Anda di halaman 1dari 60

PRESENTASI KASUS

Remaja Perempuan dengan TB Paru dalam Pengobatan Fase Lanjutan


Bulan II, dan Gizi Buruk tipe Marasmik Fase Rehabilitasi

DISUSUN OLEH:
DWI NUR ABADI G99182005

PEMBIMBING :
dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Laporan kasus dengan judul:

Remaja Perempuan dengan TB Paru dalam Pengobatan Fase Lanjutan


Bulan II, dan Gizi Buruk tipe Marasmik Fase Rehabilitasi

Hari, tanggal : Jumat, 11 September 2020

Oleh:
Dwi Nur Abadi G99182005

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Laporan Kasus,

dr. Kunti Dewi Saraswati, M.Kes, Sp.PK

2
BAB I
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. NA
Usia : 16 tahun
Tanggal Lahir : 16 April 2002
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 36 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Agama : Islam
Alamat : Bulu Sulur Malaysia
Tanggal Masuk : 11 Januari 2019
Nomor Rekam Medis : 01432xxx

B. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara autoanamnesis terhadap pasien sendiri
dan alloanamnesis dengan bertanya pada orangtua pasien
1. Keluhan Utama
Pasien sesak sejak 11 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien An. AN dibawa ke IGD dengan keluhan sesak napas sejak
11 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien
merasakan sesak sepanjang hari, baik itu saat pasien melakukan
kegiatan maupun saat istirahat. Sesak juga tidak dipengaruhi oleh
cuaca. Pada awalnya pasien merasakan sesak tidak terlalu berat,
namun semakin hari sesak dirasakan semakin berat. Pasien tidak
memiliki riwayat kebiruan pada mulut, kaki, dan tangan. Sebelumnya
pasien mengeluh batuk dengan dahak berwarna putih kekuningan
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien pernah diperiksakan ke dokter paru
dan dilakukan foto toraks. Dari pemeriksaan foto toraks, dokter

3
menyimpulkan pasien menderita TB Paru aktif dengan pneumotoraks
kiri. Pasien kemudian mendapatkan obat rifampisin 600gram/24jam,
pirazinamid 500mg/24jam, Isoniazid 300mg/24jam per oral. Pasien
sudah meminum obat selama kurang lebih 11 hari.
Pasien mengeluhkan mual muntah. Muntah dirasakan 2-3 kali cair
dan berisi lendir sebanyak 1 gelas belimbing. BAB cair berwarna
kuning dan tidak didapatkan darah maupun lendir. Pasien merasakan
nafsu makan dan minum berkurang sejak sakit dan merasakan badan
pasien semakin kurus selama 1 bulan terakhir, namun pasien tidak
menimbang berat badan. Pasien mengeluhkan adanya keringat pada
malam hari.
Saat di poliklinik, pasien sadar penuh, tampak sakit berat tampak
lemas, tidak didapatkan demam, mual muntah (+), tidak tampak
kebiruan, BAB cair (+). Batuk berdahak masih dirasakan, tidak ada
pilek.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat batuk : 6 bulan sebelum masuk
rumah sakit, tidak diobati

Riwayat mondok sebelumnya : disangkal


Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat transfusi berulang : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan


Riwayat pengobatan paru : disangkal
Riwayat demam : disangkal
Riwayat batuk-batuk lama : disangkal
Riwayat hipertensi sebelum kehamilan : ibu pasien
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat penyakit jantung dan paru : disangkal

4
5. Riwayat Lingkungan Sekitar
Berdasarkan anamnesis, pasien merupakan anak ketiga dari tujuh
bersaudara. Pasien tinggal di asrama bersama teman-temannya.
Beberapa teman satu asrama ada yang memiliki keluhan batuk lama.
Asrama pasien beratap genteng belum terdapat genteng kaca, alasnya
berupa keramik, jarak antara lantai dan langit-langit 4 meter, dan
kamar mandinya sudah dilengkapi dengan jamban. Terdapat ventilasi
dan jendela di kamar asrama pasien. Jarak antara asrama pasien
dengan bangunan di sekitarnya + 3 meter.
6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu pasien hamil pada usia 26 tahun dan pasien merupakan anak
ketiga dari tujuh bersaudara. Selama kehamilan, ibu pasien mengaku
tidak pernah sakit. Ibu pasien rutin untuk periksa ke bidan desa dan
minum vitamin serta suplemen. Riwayat trauma saat kehamilan juga
disangkal. kehamilan: Status kehamilan ibu P7A0. Riwayat
persalinan : ibu pasien melahirkan di bidan secara normal. Kesan :
riwayat kehamilan dan persalinan ibu aterm, spontan, sesuai masa
kehamilan.
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara spontan ditolong bidan pada usia kehamilan 38
minggu, bayi lahir menangis kuat dan bergerak aktif dengan berat
lahir 3000 gram, panjang badan 45 cm, tidak didapatkan riwayat bayi
tampak kebiruan, kuning pada kulit juga tidak didapatkan.

