di suatu bagian tubuh.3

20
2.4.1.5 Terapi
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan
menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di
dalam sumsum tulang.3
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit yang lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfuse darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur ,
pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.3
Terapi kurtif/spesifik bertujuan untuk meneyembuhkan leukemianya
berupa kemoterapi yang meliputi induksi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf
sentral.. dan rumatan.3
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol
kemoterapi. Terapi induksi berangsung 4- 6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang
berbeda (deksametason, vinkristin, L- asparginase, dan atau antrasiklin).
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan
untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan
adalah tercapainya tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan
kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna
memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi
pada fase ini. Terapi susunan saraf sentral yaitu secara langsung diberikan melalui
injeksi intratekal dengan obat metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis
tinggi pusat pengobatan (3 -5gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur
> 5 tahun, mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi kranial (18 – 24 Gy)
disamping pemakaian sistemik dosis tinggi.3
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap
hari dan metroteksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama
perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi
adalah 2 – 21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3

21
tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan
atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.3
Pasien dinyatakan dengan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan
bebas gejala klinis leukemia, pada aspirasi sum – sum tulang didapatkan jumlah
sel blas < 5% dari sel berinti, hemoglobin > 12 g/dl tanpa transfusi, jumlah
leukosit > 3000/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >
2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal
normal.3
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai 98% pasien. 2- 3 %
pasien anak akan meninggal dalam CCR (continuous complete remission) dan 25
– 30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit.
Relaps sumsum tulang ynag terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis)
memperburuk prognosis (10- 20% long term survival) sementara relaps yang
terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relaps testis dimana long- term survival 50 – 60%. Terapi relaps harus
lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.3
Transpalantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk
sembuh, khususnya bagi anak – anak yang setelah relaps mempunyai prognosis
yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.3
2.4.1.6 Relaps
Sumsum tulang adalah tempat relaps paling umum, meskipun hampir
semua bagian tubuh dapat dipengaruhi. Di banyak pusat, sumsum tulang diperiksa
secara berkala untuk memastikan remisi yang berkelanjutan. Apabila terdeteksi
relaps sumsum tulang, terapi ulang intensif yang meliputi obat-obat yang tidak
digunakan sebelumnya dapat mencapai kesembuhan 15-20% dari penderita,
terutama yang pernah mengalami remisi lama (18 bulan). Untuk penderita yang
mengalami relaps sumsum tulang, kemoterapi intensif diikuti Conventional Stem
Cell Transplantation (CST) dari donor sekandung yang cocok memberi
kesempatan sembuh yang lebih besar. Transplan dari bukan keluarga yang cocok
atau keluarga yang tidak cocok atau autolog merupakan pilihan bagi penderita
yang tidak memiliki donor sekandung atau histokompatibel.2,12,13

22
Sisi relaps ekstrameduler yang paling penting adalah susunan saraf sentral
dan testis. Manifestasi awal yang umum dari leukemia susunan saraf sentral
disebabkan oleh kenaikan tekanan intrakranial dan meliputi muntah-muntah, nyeri
kepala, edema papil, dan letargi. Meningitis kimiawi sekunder akibat terapi
intratekal dapat menimbulkan gejala yang sama dan harus dipertimbangkan.
Kejang dan kelumpuhan saraf kranial sendiri dapat terjadi pada leukemia susunan
saraf sentral ataiu efek samping vinkristin. Keterlibatan hipotalamus jarang tetapi
harus dicurigai bila ada perubahanh kenaikan berat badan atau perubahan
perilaku. Pada kebanyak kasus, tekanan cairan serebrospinal meningkat, dan
cairan menunjukkan pleiositosis karena sel leukemia. Jika jumlah sel normal, sel
leukemia mungkin dapat dijumpai pada preparat apus cairan serebrospinal setelah
sentrifugasi.2,12,13
Penderita dengan relaps susunan saraf sentral harus diberi kemoterapi
intratekal tiap 4-6 minggu sampai limfoblas menghilang dari cairan serebrospinal.
Dosis harus disesuaikan dengan umur karena volume cairan serebrospinal tidak
sebanding dengan luas permukaan badan. Iradiasi kranium mereupakan satu-
satunya cara yang dapat melenyapkan leukemia susunan saraf sentral jelas dan
harus diberikan setelah terapi intratekal. Terapi harus lebih intensif karena
penderita ini mempunyai resiko tinggi untuk kemudian relaps sumsum tulang.
Akhirnya, terapi susunan saraf sentral profilaksis harus diulangi pada setiap
penderita yang mengalami relaps di sumsum tulang atau lokasi ekstramedular
manapun.2,12,13
Relaps testikuler biasanya menyebabkan pembengkakan tidak nyeri pada
satu atau kedua testis. Penderita sering tidak menyadari kelainan tersebut, karena
itu perlu sekali perhatian pada ukuran testis pada waktu diagnosis dan
pemantauan. Diagnosis dipastikan dengan biopsi. Terapi harus meliputri iradiasi
gonad. Karena relaps testis biasanya mengisyaratkan adanya relaps sumsum
tulang mengancam, maka terapi sistemik harus lebih diperkuat bagi penderita
yang masih didalam terapi. Seperti yang dikemukakan diatas, terapi yang terarah
ke susunan saraf sentral harus juga diulang.2,12,13

