Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN 71 TAHUN DENGAN DISPEPSIA ORGANIK


DD FUNGSIONAL DAN OBSERVASI FEBRIS HARI KE 4
EC SUSPEK THYPOID FEVER

DISUSUN OLEH:
Widha Musthika P - G99182010

RESIDEN PEMBIMBING

dr. Tisha Patricia dr. Sienny Linawati, Sp.PK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dengan judul:

SEORANG PEREMPUAN 71 TAHUN DENGAN DISPEPSIA ORGANIK


DD FUNGSIONAL DAN OBSERVASI FEBRIS HARI KE 4
EC SUSPEK THYPOID FEVER

Hari, tanggal: Jumat, 06 November 2020

Oleh:
Widha Musthika P – G99182010

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Laporan Kasus,

dr. Sienny Linawati, Sp.PK, M.Kes

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Umur : 71 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kemusu, Boyolali
No. RM : 18573xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 16 September 2018
Tanggal Periksa : 17 September 2018
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Nyeri ulu hati sampai perut kiri atas sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Pandanarang Boyolali
dengan keluhan nyeri ulu hati sampai perut kiri atas sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri seperti ditusuk-tusuk benda tajam, terutama
dirasakan jika pasien belum makan dan membaik jika pasien makan dan
minum. Nyeri tidak menjalar ke punggung atau tangan dan leher. Nyeri
tidak dipengaruhi konsumsi makanan berlemak.
Pasien mengeluh demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan terus
menerus, kadang hingga menggigil. Pasien juga mengeluh perut terasa
kembung dan cepat kenyang. Pasien juga sering bersendawa meskipun
belum makan dan minum.

3
Pasien merasa mual dan mengalami penurunan nafsu makan. Muntah 1 kali
sehari, sebanyak ± ½ gelas aqua. Muntah berisi air dan makanan, muntah
darah disangkal. Seminggu terakhir, pasien makan 3-4 kali sehari ± 4-5
sendok bubur. Pasien minum 7-8 gelas aqua per hari.
BAK pasien 4-5 kali sehari masing-masing 1-2 gelas aqua berwarna
kuning jernih. Sakit saat BAK, BAK darah, BAK berpasir disangkal. Pasien
BAB 1 kali sehari, ± 1 gelas aqua berwarna kuning kecoklatan. BAB darah,
BAB hitam, dan BAB cair disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

4
5. Pohon Keluarga

71 th

Keterangan :
: Pasien : Meninggal

: laki-laki

: Perempuan

6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Sebelum sakit pasien mengaku makan 3x
sehari sebanyak 1 porsi piring berisi nasi,
sayur, lauk-pauk bervariasi. Minum ± 1,0
liter.
Riwayat minum alcohol : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat olahraga : Pasien mengaku jarang melakukan
aktivitas olahraga
Konsumsi jamu dan obat : Disangkal

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal serumah
dengan suami dan dua orang anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas
BPJS.

5
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD RSUD Pandanarang Boyolali pada
tanggal 17 September 2018
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, GCS E4V5M6,
composmentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg lengan kanan, posisi supine
b. Denyut nadi : 96 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
c. Frekuensi napas : 22 kali/menit pernapasan thorax
d. Suhu : 37.9°C per aksila
e. Saturasi O2 : 98%
f. VAS : 4 (nyeri perut regio epigastrium)
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 50 kg
b. Tinggi Badan : 155 cm
c. IMT : 20.81 kg/m2
d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Warna kuning langsat, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi (-), ikterik (-), anemis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah dicabut (-), luka (-),
atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra superior (-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-)
7. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan pada tragus (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), Chvostek sign (-)
8. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-), oral thrush (-), karies gigi
(-)

6
10. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5 + 2 cm, jejas
(-), nyeri tekan (-), trakea di tengah dan simetris, kelenjar
tiroid membesar (-), distensi vena leher (-)
11. Thoraks : Normochest, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran limfonodi axilla (-/-), ikterik (-),
spider navi (-)
12. Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi : Kiri bawah: SIC V 1 cm di medial dari Linea Mid
Clavicularis Sinistra
Pinggang jantung: SIC III Linea Para Sternalis
Sinistra
Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
Kesan: batas jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, intensitas normal,
regular, bising (-), gallop (-)