5
8. Riwayat Imunisasi
a. BCG : 0 bulan
b. Hep B : 0, 1, 4 bulan
c. Polio : 0, 2, 4 bulan
d. DPT : 2, 4, 6 bulan, 7 tahun (kelas 2 SD)
e. Campak : 9 bulan
f. Booster campak : 6 tahun (kelas 1 SD)
g. TT : 8 tahun (kelas 3 SD)
Kesimpulan: Pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai pedoman
Kementerian Kesehatan 2004.

9. Riwayat Nutrisi
Pasien makan makanan sebanyak 2-3 kali sehari dengan porsi sedikit
(1/2 piring) tiap kali makan dengan lauk yang bervariasi seperti tahu,
tempe, telur, ayam, dan daging disertai sayur. Terkadang pasien tidak
menghabiskan makannya.
Kesan : kuantitas asupan gizi kurang.

10. Riwayat Sosial


Ayah pasien Tn. R (54 tahun) bekerja sebagai buruh dengan
penghasilan rata-rata Rp. 3.000.000/bulan dan ibu pasien Ny. P (42
tahun) bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien memeriksakan diri ke
RSUD Moewardi Surakarta menggunakan layanan BPJS kelas III.

6
11. Status Antopometri

7
Usia : 16 tahun 9 bulan
Berat badan : 36 Kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 14,98
BB/U : BB/U<P3
TB/U : P10<TB/U<P25
BB/TB : 28/42,5 x 100% = 65,8 % (BB/TB<P3)
IMT/U : IMT/U < P5
Kesimpulan : Gizi buruk

8
C. PEMERIKSAAN FISIK (11/01/2019)
1. Keadaan umum
a. Kesan keadaan sakit berat
b. Kesadaran compos mentis
c. Kesan status gizi kurang
d. Scar BCG : positif
2. Tanda vital
Laju nadi : 118 kali/menit, pengisian cukup, irama
reguler
Laju napas : 25 kali/menit, regular, kedalaman cukup.
Suhu : 36,6 oC peraksiler
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Saturasi Oksigen : 97%
3. Kepala
Mesocephal, old man’s face (-)
4. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-),pupil: diameter 2 mm/2
mm, refleks cahaya langsung (+), refleks cahaya tidak langsung (+),
mata cowong (-/-), air mata (+/+)
5. Hidung
Napas cuping hidung (+), sekret (-)
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-)
7. Tenggorokan
Uvula di tengah, faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tidak hiperemis
8. Telinga
Normotia, sekret (-), tragus pain (-/-)
9. Leher
Pembesaran KGB (-)
10. Axilla

9
Pembesaran KGB aksila (-)
11. Toraks
Normochest, retraksi (+), subcostal (+), iga gambang (+)
12. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
13. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+ menurun), suara napas
tambahan (+/+), ronki basah kasar (+/+)

10
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi: bising usus (+) normal 8x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-),
pekak alih (-), undulasi (-), nyeri tekan suprapubik (-), turgor kulit
abdomen kembali cepat.
15. Inguinal
Pembesaran KGB (-/-)
16. Ekstremitas
Akral hangat, ADP kuat, CRT<2 detik, sianosis (-)
muscular wasting + +
+ +

- -
Edema
- -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 11/01/2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 8.8 g/dl 14.9-23.7
Hematokrit 31 % 47-75
Leukosit 13.1 ribu/ui 9.4-34.0
Trombosit 275 ribu/ui 150-450
Eritrosit 4.25 juta/ui 3.70-6.50
INDEX ERITROSIT
MCV 72.3 /um 80.0-96.0
MCH 20.7 pg 28.0-33.0
MCHC 28.6 g/dl 33.0-36.0
RDW 19.8 % 11.6-14.6

11
MPV 7.7 fl 7.2-11.1
PDW 45 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.0 % 0.00-4.00
Basofil 0.10 % 0.00-1.00
Netrofil 92.50 % 18.00-74.00
Limfosit 3.80 % 60.00-66.00
Monosit 2.60 % 0.00-6.00
GOLONGAN O
DARAH
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 184 mg/dL 60-100
Sewaktu
Albumin 2.7 g/dL 3.2-4.5
Elektrolit
Natrium Darah 117 mmol/L 132-145
Kalium Darah 3.5 mmol/L 3.1-5.1
Chlorida Darah 94 mmol/L 98-106
Calcium Ion 1.01 mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HBsAg Rapid Nonreactive
Kesan / interpretasi: Anemia hipokromik, neutrofilia relatif, hiperglikemia,
hipoalbuminemia, hiponatremia

12
E. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto Toraks AP Lateral tanggal 11/01/2019

Kesan:
Cor : ukuran dan bentuk normal
Pulmo : tampak fibroinfiltrat disertai mulitpel cavitas disertai multiple
cincin ektasis di kedua lapang paru
Sinus kostofrenikus kanan kiri anterior posterior tajam
Retrosternal dan retrocardiac space tertutup fibroinfiltrat
Hemidiaphragma kanan tenting, kiri normal
Trachea di tengah
Sistema tulang baik

Kesimpulan :
1. TB paru aktif lesi luas disertasi gambaran bronkioektasis terinfeksi
2. Efusi pleura kanan

