Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

OLEH :
Wa Ode Dewiud Retnosari, S.Ked
K1A1 13 095

PEMBIMBING :
dr. Hasnia Bombang, M.Kes, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
LEUKIMIA
Wa Ode Dewiud Retnosari, Hasnia Bombang

A. PENDAHULUAN

Leukemia Limfoblastik Akut merupakan penyakit keganasan sel darah


yang berasal dari sumsum tulang, yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah
putih yang tidak teratur dan tidak terkendali sehingga terjadi abnormalitas
fungsi dari sel-sel darah putih itu sendiri dan ikut mengganggu fungsi lain dari
sel darah normal. Menurut data statistik, leukemia paling sering terjadi pada
anak-anak dan remaja, dimana 1 dari 3 kasus keganasan pada anak adalah
leukemia. Namun secara keseluruhan, leukemia merupakan penyakit yang
jarang terjadi. 1,2
Leukemia akut adalah yang paling banyak terjadi pada anak-anak
dibandingkan leukemia kronik yang cukup jarang ditemui pada anak--
anak.Leukemia akut terbagi menjadi dua macam yaitu Leukemia Limfoblastik
Akut (LLA) dan Leukemia Mieloblastik Akut (LMA). Kejadian LLA pada
anak lebih sering yaitu sebanyak 82% kasus dibandingkan LMA yang hanya
18% kasus.2
Leukemia akut didefinisikan sebagai penyakit keganasan sel darah yang
berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih,
dengan manifestasi sel abnormal dalam darah tepi. Leukosit dalam darah
berproliferasi secara tidak teratur, tidak terkendali dan fungsinya menjadi tidak
normal. Oleh karena proses tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal
juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia.1 Leukemia akut pada
anak-anak mencakup 30%-40% dari keganasan pada anak, yang dapat terjadi
pada semua umur, insidens terbesar terjadi pada usia 2-5 tahun dengan insidens
rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah umur 15 tahun.2,3 Beberapa
penelitian melaporkan bahwa proporsi pasien laki-laki lebih besar dari pada
perempuan, terutama terjadi setelah usia pertama kehidupan. Proporsi tersebut
menjadi lebih dominan pada usia 6-15 tahun. Pada keseluruhan kelompok

1
umur, rasio laki-laki dan wanita pada LLA adalah 1,15. Leukemia akut jenis
LLA (leukemia limfoblastik akut) terdapat pada ±90% kasus, sisanya 10%
merupakan leukemia mieolobastik akut (AML), dan leukemia mono sitik akut
(AMoL). Sedangkan leukemia limfositik kronik maupun eosinofilik, basofilik,
megakariosit, dan eritroleukemia sangat jarang terjadi pada anakanak.
Dikatakan bahwa angka kejadiannya di Negara berkembang kurang lebih sama
yaitu berkisar antara 83% untuk LLA dan sisanya 17% untuk AML.2

B. DEFINISI
Leukemia adalah kanker dari sel-sel pembentuk darah; sebagian besar
merupakan kanker dari leukosit, tetapi dapat juga berawal dari sel darah jenis
lain. Istilah leukemia pertama kali dijelaksan oleh Virchow sebagai “darah
putih” pada tahun 1874.2,3
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah salah satu tipe leukemia atau
kanker pada leukosit dimana terjadi keganasan proliferasi sel-sel limfoblas
muda dan ditunjukkan adanya limfoblas yang berlebihan di sumsum tulang,
kelenjar limfe dan darah. LLA merupakan salah satu jenis leukemia (kanker sel
darah putih) yang pada umumnya terjadi pada anak-anak disebut juga kanker
sel limfoid yang belum dewasa.2,3
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor
dari seri myeloid.2,3
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologi
yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik
dalam darah, sum-sum tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain.
LLK ini masuk dalam kelainan limfoproliferasi. Tanda-tandanya meliputi
limfositosis, limfadenopati dan splenomegali. Kebanyakan LLK (95%) adalah
neoplasma sel B, sisanya neoplasma sel T. Usia rerata pasien saat diagnosis 65
tahun, hanya 10-15% kurang dari 50 tahun.2,3