23
2.4.1.7 Prognosis3
Faktor prognostik LLA sebagai berikut :
- Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin
merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya
hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA
pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 5000 ul
mempunyai prognosis yang buruk.
- Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien ssat didiagnosis dan
hasil pengobatan. Pasien dngan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10
tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien
berumur diantara itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi
terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis palin buruk. Hal ini
dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.
Leukemia bayi berhubungan dengan gene re – aeeangement pada
kromosom 11q23 seperti t (4;11) atau t (11;19) dan jumlah leukosit yang
tinggi.
- Fenotip imunologis dari limfoblas saat diagnosis juga mmpunyai nilai
prognostik. Leukemia sel- B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi
“kappa” dan “lamda” spesifik untuk sel –B, prognosisnya semakin baik.
Sel – T leukemia juga mempunyai prognosis yang jelek dan iperlakukan
sebagai risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel – T leukemia murni tanpa
faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama
dengan leukemia sel pre B, LLA sel T diatasi dengan protokol risiko yang
tinggi.
- Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai
penelitian, sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan
mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak lelaki. Hal ini dikatakan
karena timbulnya relaps testis dan kejadian sel leukemia sel T yang tinggi,
hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediastinum pada anak
laki – laki. Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada
perbedaan meatbolisme merkaptopurin dab metotreksat.

24
- Respon terhadap terapi apat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi
sesudah 1 minggu terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkna prognosis
buruk.
- Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA
hiperploid (50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus
mempunyai prognosis yang baik. LLA hiperploid (3-5%) memiliki
prognosis intermediate seperti t (1;19). Translokasi t (9;22) pada 5% anak
atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.
Tabel 3. Perbedaan faktor prognostik12

2.4.2 Leukemi mieloblastik akut


2.4.2.1 Definisi
Leukemia mieloid akut (LMA) atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML)
sering juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute
Granulocytic Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan
diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat
sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan
penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal.2,3
Pada kebanyakan kasus LMA, tubuh memproduksi terlalu banyak sel
darah putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang
imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya
infeksi. Pada LMA, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi

25
granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel
normal di sumsum tulang.3
Leukemia akut ini mengenai sel stem hematopoetik yang kelak
berdiferensiasi ke suatu sel mieloid; monosit, granulosit, eritrosit, dan trombosit.
Semua kelompok usia dapat terkena, insidensi meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. 3

