Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 67 TAHUN DENGAN


BPH DAN NEFROPATI DIABETIK

Oleh :
Ambar Sukmawarti G991902004

Pembimbing Residen

dr. M.I. Diah Pramudianti, M.Sc, Sp.PK(K) dr. Wita Prominensa

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAT SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul :

SEORANG LAKI-LAKI 67 TAHUN DENGAN


BPH DAN NEFROPATI DIABETIK

Disusun Oleh :
Ambar Sukmawarti G991902004

Telah dipresentasikan pada Hari,


tanggal: 31 Desember 2020

Pembimbing

dr. M.I. Diah Pramudianti, Sp.PK(K), M.Sc

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
1. Nama Pasien : Tn. HN
2. Usia : 67 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Menikah
5. Alamat : Garen
6. Tanggal Masuk : 1 Juni 2020
7. Tanggal Periksa : 2 Juni 2020
8. No RM : 200xxx

B. Data Dasar
1. Keluhan utama
Kencing tidak lancar
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kencing tidak lancar sejak kurang lebih 1
bulan yang lalu. Dalam sehari pasien sering BAK frekuensi 10x atau lebih,
tiap 30 menit sekali, kadang volume banyak, kadang sedikit, BAK kuning,
tidak ada darah, tidak berbuih. Pasien sering terbangun malam hari karena
sering BAK sehingga mengganggu tidur. Kadang pasien merasa mual dan
lemas. Pasien mengaku bahwa sebelumnya sudah terdiagnosis terkena BPH
yang akan direncanakan tindakan TURP.
Pasien juga mengakui adanya riwayat Diabetes sejak 5 tahun yang lalu
dan hari di saat masuk rumah sakit sempat mengalami gula darah tinggi.
Saat awal diketahui DM pasien mengeluhkan makan bertambah
banyak, sering minum dan BAK lebih sering. BB juga menurun 76 kg
2
menjadi 70 kg. Pasien merasa pandangan kabur saat gula darah tinggi, namun
setelahnya baik baik saja. Pssien juga sering kesemutan dan geringgingan di
kaki. DM terkontrol 2 obat pil kombinasi dan pasien belum pernah mendapat
insulin. Riwayat penggunaan obat-obat tertentu analgesik dan obat kolestrol
disangkal, obat asam urat (+), trauma sebelumnya (-).
3. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : (+) sejak 5 tahun terkontrol obat
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat BPH : (+) 6 bulan
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat sakit serupa : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat sakit liver : Disangkal
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat sakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

3
5. Riwayat kebiasaan :
Pola makan : Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi,
lauk, sayur dan buah
Merokok : Disangkal
Alkohol : Disangkal
Minum jamu : Disangkal
Suplemen multivitamin : Disangkal

6. Riwayat gizi :
Pasien sehari-hari makan sebanyak 3 kali sehari. Porsi untuk sekali makan
± dengan nasi, lauk, sayur dan buah

7. Riwayat sosial ekonomi


Pasien bekerja di industri mebel. Pasien berobat menggunakan fasilitas
BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, somnolen


GCS E4V5M6, kesan gizi baik
2. Tanda vital
a. Tensi : 170/90 mmHg
b. Nadi : 84 kali /menit irama reguler, isi nadi cukup, kelenturan
dinding arteri elastis, nadi kanan dan kiri sama, frekuensi
nadi dan frekuensi jantung sama
c. Frekuensi nafas : 20 kali /menit, dalam, tipe pernafasan torakoabdominal
d. Suhu : 36.80 C

4
3. Status gizi
a. Berat badan : 70 kg
b. Tinggi badan : 160 cm
c. IMT : 27,3 kg/m2
d. Kesan : overweight

4. Kulit : Warna kuning ikterik, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),


kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-),

luka (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter

(3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),

Strabismus (-/-), mata merah (-/-), sekret (-/-)


7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)

8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air berlebihan (-),

gatal (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),

deviasi septum nasi (-), krepitasi (-)


9. Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-),

luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-), lidah kotor (-),

tonsil T1-T1, uvula di tengah


10. Leher : JVP 5+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-),

distensi vena-vena leher (-)


11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada

kanan = kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan

abdominothorakal, sela iga melebar(-), pembesaran

kelenjar getah bening axilla (-/-)