2
C. EPIDEMIOLOGI
Menurut World Health Organization (WHO) Leukimia terjadi hampir
diseluruh dunia. Registrasi kanker telah mencatat sekitar 250.000 kasus baru
per tahun dengan CFR 76%. Dari 100.000 kasus baru, Leukimia Mieloblasitik
Akut (LMA) sekitar 2,5%, sementara Leukimia Limfositik Akut (LLA) 1,3%.
Data America Cancer Society (2014) menyebutkan bahwa angka
kejadian leukemia di Amerika Serikat 33.440 kasus, 19.020 kasus diantaranya
pada laki-laki (56,88%) dan 14.420 kasus pada perempuan (43,12%). Insidens
rata-rata 4 – 4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun.2-3
Sekitar 97% leukemia pada anak adalah leukemia akut yang terbagi atas
dua tipe yaitu LLA (82%) dan LMA (18%). Rasio laki-laki dan perempuan
adalah 1,5 untuk LLA dan mendekatik untuk LMA. Insidens pada anak kulit
putih lebih tinggi dibandingkan anak kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia
pada anak kulit hitam lebih tinggi dari pada anak kulit putih.2 Di Jepang
insidens leukemia akut mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun
terjadi 1000 kasus baru.
Berdasarkan statistik rumah sakit dalam Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) tahun 2006, kasus leukemia (5,93%) berada pada peringkat kelima
setelah kanker payudara, kanker leher rahim, kanker hati dan salurang empedu
intrahepatik, limfoma Non-Hodgin dari seluruh pasien kanker rawat inap
rumah sakit di Indonesia.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan
650 kasus kanker baru diseluruh Indonesia, 150 kasus diantaranya terdapat di
Jakarta. Sebanyak 70% merupakan penderita Leukimia.
Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2010
diperoleh data yaitu 52 kasus leukemia pada anak. Adapun jumlah leukemia
anak di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung sejak bulan November 2012-
Januari 2013 diperoleh data yaitu 58 kasus leukemia yang terdiri dari 21 orang
anak usia 2-5 tahun, 21 orang anak usia 6-9 tahun dan 16 anak usia 10-13
tahun.2,3

3
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.


Namun terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan keganasan
ini, antara lain sebagai berikut :
1. Faktor Genetik
Beberapa keadaan cacat genetik yang meningkatkan risiko anak terkena
leukemia:
a. Sindrom Down (trisomi 21)
Anak-anak dengan sindrom Down memiliki salinan ekstra (salinan
yang ketiga) dari kromosom 21, sehingga mereka lebih berisiko untuk
mengalami LLA dan LMA dari pada anak-anak lain, dengan risiko
secara keseluruhan sekitar 2-3%. Sindrom Down juga telah dikaitkan
dengan leukemia transient (dikenal sebagai gangguan myeloproliferative
transient), kondisi leukemia seperti dalam bulan pertama kehidupan
yang sering sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan1.
b. Sindrom Li-Fraumeni
Kondisi ini jarang terjadi, disebabkan oleh perubahan pada TP53 gen
supresor tumor. Orang dengan perubahan ini memiliki risiko lebih tinggi
terkena beberapa jenis keganasan, termasuk leukemia.1
c. Cacat genetik lainnya seperti neurofibromatosis dan anemia Fanconi’s
juga meningkatkan risiko leukemia.
d. Faktor imunitas
Suatu keadaan cacat genetik dapat menyebabkan anak lahir dengan
imunitas tubuh yang bermasalah, diantaranya sebagai berikut :
a. Ataksia telangiektasia
b. Sindrom Wiskott-Aldrich
c. Sindrom Bloom’s
d. Sindrom Schwachman-Diamond
Imunitas tubuh yang bermasalah selain meningkatkan risiko terkena
infeksi yang serius juga meningkatkan risiko mengalami leukemia.1,2

4
e. Memiliki saudara kandung dengan leukemia
Memiliki saudara kandung dengan leukemia meningkatkan faktor risiko
mengalami leukemia dan semakin berisiko jika memiliki saudara
kembar dengan leukemia. Akan tetapi secara keseluruhan angka
kejadiannya masih rendah.1
2. Faktor lingkungan
a. Faktor risiko lain mencakup faktor lingkungan seperti halnya penyakit
yang lain. Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero
dan pascanatal. Studi kasus di Moskow terhadap 204 pasien
paternal/maternal yang terpapar pestisida dan minyak bumi,
menunjukkan adanya peningkatan risiko leukemia pada keturunannya.
Mengonsumsi ganja pada saat kehamilan juga menunjukkan hubungan
yang signifikan untuk mengalami leukemia.
b. Faktor Radiasi
Radiasi dosis tinggi merupakan salah satu faktor risiko untuk
mengalami leukemia, seperti yang dilaporkan di Hiroshima dan
Nagasaki dimana korban selamat dari ledakan bom atom lebih berisiko
mengalami LMA setelah 6-8 tahun pascapaparan. Meskipun demikian
paparan radiasi dosis tinggi maupun dosis rendah in utero secara
signifikan tidak mengarah pada penignkatan insidens leukemia, namun
hal ini masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama
trimester 1 kehamilan menunjukkan peningkatan LLA sebanyak 5 kali.
Studi terbaru tentang paparan elektromagnetik menunjukkan
peningkatan 2 kali pada anak-anak yang tinggal di jalur listrik
tegangan tinggi namun tidak signifikan karena yang terpapar sedikit.1,2
3. Infeksi Epstein-Barrvirus dan Human T cell Leukimia Virus (HTLV)
Hipotesis yang menarik saat ini adalah peranan infeksi virus atau bakteri
pada etiologi leukemia, seperti yang diungkapkan oleh Greaves yang
mempercayai bahwa ada 2 langkah mutasi pada sistem imun yaitu pada saat
kehamilan atau awal masa bayi dan pada tahun pertama kehidupan sebagai
konsekuensi respon terhadap infeksi pada umumnya.2