Gambar 6. Maturasi sel – sel myeloid9

2.4.2.2 Epidemiologi
Insidens LMA melebihi angka perkiraan pada kelainan genetik, termasuk
trisomi 21, anemia Fanconi, anemia Diamond-Blackfan, sindrom Kostmann, dan
sindrom Bloom. LMA mengenai semua kelompok usia, tetapi kejadiannya
meningkat dengan bertambahnya usia. LMA merupakan 20% kasus leukemia
pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita LMA setiap tahunnya di seluruh dunia.
LMA pada anak berjumlah kira-kira 15% dari leukimia, dengan insidensi yang
tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja.14,15,16
Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000 penduduk atau sekitar
500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun menderita LMA dan insiden
ini meningkat sejalan dengan umur, puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk
dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih.14,15,16
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan
650 kasus leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di
Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis LMA .11-14 Sekitar 80% anak di bawah

26
usia 2 tahun dengan LMA biasanya menderita LMA subtipe M4 atau M5. Subtipe
M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama dengan Sindrom
Down.2
Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan kromosom
pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru
didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16,
translokasi pita 11q23, dan trisomi. LMA juga meningkat dari mielodisplasia,
atau sekunder dari kemoterapi sebelumnya.16
2.4.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan French – American – British System (FAB), yaitu klasifikasi
morfologis yang didasarkan pada diferensiasi sel dari pematangan sel-sel
leukemia predominan di dalam sumsum tulang, serta didasarkan pula pada
penelitian sitokimiawi, LMA dibagi :
Tabel 4. Klasifikasi dan Insidensi subtipe LMA berdasarkan morfologi17

Garis Klasifikasi Subtipe Insidensi


turunan sel
Myeloid LMA Mo Leukemia mieloblastik akut, 3-5%
differensiasi minimal

M1 Leukemia mieloblastik akut, tanpa 15-20 %


maturasi

M2 Leukemia mieloblastik akut, dengan 25-30%


maturasi

APL M3 Leukemia Promielositik Akut, 10-15 %


hipergranular

Myeloid dan AMML M4 Leukemia myelomonositik akut 20-30 %


monositik

M4eo Leukemia myelomonositik akut


dengan eosinofilia

Monositik LMA M5a Leukemia monoblastik akut, 2-9 %


diferensiasi buruk

M5b Leukemia monositik akut, diferensiasi

27
Eritroid dan AEL M6 Eritroleukemia akut 3-5 %
myeloid

Megakariosit M7 Leukemia megakarioblastik akut 3– 5 %

Tabel 5. Klasifikasi LMA berdasarkan sitokimia17

Tabel 6. Klasifikasi LMA berdasarkan imunositologi17

Klasifikasi LMA menurut FAB diperlihatkan pada tabel diatas didapatkan


pada sel blas M1 memperlihatkan adanya beberapa granula dan dapat
memperlihatkan Auer rod. Sel M2 memperlihatkan adanya granula sitoplama
multiple. Sel blas M3 memperlihatkan nucleus bilobus yang mengandung granul
azurofilik berlimpah yang kasar dan sering ditemukan batang Auer multiple. Sel
blas M4 memperlihatkan sedikit diferensiasi monositoid.Sel blas M5

28
memperlihatkan leukemia predominasi monoblastik. Sel blas M6 memperlihatkan
predomiasi eritroblas. Sel blas M7 memperlihatkan leukemia megakarioblastik
adanya tonjolan sitoplasma pada sel blas.17
Leukemia berdasarkan penjelasan morfologi :
a. Leukemia mieloblastik akut diferensiasi minimal (M0)

b. . Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (M1)

c. Leukemia mieloblastik akut dengan maturasi (M2)

Berbeda dengan M1 pada leukemia tipe M2 ini ditandai dengan banyaknya


granulosit yang matang. Leukemia jenis ini diderita oleh sekitar 40% dari seluruh
penderita LMA.

