Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 11 TAHUN DENGAN HEMARTHROSIS


HIP JOINT SINISTRA, HEMOFILIA B, GIZI KURANG

Oleh:
Muhammad Fadhly G991903039

Residen Pembimbing:

dr. Hafizh Widi Cahyono dr. Dian Ariningrum, M.Kes, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 11 TAHUN DENGAN HEMARTHROSIS


HIP JOINT SINISTRA, HEMOFILIA B, GIZI KURANG

Oleh:
Muhammad Fadhly G991903039

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal

dr. Dian Ariningrum, M.Kes, Sp.PK

ii
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : An. KR
Umur : 11 tahun
Tanggal lahir : 17 November 2008
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Boyolali
No RM : 0112xxxx
Suku : Jawa
BB : 26 kg
TB : 136 cm
Tanggal Masuk : 10 September 2020
Tanggal Periksa : 11 September 2020

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan tanggal 11
September 2020 di Melati 2 kamar 11E RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.

C. Keluhan utama:
Nyeri panggul kiri

D. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien dating ke poli dengan keluhan nyeri di bagina panggul
kiri, nyeri dirasakan terus menerus, pasien kesulitan berjalan. Nyeri
dirasakan sudah 2 minggu SMRS dan memberat 1 hari SMRS. Pasien
sempat berobat ke poli dan mendapatkan obat, namun keluhan makin

3
dirasakan berat oleh pasien Pasien merupakan penderita hemofilia
yang selama ini rutin control ke poli RSDM untuk mendapatkan
injeksi factor IX, akhir-akhir ini pasien terlambat untuk control, dan
mengeluhkan nyeri pada panggul kiri. Setelah control dan
mendapatkan injeksi factor IX, keluhan masih dirasakan sehingga
pasien di rawat inapkan. Tidak ada keluhan lain seperti demam,
batuk/pilek, mual muntah, diare. BAK dan BAB dalam batas normal.
Pasien makan 3x sehari dengan porsi yang sedikit dengan lauk kurang
beragam, biasanya ikan ikanan.

E. Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat mondok : (+) 3 bulan yang lalu karena
kencing berdarah, dan dirawat
sampai sembuh.
Riwayat alergi/asma : Disangkal

F. Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat sakit serupa : (+) pada kakaknya
Riwayat alergi : Disangkal

G. Riwayat Kehamilan
• Status ibu pasien P2A0. Selama kehamilan tidak pernah sakit. Ini
merupakan kehamilan yang diinginkan, ibu rutin memeriksakan
kehamilannya. USG di bidan dan dokter kandungan, selama
kehamilan tidak ada penyulit seperti demam, keputihan, bengkak-
bengkak, atau perdarahan.
• Kesan kehamilan normal

4
H. Riwayat Persalinan
Pasien anak kedua dari dua bersaudara. Pasien lahir secara
pervaginam. Usia kehamilan 41 minggu. Menangis kuat, gerakan
aktif, tidak sianosis, BBLC (3100 gram), PB 47 cm CB, Kesan
kelahiran normal.
I. Riwayat Sosial Ekonomi
• Pasien berobat dengan menggunakan BPJS kelas 3
• Kesan riwayat sosial ekonomi cukup
J. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hepatitis B
1 bulan : BCG, Polio 1
2 bulan : DPT 1, HB 2, Polio 2
3 bulan : DPT 2, HB 3, Polio 3
4 bulan : DPT 3, Polio 4
9 bulan : campak
18 bulan : campak-2, DPT-4,
Kelas 1 SD :-
Kelas 2 SD :-
K. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan : BB = 26 kg, TB = 136 cm
Perkembangan : pasien sudah bisa duduk, meniru kata, pada usia 6
bulan, pasien sudah bisa berdiri dan berjalan dan
berbicara 2 kata pada usia sekitar 1 tahun.
Kesan pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur
L. Riwayat Nutrisi
• Sebelum sakit pasien makan besar sebanyak 3 kali sehari dengan
nasi, lauk pauk (telur, ikan). Porsi pasien tiap makan sedikit.
Terkadang susah makan. Saat ini nafsu makan pasien berkurang.
• Kesan kualitas kurang kuantitas kurang