5
12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
medioclavicularis sinistra 1 cm ke medial
c. Perkusi :
 Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
 Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri atas: 2 cm SIC II linea sternalis sinistra
 Batas jantung kiri bawah: SIC V linea medioclavicularis sinistra
 Kesimpulan: Batas jantung kiri kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, gallop
(-), murmur (-).
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC V linea medioclavicularis dextra, pekak
pada batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V
linea medioclavicularis sinistra

6
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)
b. Belakang
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi
basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)

7
14. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dengan dinding thorak,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-),
papul (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 12 x/menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
 Palpasi : Supel, turgor menurun (-), distended (-), nyeri lepas (-),
defans muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(-), undulasi (-), ballottement (+)
15. Ginjal
 Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba
 Nyeri ketok : (-)
16. Ekstremitas
Akral dingin Oedem
-_ - _- -
- - - -

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral


dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat
(-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat
nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-),
deformitas (-/-),

8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (1 Juni 2020) di RS UNS

Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal


HEMATOLOGI
Darah lengkap
Hemoglobin 9.7 g/dL 12.1-17.6
Leukosit 8.9 10^3/uL 4.5-11
Trombosit 210 10^3/uL 150-450
Eritrosit 3.13 10^6/uL 3.9-5.3
Hematokrit 27.2 % 34-40
MCV 86.9 fL 79.0-99.0
MCH 31 pg 27.0-31.0
MCHC 35.7 % 33.0-37.0
RDW-CV 210 % 11.5-14.5
PDW 11.6 fL 9-13.0
MPV 10.7 fL 7.2-11.1
Hitung Jenis
Limfosit 15.7 % 20-40
Monosit 5.4 % 0-7
Neutrofil 76.5 % 55-80
Eosinofil 2.0 % 0-4
Basofil 0.4 % 0-2
Neutrofil Lymphocyte Ratio 4.86 <3.13
Absolute Lymphocyte Count 1390 /uL >1500
HFLC 0.3 %
Fungsi Hati
AST (SGOT) 14 U/L 0~34
ALT (SGPT) 18 U/L 8~34
Fungsi Ginjal
Ureum 117.0 mg/dL 10~45
Kreatinin 5.04 mg/dL 0.5~1.1

9
Elektrolit
Kalium (K) 6.39 mmol/L 3.5-5.5
Natrium (Na) 129.41 mmol/L 135-145
Klorida (Cl) 107.86 mmol/L 96-106
Kalsium Ion (Ca++) 0.96 mmol/L 1.1-1.35
Hepatitis Marker
HBsAg Kualitatif Non reaktif Non reaktif
Hemostasis
PT 18.6 Detik 11-18
APTT 25.9 Detik 27-42
INR 1.3 INR 0.85-1.15
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 158 Mg/dl 70-140

B. Rontgen Toraks PA di RS UNS


Cor : Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : Tak tampak kelainan

C. CT-Scan Abdomen di RS UNS


1. Mild hidronefrosis kanan dengan hydroureter kanan dari proximal hingga distal
2. Moderate hydronefrosis kiri dengan hydroureter kiri dari proximal hingga setinggi
V.S.2 et causa ureterilithiasis kiri
3. Gambaran cystitis
4. Pembesaran prostat (volume =/- 47,27 ml)

D. EKG di RS UNS
1. Sinus rythm
2. HR 65 bpm
3. Q patologis (-)
4. ST elevasi/depresi (-)
5. T tall (+) v2-v5
6. P wave mengecil

10
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Kencing tidak lancar sejak 1 bulan SMRS
2. Anamnesis
 Sering BAK dengan frekuensi 10x atau lebih tiap 30 menit sekali dengan volume
banyak dan kadang sedikit
 Sering terbangun malam hari untuk BAK
 Terkadang pasien merasa mual dan lemas
 Terdiagnosis BPH pro TURP
 Riwayat DM sejak 5 ahun lalu

3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6. Kesan
gizi baik. Tekanan darah 170/90 mmHg, nadi 84 kali/menit, frekuensi nafas 20

kali /menit, nafas dalam, suhu 36,8oC. Konjungtiva anemis. Ballotement (+).
4. Pemeriksaan penunjang:
a. Laboratorium darah (1 Juni 2020):
 Anemia normositik normokromik, limfositopenia, peningkatan NLR,
penurunan ALR
 Peningkatan ureum dan kreatinin
 Hiperkalemia, hyponatremia, hiperklorida dan hipokalsemia
 Pemanjangan PT dan pemendekan APTT
b. Rontgen Toraks PA
 Cor dan Pulmo dalam batas normal
c. CT-Scan Abdomen
 Hydronefrosis dan hydroureter dextra et sinistra
 Gambaran cystitis
 Pembesaran prostat