29
d. Leukemia promielositik akut (M3)

Pada leukemia tipe M3 ini ditandai dengan diferensiasi granulosit disertai


promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan disseminated intravaskular
coagulation (DIC), sehingga pada leukemia tipe M3 terdapat manifestasi
perdarahan seperti : hemoptisis, hematuria, perdarahan vagina, melena,
hematemesis, dan perdarahan pulmonasi dan intrakranial. Perdarahan ini
disebabkan trombositopeni atau DIC. Jenis ini ditemukan ± 10% kasus dari
seluruh kasus LMA.

e. Leukemia Mielomonositik Akut (M4)

Pada pemeriksaan sitologi ditemukan sel leukemia yang dominan


mieloblas dan monosit di dalam darah dan sumsum tulang. Pada pemeriksaan
klinis hampir sama dengan leukemia M1 – M3, tetapi menunjukkan gejala
infiltrat ekstramedular yang lebih tinggi seperti pada gingiva yang menyebabkan
hipertrofi gingiva, kulit ataupun sistem saraf pusat dengan gejala pusing, nausea,
vomitus dan kadang-kadang perdarahan intracranial.

30
f. Leukemia Monositik Akut (M5)

- M5a : leukemia monositik akut, kurang berdiferensiasi

- M5b : leukemia monositik akut, berdiferensiasi baik.

Leukemia tipe M5 ditandai dengan tingginya prevalensi tumor


ekstramedular pada kulit, gingiva, mata, laring, lambung, rectum dan berbagai
tempat lain. Hepatomegali dan splenomegali juga banyak terjadi dibandingkan
dengan jenis leukemia yang lain. Leukemia tipe M5 ditemukan ± 10% dari
seluruh kasus LMA dan sering pada anak-anak atau dewasa muda.

g. Leukemia Eritrositik Akut (M6)

Anemia dan trombositopenia pada semua kasus, umumnya dapat


ditemukan kenaikkan jumlah leukosit. Sel darah merah terlihat anisositosis,
poikilositosis, anisokromia dan basofilik. Pada sumsum tulang yang dominan
mieloblas dan eritroblas, eritroblas sangat abnormal dengan banyaknya nukleus
raksasa, bercabang dan tersebar. Tipe ini sekitar 5% dari seluruh kasus LMA.

31
h. Leukemia Megakariositik Akut (M7)

Tabel 7. Klasifikasi berdasarkan abnormalitas kromosom17

Translokasi t(8;21) hampir secara eksklusif ditemukan pada M1 dan M2.


Semua kasus M3 membawa translokasi t (15;17) dan M5 berhubungan dengan
t(9;11). Kromosom 16 abnormal terlihat dominan pada M4 dan sebagai
berhubungan dengan peningkatan eosinofil di sumsum tulang. Pada bayi,
umumnya perubahan kromosom melibatkan 11q23. Banyak kromosom berperan
dalam translokasi yang melibatkan lokus ini. Gen pada kromosom 11( MLL,
HRX, atau ALL -1) berhubungan dengan sebuah gen homebox pada drosophila
yang bila bermutasi meningkatkan malformasi morfologi pada dada dan perut
pasien. Translokasi ynag terlihat pada leukemia promielositik (FAB M3)
t(15;17), break point pada kromosom 17 adalah gen encoding dari retinoic acid
nuclear receptor alpha (RAR – a) an kromosom 15 pada gen yang awanya disebut

32
myee kemudian dinamakan PML. Leukemia bereaksi pada semua trans retinoic
acid.3
Produk gen dari translokasi t(8;21) (q22;q22) suah terdeteksi. Break point
pada kromosom 21 melibatkan gen LMA – 1 dan kemungkinan merupakan
kandidat kromosom 8 yang isebut EOT. Translokasi ini hasil produksi gen
chimerik dan sebuah pesan yang kadang – kadang mengarah pada keganasan.3
2.4.2.4 Diagnosis
a. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana
disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia
yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi
dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang
disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan, paru-
paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.3,14,15
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3),
sering terjadi leukositasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya
gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri.
Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang
sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan
priapismus.3,14,15
Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat
sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena
hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh
pasien.3,14,15