5
M. Pengukuran Antropometri

BB = 26 kg
TB = 136 cm
BMI = 14, 05 kg/ m2
BB/U = (=P3) = normoweight
TB/U = P10 – P25 = normoheight
BB/TB = 78 = Gizi Kurang
Kesan nilai antropometri normoweight, normoheight, gizi kesan kurang

6
N. Pohon Keluarga

7
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 11 September 2020 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos
mentis, GCS E4V5M6
2. Tanda vital
• Nadi : 112 kali /menit, reguler, isi kesan
cukup.
• Frekuensi nafas : 22 kali /menit
• Suhu : 36.80 C
• SpO2 : 98%
3. Status gizi
• Berat Badan : 26 kg
• Tinggi Badan : 136 cm
• IMT : 14.06 kg/m2
• Kesan : Underweight
4. Kulit : ikterik (-), turgor (-) normal, hiperpigmentasi (-), kering
(-), teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-),perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata merah (-/-),
lensa keruh (-/-), edema palpebra (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)

8
9. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-
), oral thrush (-), lidah kotor (-).
10. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
• Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
• Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra, ictus cordis tidak kuat angkat
• Perkusi :
Batas Jantung
Kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra
Pinggang : SIC III linea midclavicularis sinistra
Kiri bawah : SIC V 2 jari di medial linea midclavicula sinistra
Kesan : Ukuran jantung kesan tidak melebar
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
- Statis : Simetris

9
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
• Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
• Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
• Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
• Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)

10
13. Abdomen
• Inspeksi : Dinding perut = dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit
• Perkusi : timpani, pekak alih (-)
• Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (-)
14. Ekstremitas :
Akral dingin - - Oedem - -
- - - -

Nyeri tekan di hip joint sinistra, teraba hangat


Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Capillary Refill Time < 2 detik

11
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Darah
Lab Darah (10 September 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 10.7 (↓) g/dl 14 -17.5
Hct 32(↓) % 33 – 45
AL 8.2 103 /  L 4.5 – 14.5
AT 398 103 /  L 150 – 450
AE 4.67 106/  L 3.80 – 5.80
INDEX ERITROSIT
MCV 69.3 (↓) /um 80.0 – 96.0
MCH 22.9 (↓) pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.1 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 16.1 (↑) % 11.6 – 14.6
MPV 8.9 fl 7.2 – 11.1
PDW 16 (↓) % 25 – 65
HITUNG JENIS
Netrofil 75.20 (↑) % 29.00 – 72.00
Limfosit 18.20 (↓) % 33.00 – 48.00
Monosit 6.20 (↑) % 0.00 – 6.00
Eosinophil 0.10 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.30 % 0.00 – 1.00
HEMOSTASIS
AT 13.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 133.0 (↑) detik 20.0 – 40.0
INR 0.930 detik -
LAIN
SARS-Cov-2 (Rapid) Nonreactive Negatif

IV. ASSESSMENT
1. Hemartrosis Hip Joint Sinistra
2. Hemofilia B
3. Gizi Kurang

V. ASSESSMENT LABORATORIS
Pemeriksaan lab darah
Kesan :
- Anemia mikrositik hipokromik,

12
- Neutrofilia relatif
- Limfopenia
- Monositosis
- APTT memanjang

VI. TATALAKSANA
a. Diet nasi lauk 2000 kkal
b. Inf D5 ½ NS 4 ml/jam
c. Inj. Faktor IX 1000 IU/24 jam
d. Inj. Paracetamol (15 mg/kgBB/8 jam) 400 mg/8 jam i.v

VII. PLANNING
• Inj Faktor IX selama 3 hari
• Rontgen Pelvis

VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia ad dubia
3. Ad fungsionam : dubia ad dubia