13
F. Pemeriksaan Sputum dengan Xpert MTB-RIF Assay G4

Hasil:
1. MTB detected medium
2. Rif Resistance NOT DETECTED

G. Skor TB
Kontak TB = 2
Uji Tuberkulin (mantoux) = 3
Keadaan gizi (BB/TB < 70%, klinis gizi buruk) = 2
Demam yang tidak diketahui = 1
Batuk kronik = 1
Pembesaran KGB = 0
Pembengkakan tulang = 0
Foto toraks (Gambaran mendukung TB) = 1
Skor TB = 10

14
H. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 11 hari SMRS. Sesak
sepanjang hari tidak dipengaruhi cuaca. Pasien mengeluh batuk dengan
dahak berwarna putih kekuningan sejak 1 bulan yang lalu. Pernah
diperiksakan ke dokter paru dan dilakukan foto thorax dengan hasil TB
paru aktif dengan pneumothorax. Pasien diberi obat OAT RHZ. Pasien
sudah meminum obat selama kurang lebih 11 hari
Pasien mengeluhkan mual muntah. Muntah dirasakan 2-3 kali cair
dan berisi lender sebanyak 1 gelas belimbing. BAB cair berwarna kuning
dan tidak didapatkan darah maupun lendir. Pasien merasakan nafsu makan
dan minum berkurang sejak sakit dan merasakan badan pasien semakin
kurus selama 1 bulan terakhir, namun pasien tidak menimbang berat
badan. Pasien mengeluhkan adanya keringat pada malam hari. Saat di
poliklinik, pasien sadar penuh, tampak sakit berat tampak lemas, tidak
didapatkan demam, mual muntah (+), tidak tampak kebiruan, BAB cair
(+). Batuk berdahak masih dirasakan, tidak ada pilek.

I. DAFTAR MASALAH
Anamnesis: Batuk berdahak lama, penurunan BB, keringat malam
hari, tidak nafsu makan, muntah, BAB cair
Pemeriksaan Fisik :
- Mata : Konjungtiva pucat (+/+)
- Thorax : retraksi (+), iga gambang, RBK(+/+)
- Ekstremitas : muscle wasting
Pemeriksaan penunjang:
- Laboratorium darah : Anemia mikrositik hipokromik, neutrofilia
relatif, hiperglikemia, hipoalbuminemia, hiponatremia.
- Foto toraks AP : TB paru aktif lesi luas disertasi gambaran
bronkioektasis terinfeks, efusi pleura kanan
- Gen Expert : MTB detected, rif resistance not detected
- Skor TB : 10

15
J. DIAGNOSIS KERJA
- TB Paru dalam pengobatan fase lanjutan bulan II
- Gizi buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari 1
K. Diagnosis Laboratoris
- Anemia mikrositik hipokromik
- Neutrofilia relatif
- Hiperglikemia
- Hipoalbumin
- Hiponatremia
L. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal respirologi anak rawat bersama nutrisi dan penyakit
metabolik
2. Oksigen nasal 2 Liter Per Menit (LPM)
3. Sepuluh tata laksana gizi buruk :
- Atasi/cegah hipoglikemia (GDS < 70 mg/dL)
- Atasi/cegah hipotermia (suhu < 35oC)
- Atasi/cegah dehidrasi (Tidak didapatkan tanda dehidrasi)
- Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
- Obati/cegah infeksi
- Koreksi defisiensi mikronutrien :
a. Vitamin A 200.000 IU per oral (Dosis tunggal)
b. Asam folat 5 mg per oral (hari pertama), selanjutnya 1
mg/24 jam per oral
c. Zinc 20 mg/24 jam per oral
d. Vitamin B kompleks 1 tablet/24 jam per oral
e. Vitamin C 100 mg/24 jam per oral
f. Vitamin D 0,25 mcg/24 jam per oral
g. Vitamin E 100 IU/24 jam per oral
h. Mineral mix 1 cth/24 jam per oral
- Pemberian makanan
- Mencapai kejar tumbuh

16
- Memberikan stimuli fisik, sensorik dan dukungan
- Persiapan tindak lanjut setelah perawatan
4. Diet F75 12 x 170 ml
5. Parasetamol (10 mg/KgBB/kali) = 400 mg/8jam IV
M. SARAN PEMERIKSAAN
a. GDP, G2PP
b. Kultur sputum
c. Pemeriksaan GDT
d. Pemeriksaan enzim transaminase
N. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

