Anda di halaman 1dari 66

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA 31 TAHUN DENGAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM,


DIABETES MELLITUS TIPE I DD DM TIPE LAIN,
DAN INFEKSI SALURAN KEMIH

Oleh :
Amalina Elvira Anggraini G99172032

Residen Pembimbing

dr. Anne Marrya dr. Sienny Linawati, M.Kes, Sp.PK

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAT SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul :

SEORANG WANITA 31 TAHUN DENGAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM,


DIABETES MELLITUS TIPE I DD DM TIPE LAIN,
DAN INFEKSI SALURAN KEMIH

Disusun Oleh :
Amalina Elvira Anggraini G99172032

Telah dipresentasikan pada


Hari, tanggal: 2018

Pembimbing

dr. Sienny Linawati, M.Kes, Sp.PK.

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : Ny. Y
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM : 01417xxx
Pekerjaan : Swasta
Tanggal masuk : 25 Juli 2018
Tanggal periksa : 28 Juli 2018

B. Data dasar
Keluhan utama:
Mual dan muntah sejak 2 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan mual muntah
sejak 2 hari SMRS. Mual dirasakan terus menerus hingga mengganggu aktivitas.
Muntah bisa sampai 4-5x tiap hari, setiap kali muntah berisi air kira-kira setengah
gelas belimbing. Keluhan membuat pasien tidak mau makan. Pasien tidak
mengeluhkan nyeri perut di ulu hati dan tidak merasa panas di bagian dada.
Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala. Nyeri dirasakan di seluruh kepala
seperti diikat. Keluhan dirasakan terus menerus. Nyeri tidak membaik dengan
istirahat. Pasien mengaku belum minum obat-obatan. Nyeri tidak dirasakan di
tengkuk. Tidak didapatkan nyeri kepala sebelah, maupun nyeri di sekitar mata.
Tidak didapatkan riwayat trauma pada kepala.
Pasien juga merasa lemas. Lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas
hingga membuat pasien sulit beraktivitas dan hanya dapat berbaring. Lemas tidak
membaik dengan pemberian makan dan pasien merasa lebih baik dengan
istirahat. Lemas tidak disertai dengan kepala terasa pusing, berkunang-kunang,
dan telinga berdenging.

2
Saat dirawat hari pertama di bangsal Flamboyan RS Dr Moewardi , suami
pasien mengatakan pasien mulai meracau. Pasien tiba-tiba seperti kehilangan
kesadaran dan berbicara tidak jelas. Tidak dapat membalas pertanyaan suami
pasien, hanya mengatakan bahwa ingin segera pulang dan diulang-ulang. Suami
pasien juga mengatakan bahwa napas pasien tersengal-sengal.
Pasien mengatakan sering BAK. BAK paling sering bisa sampai tiap 2
jam sekali. Bertambah sering saat banyak makan atau minum manis. BAK
berwarna kuning jernih, sekitar 1 gelas belimbing. Pasien sering terbangun dari
tidur untuk BAK. Pasien mengeluhkan sering anyang-anyangan dan BAK tidak
lampias. Tidak didapatkan nyeri saat BAK. BAB pasien tidak ada keluhan. BAB
pasien setiap pagi, berwarna kuning kecoklatan, lembek. Pasien mengaku akhir-
akhir ini berat badannya menurun 5 kg dalam 3 bulan terakhir.
Pasien mengatakan baru mengetahui jika gula darah pasien tinggi sejak
April 2018 setelah melahirkan anak keduanya dengan cara operasi caesar. Pasien
tidak mengetahui hasil pemeriksaan gula darah sebelum persalinannya. Riwayat
gula darah tertinggi sampai 770. Sejak setelah persalinan, pasien merasa sering
lemas, mual dan muntah. Pasien juga mulai merasa sering haus dan lapar
sehingga banyak makan dan minum, serta sering BAK.
Riwayat pasien dirawat di rumah sakit Sukoharjo pada bulan April 2018
dengan keluhan mual dan muntah, serta badan terasa lemas selama 10 hari.
Setelah pasien pulang, pasien sempat diberikan insulin seminggu dan diminta
kontrol. Namun setelah pasien berhenti menggunakan insulin 1 hari, pasien
kembali merasa sangat lemas sampai tidak dapat berdiri, serta mengeluh mual
muntah sampai harus dirawat di RS Dr Moewardi selama 10 hari pada bulan Mei
2018. Setelah boleh dipulangkan, pasien dirujuk balik ke rumah sakit Soekoharjo
namun tidak mendapatkan insulin, hanya diberikan pengobatan metformin.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit Keterangan

Riwayat sakit serupa Mei 2018 di RS Dr Moewardi

Riwayat operasi 2007 sectio caesaria ec plasenta previa

3
April 2018 sectio caesaria ec riwayat sc

Riwayat mondok April 2018 di Rumah sakit Soekoharjo

Riwayat penyakit keluarga


Penyakit Keterangan
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat hipertensi Disangkal
Riwayat sakit liver Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat DM Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat alergi Disangkal

Riwayat kebiasaan :
Pola makan Pasien makan 2-3 kali sehari dengan nasi,
lauk pauk bervariasi, pasien sering
mengemil.
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Minum jamu Disangkal
Suplemen
Disangkal
multivitamin

Riwayat gizi :
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk sekali makan ± 10-
12 sendok makan dengan nasi, lauk-pauk, dan sayur. Pasien sering mengemil makanan
manis dan minum teh.

Riwayat sosial ekonomi

Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama suami dan
anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

4
II.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat, somnolen
GCS E3V5M6, kesan gizi cukup
2. Tanda vital
 Tensi : 106/70 mmHg posisi berbaring,
diukur pada lengan sebelah kiri.
 Nadi : 107 kali /menit irama reguler, isi nadi
cukup, kelenturan dinding arteri elastis,
nadi kanan dan kiri sama, frekuensi
nadi dan frekuensi jantung sama.
 Frekuensi nafas : 28 kali /menit, dalam, tipe pernafasan torakoabdominal
0
 Suhu : 36.3 C per axilla
 VAS : 3 di kepala
3. Status gizi
a. Berat badan : 55 kg
b. Tinggi badan : 153 cm
c. IMT : 23,5 kg/m2
d. Kesan : Gizi cukup
4. Kulit : Warna coklat, turgor (+) menurun, hiperpigmentasi (-),

kering (+), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),

5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok

(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)

6. Mata : Mata cekung (+/+), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik

(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan

diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema

palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah (-/-)

7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

5
tragus (-)

8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air

berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-), nafas cuping

hidung (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), krepitasi (-)

9. Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi

berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-),

lidah kotor (-), tonsil T1-T1, uvula di tengah

10. Leher : JVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran

kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening

(-), distensi vena-vena leher (-)

11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada

kanan = kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan

abdominothorakal, sela iga melebar(-), pembesaran

kelenjar getah bening axilla (-/-), spider naevi (-)

12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
medioclavicularis sinistra 1 cm ke medial
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: 2 cm SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V linea medioclavicularis sinistra 1
cm ke medial
Batas jantung kesan normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, gallop
(-), murmur (-).
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)

6
 Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V
linea medioclavicularis sinistra
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)

 Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)

14. Abdomen
 Inspeksi :Dinding perut sejajar dengan dinding thorak, venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-), papul
(-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 10 x/menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)

7
 Perkusi :Timpani, pekak alih (-), undulasi (-), area troube
pekak, liver span kanan 10 cm, liver span kiri 6
cm.
 Palpasi : supel, turgor (+) menurun, nyeri tekan regio
suprapubis (+), distended (-), nyeri lepas (-), defans
muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
undulasi (-)