13. Pulmo
a. Inspeksi
Statis : Normochest, simetris, SIC tidak melebar, iga tidak
mendatar
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
Statis : Simetris
Dinamis : Gerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus taktil
kanan = kiri, nyeri tekan (-)

7
c. Perkusi
Kanan : Sonor
Kiri : Sonor

d. Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)

14. Abdomen
a. Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada, sikatriks (-),
striae (-), caput medusae (-), darm countour (-),
darm steifung (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 12 x/menit, bruit hepar (-), metalic
sound (-)
c. Perkusi : Timpani, ascites (-)
d. Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+)
pada regio epigastrium
15. Ekstremitas : Akral dingin Edema
- - - -
- - - -
Superior ka/ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior ka/ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin(-
/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri (-
/-), deformitas (-/-).

8
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiografi tanggal 16 September 2018

Kesimpulan: Sinus ritmis, HR 115 bpm, normoaksis, RR interval 0.52


detik, QRS interval 0.04 detik, PR interval 0.16 detik.
Kesan: Sinus ritmis, HR 115 bpm, normoaksis

9
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah 16 September 2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.6 g/dL 12 – 16
Hematokrit 28.9 % 37- 47
Leukosit 14.74 ribu/µl 4800 - 10800
Trombosit 486 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.31 juta/µl 4.2 - 5.4
MCV 87.0 /um 80 – 100
MCH 28.9 pg 27 – 32
MCHC 33.2 g/dl 32 – 36
RDW 16.8 %
Eosinofil 0.8 % 1–3
Basofil 0.6 % 0–1
Neutrofil 80.6 % 50 – 70
Limfosit 6.0 % 20 – 40
Monosit 12.0 % 2–8
KIMIA KLINIK
Ureum 31 mg/dl 10 – 50
Creatinin 0.83 mg/dl 0.6 – 1.1
SGOT 101 u/L < 35
SGPT 36 u/L < 41
IMUNOSEROLOGI
HBsAG Non-reactive

10
E. Resume

1. Keluhan utama
Nyeri ulu hati
2. Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sampai perut kiri atas
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti ditusuk-tusuk
benda tajam, terutama dirasakan jika pasien belum makan dan membaik
jika pasien makan dan minum. Pasien mengeluh demam sejak 4 hari
yang lalu. Demam dirasakan terus menerus, kadang hingga menggigil.
Pasien juga mengeluh perut terasa kembung dan cepat kenyang. Pasien
juga sering bersendawa meskipun belum makan dan minum. Pasien
merasa mual dan mengalami penurunan nafsu makan. Muntah 1 kali
sehari, sebanyak ± ½ gelas aqua. Muntah berisi air dan makanan.

3. Pemeriksaan fisik:
 Suhu : 37,9 0C
 Abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (+) di regio epigastrium
4. Pemeriksaan tambahan yang mendukung klinis dari pasien:
a. Laboratorium Darah : Hb 9.6g/dl, Lekosit 14.740ribu/uL,
Neutrofil 80.6%, Limfosit 6.0%, SGOT 101 U/L

F. Diagnosis Klinis
1. Dispepsia organik dd fungsional
2. Observasi febris hari ke 4 ec suspek thypoid fever

11
H. Ekspertisi Laboratorium
1. Anemia normokromik normositik
2. Leukositosis
3. Neutrofilia absolut
4. Limfositopenia
5. Peningkatan SGOT

I. Usulan Pemeriksaan Lanjutan


1. Darah lengkap
2. Gambaran Darah Tepi
3. Urinalisis
4. Uji Widal

J. Terapi
1. Bed rest
2. Diet lunak 1700 kkal tidak merangsang lambung
3. O2 3 lpm
4. Inf NaCl 0.9% 20 TPM IV
5. Paracetamol tablet 500mg/ 8jam
6. Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam
7. Inj. Ondansentron 40 mg/ 8 jam
8. Sucralfat syr CI/ 8 jam

K. Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad Sanam : Dubia ad bonam
3. Ad Functionam : Dubia ad bonam

12
BAB II
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis, didapatkan keluhan nyeri ulu hati sejak 4 hari SMRS. Nyeri
seperti ditusuk-tusuk benda tajam, terutama dirasakan jika pasien belum makan dan
membaik jika pasien makan dan minum. Nyeri tidak menjalar ke punggung atau
tangan dan leher. Nyeri tidak dipengaruhi konsumsi makanan berlemak.
Dari keluhan pasien seperti rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri
ulu hati/epigastrik menandakan bahwa pasien menderita dyspepsia. Sedangakan
pengertian penyakit dyspepsia itu sendri adalah rasa tidak nyaman yang berasal dari
daerah abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu : nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium,
rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas,
mual, muntah, dan sendawa.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Dalam klinik tidak jarang para dokter
menyamakan dispepsia dengan gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah
suatu diagnosa patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak
semua kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia.
Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom
klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan
terus menerus, kadang hingga menggigil. Pasien juga mengeluh perut terasa
kembung dan cepat kenyang. Pasien juga sering bersendawa meskipun belum
makan dan minum. Pasien merasa mual dan mengalami penurunan nafsu makan.
Muntah 1 kali sehari, sebanyak ± ½ gelas aqua. Muntah berisi air dan makanan,
muntah darah disangkal. Seminggu terakhir, pasien makan 3-4 kali sehari ± 4-5
sendok bubur. Pasien minum 7-8 gelas aqua per hari.

13
Demam merupakan merupakan suatu keadaan suhu tubuh di atas batas
normal yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik
yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit penyakit-penyakit
bakteri, bakteri, tumor otak atau dehidrasi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
maupun parasit. parasit. Infeksi Infeksi bakteri bakteri yang pada umumnya
umumnya menimbulkan menimbulkan demam antara lain pneumonia,
bronchitis, pneumonia, bronchitis, bacterial gastroenteritis, bacterial
gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, meningitis, ensefalitis,selulitis, otitis
selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi
virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia,
influenza, demam berdarah berdarah dengue, dengue, demam chikungunya.
chikungunya. Infeksi Infeksi jamur yang pada umumnya umumnya menimbulkan
demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara
lain faktor lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu tinggi,), penyakit
autoimun (arthritis, systemic systemic lupus erythematosus erythematosus,
vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia,
dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin).
Sebagian besar kasus demam disebabkan oleh infeksi mikroba. Peningkatan suhu
tubuh yang disebabkan oleh infeksi bakteri biasanya lebih tinggi dibandingkan
dengan yang disebabkan oleh infeksi virus. Suhu tubuh rata-rata biasanya
dipertahankan dalam kisaran “ set point ” antara 36,4 o C dan 37,2 o C
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium.
Pemeriksaan laboratorium darah hematologi rutin didapatkan anemia (Hb 9.6
g/dL), hematokrit 28.9%, leukositopenia (leukosit 14.74 ribu/uL), trombositosis
(trombosit 486 ribu/uL). Hasil tersebut mengarahkan diagnosis pasien ke arah
infeksi bakteri.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dispepsia
1. Definisi
Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada.
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari berbagai macam
penyakit.
Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau
lebih gejala dibawah ini :
 Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress
syndrome)
 Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk
menghabiskan ukuran makan normal atau rasa penuh setelah
makan)

 Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan


epigastric pain syndrome)

2. Etiologi
 Kelainan struktural pada saluran cerna
 Ulkus peptikum, ulkus duodenum, esofagitis refluks, gastriris
kronis, gastriris OAINS, penggunaan obat-obatan seperti teofilin,
digitalis dan antibiotik, atau adenokarsinoma lambung dan
esofagus
 Penyakit hepatobilier
 Kolesisitis kronik, pankreatitis kronik, hepatitis, hepatoma,
steatohepatitis, keganasan
 Penyakit sistemik

15
 Diabetes mellitus, hiperkalsemia, keracunan logam berat,
penyakit tiroid, gagal ginjal

 Non-organik atau fungsional

3. Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30%
dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum
diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional.
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010 dilaporkan memiliki
tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana
layanan kesehatan primer. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara
Asia (Cina, Hong kong, Indonesia, Korea, Malasyia, Singapura,
Taiwan,Thailand,Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan
dispepsia adalah dispepsia fungsional.