5
4. Obat-obatan
Beberapa obat yang menyebabkan depresi sumsum tulang, seperti
kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen alkilasi tertentu seperti sitoksan juga
mempengaruhi individu untuk terkena leukemia. 1,2

E. PATOFISIOLOGI & PATOGENESIS


Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang
ditandai dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah
abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol
dari sel darah immatur yang berasal dari sel induk hematopoietik. Karakteristik
paling menonjol dari sel neoplastik pada leukemia akut adalah defek pada
pematangan setelah tingkat mieloblas atau promielosit pada LMA dan tingkat
limfoblas pada LLA. Sel leukemia yang berproliferasi secara progresif dan tak
terkendali menumpuk di sumsum tulang dan menekan hematopoiesis normal,
menurunkan unsur normal sehingga terjadilah anemia, infeksi, dan perdarahan
yang sulit terhentikan. Sel leukemia secara primer berproliferasi di sumsum
tulang, beredar dalam darah, dan bahkan ke jaringan lain seperti kelenjar limfa,
hati, limpa, kulit, gusi, visera, atau susunan saraf pusat (SSP).3,5

Gambar 1. Organ yang terlibat dalam Hematopoiesis

6
Gambar 2. Hematopoesis

Gambar 3.Hematopoiesis Normal vs Abnormal (Leukemia)

Penyebab pasti leukemia masih belum diketahui, namun dari berbagai


faktor risiko yang ada, seperti pada perjalanan kegansan lainnya, mendorong
terjadinya mutasi dari DNA, sehingga mengaktifkan onkogen dan
menginaktivasi tumor-suppresor gene (TSG). Pada sel leukemia terdapat
kesalahan mitosis sehingga terjadi translokasi genetik. Untuk mengubah sel
blast menjadi sel leukemia akut membutuhkan setidaknya 2 peristiwa genetik,
satunya untuk memblokir diferensiasi dan yang kedua untuk mendorong
proliferasi (mungkin ditambah dengan penghambatan apoptosis). Terapi yang

7
ditargetkan sekarang ditujukan untuk mengganggu salah satu dari peristiwa ini
dalam beberapa kasus leukemia akut.1,2,3
Mekanisme yang mendasari induksi LLA pada anak dan dewasa sama,
yakni penyimpangan proto-onkogen, translokasi kromosom, dan hiperploidi
(melibatkan lebih dari 50 kromosomsel leukemia). Perubahan genetik ini
berkontribusi pada transformasi leukemi dari sel induk hematopoietik dengan
mengubah fungsi selulernya. Mereka mengubah proses regulasi dengan
mempertahankan atau meningkatkan kemampuan yang tidak terbatas untuk
memperbanyak diri, mengacaukan proliferasi normal, memblokir diferensiasi,
dan meningkatkan pertahanan terhadap apoptosis. .1,2,3,6
Salah satu contoh kelainan genetik yang cukup sering adalah translokasi
resikprokal antara kromosom 9 dan 22 (t9;t22)(q34;q11), dan kromosom
Philadelphia. Translokasi ini menghasilkan fusi protein BCR-ABL1,
penggabungan gen BCR1 dari kromosom 22 dan proto-onkogen ABL1 dari
kromosom 9. Hal ini meningkatkan aktivitas tirosin kinase dan terbukti penting
untuk transformasi menjadi sel leukemia. BCR-ABL1 juga secara signifikan
meningkatkan jalur intraseluler yang meningkatkan proliferasi, menurunkan
sensitivitas terhadap apoptosis, dan pelepasan prematur dari sel immatur ke
dalam sirkulasi, sehingga menginfiltrasi dan berakumulasi di hati, limpa,
kelenjar getah bening, dan organ lain. .1,2,3,6

F. KLASIFIKASI
Faktor pertama dalam mengklasifikasi leukemia adalah apakah sebagian
besar sel-sel abnormal seperti leukosit (matang) atau seperti sel-sel induk
(belum matang). Pada leukemia akut, sel-sel di sumsum tulang tidak bisa
menjadi sel matur. Sel yang immatur ini terus bereproduksi. Tanpa pengobatan,
kebanyakan pasien hanya dapat hidup beberapa bulan. Beberapa jenis leukemia
akut merepson baik terhadap pengobatan dan dapat sembuh. Pada leukemia
kronik, sel-sel dapat matang sebagian tetapi tidak sepenuhnya. Sel-sel ini
mungkin terlihat cukup normal, tetapi umumnya mereka tidak berfungsi sebaik