33
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (koroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun
jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings
dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan
serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.3,14,15
LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan
kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap
penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Nyeri tulang kurang
sering dibanding dengan pada LLA. Hepatosplenomegali sering, limfadenopati
mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi
merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari sel leukemia (kloroma),
mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retroorbotal dan epidural paling
sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung
darah biasanya abnormal. Anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung
leukosit mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada
preparat apus darah.3,14,15
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan
anemia, leokopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering
terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Gambaran khasnya
meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum tulang. Perjalanan alamiah
sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada anak
yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.3
Pada pemeriksaan pasien terlihat lemah, lesu dan adanya perdarahan
serta anemia dan leukopenia. Limfadenopati atau hepatosplenomegali sangat
jarang ditemukan pada saat didiagnosis. Tingginya angka sel blast dan leukosit
merupakan tanda keadaan yang sudah lanjut. Platelet mungkin normal atau
mengalami kenaikkan pada saat diperiksa. Pada banyaknya kasus aspirasi sumsum
tulang yang berhasil karena sumsum mengalami fibrosis. Pada biopsi sumsum

34
dapat ditemukan sel blast yang kecil atau yang besar atau bahkan keduanya dan
banyak sel megakariosit. Dari seluruh tipe LMA hanya 5 % saja termasuk tipe
ini.3,14,15
b. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan anemia dan trombositopenia,
sedangkan leukosit dapat tinggi, normal ataupun rendah. Kadar
hemoglobin sekitar 7 sampai 8,5 g/dl, jumlah trombosit umumnya <
50.000/µl dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/µl. Sekitar 20 % pasien
jumlah leukositnya > 100.000/µl.2,3
Acute promyelocytic leukemia (APL) juga dikenal sebagai M3 adalah
subtipe yang paling umum dari akut myelogenous leukemia (LMA) yang
berhubungan dengan DIC. Dimana pada DIC akan ditemukan peningkatan
prothrombin time, penurunan fibrinogen dan adanya produk pecahan
fibrin.19
2. Hapusan Darah Tepi
Hapusan darah tepi akan menunjang pemeriksaan darah lengkap.3
3. Kimia darah dan kultur darah
a. Terjadi peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) dan kadar asam
urat
b. Tes fungsi hati dan darah urea nitrogen (BUN) / kadar kreatinin
yang diperlukan sebelum memulai terapi.
c. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur darah pada pasien yang
mengalami demam atau tanda-tanda infeksi.14
4. Lakukan pemeriksaan human leucocyte antigen (HLA) atau DNA pada
pasien yang diperkirakan mengalami transplantasi alogenik.3,14
5. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang sebagai pemeriksaan penunjang
definitif LMA.18
LMA ditandai dengan terdapat lebih dari 20 % leukemia blast pada
sum-sum tulang. Pada LMA terjadi proliferasi mieloblas . Mieloblas sulit
dibedakan dari limfoblas secara morfologi kecuali jika mieloblas
mengandung Auer rod. Auer Rod merupakan inklusi sitoplasmik kristalin

35
warna ungu, Mieloblas bermaturasi menjadi promielosit dan terlihat granul
kasar dalam sitoplasma dan digunakan sebagai penanda sitokimia atau
imunologik.18
Aspirasi sum-sum tulang dapat mengevaluasi derajat displasia pada
seluruh sel line, sedangkan biopsi sum-sum tulang dapat digunakan untuk
menilai selularitas. Biopsi adalah pemeriksaan paling penting pada pasien
yang tidak dapat dilakukan aspirasi (dry tap). Hasil aspirasi diwarnai
dengan pewarnaan Wright atau Giemsa untuk mengetahui morfologinya,
namun untukk menentukan tipe leukemia hasil pemeriksaan akan diwarnai
myeloperoxidase atau Sudan Black atau terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) atau dilakukan pemeriksaan metode lainnya seperti flow
cytometry dan double esterase. Sampel sum-sum tulang seharusnya dikirim
untuk tes sitogenetik dan flow sitometri.Pasien dengan APL sebaiknya
dievaluasi untuk PML/RARa genetic rearrangement.18
6. Flow cytometry (immunophenotype) dapat dilakukan untuk membedakan
LMA dari ALL dan selanjutnya digunakan untuk mengklasifikasikan
subtype LMA. Imunophenotype dapat pula membantu menentukan
prognosa.18
7. Sitogenetik sum-sum tulang memberikan informasi prognostik yang
penting dan bermanfaat untuk mendiagnosa APL dengan t (15;17),
dimana terapi yang diberikan akan berbeda sesuai dengan abnormalitas
kromosom yang terjadi.18
8. Fluorescence in situ hybridization (FISH) dapat digunakan untuk
mengetahui abnormalitas sitogenetika yang lebih cepat daripada
pemeriksaan sitogenetik tradisional. Namun FISH tidak menggantikan
peranan sitogenetik.18
9. Beberapa kelainan molekul tidak terdeteksi dengan sitogenetika rutin
padahal prognosisnya dipengaruhi oleh jenis kelainan molekul yang
terjadi. Sumsum tulang harus dievaluasi setidaknya untuk tes yang lebih
spesifik.18