15. Ginjal
 Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba
 Nyeri ketok : (-)

16. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem
_ _

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral


dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat
(-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat
nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-),
deformitas (-/-),

8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (26 Juli 2018) di RS Dr. Moewardi

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN

Hemoglobin 14.6 g/dL 12.0 – 15.6


Hematokrit 46 % 33 – 45
3
Leukosit 17.6 10 /  L 4.5 – 11.0
3
Trombosit 582 10 /  L 150 – 450
6
Eritrosit 5.24 10 /  L 4.10 – 5.10
KIMIA KLINIK
GDS 679 mg/dL 60-140
SGOT 26 u/L <31
SGPT 24 u/L <34
Creatinin 1.0 mg/dL 0.6 – 1.1
Ureum 46 mg/dL <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 mmol/L 136-145
Kalium darah 5.8 mmol/L 3.3—5.1
Kalsium ion 1.39 mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HbsAg Rapid Non reaktif Non reaktif

Osmolaritas = 320 mmol


2 x (Na + K) + (GDS/18) + (Ur/6)
2 x (132 + 5.8) + (679/18) +(46/6)
2 x 137.8 + 37.72 + 7.67
=320

9
B. Analisis Gas Darah (27 Juli 2018) di RS Dr. Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
ANALISA GAS DARAH
pH 7.100
BE -23.1 Mmol/L
PCO2 14.0 mmHg 27.0-41.0
PO2 128.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 49 % 37-50
HCO3 4.3 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 4.7 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 98.0 % 94.0-98.0
LAKTAT

Arteri 1.80 mmol/L 0.36-0.75


Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit 1 mg/dl Negatif
KIMIA KLINIK
HbA1C 10.5 % 4.8-5.9
Glukosa Darah Puasa 487 Mg/dl 70-110
Glukosa 2 jam PP 91 Mg/dl 80-140
Asam Urat 12.2 Mg/dl 2.4-6.1
Cholesterol Total 143 Mg/dl 50-200
Cholesterol LDL 80 Mg/dl 70-156
Cholesterol HDL 27 Mg/dl 36-77
Trigliserida 347 Mg/dl <150

C. Urinalisis (27 Juli 2018) di RS Dr. Moewardi


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan St Cloudy
Kimia urine
Berat jenis 1.015 1.015-1.025
PH 5.5 4.5 – 8.0

10
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein 30 mg/dl Negatif
Glukosa 100 mg/dl Normal
Keton 150 mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit 1 mg/dl Negatif
Mikroskopis
Leukosit 1.0 /LPB 0-12
Epitel
Squamous 0-2 /LPB Negatif
Transitional 2-3 /LPB Negatif
Bulat - /LPB Negatif
Silinder
Hyaline 0 /LPK 0-3
Granulated 1-2 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Small Round Cell 3.0 /uL 0.0 – 0.0
Yeast Like Cell 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Mukus 0.00 /uL 0.00 – 0.00
Sperma 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Konduktivitas 14.5 mS/cm 3.0 – 32.0
Eritrosit 105-110/LPB. Leukosit 1-2/LPB.
Lain-lain Bakteri (+)
Hematuria, bacteriuria,
proteinuria, glucosuria,
Kesan ketonuria, silinderuria

11
D. Elektrokardiografi (26 Juli 2018) di RS Dr. Moewardi

Kesimpulan : sinus ritmis, HR 125x/menit, normoaxis


E. Foto Thorak (26 Juni 2018) di RS Dr.Moewardi

Kesimpulan : cor dan pulmo tak tampak kelainan

IV. RESUME

12
1. Keluhan utama
Mual muntah sejak 2 hari SMRS
2. Anamnesis:
 Mual muntah sejak 2 hari SMRS
 Nyeri di seluruh kepala terus menerus
 Lemas dirasakan di seluruh tubuh
 Sering BAK memberat ketika makan dan minum manis
 BAK anyang-anyangan dan tidak lampias
 Sering merasa lapar dan haus
 Riwayat pasien mondok dengan keluhan serupa
 Riwayat pasien mengetahui memiliki gula darah tinggi sejak April 2018
 Riwayat pasien tidak teratur menggunakan insulin
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4/V5/M6.
Kesan gizi normoweight. Tekanan darah 106/70 mmHg, nadi 107 kali/menit,
o
frekuensi nafas 24 kali /menit, nafas dalam, suhu 36,3 C, VAS 3 di kepala. Kulit
kering (+), mata cekung (+/+), bibir kering (+), abdomen turgor (+) menurun, nyeri
tekan regio suprapubis (+).
4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah (26/7/2018): Leukositosis, trombositosis,
hiperglikemia, hiperkalemia
b. Analisa Gas Darah (27/7.2018) : Asidosis metabolik
c. Urinalisis :hematuria, bacteriuria, proteinuria, glucosuria, ketonuria,
silinderuria
d. EKG : Sinus ritmis, HR 125x/menit, normoaksis.

V. Diagnosis atau Problem


1. Ketoasidosis Diabetikum
2. DM Tipe I dd DM tipe lain
3. Infeksi Saluran Kemih

13
VI. Prognosis
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

14
FOLLOW UP

Tanggal 26 Juli 2018 (DPH0) 27 Juli 2018 (DPH1)


Subjektif Mual, muntah, nyeri kepala Mual, muntah, nyeri kepala
Objektif KU : tampak sakit sedang, KU : tampak sakit sedang,
composmentis, gizi composmentis, gizi
kesan cukup kesan cukup
Tensi : 120/80 mmHg Tensi : 130/80 mmHg
Respirasi : 22 kali/menit Respirasi : 26 kali/menit
Nadi : 88 kali/menit Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 36.8° C Suhu : 36.9° C
VAS : 3 di kepala VAS : 3 di kepala
Mata : sklera ikterik (-/-) Mata : sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa Mulut : sianosis (-), mukosa
kering (+), atrofi papil kering (+), atrofi papil
lidah (-) lidah (-)
Leher : JVP R+2, KGB tidak Leher : JVP R+2, KGB tidak
membesar membesar
Thorak : Normochest, Retraksi(-) Thorak : Normochest, Retraksi(-)
Cor : Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat P : IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak P : Batas jantung kesan tidak
melebar melebar
A : BJ I-II intensitas normal, A : BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-) reguler, bising (-), gallop (-)

15
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada I : Pengembangan dada
kanan=kiri kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronkhi tambahan wheezing (-/-) ronkhi
basah kasar (-/-) ronkhi basah basah kasar (-/-) ronkhi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : Dinding perut sejajar dinding I : Dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 12 x/menit A : Bising usus (+) 10 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-) P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+) di regio P : Supel, nyeri tekan (+) di regio
suprapubis, hepar dan lien suprapubis, turgor (+)
tidak teraba menurun, hepar dan lien tidak
teraba

Akral dingin Akral dingin

Oedem - - Oedem - -
- - - -
Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium darah Pemeriksaan laboratorium darah
Penunjang (26/07/2018): (27/07/2018):
Hematokrit meningkat (46%), HbA1c naik (10.5%), GDP naik
leukositosis (17.6 ribu/ul), (487 mg/dl), asam urat naik (12.2
trombositosis (582 ribu/ul), mg/dl), cholesterol HDL turun (27
limfositosis (16.90%), hiperglikemia mg/dl), trigliserida naik (347 mg/dl).
(679 mg/dl), hiperkalemia (5.8 Simpulan: DM tipe 2 terkontrol
mmol/L), HBsAg rapid reaktif. buruk, hiperurisemia,

16
Foto thoraks PA (26/07/2018): hipertrigliseridemia.
Cor dan pulmo tak tampak kelainan.
Pemeriksaan laboratorium urine
(27/07/2018):
Protein 30 mg/dl, glukosa 1000
mg/dl, keton 150 mg/dl, small round
cell 3.0/uL, eritrosit 105-110/LPB,
leukosit 1-2/LPB, bakteri (+).
Simpulan: hematuria, bakteriuria,
proteinuria, glukosuria, ketonuria.