4. Faktor Risiko
 Mengkonsumsi kafein berlebihan
 Minum minuman beralkohol
 Merokok
 Mengkonsumsi obat steroid, OANS
 Berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi.

5. Manifestasi Klinis

 Epigastric pain
Sensasi yang tidak menyenangkan; beberapa pasien merasa
terjadi kerusakan jaringan.

 Postprandiali fullness
Perasaan yang tidak nyaman seperti makanan berkepanjangan di
perut.

16
 Early satiation
Perasaan bahwa perut sudah terlalu penuh segera setelah mulai
makan, tidak sesuai dengan ukuran makanan yang dimakan,
sehingga makan tidak dapat diselesaikan. Sebelumnya, kata “cepat
kenyang” digunakan, tapi kekenyangan adalah istilah yang benar
untuk hilangnya sensasi nafsu imakan selama proses menelan
makanan.

 Epigastrici burning
Terbakar adalah perasaan subjektif yang tidak menyenangkan
dari panas

6. Kalsifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural)
dan fungsional (nonorganik).
Pada dispepsia organik terdapat penyebab yang mendasari, seperti
penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer Disease atau PUD), GERD
(Gastro Esophageal Reflux Disease), kanker, dan lain-lain. Non-organik
(fungsional) ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas
yang kronis atau berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik
dan endoskopi.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi tiga, yaitu rasa pandrial distress
syndrome (PDS), Epigastric Pain Syndrome (EPS), dan gabungan antara
keduanya (PDSEPS)

17
7. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia
adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Indikasi endoskopi bila ada gejala atau tanda alarm seperti gejala
dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, muntah
persisten, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus,
massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan
kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan
keganasan
Mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien
dengan keluhan dispepsia merupakan hal penting. Apabila didapatkan
tanda-tanda bahaya atau usia lebih dari 55 tahun, tindakan
esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik sangat
dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2
tindakan yang dapat dilakukan: (1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada
tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang
tervalidasi disertai pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil,
tetapi gejala masih tetap ada, (2) Pengobatan empiris menggunakan
Proton-Pump Inhibitor (PPI) untuk 4-8 minggu. American College of
Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris menggunakan obat
antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan dispepsia
dan masih dipraktikkan secara luas hingga saat ini. Alternatif (1)
dianjurkan untuk mengobati populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori
tingkat sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2) disarankan
pada populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah

18
8. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor


infeksi (leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran
cerna (CEA, CA 19- 9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah
yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA

 Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus


dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik
atau memburuk bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna
bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.

 Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau


usus halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh
Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,
selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh
keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat
badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan
terjadi pada usia lebih dari 45tahun.

19
9. Tatalaksana
a. NON MEDIKAMENTOSA
 Hindari makanan/minum sbg pencetus, makanan merangsang spt:
 Pedas
 Asam
 tinggi lemak
 mengandung gas
 Kopi
 alkohol dll
 Bila muntah hebat, jgn makan dulu
 Makan teratur, tidak berlebihan, porsi kecil tapi sering
 Hindari stress, olah raga

b. Medikamentosa
 Antacida
 Penyekat H2 reseptor : cimetidin, ranitidin, famotidin
 Penghambat pompa proton (PPI) : omeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, rabeprazol, esomeprazole
 Prokinetik (anti mual-muntah) : dimenhidrinat, metoklopramid,
domperidon, cisapride, ondansetron
 Sitoprotektor : sukralfat, teprenon, rebamipid Antibiotik:
Amoxicillin, claritromisin, tetrasiklin, metronidazol, bismuth
 Tranguilizer antianxietas, antidepresan : Bila ada faktor psikik