8
leukosit normal. Mereka bertahan hidup lebih lama, dan menggeser sel-sel
normal.1,2,3,6
Faktor kedua dalam mengklasifikasi leukemia adalah tipe sel-sel sumsum
tulang yang terpengaruh. Leukemia yang berasal dari sel-sel myeloid
(Eosinofil, Basofil, Neutrofil, Monosit) adalah leukemia myeloid. Sedangkan
leukemia yang berasal dari sel-sel limfoid (limfosit) adalah leukemia limfoid.
.1,2,3,6
Tujuan dari beberapa klasifikasi leukemia adalah untuk mengidentifikasi
perbedaan dalam penyebab, mekanisme leukemogenesis, manifestasi klinis dan
patologis, serta prognosis. Karena terapi optimal dari setiap klasifikasi berbeda,
setiap klasifikasi bukan hanya penting untuk keperluan ilmiah, tetapi juga
untuk perawatan yang optimal bagi pasien. Leukemia diklasifikasikan dengan
banyak cara, antara lain:1,2,3,5,6
1. Berdasarkan morfologi dan sitokimia dilegkapi dengan imunofenotipe
sebagaimana diajukan oleh grup French-American-British (FAB).
2. Berdasarkan morfologi, imunofenotipe, dan sitogenetik, sebagaimana
diajukan oeh grup Morphological-Immunologic-Cytogenetic (MIC).
3. Berdasarkan imunofenotipe saja, sebagaimana diajukan oleh European
Group for the Immunological Classification of Leukemias (EGIL).
4. Berdasarkan kejadian yang mendahului (anteseden).
5. Berdasarkan maturitas dari stem sel atau sel progenitor dimana mutasi
leukemogenik terjadi (stem sel pluripoten, multipoten, commited)
EGIL mengklasifikasikan leukemia atas dasar imunofenotipe saja.
Klasifikasi ini memiliki kelebihan dengan menyarankan kriteria standar untuk
leukemia sebagai mieloid, turunan sel T, turunan sel B, atau bifenotip. Ini juga
menyarankan kriteria untuk membedakan leukemia bifenotip dari LMA dengan
ekspresi menyimpang dari antigen limfoid, dan dari LLA dengan ekspresi
menyimpang dari antigen mieloid. 1,2,3,6
Klasifikasi leukemia akut berdasarkan kejadian yang mendahului jelas
relevan dengan prognosis dan seharusnya dianjurkan untuk klaifikasi berbagai
kasus leukemia akut. Klasifikasi ini khusunya relevan dengan LMA tetapi juga

9
dapat diterapkan pada LLA. Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan
untuk LLA adalah sistem French-American-British (FAB) dan World Health
Organization (WHO).1,2,3,6,7
Tabel 1.Klasifikasi ALL Menurut FAB
Klasifikasi Ciri-ciri Sel
L1 Sel blast yang berukuran kecil, homogen (relatif sama besar),
dengan sitoplasma sel yang sedikit dan nukleoli (anak inti) yang
samar/ tidak jelas. L1 ini adalah LLA yang paling banyak terjadi
dibanding jenis LLA lainnya, dan pada umumnya terjadi pada
anak-anak
L2 sel blast yang berukuran lebih besar, heterogen (tidak seragam),
nukleolinya terlihat jelas dan rasio inti-sitoplasmanya rendah.
Biasanya LLA tipe ini terjadi pada orang dewasa
L3 sel blast yang besar, sitoplasmanya bervakuol, dan terlihat pekat
(basofilik). Prognosisnya buruk akan tetapi insidennya sedikit

Berdasarkan jenis risiko, LLA dibagi menjadi dua kategori yaitu LLA
dengan risiko tinggi dan risiko standar. Penilaian prognosis dan kemungkinan
penyembuhan jangka panjang pada LLA bergantung pada gambaran klinis,
laboratorium dan pegobatan. Untuk membantu diagnosis dari leukemia
limfoblastik akut maka perlu dilakukan pemeriksaan hematologi dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pasien dikategorikan risiko tinggi jika berumur
<1 tahun atau >10 tahun, leukosit> 50.000 x 109/L, Massa mediastinum,
terdapat sel leukemia di cairan liquor serebrospinal, T cell leukemia dan mixed
leukemia. Dan pada risiko standar tidak didapatkan tandatanda dari risiko
tinggi.13