Analisis gas darah (27/07/2018):


pH asam (7.10), BE turun (-23.1),
PCO2 turun (14.0 mmHg), PO2 naik
(128.0 mmHg), HCO3 turun (4.3
mmol/L), total CO2 turun (4.7
mmol/L), laktat arteri naik (1.80
mmol/L).
Simpulan: asidosis metabolik
terkompensasi.
Assesment 1. Cephalgia 1. Cephalgia
2. DM Tipe II Non Obese 2. DM Tipe II Non Obese

Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total


2. Diet DM 1700 kkal 2. Diet DM 1700 kkal
3. Infus RL 20 tpm 3. Infus RL 20 tpm
4. Inj insulin novorapid 10-10-10 4. Inj insulin novorapid 10-10-10
unit s.c. unit s.c.
5. Inj Lantus 0-0-0-16 IU s.c. 5. Inj Lantus 0-0-0-16 IU s.c.
6. Paracetamol tab 500 mg/8 jam 6. Paracetamol tab 500 mg/8 jam
Planning - Cek GDP, GD2PP, GDS 22/05 - Cek GDP, GD2PP, GDS/jam

17
- Cek kolesterol total, asam urat.
- Konsul bagian Endokrin. - Pemeriksaan urine rutin
- AGD
- Pindah HCU

Tanggal 28 Juli 2018 (DPH2) 29 Juli 2018 (DPH3)


Subjektif Lemas Lemas
Objektif KU : tampak sakit berat, KU : tampak sakit sedang,
somnolen, gizi kesan composmentis, gizi
cukup kesan cukup
Tensi : 106/70 mmHg Tensi : 116/72 mmHg
Respirasi : 24 kali/menit Respirasi : 22 kali/menit
Nadi : 104 kali/menit Nadi : 87 kali/menit
Suhu : 36.5° C Suhu : 36.3° C
VAS :0 VAS :0
Mata : sklera ikterik(-/-) Mata : sklera ikterik(-/-)
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa Mulut : sianosis (-), mukosa
kering (+), atrofi papil kering (-), atrofi papil
lidah (-) lidah (-)
Leher : JVP R+2, KGB tidak Leher : JVP R+2, KGB tidak
membesar membesar
Thorak : Normochest, retraksi (-) Thorak : Normochest, retraksi (-)
Cor Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat P : IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak P : Batas jantung kesan tidak
melebar melebar
A : BJ I-II intensitas normal, A : BJ I-II intensitas normal,

18
reguler, bising (-), gallop (-) reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = I : Pengembangan dada kanan =
kiri kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronkhi tambahan wheezing (-/-) ronkhi
basah kasar (-/-) ronkhi basah basah kasar (-/-) ronkhi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : Dinding perut sejajar dinding I : Dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 10 x/menit A : Bising usus (+) 12 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-) P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (+) regio P : Supel, nyeri tekan (-), hepar
suprapubis, turgor (+) dan lien tidak teraba
menurun, hepar dan lien tidak Akral dingin
teraba
Akral dingin Oedem - -
- -
Oedem - -
- -
Pemeriksaan Analisis gas darah (29/07/2018):
Penunjang pH (7.448), BE turun (-5.7), PCO2
turun (26.5 mmHg), PO2 naik
(155.9 mmHg), HCO3 turun (18.5
mmol/L), laktat arteri naik (1.40
mmol/L).
Simpulan: asidosis metabolik

19
terkompensasi sempurna.
Assesment 1. Hiperglikemi e.c. KAD 1. Hiperglikemi e.c. KAD
2. DM tipe I dd DM tipe lain 2. DM tipe I dd DM tipe lain
3. ISK 3. ISK
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. O2 10 lpm NRM 2. O2 10 lpm NRM
3. Diet DM 1700 kkal 3. Diet DM 1700 kkal
4. Inj Ampicilin sulbactam 1,5 g/8 4. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
jam 5. Inj Ampicilin sulbactam 1,5 g/8
5. Sp insulin 50 IU dalam 50 cc jam
NaCl kecepatan 5 cc/jam 6. Sp insulin 50 IU dalam 50 cc
6. NaCl 0.9% NaCl kecepatan 5 cc/jam
30’  2 kolf 7. Inj Lantus 0-0-0-16 IU s.c.
30’ 1 kolf
1 jam 2 kolf
1 jam 1 kolf
1 jam 1 kolf
1 jam  ½ kolf

Planning - AGD - KUVS/4 jam


- KUVS/4 jam - GDS/4 jam
- GDS/4 jam - Lacak hasil DR 2
- Lacak hasil DR 2 - Ulang rutin/hari
- Ulang rutin/hari

Tanggal 30 Juli 2018 (DPH4) 31 Juli 2018 (DPH5)


Subjektif Lemas Lemas
Objektif KU : tampak sakit ringan, KU : tampak sakit ringan,
composmentis, gizi composmentis, gizi
kesan cukup kesan cukup

20
Tensi : 110/70 mmHg Tensi : 120/60 mmHg
Respirasi : 20 kali/menit Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 85 kali/menit Nadi : 104 kali/menit
Suhu : 36.4° C Suhu : 36.7° C
VAS :0 VAS :0
Mata : sklera ikterik (-/-) Mata : sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa Mulut : sianosis (-), mukosa
kering (-), atrofi papil kering (-), atrofi papil
lidah (-) lidah (-)
Leher : JVP R+2, KGB tidak Leher : JVP R+2, KGB tidak
membesar membesar
Thorak: Normochest, retraksi (-) Thorak: Normochest, retraksi (-)
Cor Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat P : IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak P : Batas jantung kesan tidak
melebar melebar
A : BJ I-II intensitas normal, A : BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-) reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = I : Pengembangan dada kanan =
kiri kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronkhi tambahan wheezing (-/-) ronkhi
basah kasar (-/-) ronkhi basah basah kasar (-/-) ronkhi basah
halus (-/-) halus (-/-)

21
Abdomen Abdomen
I : Dinding perut sejajar dinding I : Dinding perut sejajar dinding
dada dada
A : Bising usus (+) 12 x/menit A : Bising usus (+) 12 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-) P : Timpani, pekak alih (-)
P : Supel, nyeri tekan (-), hepar P : Supel, nyeri tekan (-), hepar
dan lien tidak teraba dan lien tidak teraba
Akral dingin
Akral dingin
Oedem - -
Oedem - - - -
- -
Pemeriksaan
Penunjang
Assesment 1. Hiperglikemi e.c. KAD 1. Hiperglikemi e.c. KAD
2. DM tipe I dd DM tipe lain 2. DM tipe I dd DM tipe lain
3. ISK 3. ISK

Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total


2. O2 3 lpm NK 2. O2 3 lpm NK
3. Diet DM 1700 kkal 3. Diet DM 1700 kkal
4. Infus NaCl 0,9% 20 tpm 4. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
5. Inj Ampicilin sulbactam 1,5 g/8 5. Inj Ampicilin sulbactam 1,5g/8
jam jam
6. Inj Lantus 0-0-0-8 IU 6. Inj Lantus 0-0-0-8 IU
7. Inj Novorapid 8-8-8 unit s.c. 7. Inj Novorapid 8-8-8 unit s.c.
Planning - KUVS/12 jam - Raber bagian Endokrin dan
- GDS/4 jam Gastro
- Cek GDP, GD2PP - KUVS/12 jam
- GDS/4 jam

