Oleh :
Alisa Sharen Assyifa/G991903004
Pembimbing Residen
Disusun Oleh :
Alisa Sharen Assyifa/G991903004
Pembimbing
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
1. Nama Pasien : Ny. S
2. Usia : 42 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Menikah
5. Alamat : Kartosuro, Sukoharjo
6. Tanggal Masuk : 23 Juni 2020
7. Tanggal Periksa : 23 Juni 2020
8. No RM : 051xxx
B. Data Dasar
1. Keluhan utama
Demam menggigil
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RS UNS dengan keluhan demam tinggi dan
menggigil Demam dirasakan sejak 2 minggu SMRS dengan suhu 37.7°C,
kemudian demam semakin meningkat hingga saat ini. Demam dirasakan terus
menerus, serta memberat pada malam hari dan turun saat pagi hari Pada tanggal
10 Juni 2020, pasien memeriksakan diri ke klinik di dekat rumah dan diberikan
obat penurun panas, obat asam lambung, dan obat anti-radang. Pasien mengaku
demam turun setelah minum obat, namun semakin lama demam kembali naik
keesokan harinya. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala bagian belakang, badan
terasa lemas, mual dan muntah, serta terasa nyeri di ulu hati jika tertekan. Pasien
mengeluhkan nafsu makan menurun sejak 2 minggu yang lalu. BAB tidak lancar,
2-3 hari sekali, berwarna kuning kecoklatan, konsistensi keras, tidak berlendir
dan tidak berdarah. BAK dalam batas normal, berwarna kuning jernih, nyeri saat
berkemih (-).
Keluhan lain seperti batuk (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), nyeri
retroorbital (-), gusi berdarah (-), sesak nafas (-), bintik kemerahan pada tubuh
2
(-). Riwayat berpergian ke luar kota disangkal.
3
5. Riwayat kebiasaan :
Pola makan : Pasien makan 2-3 kali sehari dengan nasi,
lauk pauk bervariasi, pasien sering
mengemil.
Merokok : Disangkal
Alkohol : Disangkal
Minum jamu : Disangkal
Suplemen multivitamin : Disangkal
6. Riwayat gizi :
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk sekali makan
± 10-12 sendok makan dengan nasi, lauk-pauk, dan sayur. Pasien sering
mengemil makanan manis dan minum teh.
7. Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama suami dan
anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
3. Status gizi
a. Berat badan : 65 kg
4
b. Tinggi badan : 150 cm
c. IMT : 25.4 kg/m2
d. Kesan : Overweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
gatal (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-), lidah kotor (-),
tonsil T1-T1, uvula di tengah, lidah kotor (+), lidah tremor (+)
10. Leher : JVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran
5
12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
medioclavicularis sinistra 1 cm ke medial
c. Perkusi : batas jantung kesan normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, gallop (-
), murmur (-).
13. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra
6
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)
7
14. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak, venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-), papul (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10 x/menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-), area troube
pekak, liver span kanan 10 cm, liver span kiri 6 cm
Palpasi : Supel, turgor menurun (-), nyeri tekan (-),
distended (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-),
hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), undulasi
(-),nyeri tekan (+) epigastrium dan iliaca
sinistra
15. Ginjal
Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba
Nyeri ketok : (-)
16. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem _ _
_ _ _ _
8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Hemoglobin 12.9 g/dL 12.1-17.6
9
Hitung Jenis
HFLC 0.5 %
Fungsi Ginjal
10
B. Laboratorium Darah (23 Juni 2020) di RS UNS
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Imunoserologi
Makroskopis
Kimia Urine
pH 6.0 4.8-7.8
Nitrit + Negatif
11
Bilirubin urine Negatif Negatif
Mikroskopis urine
Sel epitel
Silinder
12
Cor : CTR <50%
Kesan :
Kesimpulan:
Sinus takikardi, HR 119 bpm, normoaxis, Q patologis (-), ST Elevasi (-), ST Depresi
(-)
13
IV. RESUME
1. Keluhan utama:
Demam menggigil
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan demam tinggi dan menggigil sejak 2 minggu SMRS.
Pasien merasakan demam terus menerus, serta memberat pada malam hari
dan turun saat pagi hari.
Pasien mengatakan demam turun setelah diberikan obat penurun panas.
Namun, demam dirasakan naik kembali keesokan harinya.
Badan dirasa sudah lelah dan tidak bertenaga.
Pasien juga mengeluh sakit kepala bagian belakang, badan terasa lemas,
mual dan muntah serta nyeri di ulu hati jika tertekan
Pasien mengeluhkan nafsu makan menurun sejak 2 minggu yang lalu.