17
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca. Tidak ada riwayat kebiruan. Pasien periksa ke dokter dan
didiagnosis TB paru aktif, diberi obat OAT RHZ dan diminum 11 hari. Pasien
mengeluhkan muntah setelah batuk. Muntah dirasakan 2-3 kali. BAB cair
berwarna kuning dan tidak didapatkan darah maupun lendir. Pasien merasakan
nafsu makan dan minum berkurangdan merasakan badan pasien semakin kurus
selama 1 bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik KU sakit berat, kesan gizi buruk.
Pada pemeriksaan mata : konjungtiva pucat(+). Thorax : retraksi (+), iga
gambang, RBK(+/+), Ekstremitas : muscle wasting.
Pada pasien kemudian dilakukan pemeriksaan darah lengkap, GDS, albumin,
elektrolit, dan HbsAg. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil anemia
mikrositik hipokromik. Anemia pada pasien dapat diakibatkan penyakit kronis
yang dialaminya dan pasien juga mengalami low intake yang bisa menjadi
penyebab terjadinya anemia karena kekurangan asupan zat besi dan vitamin yang
dibutuhkan oleh tubuh. Pada pemeriksaan darah lengkap pertama pasien (tanggal
11 Januari 2019) hitung jenis didapatkan limfositopenia (3,8 %), dan neutrofilia
(92,5%). Limfositopenia dapat menunjukkan adanya penyakit infeksi seperti
demam typhoid, infeksi tuberkulosis, hepatitis, dan AIDS. Limfositopenia juga
dapat mengarah pada kelainan autoimun seperti lupus, peggunaan terapi steroid
jangka panjnag, adanya keganasan, serta pada pasien yang menjalani terapi radiasi
atau kemoterapi.
Hasil pemeriksaan kimia darah pada pasien didapatkan adanya peningkatan
Glukosa Darah Sewaktu dan penurunan albumin. Penurunan albumin pada pasien
dapet terjadi karena kondisi infeksi kronis pada pasien. Hal ini diperparah dengan
keadaan pasien yang low intake dan mual muntah. Pada pasien juga ditemukan
adanya penurunan kadar natrium dan kalsium. Kadar natrium pasien 117mmol/L
termasuk ke dalam hiponatremia berat (<125mmol/L). Kadara natrium yang
sangat rendah dapat mengakibatkan gangguan neurologis berupa kejang hingga
koma. Rendahnya kadar elektrolit pada pasien dapat terjadi karena kondisi infeksi
kronis dan low intake.
Pemeriksaan radiologi rontgen thorax pada pasien TB akan memunculkan
beberapa gambaran khas :
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate
- Konsolidasi segmen lobar
- Efusi pleura

18
- Gambaran millier
- Atelektasis
- Gambaran kavitas-kavitas
- Gambaran kalsifikasi dengan infiltrat
- Dan gambaran tuberkuloma pada aspek superior paru
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan TB Paru dalam pengobatan fase lanjutan bulan II dan Gizi
buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari 1. Usulan pemeriksaan laboratorium
lanjutan pada pasien adalah GDP, G2PP, Kultur sputum, Pemeriksaan GDT, dan
Pemeriksaan enzim transaminase.

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. TB pada Anak
A. Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada
anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia
kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan
terdapat 500.000 anak di dunia menderita TB paru setiap tahun (Kemenkes RI,
2016 dan IDAI, 2009).
Berdasarkan Kemenkes RI, 2016 proporsi kasus TB anak di antara semua
kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% kemudian menjadi 8,5%
pada tahun 2011; dan 8,2% di tahun 2012; 7,9% pada tahun 2013; 7,16% pada
tahun 2014; dan 9% di tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi,
dari 1,2% sampai 17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan
endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi juga karena perbedaan
kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan dan daya tahan
tubuh. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negative. Tingkat
penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negative
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negative dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2016).
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman
TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5µm)
kan terhirup dan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi

20
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon (Kemenkes RI, 2016)..
Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menujur limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akam terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika focus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis disebut kompleks
primer (primary complex) (Kemenkes RI, 2016)..
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular (Kemenkes RI, 2016).
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negative. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup

21
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah trerbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI) (Kemenkes RI, 2016).
Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resplusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enakpsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menibulkan gejala sakit TB (Kemenkes RI, 2016).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) (Kemenkes RI,
2016).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Kemenkes RI,
2016)..
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau
berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran

22
hematogen langsung, yaitu kuman masuk sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik (Kemenkes RI, 2016)..
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang memiliki
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati,
tulang, ginjal, dan lain-lain tetapi tidak aktif (tenang). Sarang di apeks paru
disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa (Kemenkes RI, 2016).
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke
seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit tergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah
dua tahun (Kemenkes RI, 2016).
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread (Kemenkes RI, 2016).

23
Bagan 3.1 Patogenesis terjadinya TB (sumber : Petunjuk Teknis Manajemen
dan Tatalaksana TB)

C. Gejala Tuberkulosis pada Anak


Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering ditemui adalah batuk
persisten, berat badan menurun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan
tidak aktif. Gejala-gejala tersebut serung dianggap tidak khas karena juga
dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat

24
khas, yaitu menetap (lebih dari 2 muinggu) walaupun sudah diberikan terapi
yang adekuat (misalnya antibiotika atau antimalaria untuk demam, antibiotika
atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk
masalah berat badan.
1. Gejala sistemik/umum
a. Berat badan menurun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau
terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya
perbaikan gizi
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas.
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai gejala-gejala
sistemik lain.
c. Batuk lama ≥1 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin parah) dan sebab lain batuk dapat disingkirkan.
Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma
(sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
2. Gejala spesifik terkait organ
Pada TB ektra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang khas pada
organ yang terkena.
a. Tuberkulosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi
kenyal, multiple dan kadang-kadang saling melekat (konfluens)
3) Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), bisanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba.
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan discharge
b. Tuberkulosis sistem saraf pusat
1) Meningitis TB: gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