22
- Cek GDP, GD2PP
- Urine rutin ulang

23
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang wanita datang dengan keluhan mual dan muntah
sejak 2 hari SMRS. Selain itu, pasien juga merasakan nyeri di seluruh kepala,
serta lemas. Pasien juga mengeluhkan BAK bertambah jika pasien
mengkonsumsi makanan manis, sering merasa lapar dan haus. Saat ini pasien
juga mengeluhkan BAK anyang-anyangan serta tidak lampias. Pasien
dikatakan menderita gula darah tinggi saat kehamilan dan diberikan obat,
namun setelah itu tidak dikonsumsi secara rutin.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan VAS 3 di kepala, kuli kering, mata
cekung, bibir kering, turgor pada abdomen menurun, serta nyeri tekan pada
regio suprapubis.
Pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis.
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis, trombositosis,
hiperglikemia, dan hiperkalemia. Dari pemeriksaan analisis gas darah
didapatkan hasil asidosis metabolik. Pada pasien ini di diagnosa Ketoasidosis
diabetik berdasarkan anamnesa mual muntah, perut terasa sakit, dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
epigastric dan nafas Kussmaul. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
Gula darah Sewaktu 679 mg/dl, analisis gas darah asidosis metabolik, dan
didapatkan ketonuria. Keadaan tersebut sesuai dengan komplikasi akut
diabetes Ketoasidosis Diabetik (KAD) yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat (Tarigan, 2015). Keadaan
dekompensasi/kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia,
asidodis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin realtif. 
Pencetus diantaranya adalah menghentikan atau mengurangi terapi insulin,
infeksi, infark miokard, stroke akut, pankreatitis dan obat-obatan (Tarigan,
2015). Pada pasien ini pencetus yang paling memungkinkan adalah adanya
defisiensi insulin. Pada pasien ini masih dalam kategori KAD sedang karena

24
terdapat penurunan kesadaran, pH 7.100, HCO3 4.3 mmol/L, dan ketonuria
(+). (Tarigan, 2015).
Pasien di diagnosis DM tipe 1 berdasarkan anamnesa terdapat penurunan
berat badan, poliuri, polifagi, polidipsi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
bahwa keempat gejala ini tejadi pada pasien diabetes mellitus tipe 1. Selain
itu, berdasarkan anamnesa ada riwayat ketergantungan dari insulin dan pada
pemeriksaan fisik didapatkan napas Kussmaul. Dari pemeriksaan
laboratorium di dapatkan GDS 679 mg/dl, GDP 287 mg/dl, dan HbA1c
10.5%. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa diagnosis diabetes mellitus
tipe 1 sudah bisa ditegakkan jika memenuhi gejala khas polidipsi, poliuri,
polifagi, dan penurunan berat badan serta kadar glukosa darah sewaktu lebih
dari 200 mg/dl dan glukosa puasa >126 mg/dl (Rustama DS, dkk. 2010;
SIPAD Clinical Practice Consencus Guidelines 2009).
Dari pemeriksaan urinalisis didapatkan hasil hematuria, bakteriuria,
proteinuria, glukosuria, ketonuria, dan silinderuria. Dari data anamnesis,
pemeriksaan fisik serta penunjang urinalisis disimpulkan pasien mengalami
infeksi saluran kemih.

25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Ketoasidosis Diabetikum
A. Definisi
Keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif. KAD merupakan komplikasi akut diabetes
mellitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotic, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan
dapat sampai menyebabkan syok. Kriteria diagnostik untuk KAD adalah
pH arterial < 7,3,kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah >
250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria moderate (Kitabchi et al,
2009; Soewondo, 2009).

B. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukkan
bahwa insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua
kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun
sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. Insidensi KAD berdasarkan
penelitian lain adalah antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien
diabetes. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, insiden KAD
di Indonesia tidak sebnyak di Negara barat, mengingat prevalensi DM tipe
1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari
data rumah sakit, dan terutama pada pasien DM tipe 2. Di Negara maju
dengan sarana yang lengkap angka kematian KAD berkisar antara 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25-50 % (Soewondo, 2009; Savage et al, 2011).
C. Etiologi
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD
dan KHH, namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian

26
atau kurangnya dosis insulin dapat menjadi faktor pencetus penting. Tabel
1 memberikan gambaran mengenai faktor-faktor pencetus penting untuk
kejadian KAD.

Kondisi pencetus Kasus (%)


Infeksi 19-56
Penyakit kardiovaskular 3-6
Insulin inadekuat/stop 15-41
Diabetes awitan baru 10-22
Penyakit medis lainnya 10-12
Tidak diketahui 4-33

Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah


infeksi, miokard infark akut, pankreatitis akut, pengguanaan obat golongan
steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu, 20%
pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus. Menghentikan atau
mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya KAD.
Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di
daerah perkotaan. Diantara 56 kasus tersebut, 75% telah diketahui DM
sebelumnya dan 67% factor pencetusnya adalah menghentikan insulin
(Soewondo, 2009; Chaithongdi et al, 2011; Westerberg et al, 2013).

D. Patofisiologi
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektivitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolysis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi
akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis

27
dan glikogenolisis) dan penurunan kadar glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada
ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol
piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan
patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan
hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotic yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate(GFR). Mekanisme yang mendasari
peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi
defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator
menyebabkan aktivasi hormon lipase yang sensitive pada jaringan lemak.
Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan
asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol
merupakan substrat penting untuk gluconeogenesis pada hepar, sedangkan
pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton
yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan
konsentrasi glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (CoA)
dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui
inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada
sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine
palmitoyl-transferase I (CPT I), enzim untuk merubah dari fatty acyl Co
A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak
menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak
bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan
aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan
peningkatan ketogenesis.

28
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam
sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen,
menghambat liposes pada sel lemak ( menekan pembentukan asam lemak
bebas), menghambat gluconeogenesis pada sel hati serta mendorong
proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui
oksidasi tersebut akan dihasilkan adenine trifosfat (ATP) yang merupakan
sumber energy utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam
memperberat keadaan defisiensi insulin relative. Meningkatnya hormone
kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-bas dapat mengganggu
sensitivitas insulin (Soewondo, 2009; Nigam et al, 2010).

a) Gejala Klinis

29
Gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam
jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala
pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD
sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia,
dan polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi,
lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis
termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25%
pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian
lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda (Kitabchi et al,
2009; Nigam et al, 2010).
KAD
Parameter
Ringan Sedang Berat
Gula darah (mg/dl) >250 >250 >250
pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00
Serum
bikarbonat/HCO3- 15-18 10- (<15) <10
(mEq/l)
Keton urine + +
Keton serum + +
Osmolaritas serum
Variable Variabel Variable
efektif (mOsm/kg)
Anion gap >!0 >12 >12
Perubahan sensorial
atau mental Alert Alert/drowsy Stupor/coma
obtundation
Catatan :

30
a. Pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi
nitroprusida
b. Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg) = 2X Na (mEq/l) + Glukosa
(mg/dl)/18
c. Anion gap= Na+ - (Cl+HCO3-) (mEq/l)

F. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:
1. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif
2. Penggantian cairan dan garam yang hilang
3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
4. Mengatasi faktor pencetus KAD
5. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus
diberikan; % diantaranya ialah: cairan, garam, insulin, kalium, dan
glukosa. Sedangkan terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan
keperawatan (Soewondo, 2009).
 Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis.
Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100
ml/kgBB, maka pada jam pertama diberikan 1-2 liter, dan jam kedua
diberikan 1 liter.
 Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan
menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Pemberian insulin