36
a. Analisis FLT3 yakni FMS seperti tirosin kinase 3 (FLT3) dan
Internal tandem duplikasi (ITDs) yang terdapat pada domain
juxtamembrane dari FLT3. Terjadi pada 25 % kasus LMA.
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa pasien LMA dengan
ITDs FLT3 memiliki prognosis buruk.18
b. Analisis NPM1 yakni mutasi nucleophosmin (NPM1). Thiede et al
mempelajari FLT3 dan NPM1 di tahun 1485 pasien LMA. Analisis
dampak klinis dalam 4 kelompok (NPM1 dan mutan tunggal FLT3-
ITD, mutan ganda, dan wild type [wt] untuk keduanya) menunjukkan
bahwa pasien yang hanya memiliki mutasi NPM1 (tanpa-FLT3 ITD)
memiliki ketahanan hidup secara signifikan lebih baik dan lebih jarang
kambuh setelah dilakukan kemoterapi sebelumnya.18
c. Analisis CEBPA dan ERG. Mutasi di CEBPA berhubungan dengan
durasi remisi lebih lama. Overekspresi ERG merupakan prediktor
sitogenetik yang merugikan dalam LMA.18
d. Sebuah studi oleh Kanker dan Leukemia Kelompok B menyatakan
bahwa tingginya ekspresi BAALC independen memprediksi
menurunkan tingkat remisi lengkap ketika disesuaikan ekspresi ERG
dan usia, dan kelangsungan hidup lebih pendek ketika disesuaikan
FLT3-ITD,, NPM1 CEBPA dan menghitung WBC.18

10. Ekspresi profiling gen merupakan alat penelitian yang memungkinkan


klasifikasi komprehensif LMA berdasarkan pola ekspresi gen.9

Adanya paling sedikit 30% sel blas leukemia di sumsum tulang


diperlukan untuk diagnosis LMA. Analisis morfologi dan sitologi
(pengecatan histokimiawi mieloperoksidase positif, Sudan hitam, atau
esterase nonspesifik) blas leukemia biasanya cukup untuk membedakan
LMA dan LLA. Namun, dalam kategori LMA, morfologi mungkin
bervariasi. Untuk klasifikasi dan terapi kontemporer AML, sel blas
leukemia harus dikarakterisasi atas dasar ekspresi antigen permukaan sel
(imunofenotip) dan dengan analisis kromosom (kariotip).18

37
Sistem FAB membagi LMA menjadi 8 subtipe, M0 sampai M7. Yang
amat bersesuaian dengan galur hematopoiesis. Di antara anak, jumlah
kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira sama dengan jumlah
penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung jawab atas 80%
dari LMA masa kanak-kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang, dan M6
langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai
perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi.
Peristiwa molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.18
Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau
kemudian) dapat terjadi pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia
promielositik akut (M3) yang terutama beriksiko. Penemuan yang hampir selalu
tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik antara kromosom 15 dan
17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena yang menyandi reseptor asam
retinoat-α. Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita
ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat
dengan kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada
M4, di mana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol.18
Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA,
tetapi sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan
mempunyai gambaran displasia yang khas, termasuk megaloblastosis. Penderita
mungkin tidak tampak sakit pada waktu diperiksa dan hanya anemia dan
leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri ke dokter.
Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau sebagian dari
kromosom 5 atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7 terutama sering pada
sindrom mielodisplasia sekunder dan LMA sekunder.18
Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous
leukemia (JCML)) tidak seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid
leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi mempunyai gambaran yang serupa dengan
gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia. Kromosom Philadelphia tidak ada
pada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam, lesu, pembesaran hati
dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis sering