25
2) Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang
c. Tuberkulosis sistem skeletal
1) Tulang belakang (spondylitis): Penonjolan tulang belakang
(gibbus)
2) Tulang panggul (koksistis): Pincang, gangguan berjalan atau tanda
peradangan di daerah panggul.
3) Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Tuberkulosis mata
1) Konkungtivitis fliktenularis
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
e. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)
Ditandai dengan adanya ulkus serta jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal;
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut
tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
D. Pemeriksaan untuk diagnosis TB anak
1. Pemeriksaan bakteriologis
Cara mendapatkan sputum pada anak
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan
sputum secara langsung.
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. DIanjurkan
specimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turt pada pagi hari.
c. Induksi sputum
Relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama

26
apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.
Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB:
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan
tubuh atau jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali
yaitu sewaktu dan pagi hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk
dapat mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis
dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain
pemeriksaan Line Probe Assay dan NAAT-Nucleic Acid
Amplification Test.
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman
Mycobacterium tuberculosis secara molekular sekaligus
menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin.
Pemeriksaan TCM memiliki nilai diagnostik yang lebih baik
daripada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih di
bawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan
diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman
penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada
pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Pemeriksaan
biakan sputum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas
tersedia.
2. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB pada anak:

27
a. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis
TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB
tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi
dan sakit TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya
infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Hasil negatif
uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
b. Foto toraks
Gambaran pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier.
Gambaran yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrate

Gambar 3.1 Pembesaran Kelenjar Paratrakeal

28
2) Konsolidasi segmental/lobar

Gambar 3.2 Opasitas homogen pada lobus inferior pulmo


dextra pada TB paru primer

3) Efusi pleura

Gambar 3.3 Opasitas homogen (efusi pleura) pada aspek


inferior pulmo sinistra pada TB paru primer

29
4) Milier

Gambar 3.4 TB paru Milier

5) Atelektasis

Gambar 3.5 Atelektasis pada paru kanan

30
6) Kavitas

Gambar 3.6 Kavitas berupa lesi radiolusen pada aspek superior


pulmo dextra

7) Kalsifikasi dengan infiltrate

Gambar 3.7 Lesi radioopak yang menunjukkan kalsifikasi pada


pulmo sinistra

31
8) Tuberkuloma

Gambar 3.8 Opasitas pada aspek superior pulmo dextra yang


menunjukan lesi tuberkuloma

32
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan
nekrosis perkejuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan
gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Gambar 3.9 Gambaran Histopatologi pada jaringan tuberkel


pada jaringan paru

E. Alur diagnosis TB pada anak


Penegakkan TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas pada TB
3. Adanya bukti infeksi TB
4. Gambaran foto toraks sugestif TB

Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan


pemeriksaan sputum:

33
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan
fasilitas yang tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan
OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau
spesimen tidak dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan
foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan
foto toraks:
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular,
anak dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama
2-4 minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak
untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung
skor total menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total ≥ 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak
erat  diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada
kontak erat  observasi gejala 2-4 minggu, bila menetap,
evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

(Kemenkes RI, 2016)

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran

34
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas

Bagan 3.2 Alur diagnosis TB Paru anak (sumber : buku Petunjuk


Manajemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016)

35
Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga,
BTA (-) /
Tidak BTA
Kontak TB - BTA (+)
Jelas tidak
jelas /
tidak
tahu
Positif (≥10 mm
Uji Tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunikompromais)
Klinis
gizi
buruk
BB/TB <90% atau
Berat Badan/
- atau BB/U BB/TB -
Keadaan Gizi
<80% <70%
atau
BB/U
<60%
Demam yang
tidak diketahui - ≥2 minggu - -
penyebabnya
Batuk Kronik - ≥3 minggu - -
≥1 cm, lebih
Pembesaran
- dari 1 KGB, - -
KGB
tidak nyeri
Pembengkaka Ada
n tulang/sendi - pembengkaka - -
panggul, lutut n
Gambaran
Foto toraks Normal - -
Sugestif TB
Tabel 3.1 Sistem Skoring TB anak (sumber : buku Petunjuk Manajemen
dan Tatalaksana TB Anak)

F. Tatalaksana TB Anak
Dalam buku Petunjuk Manajemen dan Tatalaksana TB Anak
Kemenkes RI, tatalaksana TB pada anak terdiri atas terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada
anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan pencegahan diberikan pada

36
anak yang sehat yang berkontak dengan pasien TB (TB profilaksis primer)
atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)
1. Obat yang digunakan pada TB anak
a. Obat anti tuberkulosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit
(pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada
fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB
berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif
menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase
inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan
fase lanjutan.