31
intravena paling umum digunakan. Insulin intramuskular adalah
alternatif bila pompa infus tidak tersedia atau bila akses vena
mengalami kesulitan.
Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin
diberikan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan
akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi.
Dalam keadaan jormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan
untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin
tidak boleh dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam
setelah koreksi hiperglikemia tercapai. Bersamaan dengan pemberian
larutan mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia.
Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal
sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke
insulin kerja panjang. Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk
mencapai kadar glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan
ketonemia.
Gunakan human insulin yang dapt larut, misalnya Actrapid.
Tidak dibutuhkan pemberian bolus awal. Berikan insulin 0,1
unit/kg/jam, sesuaikan lagi pemberian infus insulin sampai dapat
menurunkan glukosa darah 4-5 mmol/jam. Cara yang cocok adalah
memberikan larutan salin normal 49,5 ml dan 50 unit insulin
menggunakan syringe pump dan konektor Y. Jangan tambahkan
insulin ke dalam kantong cairan. Bila petugas di bangsal tidak bisa
menggunakan pompa infus, insulin dapat diberikan i.m 0,05
unit/kg/jam. Bila kadar glukosa darah turun sampai 15 mol/L beri
insulin subkutan 4 jam pertama, kemudian 6 jam, selanjutnya tiga kali
per hari sebelum makan bila diet ringan dapat ditoleransi.
 Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat.
Hiperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera
diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram

32
ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin
dapat segera mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut. Perlu menjadi
perhatian adalah terjadinya hipokalemia yang dapat fatal selama
pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada
keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan
melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan
mencapai 3-5 mEq/KgBB. Hasil kalium serum dan keluaran urin yang
adekuat harus diperhatikan sebelum memberikan terapi.
 Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa
darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan
terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar
glukosa darah mencapai <200 mg% maka dapat dimulai infus
mengandung glukosa. Perlu ditekankan disini bahwa tujuan terapi
KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan
ketogenesis.
 Pengobatan umum
Disamping hal tersebut di atas pengobatan umumtak kalah
penting. Pengobatan umum KAD terdiri atas: 1) antibiotik yang
adekuat, 2) oksigen 10 L/menit, 3) heparin bila ada DIC atau bila
hiperosmolar (>380 mOsm/l).
 Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam
pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan
selama berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan:
1) Kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glucometer
2) Elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan
3) Analisis gas darah bila ph<7 waktu masuk periksa setiap 6 jam
sampai ph >7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil
4) Tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur setiap
jam

33
5) Keadaan hidrasi, balance cairan
6) Waspada terhadap kemungkinan DIC.

G. Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang
kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian
tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan
lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek diare,
demam,luka).
Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada
penatalaksanaan DM secara kompherensif. Upaya pencegahan sekunder
untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui
edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang
baik.
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program
edukasi perlu menekankan pada cara – cara mengatasi saat sakit akut
meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar
glukosa darah saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai
pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah
dicerna, yang paling penting ialah agar tidak menghentikan pemberian
insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari
pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang professional.
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat
mengalami masa – masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar
glukosa darah dan keton urin sendiri (Soewondo, 2009).

34
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis
A. Definisi
 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom
yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran.
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu
tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas
meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan.
Koma hanya ditemukan kurang dari 10 % kasus (Soewondo, 2009; Masjoer,
2000).

B. Epidemiologi
HHNK yang merupakan komplikasi dari DM tipe II telah menjadi
salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan menurutInternational
Diabetes Federation (IDF) pemutakhiran ke-5 tahun 2012, jumlah
penderitanya semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih
dari 371 juta orang di seluruh dunia mengalami DM, 4,8 juta orang
meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar Amerika
dikeluarkan untuk pengobatannya.
Di Indonesia pervalensi HHNK belum teridentifikasi secara pasti.
Namun  terjadinya HHNK tersebut disebabkan oleh DM tipe 2.Prevalensi
DM Tipe 2 yang terdiagnosis dokter tertinggi menurut Riskesdas terdapat di
DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan
Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau
gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%),
Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen.
Hiperglikemia ditemukan 85% pasien HHNK mengidap penyakit
ginjal atau kardiovaskuler, pernah jugaditemukan pada penyakit akromegali,
tirotoksikosis, dan penyakit Chusing. Pasien HHNK kebanyakan usianya tua
dan seringkali mempunyai penyakit lain. Komplikasi sangat sering terjadi
dan angka kematian mencapai 25%-50%. Angka kematian HHNK 40-50%,
lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HHNK

35
kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom
koma hiperglikemik hiperosmolar non ketosis penting diketahui karena
kemiripannya dan perbedaannya dari ketoasidosis diabetic berat dan
merupakan diagnosa banding serta perbedaan dalam penatalaksanaan.
Pasien yang mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar
nonketosis akan mengalami prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi
dan angka kematian mencapai 25%-50%.

C. Faktor Pencetus
HHNK biasanya terjadi pada orangtua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunya asupan makanan. Faktor
pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan,
noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit
penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57.1 %). Compliance yang
buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%).

D. Patofisiologi
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat
kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi
glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penuruanan volume
intravascular atau penyakit gagal ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak disbanding natrium
menyebabkan keadaan hyperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resitensi insulin.
Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra
vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Keadaan
hyperosmolar ini akan memicu sekresi hormone antidiuretic. Keadaan
hyperosmolar ini juga akan memicu rasa haus.Tingginya kadar glukosa

36
serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glycosuria yang
dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ) dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total kerena tidak dikompensasi
dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan
berlebihan dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat.
Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan
menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium
terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan
elektrolit berat dalam kaitanya hipotensi.
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami
ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Factor yang
diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan
hyperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis,
ketersedian insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun tidak
cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glucagon.

E. Gejala Klinis
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan paien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan
atau obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretik. Keadaan pasien HHNK
ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula
ditemukan keluhan mual- muntah, namun lebih jarang dibandingkan dengan
KAD. Kadang, pasien dating dengan keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda dehidrasi berat
seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung perabaan
ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tidak begitu tinggi. Akibat
Gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah

37
rehidrasi adekuat.Perubahan pada status mental dapat berkisar dari
diorientasi sampai koma.
Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara
langsusng dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas
serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang
ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun
mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan
koreksi defitis cairan.
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila
hasil laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah
belum ada hasilnya. Berikut dibawah ini adalah beberapa gejala dan tanda
sebagai pegangan :
 Sering pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda
semakin berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
 Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa
insulin
 Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit cushing.
 Sering disebabkan oleh obat – obatan, antara lain tiazid, furosemide,
manitol,digitalis, haloperidol (neuroleptik) dll.
Mempunyai factor pencetus misalnya infeksi, penyakit
kardiovaskular,aritmia, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan,
pankreatitis, koma hepatic dan operasi.