10
G. MANIFESTASI KLINIS

Leukemia bermanifestasi simptomatik melalui efeknya terhadap


hematopoiesis, dimana terjadi trombositopenia, anemia, dan neutropenia
sebagaimana sel-sel pada sumsum tulang digantikan oleh sel ganas. Gejala dari
menurunnya jumlah sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia ialah
cepat lelah, lemah, terasa dingin, pusing, nyeri kepala, pucat, dispneu. Gejala
dari neutropenia ialah infeksi, demam. Gejala dari menurunnya jumlah
trombosit dapat menyebabkan memar, perdarahan, frekuensi epistaksis
meningkat. Gejala lain yang dapat timbul anoreksia, nyeri tulang dan sendi,.
Perdarahan, petekia, dan purpura lebih sering ditemukan pada LMA. Nyeri
tulang adalah hal umum yang terjadi pada anak dengan LLA (40-50% kasus),
tetapi jarang terjadi pada dewasa (5-10% kasus). Nyeri tulang terutama pada
sternum, femur, dan tibia. Limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, dan
sindrom meningen (nyeri kepala, mual muntah, penglihatan kabur, dan
diplopia). Selain itu manifestasi yang jarang adalah pembengkakan testis pada
laki-laki, dan tanda-tanda penekanan mediastinum pada LLA-T.1,2,3,6,8
Peningkatan signifikan dari jumlah leukosit adalah ciri klasik dari
leukemia., tetapi pansitopenia lebih sering terjadi, terutama pada pasien LLA di
segala usia atau pada pasien LMA dewasa, yang mungkin memiliki disfungsi
sumsum sebelumnya (mielodisplasia). Hanya 10% pasien dengan LMA atau
LLA yang baru terdiagnosa memiliki jumlah leukosit lebih dari 100.000/μL.
Pasien-pasien ini merupakan kelompok dengan prognosis buruk dan lebih
berisiko untuk penyakit sistem saraf pusat, sindrom lisis tumor, dan leukostasis
karena impedansi aliran darah dari penggumpalan intravaskular oleh sel blast
(karena ukurannya lebih besar dibanding sel leukosit normal), yang lebih
lengket daripada sel mieloid atau limfoid yang matur. Leukostasis dapat
bermanifestasi sebagai perubahan status mental, kelumpuhan saraf kranial
intermiten atau terus-menerus, terutama yang melibatkan otot ekstraokular,
priapismus, sesak nafas, atau nyeri dada pleuritik akibat emboli leukemia kecil
di pembuluh darah paru. Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan
metabolik seperti hipoglikemia dan hiperurisemia. Disseminated Intravascular

11
Coagulation (DIC) lebih sering terjadi pada LMA (khusunya LPA) dibanding
LLA.1,8
Leukemia juga dapat menyebabkan penurunan berat badan. Sel-sel
leukemia mungkin menumpuk di hati dan limpa, menyebabkan pembesaran
dari organ ini, sehingga menimbulkan rasa penuh atau pembengkakan di perut.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dapat membantu menegakkan diagnosa leukemia
setelah hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan gejala leukemia,
serta pemeriksaan penunjang dapat menentukan sudah sejauh mana
progresivitas atau perjalanan dari penyakit itu sendiri. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan ialah: 1, 3-11
1. Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia. Biasanya jumlah leukosit berkisar antara
10.000 – 50.000/mm3 pada LLA.
2. Pemeriksaan apusan darah tepi
Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia
dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai
adanya kelainan struktur atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT
menunjukkan ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi. Khusus
pada LMK didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas tidak
banyak dijumpai, namun ketika masuk fase krisis blas secara morfologis
ditemukan mieloblas meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi
limfoblas.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang
akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik
lebih dari 30% sampai 90%. Tampak monoton oleh sel-sel blast, dengan
adanya leukemic gap (terdapat perubahan tibia-tibia dari sel muda (blast) ke
yang matang tanpa sel antara). Sistem hemopoesis normal mengalami

12
depresi. Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti sumsum tulang (dalam
hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang.
4. Pungsi Lumbal
Cairan cerebrospinal juga perlu diperiksa karena system saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat
menunjukan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel
blast. Namun, pemeriksaan ini tidak secara umum dilakukan karena dapat
menyebar sel blast ke susunan saraf pusat.
5. Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi
osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran
thymus atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.
6. Fungsi hati dan ginjal
Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai
pengobatan.
7. Pemeriksaan biokimia darah
Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat
dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang, hiperkalsemia.
Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal ginjal akut.
8. Analisis sitogenetik darah
Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia akut bertujuan untuk menentukan
klasifikasi leukemia.1-11

H. DIAGNOSIS

Anamnesis pada pasien LLA yang didapatkan diantaranya kelemahan


tubuh, berat badan menurun, anoreksia, pasien rentan sakit, sering demam
tanpa sebab yang jelas, riwayat perdarahan gusi, epiktaksis, perdarahan kulit
(petecjie, atraumatic ecchymosis), hematuria, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak (nyeri kepala, muntah, kelainan neurologic fokal nyeri
tulang, nyeri sendi.