Pasien BAK dalam batas normal, berwarna kuning jernih, tidak didapatkan
nyeri saat berkemih
Pasien BAB tidak lancar, 2-3 hari sekali, berwarna kuning kecoklatan,
konsistensi keras, tidak berlendir dan tidak berdarah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mondok pada tahun 2010 karena operasi batu ginjal dan pada
tahun 2007 akibat kista ovarii kanan
Riwayat penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat menderita hipertensi dan diabetes mellitus
3. Pemeriksaan fisik :
KU: sakit sedang, CM E4V5M6
Vital sign:
Dalam batas normal
(TD: 123/71 mmHg, N :88 x/menit, RR :20 x/menit, suhu 38.3 0C saat IGD
pk 05.00, 36.9 0C di bangsal pk 09.00)
Mulut : lidah kotor (+), lidah tremor (+)
Abdomen : nyeri tekan (+) epigastrium dan iliaca sinistra
14
4. Pemeriksaan Penunjang :
Foto Thorax PA : Bentuk dan letak jantung normal, pulmo tak tampak
kelainan
Pemeriksaan urine lengkap
Nitrit +
Darah +++
Eritrosit >30/LPB H
Leukosit 15-30/LPB H
Squamous 2-5/LPB
EKG : Sinus takikardi, HR 119 bpm,normoaxis, Q patologis (-), ST Elebasi
(-), ST depresi (-)
Laboratorium darah
Leukosit 14.10 H
Limfosit 7.0 L
Neutrofil 90.6 H
Neutrofil Lymphocyte Ratio 13.82 H
Absolute Lymphocyte Count 920 L
Widal :
Salmonella Paratyphi BO (+) 1/160
Salmonella Paratyphi CO (+) 1/80
Salmonella Typhi-H (+) 1/80
VI. Tatalaksana
1. Inf RL 20 tpm
2. Injeksi neurobion 1 ampul/24 jam
15
4. Injeksi ondansentron 8 mg/8 jam
VII. Prognosis
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
16
RENCANA AWAL
24
turun saat pagi hari
Pada tanggal 10 Juni
2020, pasien
memeriksakan diri
ke klinik di dekat
rumah dan diberikan
obat penurun panas,
obat asam lambung,
dan obat anti-
radang. Pasien
mengaku demam
turun setelah minum
obat, namun
semakin lama
demam kembali naik
keesokan harinya.
Pasien juga
mengeluhkan sakit
kepala bagian
belakang, badan
terasa lemas, mual
dan muntah, serta
terasa nyeri di ulu
25
hati jika tertekan.
Pasien mengeluhkan
nafsu makan
menurun sejak 2
minggu yang lalu.
BAB tidak lancar, 2-
3 hari sekali,
berwarna kuning
kecoklatan,
konsistensi keras,
tidak berlendir dan
tidak berdarah. BAK
dalam batas normal,
berwarna kuning
jernih, nyeri saat
berkemih (-).
26
bintik kemerahan
pada tubuh (-).
Riwayat berpergian
ke luar kota
disangkal
27
28
Pemeriksaan Fisik :
• Mulut : lidah
kotor (+), lidah
tremor (+)
• Abdomen : nyeri
tekan (+)
epigastrium dan
iliaca sinistra
29
BAB II
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, seorang perempuan datang ke RS UNS dengan keluhan demam
menggigil sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan demam semakin memberat
dan meningkat pada malam hari, namun turun pada pagi hari. Pasien merasakan sakit
kepala bagian belakang, badan terasa lemas, mual dan muntah, serta nyeri di ulu hati jika
tertekan. Pasien mengeluhkan nafsu makan menurun sejak 2 minggu yang lalu. Selain
itu, pasien juga mengalami gangguan saluran pencernaan berupa buang air besar yang
tidak lancar, 2-3 hari sekali dengan konsistensi keras, tidak berlendir dan tidak berdarah.
Kumpulan gejala klinis diatas sering dapat ditemukan pada penyakit demam typhoid.
Kumpulan gejala klinis yang sering ditemukan pada typhoid adalah demam yang
bilamana pada minggu ke-2 intensitas demam semakin tinggi, kadang terus menerus.
Hal ini ditemukan pada pasien yang mengalami demam sejak 2 minggu SMRS yang
semakin memberat dan meningkat sampai pasien dibawa ke RS. Kumpulan gejala klinis
tifoid lainnya seperti nyeri kepala, nyeri abdomen, gangguan saluran pencernaan, serta
mual dan muntah juga ditemukan pada pasien ini.
Dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan lidah kotor dan lidah tremor serta
ditemukannya nyeri pada epigastrium dan iliaca sinistra. Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis.