Dosis Dosis
Harian Maksima
Nama Obat Efek Samping
(mg/kgBB/ l
hari) (mg/hari)
Isoniazid 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
(H) hipersensitivitas
Rifampisin 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
(R) hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 35 (30-40) - Toksisitas hepar, atralgia,
(Z) gastrointestinal
Etambutol 20 (15-25) - Neuritis optik, ketajaman
(E) mata berkurang buta warna
merah hijau, hiper
sensitivitas, gastrointestinal
Tabel 3.2 Dosis OAT untuk anak (sumber : buku Petunjuk
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016)

37
Kategori Diagnostik Fase intensif Fase
Lanjutan
TB Klinis
TB Kelenjar 2HRZ 4HR
Efusi Pleura TB
TB terkonfirmasi Bakteriologis
TB paru dengan kerusakan luas
2HRZE 4HR
TB ekstraparu (selain TB
Meningitis dan TB tulang/sendi
TB tulang/sendi
TB Milier 2HRZE 10HR
TB Meningitis
Tabel 3.3 Paduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak diambil
dari buku Petunjuk Manajemen dan Tatalaksana TB Anak (sumber :
Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB)

b. Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk
paket KDT / FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu
masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50mg, dan pirazinamid (Z)
150mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam
satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

38
Berat Badan Fase intensif (2 bulan) Fase lanjutan (4
(kg) RHZ (75/50/150) bulan)
RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa
Tabel 3.4 Dosis OAT KDT pada TB anak (sumber : buku Petunjuk
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016)

c. Kortikosteroid
Obat yang sering diberikan adalah prednison dengan dosis 2
mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus akut berat, dengan
dosis maksimal 60mg/hari selama 4 minggu. Tappering-off
dilakukan secara bertahap setelah 2 minggi pemberian kecuali pada
TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering-off.
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:
1) TB meningitis
2) Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
3) Perikarditis TB
4) TB milier dengan gangguan napas yang berat
5) Efusi pleura TB
6) TB abdomen dengan asites
d. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik
terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV
yang mendapatkan anti retroviral therapy (ART). Suplementasi
piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif dan
malnutrisi berat.

39
2. Nutrisi
Status Gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada
anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin
selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur
berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda
malnutrisi seperti edema atau muscle wasting (Kemenkes RI, 2016).
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama
pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi
nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi. Air susu ibu tetap
diberikan jika anak masih dalam masa menyusu (Kemenkes RI, 2016).

3. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak


a. Pemantauan pengobatan pasien TB anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari
secara teratur oleh PMO. Orang tua merupakan PMO terbaik untuk
anak. Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama
fase intensif dan sekali sebulan pada fase lanjutan (Kemenkes RI,
2016).
Respon obat dikatakan baik jika gejala klinis membaik,
nafsu makan meningkat dan berat badan meningkat. Jika respon
pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan
dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai
kemungkinan resistensi obat, komplikasi, komorbiditas, atau
adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak dengan hasil BTA
positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-
2, ke-5 dan ke-6 (Kemenkes RI, 2016).
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang
lama sehingga tidak perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan
pengobatan, kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1 bulan

40
dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4 minggu. Demikian pun
pemeriksaan uji tuberkulin karena uji tuberkulin positif akan tetap
positif (Kemenkes RI, 2016).
Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan.
Pemberian OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi
pleura). Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan
kartu pemantauan pengobatan (Kemenkes RI, 2016).

41
b. Hasil akhir pengobatan Pasien TB Anak

Hasil Pengobatan Definisi


Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya menjadi
negatif
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan
Lengkap secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan
sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun
tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada
akhir pengobatan
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila
selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium
yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apa pun
sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau
yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
“pasien pindah (transfer outI) ke kota lain dimana
hasil akhir pengobatan tidak diketahui oleh kota yang
ditinggalkan
Tabel 3.5 Hasil Akhir Pengobatan (sumber : buku Petunjuk Manajemen
dan Tatalaksana TB Anak, 2016)

4. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat.
a. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2
bulan di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, ulangi
pengobatan TB dari awal.
b. Jika anak tidak minum obat < 2 minggu di fase intensif atau <2
bulan di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai
(Kemenkes RI, 2016)

42
43
5. Pengobatan ulang TB pada anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila dating
kembali dengan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut
menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring (Kemenkes RI, 2016).
Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan
di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan
hasil positif maka anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada
pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang (Kemenkes RI, 2016)..

II. Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi,


atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada
anak balita (bawah lima tahun) (Kemenkes RI, 2016).
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di bawah standar rata-
rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori atau
keduaya. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun
(Kemenkes RI, 2016).
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari
pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun. Balita
disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD
(standar deviasi) (Kemenkes RI, 2016).

44
A. Penentuan Status Gizi
Status gizi ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain:
1. Pengukuran Klinis
Metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita tersebut gizi
buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh perubahan-
perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan zat gizi. Hal
ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, rambut, atau mata.
Pada balita marasmus anak tampak kurus, rambut tipis dan jarang, kulit
keriput yang disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, muka
seperti orang tua (berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah
makan, bokong baggy pant, dan iga gambang. Sedangkan pada balita
kwashiorkor terdapat gejala klinis seperti pertumbuhan terganggu,
perubahan mental, pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik
ringan maupun berat, gejala gastrointestinal, rambut kepala mudah
dicabut, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis
kulit yang lebih mendalam dan lebar, dan pada kulit terbentuk bercak-
bercak putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis) (Kemenkes
RI, 2016).
2. Pengukuran Antropometrik
Penentuan status gizi antropometrik dilakukan berdasarkan berat
badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB
atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah
grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000
untuk anak lebih dari 5 tahun.
Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0-5 tahun karena
mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek
penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai
lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di
atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan
pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki grafik BB/TB dan data

45
dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS 1981 (Kemenkes RI,
2016).