13
Pemeriksaan fisik didapatkan pada kulit anemis, perdarahan (purpura,
hematoma), perdarahan gusi, epistaksis, ulsera, Ludwig angina, difteria atau
agranulositosis, pembengkakan dan ulserasi gingiva, pembesaran limfonodi
general, tidak mencolok seperti limfoma, kadang-kadang splenomegali atau
hepatomegali, pada pemeriksaan paru didapatkan tanda radang, tulang dan
sendi poliartritis nekrosis tulang.
Pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
leukemia. Untuk diagnosis pasti harus dilakukan aspirasi sumsum tulang, dan
dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pemeriksaan hematologis memperlihatkan anemia normositik normokrom
dengan trombositopenia pada sebagian besar kasus. Leukosit dapat meningkat
sampai ≥200x109/L, normal bahkan menurun. Apusan darah biasanya
memperlihatkan sel-sel blast dalam jumlah yang bervariasi. Sumsum tulang
hiperseluler dengan blast leukemik >20%. Sel-sel blas ditandai dari morfologi,
sitokimia, tes imunologis dan analisis sitogenetiknya. Pemeriksaan LCS dapat
menentukan derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS
maka disebut leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan
memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP,
jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa mediastinum serta jumlah sel blas total
>1000/mm3 setelah 1 minggu terapi, maka pasien disebut LLA dengan risiko
tinggi. 1,2-4,6,9,10

J. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain
anemia aplastik, ITP, dan thalassemia. Anemia aplastik adalah pansitopenia
akibat aplasia sumsum tulang yang disebabkan oleh gangguan congenital atau
akibat lain, seperti radiasi. Umumnya muncul pada usia 15-25 tahun. Idiopatikc
trombosotipenia Purpura (ITP) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
<150.000/mL) akibat autoantibdi yang mengikat antigen trombosit sehingga
menyebabkan destruksi premature trombosit. Umumnya terjadi pada anak-anak

14
usia 2-6 tahun. Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif.gejala thalasemia dapat muncul sejak usia 1 tahun.

Tanda & Anemia


LLA ITP Thalassemia
Gejala Aplasti

demam + - + -

Riwayat +/- - - +
keluarga

Manifestasi + -/+ + -
perdarahan

hepatomegali + - - +

splenomegali ++ - - +

K. PENATALAKSANAAN
Penanganan leukemia meliputi terapi kuratif dan terapi suportif.
Penanganan kuratif bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya yaitu berupa
kemoterapi, sedangkan penanganan suportif bertujuan menyembuhkan
penyakit lain yang menyertai atau komplikasi dari leukemia itu sendiri yaitu
berupa transfuse darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk
meningkatkan granulosit, obat antijamur, pemberian nutrisi yang baik dan
pendekatan psikososial.
Terapi kuratif dalam hal ini kemoterapi LLA dibagi menjadi beberapa
fase, diantaranya ialah :
1. Fase induksi remisi
2. Fase intensif/Konsolidasi
3. Terapi susunan saraf pusat
4. Rumatan

15
Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik
dari sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia
tidak lagi tampak secara morfologis. Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu
dengan dasar 3 macam obat : vincristine setiap minggu, kortikosteroid
(dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya 98% penderita akan
mengalami remisi komplit. Pasien dengan risiko tinggi juga diberikan
Daunomycin setiap minggu.1,2
Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas
<5% dari sel berinti pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit >100.000/µl,
Hb >12 g/dl tanpa transfusi, leukosit >3000/ µl dengan hitung jenis leukosit
normal, jumlah granulosit >2000/ µl, danpermukaan LCS normal. Tujuan pada
fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul
resisten hingga pasien mencapai kondisi sembuh.
Anak dengan risiko standar LLA biasanya diterapi dengan metotrexat
dan 6-mercaptopurine atau 6-thiogunine.Vincristine, L-asparaginase dan atau
prednison juga dapat digunakan. Anak dengan risiko tinggi umumnya
dikemoterapi secara intensif dengan obat tambahan seperti L-asparaginase,
doxorubicine (adriamycin), etoposide, siklofosfamid, cytarabine dan
dexamentason sebagai pengganti prednison. Sedangkan anak dengan LLA
kromosom Philadelfia (+) diberikan imatinib (Gleevec).1
Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps
leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang
ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan
kemoterapi injeksi metotrexat intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi
sistemik. Injeksi intratekal metotrexat sering dikombinasi dengan infus
berulang metotrexat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2).
Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu pengobatan dengan radiasi
otak dan medula spinalis. 1-11
Pada pengobatan rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan
metotrexat per minggu secara parenteral selama 2-2,5 tahun. 1-11

16
Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling
efektif, terutama pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons dengan
pengobatan konvensional. Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif
dilakukan transplantasi pada remisi pertama tetapi masih
diperdebatkan.Meskipun sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-
host atau bahkan graft-versus-leukemia. 1-11
Tabel 2. Fase Kemoterapi LLA
Fase induksi Fase intensif Terapi SSP Rumatan
 Vincristine  Metotrexat  Metotrexat  Mercaptopurin
 Kortikosteroid  6-mercaptopurin  Kemoterapi  Metotrexat
(Prednison,  6-thiogunine sistemik
Dexametason)  Vincristine  Radiasi otak
 L-asparaginase  L-asparaginase & medula
 Kortikosteroid spinalis
(Prednison,Dexametason)
 Doxarubicine
(Adriamycin)
 Etoposide
 Siklofosfamid
 Cytarabine
 Imatinib (Gleevee)

Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti


hidrasi, alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat
kemoterapi yang dapat membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering
menyebabkan mielosupresi sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit
juga diperlukan. Antibiotik dapat diberikan bila terdapat infeksi, namun
profilaksis harus diberikan untuk mencegah infeksi sekunder khususnya
pneumonia hingga beberapa bulan setelah pengobatan selesai. 1-11

Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol yang lazim digunakan, salah
satunya yaitu Wijaya Kusuma ALL-2000. Pada protocol ini, kemotarapi

17
dillakukan berdasarkan klasifikasi risiko tinggi (high risk) dan risiko normal
(standard risk).14

L. KOMPLIKASI
Komplikasi leukemia yang dapat terjadi ialah leukemia susunan saraf
pusat serta hiperleukositosis. Berdasarkan keputusan Children’s Cancer Group
(CCG) diagnosis leukemia SSP ditegakkan apabila jumlah sel dalam cairan
serebrospinal >5 dan ditemukan sel limfoblast pada pemeriksaan mikroskopik
atau perhitungan cytospin. Komplikasi neurologis terjadi karena infiltrasi
leukemik pada meningen, otak, dan saraf kranial atau tepi atau perdarahan

18
intrakranial dan infeksi. Lesi pada otak yang paling sering adalah atropi
serebral (65%), infiltrasi leptomeningeal dan berbagaimacam perdarahan.
Perdarahan, petekial dan gagalnya kemoterapi, sel-sel leukemia menembus
sawar darah otak dari darah dan masuk ke dalam susunan saraf pusat, dan
terjadilah leukemia susunan saraf pusat. 1-11
Gejala serebral leukemia adalah muntah, nyeri kepala, papil edem, nafsu
makan dan berat badan bertambah, kelainan saraf kranial, kejang, ganguan
penglihatan, dan ataksia. Muntah, nyeri kepala dan papil edem karena penin
ggian tekanan intrakranial; kejang jarang terjadi, kadang-kadang ditemukan
kaku kuduk. Kelainan saraf kranial relatif sering dan terjadi akibat infiltrasi
sel-sel leukemia pada meningen basal, yang sering terkena adalah N. fasialis,
N. abdusens, dan N. auditori. Nafsu makan dan berat badan yang bertambah
merupakan indikasi adanya infiltrasi ke hipotalamus. 1-11
Hiperleukositosis yang terjadi pada leukemia limfoblastik akut dapat
menyebabkan terjadinya sindrom leukostatik dengan gejala neurologis berupa
papil edem, gangguan pendengaran, gengguan fungsi vestibular, dan berbagai
macam defisit neurologis fokal. Gejala akan hilang apabila jumlah leukosit
menurun. 1-11

M. PENCEGAHAN
Karena kebanyakan kasus leukemia akut tidak diketahui penyebabnya
secara pasti, dan beberapa faktor risiko tidak dapat diubah, maka tidak ada cara
pencegahan yang spesifik untuk leukemia akut. 1-11
Seperti pencegahan penyakit lainnya, pencegahan pada leukemia akut
dapat dibagi menjadi perncegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan
primer meliputi kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit
atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pengendalian terhadap faktor risiko
tentunya adalah salah satu yang dapat mencegah atau mengurangi insidensi
leukemia itu sendiri. Bila terdapat beberapa jenis keganasan yang harus diobati
dengan kemoterapi dan/atau radiasi yang dapat menyebabkan leukemia pasca
pengobatan (sekunder), maka sangat sulit untuk mengobati kegansan tersebut

19
tanpa meningkatkan risiko perkembangan leukemia sekunder. Harus dengan
bijak untuk memutuskan pemberian terapi kemoterapi dan/atau radiasi
khusunya pada keganasan yang mengancam jiwa.1-11
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan
penyakit menuju ke arah kerusakan, yakni dengan cara mendeteksi penyakit
secara dini dan memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat. Diagnosis dini
dimulai dari mencari tanda dan gejala klinis, dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Setelah diagnosa ditetapkan,
penting untuk segera memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat.Tatalaksana
yang paling direkomendasikan adalah kemoterapi. 1-11
Pencegahan tersier ditujukan untuk membatasi atau menghalangi
progresivitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup penderita.Untuk
penderita leukemia dilakukan perawatan atau penanganan oleh tenaga medis
ahli di rumah sakit.Salah satu perawatan yang diberikan adalah perawatan
paliatif, yaitu meringaknan gejala yang diderita pasien.Bila ada rasa sakit maka
dapat diberikan obat penghilang rasa sakit.Terkadang diberikan obat-obatan
atau transfusi darah untuk memperbaiki jumlah sel darah yang rendah dan
mengobati kelelahan.Mual dan penurunan nafsu makan dapat dibantu dengan
obat dan suplemen makanan tinggi kalori.Antibiotik mungkin diperlukan untuk
mengobati infeksi. Perbaikan gaya hidup sehat juga dianjurkan untuk
memperbaiki kualitas hidup penderita. Selain itu dukungan moral dari orang-
orang terdekat, perbaikan di bidang psikologi, sosial, dan spiritual juga penting
bagi penderita. 1-11