20
B. Demam Thypoid
1. Definisi
Demam tifoid adalah salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang
disebabkan oleh bakteri gram negative Salmonella typhi. Penyakit ini
ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Demam tifoid dipengaruhi oleh beberapa factor, antara
lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi,
rendahnya kualitas pelayanan kesehatan di beberapa daerah, buruknya
sanitasi lingkungan dan kebersihan diri.
Demam tifoid atau thypoid fever adalah suatu sindrom sistemik yang
disebabkan Salmonella typhii. Demam tifoid merupakan jenis terbanyak
dari salmonelosis. Beberapa terminologi yang erat kaitannya adalah
demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara
patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun
biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh species Salmonella
enteriditis sedangkan demam enteric dipakai pada demam tifoid maupun
demam paratifoid. Terdarpat 3 serotipe Salmonella enteriditis yaitu
serotipe paratyphi A, paratyphi B ( Salmonella Schotsmuelleri) dan
paratyphi C ( Salmonella Hirschfeldii) (Sumarmo, 2002).

2. Etiologi
Penyebab dari demam thypoid yaitu : 96 % disebabkan oleh
Salmonella Typhi, basil gram negative, mempunyai flagella, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen:
 Antigen O (somatic terdiri dari oligosakarida)
 Antigen H (flagellar antigen) yang terdiri dari protein.
 Antigen K (envelope antigen) yang terdiri dari polisakarida.

21
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic (Sumarmo,
2002).

3. Patogenesis
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang
terinfeksi oleh Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Keasaman
lambung merupakan faktor penentu dari suseptibilitas terhadap
salmonella. Kuman melekat pada ileum lalu menembus epitel usus dan
nampaknya melewati plak peyer. Kuman diangkut kekelenjar getah
bening usus dan disitu memperbanyak diri didalam sel mononukleus,
kemudian sel monosit yang mengandung kuman melalui saluran kelenjar
limfe mesenterik, dan selanjutnya duktus limfatik kuman mencapai aliran
darah dan terjadilah bakteremia pertama yang berlangsung singkat.
Kuman mengikuti peredaran darah dan mencapai jaringan
retikuloendotelial diberbagai organ yaitu hati, kandung empedu, limpa,
sumsung tulang, ginjal, paru, susunan saraf dll. Didinding kandung
empedu kuman berkembang dalam jumlah yang sangat banyak,
kemudian bersama empedu disalurkan ke usus. Invasi Plak Peyer terjadi
karena gen yang mirip dengan gen dari Shigella dan E.coli, tetapi jumlah
dari gen S. Thypi lebih banyak dari gen Sigella. Antigen Vi pada
permukaan kapsul dari S.thypi berpengaruh pada proses fagositosis
dengan cara mencegah peningkatan C3 pada permukaan bakteri.
Kemampuan hidup dari bakteri dalam makrofag adalah disebabkan
karena sifat ganas yang disebut phop regulon.

22
Endotoksin yang beredar adalah komponen lipopolisakarida dari
dinding bakteri diperkirakan sebagai penyebab panas dan gejala toksik
dari demam enterik. Endotoksik yang diproduksi karena pengaruh sitokin
oleh makrofag adalah juga sebagai penyebab timbulnya gejala sistemik.
Sebagai penyebab diare yang terjadi adalah toksin yang labil terhadap
panas dari e.coli. Imunitas yang bersifat seluler adalah penting sebagai
perlindungan terhadap demam tifoid (Widagdo, 2010).

4. Gejala klinis
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan
rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,
gejala klinis ringan dan tidak memerlukan rawatan khusus sampai berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor salmonella,
status nutrisi dan imunologik. Semua pasien demam tifoid selalu
menderita demam pada awal penyakit. Demam tifoid mempunyai istilah
khusus yaitu step ladder temperatur chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam turun perlahan.
Gejala sistemik lain yaitu nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea,
mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus berat
penampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak sakit berat.
Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan
syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan.
Gangguan gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi.
Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, pada pasien sebagian lidah
tampak kotor dengan puti ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan
bertahan selama 2-3 hari (Sumarmo, 2012).