38
mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat mencapai
50%, dan leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang)
merupakan temuan yang mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari
5 tahun dan mungkin lebih sering pada anak dengan neurofibromatosis tipe 1,
kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.18
2.4.2.5 Diagnosa banding.
Diagnosis banding leukemia perlu dipikirkan pada anak antara lain anemia
aplastik, gangguan mieloproliferatif, immune trombositopeni purpura, dan sepsis.3

2.4.2.6 Terapi
Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang
mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang
berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat serta mempunyai profil
sitogenik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal,
sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan
dimulai. 3
Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA
mengandungi preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan
adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu,
penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100
ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk
menghindari leukositosis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat
penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit
yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium
mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang
steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka
kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.5
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus dilakukan eradikasi
sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum
tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai
remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya

39
sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk
mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum
tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi
pengobatan yang baik.5
Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase:
fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen
kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik
secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta
pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast
<5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel
klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan
terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus
remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh
pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi
menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,
meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan
program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.3
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi
dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari
dosis yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini
sebenarnya dapat menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang
ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode
apalsia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap
infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat
berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan
transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat
penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan
menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk
leukemia promielositik akut (LPA).3,18

40
Terapi LMA pada Umumnya
Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin
dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan
daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai
kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi
primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.3,14,17,20
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin
merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan
fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah high dose
cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah
sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau
sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.3,17
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,
transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT)
otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan
berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian
besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik disbanding pasien
usia tua. Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau
HSCT untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan
suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter
sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia,
dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua
umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival
kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani
HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.17
Terapi Leukemia Promielositik Akut
Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan
kelainan sitogenetik berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus.

41
Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR,
menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakbatkan blokade maturitas
pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang
disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR
sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka
kesembuhan lebih dari 70%.19
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal
ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien
dengan manifestasi koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi
antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati
harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami
perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan
eaminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.19
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis
antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila
digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap
antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel
sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif
vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi
sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA
menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan
dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi
koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini
akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara
ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid syndrome/RAS).19
Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi
dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin,
daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12mg/m2/hari
selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan
kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan
ATRA. RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari

42
setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia
setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom
kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distress respirasi, dan munculnya
infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau
efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik
walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia.19
Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL, ATRA dan kemoterapi
diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi
lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa
melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan
infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera
diberikan (10mg iv 2 kali sehari).19
Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi
berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga
resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah
digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abat
yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA
yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten
terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO
mempunyai mekanisme kerja; memacu degradasi fusi protein PML-RAR
(khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel
leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis
0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan
maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan
respon sebesar 70% hingga 100%.19
Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut :2
- Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)
yaitu status penampilan ≤ 2.
- Jumlah lekosit ≥ 3000/ml

43
- Jumlah trombosit ≥120.0000/ul
- Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 5.
- Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
- Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal
- Elektrolit dalam batas normal.
- Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada
usia diatas 70 tahun.
Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi
tiap individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut
(stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare,
konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas,
hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Pasien AML hanya memberikan
respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat penderita lebih
sakit sebelum mereka membaik.2
Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitias
sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama
granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi.
Prognosis Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3
kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable),
menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable).18
Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2
tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar
leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak
resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan
leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate)
bagi kelompok ini adalah 50-85%.18
Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60
tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel
blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk
terhadap kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug therapy, serta
ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan

44
hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%.
Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan
buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok
prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2
years survival rate) sekitar 40-50%.18
2.4.2.6 Prognosis3
Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup
lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps
setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan
transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa
subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang semakin baik. 1
Faktor risiko LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor - faktor tersebut
antara lain :

- Umur saat diagnosis tidak terlalu penting pada ALL.


- Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.
- FAB M3 ( promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya
diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.
- Anak – anak dengan sindrom down terdapat 10% kasus. Sebagiann besar
merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dan kemoterapi.
Translokasi kromosom adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan
dengan t (8;21), t (15;17) dan inverse 16. Ploidi juga mempengaruhi
prognosis.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Arifin Z. Pola leukemia limfoblastik akut di bagian Ilmu kesehatan anak


FK –USU/RS Pirngadi. Medan. e – USU Repository : Universitas Sumatra
utara, 2004.
2. Anomim. Leukemia akut. (online), 2007. http: // www.scrib.com, diakses
tanggal 11 november 2010.
3. Permono B, dkk. Leukemia akut. (editor) Bambang permono. Buku ajar
hematologi onkologi anak cetakan kedua. Jakarta : IDAI, 2006, hal 246 –
247.
4. Rubnitz JE, Hon-pui C. Childhood acute lymphoblastic leukemia. The
oncologist 1997; 2 :374 – 380.
5. Fanning, Suzanne R, Sekeres, Mikkael A and Theil K. Leukemia.
Cleveland Clinic, 2004
6. Ricerca MC, et al. Acute lymphoblastic leukemia. http ://
www.orpha.net/data/patho/GB/uk-ALL.pdf, December 2004, page. 1 – 13.
7. Emerianciano M, Koifman S, Pambo –de-oliverira. Acute Leukemia in
early childhood. Brazilian journal of mediacai and biological research,
vol.40, no.6, 2007, page. 749 – 760.
8. Pui CH, Relling MD, Downing JR. Acute Lymphoblatic Leukemia. N
ENGL J MED 350 ; 15, april 8, 2004, page. 1535 – 1548.
9. Pasquini, Marcelo and Rocha, Vanderson. Acute Myeloid Leukemia.
[Online] 2005
http://home.ccr.cancer.gov/oncology/oncogenomics/WEBHemOncFiles/P
PT%20and%20PDF%20etc%20to%20add/AML_2.pdf.
10. Bachir F, et al. Characterization of acute lymphoblastic leukemia subtypes
in maroccan children. International journal of pediatrics, vol.2009, page 1
– 7.

46
11. Rubnitz JE, et al. Childhood acute lymphoblstic leukemia with MLL-ENL
fusion and t (11;19) (q23;p13.3) translocation. J clin oncol 17, American
society of clinical oncology, 1999. Page 191 – 196.
12. Zorlu P, Ergor G, et al. Evaluation of risk factors in children with acute
lymphoblastic leukemia. Turkish journal of cancer vol.32, no.1, 2002, page
5 – 11.
13. Gaynon PS, et al. Survival after relapse in childhood acute lymphoblastic
leukemia. CANCER April 1, 1998, vol.82, no.7, pp. 1387-1395.
14. Stone RM, O’Donnell M, Sekeres MA. Acute myeloid leukemia.
American society of hematology, 2004, page 98 – 117.
15. Krance, RA. Leukemia myeloid acute. (Editor) Klieghman, AB. Ilmu
kesehatan anak edisi 15, vol.13. Nelson. Jakarta : EGC, 2000.
16. Mitchael, Kumar, Abbas,Fusto. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit.
Robbins & Cotran.Edisi 7. EGC, 2009.
17. Society, The Leukemia & Lymphoma. Acute Myelogenous Leukemia.
[Online] Cephalon Oncology, 2006. http://www.leukemia-
lymphoma.org/attachments/National/br_1200426633.pdf.
18. Karen, S. Acute Myelogenous Leukemia. New York : emedicine medscape,
2010.
19. Sanz MA, Lo – loco F, Ribeiro RC. Acute Promielocytic Leukemia.
American society of hematology, 2006. Page 147 – 155.
20. Pui CH, et al. Acute myeloid Leuekmia in children treated with
epipodophyllotoxins for acute lymphoblastic leukemia. The new england
journal of medicine,vol. 325, no. 24, december 12, 1991, page. 1682 – 7

47

Anda mungkin juga menyukai