Usia Grafik yang digunakan


0 – 5 tahun WH0 2006
Untuk status gizi lebih dan
obesitas lihat ketentuan di
bawah ini.
>5-18 tahun CDC 2000

Tabel 3.6 penilaian gizi lebih berdasarkan kelompok usia


(sumber : Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB)

Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO 2006 untuk
usia 0-5 tahun dan persentase berat badan ideal sesuai kriteria Waterlow
untuk anak di atas 5 tahun (WHO, 2009).

BB/TB
Status gizi (% median) BB/TB WHO 2006 IMT CDC
2000
Obesitas >120 > +3 > P95
Overweight >110 > +2 hingga +3 SD P85 – p95
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang 70-90 < -2 SD hingga -3 SD
Gizi buruk < 70 < - 3 SD
Tabel 3.7 Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow, WHO 2006,
dan CDC 2011-12. (sumber : Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB)

3. Pengukuran Laboratoris (Biokimia)


Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah,
urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Dari

46
hasil laboratoris dapat dilihat apakah terdapat anemia, hipoalbumin, dan
imbalance electrolyte lainnya.
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan
akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi, Banyak gejala
klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih
banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
(Kemenkes RI, 2016)
4. Pengukuran Recall Diet (konsumsi makanan)
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga
dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan
kekurangan zat gizi.
Status Gizi secara Klinis dan Antropometri (BB/TB)
Status Gizi Klinis Antropometri
Gizi Buruk Tampak sangat kurus <-3SD atau 70%
dan atau edema pada
kedua punggung kaki
sampai seluruh tubuh
Gizi Kurang Tampak kurus > -3SD sampai < -2SD
atau 80%
Gizi Baik Tampak sehat -2SD sampai 2SD
Gizi Lebih Tampak gemuk > 2SD
Tabel 3.8 Gabungan Penentuan Status Gizi secara Klinis dan
Antropometri (sumber : Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku 1)

B. Klasifikasi Gizi Buruk


1. Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling
sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat
keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak tampak kurus,
rambut tipis dan jarang, kulit keriput yang disebabkan karena lemak di
bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua (berkerut), balita

47
cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant, dan
iga gambang (IDAI. 2009)
Pada patologi marasmus, awalnya pertumbuhan yang kurang dan
atrofi otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan proses
fisiologis. Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi oleh asupan
makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi
kebutuhan energi cadangan protein juga digunakan. Penghancuran
jaringan pada defisiensi kalori tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
energi tetapi juga untuk sistesis glukosa (Kemenkes RI, 2016).
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan
protein yang inadekuat. Kwashiorkor juga merupakan hasil akhir dari
tingkat keparahan gizi buruk. Tanda khas kwashiorkor antara lain
pertumbuhan terganggu, perubahan mental, pada sebagian besar
penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat, gejala
gastrointestinal, rambut kepala mudah dicabut, kulit penderita biasanya
kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan
lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit,pembesaran
hati, anemia ringan, pada biopsi hati ditemukan perlemakan (Kemenkes
RI, 2016).
Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan
perlemakan hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak
terjadi proses katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena
persediaan energi dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup
dalam asupan makanan. Kekurangan protein dalam diet akan
menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk
sintesis. Asupan makanan yang terdapat cukup karbohidrat
menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian asam amino
dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke
otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh

48
berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan
edema (Kemenkes RI, 2016).
Ciri-ciri dari anak yang mengalami kwarshiorkor antara lain
perubahan mental sampai apatis, anemia, perubahan warna dan tekstur
rambut, mudah dicabut/rontok, gangguan sistem gastrointestinal,
pembesaran hati, perubahan kulit (dermatosis), atrofi otot, edema
simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh (IDAI,
2009)
3. Marasmik – Kwarshiorkor
Marasmik-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran dari
beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan Berat
Badan (BB) menurut umur (U) < 60% baku median WHO-NCHS yang
disertai edema yang tidak mencolok. Marasmik-kwarshiorkor memiliki
tanda dan gejala klinis marasmus dan kwarshiorkor secara bersamaan
(Kemenkes RI, 2016 dan IDAI, 2009)
C. Alur Pemeriksaan Gizi Buruk

Bagan 3.3 Alur Pemeriksaan Gizi Buruk anak (sumber: buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2011)

49
50
D. Alur Pelayanan Gizi Buruk di Rumah Sakit

Bagan 3.4 Alur Pelayanan Gizi Buruk anak (sumber: buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2011)

E. 10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk

Bagan 3.5 10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk anak (sumber: buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2011)

51
1. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk
harus diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah
masuk rumah sakit. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk
memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus
dianggap menderita hipoglikemia.
2. Hipotermia
Anak dinyatakan hipotermia bila Suhu aksilar < 35.5° C. Tatalaksana
yang dapat diberikan:
a. Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
b. Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup
dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah
langsung kepada anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak
langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode
kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 40
W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.
c. Beri antibiotik sesuai pedoman.
3. Dehidrasi
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi
yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi
buruk. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak
jelas, anggap sebagai dehidrasi ringan. Tatalaksana:
a. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
b. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
c. Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
d. Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th:
50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap
buang air besar.