F. Pemeriksaan Laboratorium
Temuan laboratorium awal pasien dengan HHNK adalah kadar
glukosa darah yang sangat tinggi ( > 600 mg per dL) dan osmolaritas serum
yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [ normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih
besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien
akan menunjukkan asidosis metabolic dengan anion gap yang ringan (10 -
12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis differential

38
asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan pengguanaan diuretic tiazid
dapat menyebabkan alkalosis metabolic yang dapat menutupi tingkat
keparahan asidosis. Kadar kalium dapat meningkat atau normal. Kadar
kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematocrit hamper selalu
meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit. Kadar natrium harus dikoreksi jika kadar glukosa darah pasien
sangat meningkat. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari kadar natrium
yang sudah dikoreksi.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang
diberikan adalah cairan hipotonis (1/2 N, 2A). Pemantauan kadar glukosa
darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-
hati. Respon penurunan kadar glukosa darah lebih baik.
Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring yang lebih ketat
terhadap kondisi dan responnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien
tersebut harus dirawat, dan sebagian besar dari pasien-pasien tersebut
sebaiknya di rawat di ruang rawat intensif atau intermediate.
Penatalaksanaan HHNK yaitu dengan pemberian oksigen 10 L/menit
dan meliputi lima pendekatan:
1) rehidrasi intravena yang agresif
2) penggantian elektrolit
3) pemberian insulin intravena
4) diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5) pencegahan.
 Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK
adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL
perkg, atau total rat-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat

39
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok
hipovolemi, mungkin dibutuhkan plasma ekspander.
 Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui dengan
pasti, karena kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar
kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini
akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit
harus dipantau terus menerus dan irama jantung pasien juga harus
dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan
diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium lebih besar dari 5
mEq/L, sebaiknya kadar kalium harus diturunkan sampai di bawah 5,0
mEq/L dan sebaiknya kadar kalium perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar
awal kalium antara 3,3-5 mEq/L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan
dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan
1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan kadar kalium antara 4 mEq/L
dan 5 mEq/L.
 Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pemberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan
sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan
berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau
kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai
kadar glukosa darah turun antara 250 mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika
kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis yang diberikan
dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah
300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrose secara intravena dan dosis

40
insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar.

H. Prognosis
Biasanya buruk,tetapi sebenarnya kematian pasien bukan
disebabkan oleh sindrom hyperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang
mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30 – 50%. Di
Negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia
lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di Negara maju angaka
kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12% (Soewondo, 2009).

41
Diabetes Mellitus Tipe I
A. Definisi
 Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia
kronik. Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di
antaranya adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja
dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA,
Maggae S. 2005).
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karen kerusakan
sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang
atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada
DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya
seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi atau
hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).

B. Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari setiap
1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pada anak
usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta
pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-laki dan
perempuan sama (Weinzimer SA, Maggae S. 2005).
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia,
Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap
100.000 penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu
penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur
kurang dari 2/100.000 penduduk/tahun (Weinzimer SA, Maggae S.2005).
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari
data registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK
Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan
DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat
dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai

42
ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1 yang
dilaporkan (Moelyo, AG. 2011).

C. Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi. Klasifikasi
DM berdasarkan etiologi (ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines,
2009):
I. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetic pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankratitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik
fibrosis; Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati;
dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma;
Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma;
Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid;
Hormon tiroid; Diazoxid; Agonis β-adrenergik; Tiazid;
Dilantin; α-interferon; dan lain-lain.
IV. Diabetes Mellitus Kehamilan

D. Patofisiologi

43
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin.
Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta
yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk
menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat
dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase
(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat
komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan
antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan
antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam
islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan
semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai
GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi
IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya
semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama
pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif
untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam
individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk
mengembangkan disease.
Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin
progresif. Insulin merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal
sebagai respons terhadap makanan secara istimewa dimodulasi oleh
mekanisme neural, hormonal dan berkaitan substrat yang memungkinkan
pengendalian penyusunan bahan makanan yang dikonsumsi sebagai energi
unutuk penggunaan segera atau dimasa mendatang; mobilisasi energi
selama keadaaan puasa tergantung pada kadar insulin plasma yang rendah.
Kendatipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa
perubahan sekunder yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol,
hormon pertumbuhan dan glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya
dekompensasi metabolik. Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon

44
kontra-regulasi ini memperberat kekacauan metabolik dengan
mengganggu sekresi insulin selanjutnya (epinefrin), mengantagonisme
kerja insulin (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan), serta
mempermudah glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis
sambil menurunkan penggunaan glukosa serta clearance ginjal. Semua
perubahan normal ini kembali normal dengan terapi insulin yang adekuat.
Namun dapat dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-regulasi.
Misalnya supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ
dalam oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik.
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi
glukosa yang tak terkendali serta gangguan penggunaanya; akibatnya
timbul hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga
bertanggung jawab atas percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid,
yang berakibat peningkatan kadar plasma lipid total, kolesterol, trigliserid
dan asam lemak bebas. Keadaan hormonal yang saling mempengaruhi
antara defisiensi insulin dan kelebihan glukaakan menmbulkan jalan pintas
bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan pembentukan
keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat, melampui kapasitas
pengunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi asam keton ini
menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan kompensasi yang cepat
sebagai usaha mengekskresi kelebihan CO2 (pernafasan kussmaul). Aseton
yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik asetoasetat, bertanggung
jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada pernafasan ini.
Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan kation, yang
selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan elektrolit. Dengan dehidrasi
progresif, asidosis, hiperosmolaritas dan berkurangnya penggunaan
oksigen otak, maka terjadi gangguan kesadaran dan pasien akhirnya jatuh
ke dalam koma. Dengan demikian, defisiensi insulin menimbulkan suatu

45
stasus katabolik yang dalam-suatu kelaparan berat- dimana semua
gambaran klinis awal dapat dijelaskan atas dasar perubahan metabolisme
perantara yang talah diketahui. Keparahan dan lamanya gejala
mencerminkan derajat insulinopenia. (Richard E.Behrman, 1992)
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1
dapat cepat menjadi diabetik ketoasidosis manakala terjadi : 1). Diabetes
tipe 1 yang tidak terdiagnosa 2). Ketidakseimbangan jumlah intake
makanan dengan insulin 3). Adolescen dan pubertas 4). Aktivitas yang
tidak terkontrol pada diabetes 5). Stres yang berhubungan dengan
penyakit, trauma, atau tekanan emosional.

Gangguan produksi atau gangguan reseptor insulin.

Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati.
Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa.

Kadar glukosa >>, kelaparan tingkat selular.

Hiperosmolar dalam, peningkatan proses glikolisis dan
glukoneogenesis

Proses pemekatan <<

Glukosuria shiff cairan intraseluler ekstraseluler

Pembentukan benda keton

Poliuria

Dehidrasi

46
Keseimbangan kalori negatif rangsang metabolisme anaerobic

Polifagia dan tenaga <<asidosis

Kesadaran terganggu

Nutrisi : kurang dari kebutuhan ganguan kes. Cairan dan elektrolit

Resiko tinggi cedera

E. Kriteria Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila
dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah
abnormal satu kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila
tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah
abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; SIPAD
Clinical Practice Consencus Guidelines 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah:
1. Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penujang,yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini
merupakan salah satu penanda banyaknya sel β-pankreas yang masih
berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell
autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K
GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase)
autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya autoantibody
mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
autoantibody ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical
Practice Consencus Guidelines 2009).

47
F. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD
Clinical Practice Consencus Guidelines tahun 2009.
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis
- Periode honey moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada
periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas.
Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi
ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya
sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai menurun. Pada
periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
Periode Manifestasi Klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin
sangat kurang, maka kadar gu;a darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula
darah yang melebihi 180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit
melalui urin (poliuri, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat
di-uptake ke dalam sel, penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat
badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita memerlukan insulin
dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.
Periode Honey Moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada
periode ini sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan
diproduksi insulin dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan
insulin dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5

48
U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa dalam
hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi pada orang
tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang menetap.
Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada
periode ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh
seumur hidupnya.

G. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi
pengobatan berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu
diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup
yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rustama DS,
dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Concencus Guidelines. 2009).
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada
penderita DM tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis
insulin, dosis insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta
penyesuaian dosis yang diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin
kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun
insulin campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja
menengah). Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang
digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
Unit/KgBB pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya
akan diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada
penyakitnya maupun pada penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen
konvensional, serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix

49
splitregimen dapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga
kali suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian
regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara
insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis
bolus.
d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik
dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral
paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk
absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga,
maupun usia pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2
unit/KgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
Berikut adalah jenis-jenis insulin.
Jenis insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja
Meal Time Insulin
Insulin Lispro (Rapid 5-15 menit 1 jam 4 jam
acting)
Regular (Short 30-60 menit 2-4 jam 5-8 jam
acting)
Background Insulin
NPH dan Lente
(Intermediate acting) 1-2 jam 4-12 jam 8-24 jam
Ultra Lente (Long
acting)
2 jam 6-20 jam 18-36 jam
Insulin
Glargine(Peakless 2-4 jam 4 jam 24-30 jam
Long acting)

50
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya
untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet
terdiri dari 50¬55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada
anak DM tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait
dengan dosis insulin yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya.
Kebutuhan kalori perhari sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal.
Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada
regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat
untuk menentukan dosis pemberian insulin.
3. Aktivitas / exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan
berolahraga akan membantu mempertahankan berat badan ideal,
menurunkan berat badan apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya
diri. Olahraga akan membantu menurunkan kadar gula darah serta
meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui
pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko hipoglikemia maupun
hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak DM memiliki
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan olahraga, di
antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk olahraga,
penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman. Apabila
gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya
ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah
90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat
untuk mencegah hipoglikemia.

4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk
penderita maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang
penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita
DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek

51
samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah
ataupun HbA1c yang diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan
sudah baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah
berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu,
efek samping pemberianinsulin, komplikasi yang terjadi, serta
pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau.

H. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia
dan ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah
tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik
dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan
dialisis.
2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini
memperpanjang umur penderita.
Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang paling
sensitif untuk identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik.
Mikroalbuminuria mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM

52
tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun.
Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila
didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.

53
Infeksi Saluran Kemih
A. Definisi

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat adanya


mikroorganisme dalam urin dan memiliki potensi untuk
menginvasi jaringan-jaringan pada saluran kemih. Infeksi saluran
kemih (ISK) bergantung pada banyak faktor seperti usia, jenis
kelamin, prevalensi bakteriuria dan faktor predisposisi yang
menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal.
Dalam keadaan normal, urin juga mengandung mikroorganisme,
umumnya sekitar 10² hingga 104 bakteri/ml urin. Pasien didiagnosis
infeksi saluran kemih bila urinnya mengandung lebih dari 105
bakteri/ml (Coyle et al., 2005).

Penderita infeksi saluran kemih dapat tidak mengalami


gejala, namun umumnya mempunyai gejala yang terkait dengan
tempat dan keparahan infeksi. Gejala-gejalanya meliputi berikut
ini, sendirian atau bersama-sama: (1) menggigil, demam, nyeri
pinggang, sering mual dan muntah (biasanya terkait dengan
pielonefritis akut) dan (2) disuria, sering atau terburu-buru buang
air kecil, nyeri suprapubik, dan hematuria yang biasanya terkait
dengan sistitis (Coyle et al., 2005)

B. Jenis-jenis ISK

Infeksi saluran kemih (ISK) dari segiklinik dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (simple/uncomplicated


urinary tract infection) yaitu bila infeksi saluran kemih tanpa
faktor penyulit dan tidak didapatkan gangguan struktur maupun
fungsi saluran kemih.

2. Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated urinary tract


infection) yaitu bila terdapat hal-hal tertentu sebagai infeksi
saluran kemih dan kelainan struktur maupun fungsional yang
merubah aliran urin seperti obstruksi aliran urin, batu saluran

54
kemih, kista ginjal, tumor ginjal, ginjal, residu urin dalam
kandung kemih.

C. Etiologi
Mikroorganisme yang paling umum menyebabkan infeksi saluran
kemih sejauh ini adalah Escherichia coli yang diperkirakan
bertanggung jawab terhadap 80% kasus infeksi, 20% sisanya
disebabkan oleh bakteri Gram negatif lain seperti Klebsiella dan
spesies proteus, dan bakteri Gram positif seperti Cocci, Enterococci,
dan Staphylococcus saprophyticus. Organisme terakhir dapat ditemui
pada kasus-kasus infeksi saluran kemih wanita muda yang aktif
kegiatan seksualnya. Infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan
abnormalitas struktur saluran kemih sering disebabkan oleh bakteri
yang lebih resisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter dan
spesies Serratia. Bakteri-bakteri ini juga sering ditemui pada kasus
infeksi saluran kemih, terutama pada pasien yang mendapatkan
diagnosa infeksi saluran kemih (Bint, 2003).
Tabel. Jenis mikroorganisme penyebab ISK
Mikroorganisme Persentase biakan ( ≥ 105 cfu/ml )
Escherechia coli 50-90
Klebsiella atau Enterobacter 10-40
Proteus morganella, atau providencia 5-10
Pseudomonas aeruginosa 2-10
Staphylococcus epidermis 2-10
Enterococci 2-10
Candida albicans 1-2
Staphylococcus aureus 1-2

D. Patogenesis

Dua jalur utama terjadinya infeksi saluran kemih adalah


hematogen dan asending, tetapi dari kedua cara ini jalur asending
yang paling sering terjadi.

55
1. Infeksi hematogen

Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien


dengan daya tahan tubuh yang rendah, karena menderita
suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang sementara
mendapat pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen
bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di salah satu
tempat. Misalnya infeksi Staphylococus aureus pada ginjal
bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi
di tulang, kulit, endotel, atau di tempat lain. Salmonela,
Pseudomonas, candida, dan proteus termasuk jenis bakteri
yang dapat menyebar secara hematogen.

Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan


terhadap infeksi bakteri Escherichia coli karena itu jarang
ada infeksi hematogen Escherichia coli. Walaupun jarang
terjadi, penyebaran hematogen ini dapat mengakibatkan
infeksi ginjal yang berat misalnya infeksi stafilokokus dapat
menimbulkan abses pada ginjal (Tessy & Suwanto, 2001).

2. Infeksi ascending
a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina
Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung
mikroorganisme kecuali pada bagian distal uretra yang
biasanya juga dihuni oleh bakteri normal kulit seperti basil
difteroid, streptokokus. Di samping bakteri normal flora
kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini
disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis juga
banyak dihuni bakteri yang berasal dari usus karena letak
anus tidak jauh dari tempat tersebut. Pada wanita, kuman
penghuni terbanyak pada daerah tersebut adalah
Escherichia coli di samping golongan enterobakter dan S.
fecalis (Tessy & Suwanto, 2001).