V. Diagnosis
1. BPH
2. Nefropati Diabetik

11
VI. Tatalaksana
1. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
2. Inf D40% 2 fl + 10 IU Insulin
3. Inf D5% + 12.5 IU Insulin drip
4. Injeksi Ca Glukonas 1 ampul
5. Amlodipin 1 x 10mg
6. Caverdilol 2 x 6.25 mg
7. Asam Folat 1 x 800mg
8. NAC 3 x 200mg

VII. Prognosis
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

VIII. Usulan Pemeriksaan Laboratorium


1. Evaluasi darah lengkap
2. Cek ulang elektrolit 4 jam post koreksi kalium
3. Urinalisis
4. Cek asam urat
5. Cek GDS, GDP dan GD2PP

12
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, seorang pria datang dengan pasien datang dengan keluhan
kencing tidak lancar sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Dalam sehari pasien
sering BAK frekuensi 10x atau lebih, tiap 30 menit sekali, kadang volume
banyak, kadang sedikit, BAK kuning, tidak ada darah dan tidak berbuih. Pasien
sering terbangun malam hari karena sering BAK sehingga mengganggu tidur.
Kadang pasien merasa mual dan lemas. Pasien mengaku bahwa sebelumnya
sudah terdiagnosis terkena BPH yang akan direncanakan tindakan TURP.
Pasien juga mengakui adanya riwayat Diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan hari
di saat masuk rumah sakit sempat mengalami gula darah tinggi. Saat awal
diketahui DM pasien mengeluhkan makan bertambah banyak, sering minum
dan BAK lebih sering. BB juga menurun 76 kg menjadi 70 kg. Pasien merasa
pandangan kabur saat gula darah tinggi, namun setelahnya baik baik saja.
Pasien juga sering kesemutan dan geringgingan di kaki. DM terkontrol 2 obat
pil kombinasi dan pasien belum pernah mendapat insulin. Riwayat penggunaan
obat-obat tertentu analgesik dan obat kolestrol disangkal, obat asam urat (+),
trauma sebelumnya (-).
Retensi urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan
urin yang terkumpul dalam buli hingga kapasitas maksimal buli terlampaui.
Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli yang tidak adekuat atau tidak
adanya koordinasi antara buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya
retensi urin. Gajala obtruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miki
(straining), menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah
(weakness), miksi terputus (intermitten) dan tidak lampias setelah miksi.
Sedangkan gejala iritatif meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan
(urgency), sering miksi (frequency), sering miksi pada malam hari (nocturia)
dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dilihat dari keluhan utama dan anamnesis pada
pasien ini terjadi suatu pada urin yang disebabkan adanya sumbatan pada
saluran kemih bagian bawah yang bisa disebabkan oleh gangguan pada vesika
urinaria atau infravesika. Gangguan pada vesika urinaria bisa berupa batu
vesika atau gangguan neurogenic pada vesika. Sedangkan gangguan infravesika

13
berupa pembesaran prostat dan struktur uretra. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan fisik berupa colok dubur yang menunjukkan konsistensi prostat
kenyal, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Pemeriksaan
laboratorium berupa urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria namun pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin dan
telah menggunakan kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya
karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritrosituria akibat pemasangan
kateter. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT-Scan abdomen untuk
menegakkan diagnosis.
Diketahui sebelumnya pasien memiliki riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu
terkontrol obat. Pada pasien DM mengalami defisiensi insulin menyebabkan
glucagon meningkat sehingga terjadi gluconeogenesis yang menyebabkan
ketonuria, hyponatremia dan asidosis. Defisiensi insulin menyebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menjadi menurun sehingga kadar glukosa dalam
plasma tinggi (hiperglikemia). Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang
ginjal maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan menyebabkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan timbul rasa haus
(polidipsi) sehingga terjadi dehidrasi. Glukosuria menyebabkan keseimbangan
kalori negative sehingga menimbulkan rasa lapar (polifagi). Gejala-gejala
tersebut dirasakan oleh pasien. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan beberapa
pemeriksaan laboratorium glukosa darah. Glukosa darah sewaktu diartikan
kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan, apabila kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. pada
pemeriksaan glukosa darah puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam sebelum tes
dengan menghentikan semua obat yang digunakan, interpretasi pemeriksaan
dinyatakan normal ketika >126 mg/dl, sedangkan antara 110-126 disebut glukosa
darah puasa terganggu. Tes glukosa 2 jam post prandial (GD2PP) dilakukan bila
ada kecurigaan DM. pasien makan makanan yang mengandung 100gr karbohidrat
sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga, dikatakan normal
jika hasil <140 mg/dl, hasil antara 140-200 mg/dl disebut toleransi glukosa
terganggu (TGT). Pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dilakukan
apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula berkisar 140-200 mg/dl,
tatacara tes TTGO dengan craa melarutkan 75 gram glukosa pada dewasa, dan
1.25mg pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300ml dan
dihabiskan dalam waktu 5 menit, TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa

14
selama minimal 8 jam. Pemeriksaan HbA1c merupakan reaksi antara glukosa
dengan hemoglobin, yang tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama
120 hari sesuai dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar
glukosa dalam darah, sehingga mampu menggambarkan rata-rata kadar gula
darah selama 3 bulan, sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan
saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang.
Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaan diabetes terutama untuk
mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak.
Pada pasien ini juga perlu untuk dilakukan pemantauan kadar HbA1cnya.
Penggunaan glukosa oleh sel menurun mengakibatkan produksi metabolism
energy menjadi menurun sehingga tubuh menjadi lemah. Hiperglikemia dapat
mempengaruhi mikro dan makrovaskular. Penyakit makrovaskular
mempengaruhi sirkulasi coroner, pembuluh darah perifer dan pembuluh darah
otak sedangkan mikrovaskuler mempengaruhi mata (retinopati), ginjal (nefropati)
dan pembuluh darah (neuropati). Kontrol kadar gula darah untuk menunda atau
mencegah awitan komplikasi mikro dan makroangiopati.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular penyakit DM yang
menjadi salah satu penyebab utama gagal ginjal. Pada keadaan hiperglikemik
yang tidak terkontrol, dapat memicu hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal yang
mengakibatkan area filtrasi glomerulus berkurang. Perubahan tersebut
menyebabkan fungsi ginjal terganggu menjadi glomerulosklerosis dan berakhir
ke gagal ginjal. Parameter terjadinya kerusakan fungsi ginjal pada nefropati
diabetic yaitu peningkatan konsentrasi serum kreatinin dan BUN (blood urea
nitrogen). Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dibentuk di dalam
hati dan dikeluarkan melalui ginjal. Urea adalah nitrogen yang berisi hasil akhir
katabolisme dari protein. Konsentrasi ureum dalam plasma darah terutama
menggambarkan keseimbangan antara katabolisme protein dan pembentukan urea
serta ekrkresi urea oleh ginjal. Umumnya dinyatakan sebagai kandungan nitrogen
molekul yaitu nitrogen urea darah/BUN. Kadar normal BUN diperoleh dari hasil
konversi kadar normal urea dalam plasma rata-rata 43mg% dikalikan 0,467
diperoleh 20 mg% sebagai kadar rata-rata BUN. Pada penurunan fungsi ginjal
menyebabkan penuluran laju filtrasi glomerulus dan kadar BUN meningkat,
sehingga pengukuran BUN dapat memberi petunjuk mengenai keadaan ginjal.
Kreatinin sendiri disintesis di hati dan terdapat pada hampir semua otot rangka.
Kreatinin adalah produk metabolism yang memiliki molekul lebih besar dari

15
ureum. Dalam jumlah kecil kreatinin disekresikan oleh tubulus, sehingga jumlah
kreatinin yang diekresikan dalam urin sedikit melebihi jumlah yang difiltrasi.
Dengan adanya kenaikan kadar kreatinin maka menunjukkan penurunan fungsi
ginjal yaitu produk penguraian kreatin. Bila keadaan ginjal sudah mengalami
kerusakan, maka kadar kreatinin akan meningkat.

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Benign Prostate Hiperplasia (BPH)