52
4. Keseimbangan Elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan
magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih
untuk memperbaikinya. Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh,
walaupun kadar natrium serum mungkin rendah. Edema dapat
diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema dengan diuretikum.
Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian.
Tatalaksana:
a. Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan
Magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix
yang ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
b. Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
c. Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl)
5. Infeksi
6. Defisiensi Zat Gizi Mikro
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase
awal, tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik
dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua,
mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi.
Tatalaksana:
a. Multivitamin
b. Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
c. Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
d. Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
e. Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
f. Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah
diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini
g. Tabel 3.8 Gabungan Penentuan Status Gizi secara Klinis dan
Antropometri (sumber : Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk
Buku 1)

53
Tabel 3.9 Pemberian Vitamin A pada Gizi Buruk (sumber:
Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit)

7. Makanan Fase Stabilisasi


Fase Stabilisasi

2 jam pertama :
Berikan F-75 setiap 30 menit, 1/4 dari Catat nadi, pernafasan, kesadaran dan
dosis untuk 2 jam sesuai berat badan asupan F-75 setiap 30 menit

10 jam berikutnya :
Teruskan pemberian F-75 setiap 2 jam

Bila anak dapat menghabiskan sebagian besar F75, ubah


pemberian menjadi setiap 3 jam

Bila anak dapat menghabiskan F75, ubah pemberian menjadi


setiap 4 jam

Bagan 3.6 Alur Pemberian Makan untuk Fase Stabilisasi


(sumber: buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, 2011)

54
Resep Formula WHO F75 dan F100:

Cara membuat F75:


a. Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata.
b. Masukkan susu bubuk sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan
berbentuk gel.
c. Tambahkan air hangat dan larutan mineral-mix sedikit demi sedikit
sambil diaduk sampai homogen dan volumenya menjadi 1000 ml.
Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak selama 4 menit.
Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena,
larutan harus dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkan
setelah larutan mendingin. Apabila tersedia blender, semua bahan
dapat dicampur sekaligus dengan air hangat secukupnya. Setelah
tercampur homogen baru ditambahkan air hingga volume menjadi
1000 ml. Apabila tidak tersedia blender, gula dan minyak sayur
(dianjurkan minyak kelapa) harus diaduk dahulu sampai rata, baru
tambahkan bahan lain dan air hangat.

55
8. Makanan Tumbuh Kejar
a. Fase Transisi
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini
adalah:
Kembalinya nafsu makan
Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana:
1) Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama
dengan F-75 selama 2 hari berturutan.
2) Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali
pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau
tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian
formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula digunakan
bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi
sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan
F-100.
3) Setelah transisi bertahap, beri anak:
a) pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas
(sesuai kemampuan anak)
b) energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
c) protein: 4-6 g/kgBB/hari

Tabel 4.0 Kebutuhan zat gizi anak gizi buruk menurut fase pemberian
makanan (sumber: Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit)

56
9. Stimulasi Tumbuh Kembang
Lakukan:
a. ungkapan kasih sayang
b. lingkungan yang ceria
c. terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari
d. aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
e. keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi
makan, memandikan, bermain)
f. Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak
10. Tindak Lanjut di Rumah
Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat
dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U
rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan
yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah. Berikan
contoh kepada orang tua:
a. Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta
b. frekuensi pemberian makan yang sering.
c. Terapi bermain yang terstruktur
Sarankan:
a. Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
b. Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
F. Komplikasi Gizi Buruk
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam
jiwa karena berbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara
lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis,
hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan
kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan
namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch
up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini
berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya
(Kemenkes RI, 2016).

57
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi
buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis,
mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan
pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja
merosotnya prestasi anak (Kemenkes RI, 2016).
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan
vitamin dan mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan
mineral yang terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang
terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak. Pengaruh KEP bisa
terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering
terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati, pankreas, ginjal,
jantung, dan gangguan hormonal (Kemenkes RI, 2016).
Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang
disebabkan karena kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam folat. Gejala
yang bisa terjadi adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah
lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem hormonal yang terjadi adalah
gangguan hormon kortisol, insulin, Growth hormon (hormon
pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi tiroid
menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan dalam metabolisme
karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan kematian (Kemenkes RI,
2016).
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita
KEP, khususnya pada KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada
KEP berat resiko kematian cukup besar, adalah sekitar 55%. Kematian ini
sering terjadi karena penyakit infeksi (seperti tuberkulosis, radang paru,
infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi
berat sering terjadi karena pada KEP sering mengalami gangguan
mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila

58
terkena infeksi berisiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga
mengancam jiwa (Kemenkes RI, 2016).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut TB paru, depresi berat, dan gizi buruk tipe
marasmik.
2. Untuk menegakkan diagnosis pasti pada pasien tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti Rontgen Toraks,
dan kultur sputum.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, dilakukan follow up kembali
untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan diri sendiri untuk mencegah terjadinya sakit yang
berulang.

59
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Dr. Husein et al. 2007. Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal 573 – 761.

Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al.
2008.Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan RI. 2016. .Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu


Pengendalian Tuberkulosis, Kementrian Kesehatan RI.

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Jakrta :
WHO Indonesia.

60

Anda mungkin juga menyukai