23
5. Diagnosis
a. Amanesa
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi
pada sore menjelang malam dan suhu turun namun tidak mencapai
normal pada pagi hingga siang hari. Suhu bertahap naik hingga akhir
minggu pertama demam, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri
kepala, perut kembung, diare atau konstipasi, mual dan muntah. Pada
demam tifoid berat dapat dijumpai gangguan kesadaran
b. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai beratdengan
komplikasi. Kesaran menurun, delirium, sebagai anak terdapat
typhoid tongue (lidah dengan bercak putih) dan hiperemis
(kemerahan) pada pinggir lidah, hepatomegali, splenomegali. Kadang
dijumpai ronki pada pemeriksaan paru.
c. Laboraturium
Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe atau perdarahan usus. Leukopenia, namun jarang
<3000/uL. Limfositosis relative. Trombositopenia, terutama pada
demam tifoid berat.
d. Pemeriksaan serologi:
 Serologi widal: kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau
kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens
 Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
e. Pemeriksaan biakan salmonella:
 biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
 biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4

24
f. Pemeriksaan radiologik:
 Foto toraks apabila diduga teradi komplikasi pneumonia
 Foto abdomen apabila terjadi komplikasi seperti perforasi usus dan
perdarahan saluran cerna (Hardiono, 2004).

6. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan
tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi
serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kaus berat harus dirawat di
RS agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.
Pengobatan antibiotik merupakan golongan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan keadaan
bakteriemia (Sumarmo, 2002).
Menurut Prayitno (2012) Kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama dinegara
berkembang. Pada pasien anak, kloramfenikol diberikan dengan dosis
50-100 mg/kgBB/hari PO/IV dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-
14 hari. Regimen lain yang dapat diberikan pada anak, yaitu: ampisilin
(100-200 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian IV), amoksisilin
(100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 kali pemberian PO), trimethoprim
(10 mg/kg/hari) atau sulfametoksazol (50 mg/kg/hari) terbagi dalam 2
dosis, seftriakson 50 mg/kg/hari IM untuk 5 hari, dan cefixime 20
mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.

25
Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai
gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil
pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau pasien yang mengalami
renjatan septik. Regimen yang dapat diberikan adalah deksamethasone
dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada pasien anak dapat digunakan
deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai dosis
awal yang dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam.
Pengobatan lainnya bersifat simtomatik/sampai kesadaran membaik
(Sumarmo, 2002).

7. Pencegahan
Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar salmonella
typhi maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang mereka konsumsi. Samonella typhi didalam air akan mati
apabila dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai 57oC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya
pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat
kesadaran individu terhadap higien pribadi. Imunisasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid (Sumarmo, 2012).

8. Komplikasi dan prognosa


Komplikasi yang sering adalah perforasi usus, miokarditis
manifestasi sistem saraf sentral (Nelson, 1999).
Dinegara maju angka kematian adalah <1% sedang dinegara
berkembang bisa >10%. Angka kematian tergantung pada umur anak,
kondisi kesehatan sebelum sakit, serotipe salmonela dan komplikasi yang
terjadi (Widagdo, 2010).

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Murdani, Jeffri Gunawan. Dispepsia. 2012;39(9) : 647-651

Hardiono, D. Pusponegoro., dkk. Standar Kesehatan Medis Kesehatan Anak. Edisi


1. 2004. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

KMK RI, 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

PGI, KSHPI, Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter


pylori.Jakarta (2014): 1-5

Prayitno, 2012. Pendidikan kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak LXIII.

Sumarmo, S. Poorwo., dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, edisi kedua.
2002: Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Aanak FKUI.

Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi Keempat, Jakarta (2014):
591-594

Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. 2010, Sagung
Seto.

27

Anda mungkin juga menyukai