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan jumlah leukosit,
neutrofil, dan neutrofil lymphocyte ratio. Pada pasien ini juga ditemukan penurunan
limfosit serta absolute lymphocyte Count. Dapat diketahui, pada perhitungan leukosit
total dapat ditemukan leukosit normal, leukopenia , atau leukositosis tanpa disertai
infeksi sekunder. Pasien melakukan pemeriksaan penunjang lain yaitu serologi Widal,
didapatkan Salmonella Typhi-BO (+) 1/160, Salmonella Paratyphi-CO (+) 1/80, dan
Salmonella Typhi-H (+) 1/80. Pemeriksaan widal pada pasien ini hanya baru dilakukan
satu kali, oleh karena itu diusulkan untuk dilakukan pengulangan kembali test Widal
untuk menegakkan diagnosis pasti tifoid dengan didapatkannya kenaikan titer 4 kali lipat
pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Pasien juga dilakukan evaluasi kultur
urine yang biasanya positif pada minggu ke 4 dan diusulkan melakukan kultur feses yang
pada umumnya positif pada minggu ke 3 hingga ke 5.
30
Pasien dinyatakan suspek demam tifoid (Suspect Cases) berdasarkan dengan
anamnesis berupa kumpulan gejala klinis tifoid (demam, nyeri kepala, mual dan muntah,
gangguan saluran pencernaan) dan pemeriksaan fisik (lidah kotor dan tremor serta nyeri
epigastrium) serta pemeriksaan penunjang berupa tes Widal dalam satu kali
pemeriksaan. Dinyatakan suspek dikarenakan pula sindrom tifoid pada pasien ini
didapatkan belum lengkap.
31
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C
B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.
32
Gambar 1. Salmonella Typhi
D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan
menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi
berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan
menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang
dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan
jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sitemik.
33
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi
sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya.
34
E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi
dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
Demam sekitar interminten/remiten
Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
Gambaran gejala saluran nafas atas
Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
Raseola mungkin ditemukan.
F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
35
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses
kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada
pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula
terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan
dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini
kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false- positif
terjadi.
Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk
menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara
9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi
aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
36
divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
37
G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat yang
adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-
elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi.
Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam
tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut
adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk
antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal, diikuti
1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien dengan syok,
penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan .
38
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid
39
Antibiotika Dosis Kelebihan dan keuntungan
50 mg/Kg bb/Hr - Merupakan obat yang
Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr)
sering digunakan dan
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr,
Kloramfenikol max 2 gr selama 10 hr telah lama dikenal efektif
dibagi dalam 4 dosis
untuk demam tifoid
- Murah dan dapat diberi
per-oral, sensitivitas
masih tinggi
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila
leukosit <2000/mm³
Dewasa : 2-4 gr/Hr - Cepat menurunkan suhu,
Seftriakson selama 3-5 hr
lama pemberian pendek
Anak : 80 mg/Kg BB/Hr
dosis tunggal selama 5 hari dan dapat dosis tunggal
serta cukup aman untuk
anak
- Pemberian IV
Dewasa : 3-4 gr/Hr - Aman untuk penderita
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr
hamil
Ampisilin & selama 10 hari
amoksisilin - Sering dikmbinasi
dengan kloramfenikol
pada pasien kritis
- Tidak mahal
- Pemberian PO/IV
Dewasa : 2x 160-800 mg - Tidak mahal
Kotrimoksasol selama 2 minggu
- Pemberian per oral
Anak : TMP 6-10 mg/Kg
BB/Hr atau SMX 30-50
mg/Kg/Hr selama 10 hari
Siprofloksasin : 2x500 mg - Pefloksasin dan
selama 1 minggu
fleroksasin lebih cepat
Ofloksasin : 2x200-400 mg
Quinolone selama 1 minggu menurunkan suhu
Plefoksasin : 1x400 mg
- Efektif mencegah relaps
selama 1 minggu
Fleroksasin : 1x400 mg dan karier
selama 1 minggu
40
- Pemberian per oral
- Anak : tidak dianjurkan
karena efek samping pada
pertumbuhan tulang
Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/ Hr - Aman untuk anak
dibagi dalam 2 dosis selama
- Efektif
10 hari
- Pemberian per oral
Dewasa : 4x500 mg - Dapat untuk anak dan
Tiamfenikol Anak : 50 mg/Kg BB/Hari
dewasa
selama 5-7 hari bebas panas
- Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah
H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.
I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.
- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.
41
J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya
komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat
kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi ≥3bulan
setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi
karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun
secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.
42
DAFTAR PUSTAKA
Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI
43