56
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandung
kemih belum diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang
mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke dalam
kandung kemih adalah faktor anatomi, faktor tekanan urin
pada waktu miksi, manipulasi uretra atau pada hubungan
kelamin, perubahan hormonal waktu menstruasi,
kebersihan alat kelamin bagian luar, adanya bahan
antibakteri dalam urin,dan pemakaian obat kontrasepsi
oral (Tessy & Suwanto, 2001)
c. Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan
kandung kemih
Dalam keadaan normal mikroorganisme yang masuk ke
dalam kandung kemih manusia atau binatang akan cepat
menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak
dalam urin. Pertahanan yang normal dari kandung
kemih ini tergantung dari interaksi tiga faktor, yaitu :
eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek
pembilasan dan pengenceran urin, efek antibakteri dari
urin, dan mekanisme pertahanan mukosa kandung
kemih yang intrinsik (Tessy & Suwanto, 2001).
d. Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
Hal ini disebabkan oleh refluks vasikoureter dan
menyebarnya infeksi dari pelvis ke korteks karena refluks
intrarenal. Refluks vasikoureter adalah keadaan patologis
karena tidak berfungsinya valvula vasikureter sehingga
aliran urin naik dari kandung kemih ke ginjal. Penggunaan
kateter seringkali menyebabkan mikroorganisme masuk
kedalam kandung kemih, hal ini biasanya disebabkan
kurang higienisnya alat ataupun tenaga kesehatan yang
memasukkan kateter. Orang lanjut usia yang sukar buang

57
air kecil umumnya menggunakan kateter untuk
memudahkan pengeluaran urin, itulah sebabnya mengapa
penderita infeksi saluran kemih cenderung meningkat pada
rentang usia ini (Tessy & Suwanto, 2001).
E. Gejala dan Tanda Klinik
Infeksi saluran kemih dibedakan menjadi infeksi saluran kemih
bagian bawah dan infeksi saluran kemih bagian atas. Menurut gejala
infeksi saluran kemih bagian bawah yaitu disuria, polakisuria atau
frekuensi urgensi, stranguria, nyeri suprasimfisis dan enesmus, dan
enuresis nokturnal. Gejala infeksi saluran kemih bagian atas dapat
berupa demam, menggigil, nyeri pinggang, nyeri kolik, mual, muntah,
nyeri ketok sudut kostovertebrata, dan hematuria. Selain itu juga
ditemukan manifestasi tidak khas infeksi saluran kemih yang berupa
nyeri abdomen, nyeri kepala, nyeri punggung, dan diare (Suwitra dan
Mangatas, 2004)

F. Diagnosis ISK

Diagnosis pada infeksi saluran kemih dapat dilakukan


dengan cara sebagai berikut:

1.Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk
penting terhadap dugaan adalah infeksi saluran kemih.
Leukosuria dinyatakan positif bilamana terdapat lebih dari 5
leukosit/lapang padang besar (LPB) sedimen air kemih.
Adanya leukosit silinder pada sedimen air kemih
menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya
leukosuria tidak selalu menyatakan adanya infeksi saluran
kemih karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa
infeksi (Tessy dan Suwanto, 2001).

58
b. Hematuria

Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk


adanya infeksi saluran kemih yaitu bilamana dijumpai 5–10
eritrosit/LPB sedimen air kemih. Hematuria dapat pula
disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya
urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris (Tessy dan
Suwanto, 2001).

2. Bakteriologis

a. Mikroskopis

Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan air kemih


segar tanpa disentrifuse atau pewarnaan Gram. Bakteri
dinyatakan positif bermakna bilamana dijumpai satu bakteri
lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri

Pemeriksaan biakan bakteri contoh air kemih


dimaksudkan untuk memastikan diagnosis infeksi saluran
kemih yaitu bila ditemukan bakteri dalam jumlah
bermakna = 105 organisme patogen/mL urin pada 2
contoh urin berurutan (Tessy dan Suwanto, 2001).

3.Tes kimiawi

Tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya


bakteriuria, diantaranya yang paling sering dipakai adalah
tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar
mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai
lebih dari 100.000-1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat
dilihat dengan perubahan warna pada uji carik (Tessy dan
Suwanto, 2001).

59
4.Tes plat-celup (dip-slide)
Pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempeng
plastik bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya
dilapisi perbenihan padat khusus. Lempeng tersebut dicelupkan
ke dalam air kemih pasien atau dengan digenangi air kemih
setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung
plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman
semalam pada suhu 37oC. Penentuan jumlah kuman/mL
dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan pada
lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang
memperlihatkan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah
kuman antara 1000 dan 100.000 dalam tiap mL air kemih yang
diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup akurat.
Keterangannya adalah jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat
diketahui walaupun demikian plat celup ini dapat dikirim ke
laboratorium yang mempunyai fasilitas pembiakan dan tes
kepekaan yang diperlukan (Tessy dan Suwanto, 2001).

5.Pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya


Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis sedangkan
pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan CT-scan
(Tessy dan Suwanto, 2001).

G. Tatalaksana
Pada kejadian infeksi saluran kemih perlu dilihat apakah pasien
mengalami ISK dengan atau tanpa komplikasi. Secara umum
tatalaksana yang diberikan adalah :
1. Minum air putih minimal 2L/hari jika fungsi ginjal masih baik
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Rawat inap jika ada indikasi
4. Pemberian antibiotik

60
Pada ISK non komplikata, antibiotik yang menjadi pilihan adalah
trimetropine sulfometoksazol, fluorokuinolon, amoxicilin-klavulanat,
atau cefpodoxime yang diberikan selama 3 hari. Sedangkan perawatan
rawat inap bisa dilakukan pada pasien yang mengalami kegagalan
mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotik oral,
pasien sakit berat, atau pada pasien yang memiliki komorbid seperti
kehamilan, DM, dan usia lanjut.

61
DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:


Evaluation and Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.

Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.


Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United
Arab Emirates; 2000

American Diabetes Association. Hyperglicemic Cries in Patients With Diabetes


Melitus. Diabetic Care. 2004.s94-s102.
http://dx.doi.org/10.2337/diacare.27.2007.S94
American Diabetes Association. Hyperglicemic Cries in Patients With Diabetes
Melitus. Diabetic Care. Vol.26. 2002

Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical


physiology. 23th edition. New York: McGraw Hill; 2010

Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and
adolescents, basic training manual for healthcare professionals in
developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.

Chaithongdi N, Subauste.SJ, Koch A.Christian, Geraci.A,Stephen. Diagnosis and


management of hyperglycemic emergencies.2011,10(4).250 - 260

Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian
Psikiatri FK USU 2003.

David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology. 2008 april;

Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam, Ed. IV, 2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285

62
Gustaviani, Reno. 2006, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,Edisi IV;Jakarta 1857-1859.

Gosmanov AR, Gosmanova EO, Kitabchi AE. Hyperglycemic Crises: Diabetic


Ketoacidosis (DKA), and Hypergycemic Hyperosmolar State (HHS).
National Center for Biotechnology Information. 2015

Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for women’s health, volume 14,
2010; 327-338

Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:


http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.

ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.

Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.

Kitabchi, A. E., Umpierrez, G. E., Miles, J. M. & Fisher, J. N. Hyperglycemic


crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 32, 1335–1343 (2009).

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12
months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.

Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada
Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI)
Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
February 13, 2002.

Nigam, Anant, Jaipur. Hyperglycemic Emergencies: Evaluation And Management


Guidelines.Vol 2. 2010

Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman

63
B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto
2010, h 124-161.

Saksono D. Hiperglikemia I Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Setyohadi B, Arsana


PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M, editors. Eimed PAPDI
Kegawatan Penyakit Dalam Buku I. Edisi 1. Jakarta : Interna Publishing;
2015. Hal : 413 – 23.

Savage MW, Dhatariya KK, Kilvert A, Rayman G, Rees JAE, Coentrey CH,
Hilton L, Dyer PH and Hamersley MS.2011. Joint British Diabetes Societies
Guideline for the Management of Diabetic Medecine. P 1464 – 5491.

Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto:


Brooks/Cole Cengage Learning; 2010.

Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic
Gastroparesis and Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N
Am, 2003; 32: 619-658.

Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetikum, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


Jild III, Edisi IV; Jakarta 1874-1880.

Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional


Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.

Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association


technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754

Tarigan TJE. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,


Simadibrata, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4
jilid 2. Jakarta : Interna Publishing; 2015. Hal : 2377 – 82.

Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71

Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The


Understanding of Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.

64
Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam:
Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.

Westerberg,Dyanne P.Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment.Cooper


Medical School of Rowan University. New Jersey. American Family
Physician.2013.Vol 87

Who. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its


complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes mellitus
provisional report of a WHO consultation. Diabetes Medical.
2016;15(7):539–53.

65

Anda mungkin juga menyukai