N. PROGNOSIS
Setelah diagnosis dibuat, pertimbangan pertama untuk menentukan
tatalaksana adalah dengan penilaian risiko dan faktor prognostik untuk durasi
remisi. Faktor prognostik berpengaruh terhadap respon terapi, dimana
membantu untuk menentukan pemberian terapi standar atau lebih intensif.
Faktor prognostik terlihat lebih penting pada LLA dibanding LMA.1,12

20
Penderita leukemia digolongkan menjadi risiko tinggi dan biasa
berdasarkan faktor prognostik yang telah ditetapkan. Prognosis LLA semakin
baik bila responsive terhadap pengobatan dimana dalam pengobatan 1 minggu
sel blas sudah tidak tampak pada darah tepid an sumsum tulang.Faktor lain
yang mempengaruhi peningkatan prognosis LLA adalah jumlah leukosit awal
< 50.000/mm3, usia diantara 1 – 15 tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin
perempuan dan LLA hyperploid (>50 kromosom). Faktor prognostik yang
memperburuk prognosis pada LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi,
sebanding dengan ukuran splenomegaly, adanya koagulopati, induksi remisi
yang lambat, usia< 2 tahun dan > 4 tahun dan leukemia monoblastik.2

Tabel 4.Faktor Prognostik LLA pada Anak


Determinants Favorable Unfavorable
White blood cell counts <10 × 109/L >200 × 109/L
Age 3–7 years <1 y, >10 y
Gender Female Male
Ethnicity White Black
Node, liver, spleen
Absent Massive
enlargement
Testicular enlargement Absent Present
Central nervous system Over (blasts +
Absent
leukemia pleocytosis
FAB morphologic features L1 L2
Ploidy Hyperdiploidy Hypodiploidy <45
Trisomies 4, 10, and/or t(9;22) (BCR-
Cytogenetic markers 17 ABL)
t(12;21) (TEL-AML1) t(4;11) (MLL-AF4)
Time to remission <14 d >28 d
Minimal residual disease <10-4 >10-3

21
DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society. Childhood Leukemia. 2016.


https://www.cancer.org/content/dam/CRC/PDF/Public/8693.00.pdf (Diakses
Juli 2018)

2. Permono, B.dkk. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi


Anak. Jakarta : Badan PenerbitIkatan Dokter Anak Indonesia. 2006. Hal 236-
247

3. Baldy, CM. Gangguan Sel Darah Putih dan Sel Plasma dalam Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol. 1. Ed. 6.Jakarta :EGC. 2013. Hal
271-277

4. American Cancer Society. Leukemia : Acute Lymphocytic Overview. 2016.


https://www.cancer.org/content/dam/CRC/PDF/Public/8670.00.pdf (Diakses
Juli 2018)

5. Sudoyo, AW. Dkk. Leukemia Limfoblastik Akut dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed. V. Jakarta : EGC. 2000. Hal 1266-1275

6. Sudoyo, AW. Dkk. Leukemia Mieloblastik Akut dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed. V. Jakarta : EGC. 2000. Hal 1234-1240

7. Bakta, IM. dkk. Hematologi. Ed. 1. Jakarta : EGC. 2006. Hal 123-136

8. Widdiaskara, IM. dkk. Luaran Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia


Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.
Sari Pediatri, Vol. 12, No. 2, Agustus 2010. Hal 128-134

9. Hoffbrand, AV. Leukemia Limfoblastik Akut dalam Kapita Selekta


Hematologi. Ed. 6.Jakarta : EGC. 2013. Hal 209-218

22
10. Mansjoer, A. dkk. Leukemia Limfoblastik Akut dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Ed. 3. Jilid I dan II. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal
563 dan 495-496

11. Rofinda, ZD. Kelainan Hemostasis pada Leukimia. Fakultas Kedokteran


Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012. 1(2). Hal 68-74

12. Paarrang, Y.B. dkk., Hubungan Antara Ratio Netrofil Limfosit dengan
Klasifikasi Risiko pada Leukemia Limfoblastik Akut. Jurnal e-Clinik. 3(1).
Hal 157-160

13. Widjajanto, P.H., dkk. Early Response to Dexamethasone as Prognostic


factor: Result from Indonesian Chilhood WK-ALL Protocol in Yogyakarta.
Journal of Oncology. 2012. Hal:1-8

23

Anda mungkin juga menyukai