A. Definisi BPH
Benign Prostate Hyperplasia merupakan proses patologi berupa
peningkatan jumlah sel-sel stromal dan epithel pada area periurethra dari kelenjar
prostat, dengan karakteristik gejala berupa Lower Urinary Tract Symtomps
(LUTS) (Roehrborn & Mc Connell , 2007)
B. Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki usia tua
(Izmirli , et al, 2011). Menurut studi epidemiologis terpercaya mengenai BPH di
Amerika Serikat tahun 2000, BPH merupakan alasan utama kasus rujukan ke
klinik sebesar 4,4 juta kasus, dan 117.000 kunjungan ke unit gawat darurat, serta
105.000 kasus rawat inap di rumah sakit (Parsons , et al, 2008).
Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-
50 tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia
diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi
juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun + 25% laki-laki mengeluh
gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75
tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada
saat berkemih (Cooperberg, 2013).
C. Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular yang terletak di inferior
dari buli-buli, di belakang dari simfisis pubis. Prostat normal beratnya kurang lebih
20 gram, dan di dalamnya terdapat urethra posterior yang panjangnya kurang lebih
2,5 sentimeter. Kelenjar prostat di bagian anterior disupport oleh ligamentum
puboprostatic, dan di sebelah inferior oleh diafragma urogenital.di sebelah
posteriornya bermuara duktus ejakulatorius, yang berjalan secara oblik melalui
verumontanum pada dasar dari urethra pars prostatika, sebelah proksimal dari
sphincter urinary eksterna. Pada bagian posterior, prostat terpisah dari rectum oleh
a lapis fascia denonvilliers yang meluas ke diafragma urogenital (Tanagho EA,
2008).
Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra.

17
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar
sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional
hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terdapat pada
zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona
perifer (Mescher, 2010).
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior
dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticus. Plexus venosus prostaticus yang terletak
antara kapsula fibrosa dan prostatic sheath, didrainase oleh vena iliaka interna.
Plexus venosus prostaticus kearah superior berlanjut sebagai plexus venosus
vesicalis dan ke posterior berhubungan dengan plexus venosi vertebrales interna.
Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interna namun
beberapa drainasenya melalui nodus sacralis (Moore et al , 2006).
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari
plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis
dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi
parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra
posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada
otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut
banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis mempertahankan
tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau
berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan uretra posterior dan
mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. (Cooperberg, 2013).

18
Gambar 3.1. Anatomi Kelenjar Prostat (Cooperberg, 2013)

D. Etiologi
Saat ini etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat banyak
pendapat tentang hal ini. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Dihidrotestosteron
Pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu metabolit
androgen yaitu dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron dihasilkan
dari reaksi perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti
sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2012).
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:
progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam
prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar (Purnomo, 2012).
3. Interaksi stromal-epitel
Differensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator tertentu
(growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma
19
(Purnomo, 2012).
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Saat
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat (Purnomo, 2012).
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel- sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika
hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2012).
6. Teori Inflamasi
Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit
inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan
LUTS (Purnomo, 2012).
Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan
kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008).
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa inflamasi kronis dapat
menyebabkan BPH. Telah dihipotesiskan bahwa infiltrat inflamasi dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan dan proses kronik dari penyembuhan luka
yang secara subsekuensial mengakibatkan pembesaran kelenjar prostat
(Gandaglia G , et al, 2013).
Dua hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan
inflamasi kronis pada BPH; pertama, peran dari kejadian infeksi dan yang
kedua adalah peranan respon autoimun (Robert G, 2009).
Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik
pada prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan

20
terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya
yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi.
Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin
berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai
IPSS. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap
LUTS (De Nunzio, , et al. 2011).
Inflamasi prostat kemungkinan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi pertumbuhan prostat dan progresifitas dari gejala BPH. Berbagai
growth factor dan sitokin berperan dalam proses inflamasi (Chungtai , et al,
2011). Penyebab potensial dari inflamasi meliputi perubahan hormonal, infeksi
( viral atau bakterial), asupan makanan ataupun faktor lingkungan, respon
autoimun, refluks urin di dalam prostat collecting duct, dan inflamasi sistemik
terkait dengan sindroma metabolik (Ficarra V, 2013). Berdasarkan hasil otopsi,
inflamasi kronik diamati pada >70% laki-laki pada otopsi, semakin banyak
inflamasi terkait dengan lebih banyak kejadian BPH (Zlotta, 2014).
E. Patologi
Umumnya BPH terdiri dari kelenjar (mengandung sebagian besar sel kelenjar
prostat), campuran (mengandung stroma dan sel epitel kelenjar), dan stroma (yang
hanya berisi sel stroma). BPH merupakan pertumbuhan dari sel-sel epitel dan stromal
dari zona transisional dan area periurethra (Roehrborn dkk, 2008).
F. Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari
respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik
dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan
terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet.
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma
prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik.
Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker
menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi (Purnomo, 2012).

21
G. Gejala Klinis
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symtomps (LUTS). (Cooperberg, 2013)
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem penilaian yang secara
subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh
organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah International Prostatic Symptoms Score
(IPSS) (Purnomo, 2012).
IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang ditambah
dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. IPSS berisi tujuh pertanyaan
mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai kualitas hidup, dimana pasien
dapat menilai keluhan secara kuantitatif dalam skala 0-5. Nilai maksimal dari IPSS
adalah 35. Derajat gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi
tiga, nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS
hanya digunakan untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor
diagnostik untuk menegakkan adanya BPH (Oelke, 2013).

22
Gambar 3.2 International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa
Indonesia (dikutip dari Mochtar 2015).

H. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan
pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran dan
konsistensi prostat. Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri
simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras atau
teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo, 2012). Apabila
didapatkan indurasi pada perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga
memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific
Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound (TRUS) serta biopsi (Cooperberg,
2013).

23
I. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. Kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-
buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah
mengalami retensi urin dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak
banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria
akibat pemasangan kateter (Mochtar, 2015).
Serum Prostate Specific Antigen (PSA) dapat dipakai untuk mengetahui
perjalanan penyakit dari BPH. PSA disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan
bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik. Kadar PSA tinggi berarti
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran
urin lebih buruk, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin
tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Kadar PSA di dalam
serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Parameter PSA density (PSAD), yaitu
parameter PSA berbasis pada volume prostat dilaporkan dapat menginterpretasi
kadar PSA lebih baik pada laki-laki dengan prostat yang besar (Mochtar, 2015;
Nogueira, 2009). Menurut studi yang dilakukan oleh Duarsa dkk (2016) PSA
merupakan faktor risiko terjadinya inflamasi sedang-berat pada pasien BPH.
Pemeriksaan lain yakni uroflowmetri. Uroflometri adalah pencatatan tentang
pancaran urin selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan
untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak
invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Q max), pancaran rata-rata (Q ave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Nilai Q
max dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan.
J. Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas intravena pyelografi dan USG
dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi

24
misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal.
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer prostat
terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona transisional yang
terletak lebih anterior terlihat hipoekogenik heterogen. (Hapsari, 2010).
K. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya (Cooperberg, 2013).
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang
rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan
divertikel buli (Cooperberg, 2013).
a. Watchful Waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting
merupakan penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS
0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi
atas kehendak pasien.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah
(Lepor dan Lowe , 2002) :
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
o Preparat non selektif: fenoksibenzamin,
o Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin,
o Preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin,
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride,
3. Fitofarmaka

25
4. Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami
retensi urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK
berulang, adanya batu buli atau divertikel, hematuria yang menetap
setelah medikamentosa, atau dilatasi saluran kemih bagian atas akibat
obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi absolut).
Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang menetap
setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi
operasi relative (Oelke , et al, 2013).
1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan
pembedahan prostat pada pasien BPH. Menurut Wasson , et al (1995)
pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat
daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma
dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan
yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH
hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100% (Tubaro ,
et al , 2000).
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%,
dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan
transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang
beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan
lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%
(Uchida , et al, 1999).
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia
stress <1% maupun inkontinensia 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%,
kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat
TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-
69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun. Dengan teknik
operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang
lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah

26
pemberian transfusi berangsur-angsur menurun (Uchida , et al, 1999).
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi
retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan
komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli,
perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom TURP (Cooperberg, 2013).
2. Transurethral Incicion of the Prostat (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30
cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan
adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh
Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral
insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-
buli-sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat.
Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan
komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki
keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik
TURP (Roehrborn , et al, 2001; Yang , et al , 2001).
3. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan
tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan
divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka
dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin procedure)
dan retropubik (Freyer procedure) (Purnomo, 2012).
4. Terapi Invasif Minimal
Terapi invasif minimal untuk BPH yakni terapi laser Transurethral
Electrovaporization of the Prostat Microwave Hypertermia, Transurethral
Needle Ablation of the Prostat High Intencity Focused Ultrasound dan Stent
Intraurethral (Purnomo, 2012).

27
3.2 Diabetes Melitus
A. Definisi
Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin dan kerja insulin (Smeltzer et al, 2013; Kowalak, 2011). Diabetes melitus
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam darah
tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara
adekuat. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar gula darah akan
meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa
darah normal pada pagi hari sebelum makan atau berpuasa adalah 70-110 mg/dL
darah. Kadar gula darah normal biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam
setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun mengandung
karbohidrat (Irianto, 2015).
B. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut Smeltzer et al, (2013) ada 3 yaitu:
1. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin)
Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes
melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat faktor
genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1 memerlukan injeksi
insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.
2. Tipe 2 (Diabetes melitus tak – tergantung insulin)
Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes tipe
2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi
insulin) atau akibat penurunan jumlah insulin yang diproduksi.
3. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul
selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko diabetes
gestasional disebabkan obesitas, riwayat pernah mengalami diabetes
gestasional, glikosuria, atau riwayat keluarga yang pernah mengalami diabetes.
C. Etiologi
Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011); Wilkins, (2011); dan Andra,
(2013) mempunyai beberapa penyebab, yaitu:

28
1. Hereditas
Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan perkembangan antibodi
autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta.
2. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress)
Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pancreas.
Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetic. Stress fisiologis
dan emosional meningkatkan kadar hormon stress (kortisol, epinefrin, glucagon,
dan hormon pertumbuhan), sehingga meningkatkan kadar glukosa darah.
3. Perubahan gaya hidup
Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya
hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan kegemukan
dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus.
4. Kehamilan
Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan
kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.
5. Usia
Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus
6. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.
Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolic.
Antagonisasi efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi, antara lain
diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif hormonal.
D. Patofisiologi
Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price, (2012) dan
Kowalak (2011) yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian menyebabkan
glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan gula baru
(glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak meningkat. Kemudian
akan terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis). Peningkatan keton didalam
plasma akan mengakibatkan ketonuria (keton dalam urin) dan kadar natrium akan
menurun serta pH serum menurun dan terjadi asidosis.
Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun, sehingga
menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia). Jika

29
hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal maka akan menyebabkan
glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang meningkatkan
peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa haus (polidipsi) yang
menyebabkan seseorang dehidrasi (Kowalak, 2011).
Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga
menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel
menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun sehingga
tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012).
Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil, sehingga
menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Kemudian bisa
mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi infeksi dan gangguan
pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan oksigen (Price et al, 2012).
Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran darah ke retina menurun,
sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang menyebabkan
pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah
perubahan pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati
yang berpengaruh pada saraf perifer, sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat
(Price et al, 2012).
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu:
1. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih)
yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa
serum yang meningkat.
2. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.
3. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan
glukosa oleh sel menurun.
4. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada
kulit.
5. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar
glukosa intrasel yang rendah.

30
6. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
7. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena
pembengkakan akibat glukosa.
8. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan kerusakan
jaringan saraf.
9. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena
neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.
10. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.
F. Komplikasi
Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzer et al, (2013) dan Tanto
et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka
waktu pendek yang mencakup:
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami
penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan gejala pusing,gemetar,
lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta penurunan kesadaran.
2. Ketoasidosis Diabetes (KAD)
KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic akibat
pembentukan keton yang berlebih.
3. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)
Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang menyebabkan
kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai
ketosis serum.
Komplikasi kronik menurut Smeltzer et al, (2013) biasanya terjadi pada
pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 – 15 tahun. Komplikasinya
mencakup:
1. Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya penyakit ini
memengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah
otak.
2. Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit ini

31
memengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol kadar gula darah
untuk menunda atau mencegah komplikasi mikrovaskular maupun
makrovaskular.
3. Penyakit neuropatik: memengaruhi saraf sensori motorik dan otonom yang
mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015) dan Kowalak
(2011) dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non farmakologi:
1. Terapi farmakologi
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola
makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral
dan obat suntikan, yaitu:
a. Obat antihiperglikemia oral
Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan cara kerjanya obat ini
dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain:
b. Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid
Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
c. Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion
(TZD)
Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati
(gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek
dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi insulin dengan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di
perifer.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa
dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula
darah dalam tubunh sesudah makan.
e. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

32
Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk
menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).
f. Kombinasi obat oral dan suntikan insulin
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya
dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin
kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).
2. Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak,
(2011) yaitu:
a. Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidupmenjadi
sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa
digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
b. Terapi nutrisi medis (TNM)
Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwalmakan
yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya,
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah
maupun insulin.

33
c. Latihan jasmani atau olahraga
Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari
dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit
perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas
sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti: jalan
cepat, sepeda santai, berenang,dan jogging. Denyut jantung
maksimaldihitung dengan cara: 220 – usia pasien.

34

Anda mungkin juga menyukai