13
BAB II
ANALISIS KASUS

Seorang anak usia 11 tahun datang ke poli dengan keluhan nyeri di bagian
panggul kiri, nyeri dirasakan terus menerus sampai pasien kesulitan untuk berjalan. Nyeri
dirasakan sudah 2 minggu SMRS dan memberat 1 hari SMRS. Pasien sempat berobat ke
poli dan mendapatkan obat, namun keluhan makin dirasakan berat oleh pasien Pasien
merupakan penderita hemofilia yang selama ini rutin control ke poli RSDM untuk
mendapatkan injeksi factor IX, akhir-akhir ini pasien terlambat untuk control, dan
mengeluhkan nyeri pada panggul kiri. Setelah control dan mendapatkan injeksi factor IX,
keluhan masih dirasakan sehingga pasien di rawat inapkan. Tidak ada keluhan lain seperti
demam, batuk/pilek, mual muntah, diare. BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien
makan 3x sehari dengan porsi yang sedikit dengan lauk kurang beragam, biasanya ikan
ikanan.
Diagnosis Hemofilia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hemofilia adalah suatu gangguan pembekuan darah yang
bersifat herediter dan merupakan penyakit X-linked resesif. Hemofilia disebabkan oleh
kurangnya factor VIII untuk hemofilia A, dan factor IX untuk jenis hemofilia B.
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan bahwa memang pasien sudah
menjalani pengobatan hemofilia sejak usia 2 tahun dengan rutin suntik factor IX di poli
rumah sakit moewardi tiap minggu. Kakak laki-laki pasien juga mengalami hal yang
sama yaitu memiliki penyakit hemofilia dan rutin suntik factor IX di RS Moewardi tiap
minggu. Pasien saat ini datang dengan keluhan nyeri sendi panggul kiri hingga pasien
tidak bisa berjalan. Nyeri sendi panggul dipicu karena pasien terlambat untuk control
suntik factor IX selama 2 minggu. Sehingga keluhan pasien dicurigai adalah komplikasi
dari hemofilia yaitu terjadinya perdarahan pada sendi panggul kiri.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan GCS E4V5M6. BB pasien 26
kg dan TB 136 cm, kesan nilai antropometri normoweight, normoheight, gizi kesan
kurang. Tanda vital didapatkan HR : 112 x/menit, RR 22 x/menit, suhu : 36,7 oC, dan
SpO2 98%. Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis , jantung paru dalam
batas normal, pemeriksaan abdomen supel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepat
maupun lien. Pada ekstremitas ditemukan nyeri tekan pada hip joint sinistra, dan teraba
hangat. Arteri dorsalis pedis teraba kuat, akral dingin (-), capillary refill Time < 2 detik.
Pada pemeriksaan Lab darah (10/9/2020) didapatkan Hb 10.7 g/dL, Hct 32 %, AL 8.2

14
x103/uL, AT 398 x103/uL, AE 4.67 x106/uL, MCV 69.3 /um, MCH 22.9 pg, MCHC 33.1
g/dL, RDW 16.1%, MPV 8.9 fl, PDW 16%, Basofil 0.30%, Neutrofil 75.20%, Eosinofil
0.10%, Limfosit 18.2%, Monosit 6.20%, AT 13,4 detik, APTT 133.0 detik, INR 0.930 %,
SARS-CoV2 (Rapid) : Nonreaktif.
Hasil darah lengkap pasien ditemukan anemia mikrositik hipokromik, Netrofilia
relative, monositosis, limfopenia, dan APTT memanjang. Anemia bisa terjadi karena
adanya perdarahan pada sendi panggul kiri pasien, namun selain itu pasien juga
mengalami gizi yang kurang dan sulit makan, sehingga dalam kasus ini anemia lebih
disebabkan karena adanya low intake pada pasien dan kemungkinan adanya defisiensi zat
besi. Sehingga perlu adanya untuk pemeriksaan lanjutan dengan panel besi. Netrofilia
relative, limfopenia dan monositosis terjadi karena adanya proses inflamasi pada sendi
panggul kiri. Hal ini tidak terlalu mengarah pada suatu proses infeksi karena leukosit
pada pasien yang masih dalam batas normal, ditambah lagi pasien juga tidak mengalami
demam. APTT memanjang pada pasien disebabkan karena terganggunya proses
pembekuan darah oleh karena defisiensi salah satu factor pembekuan, dalam pasien ini
adalah defisiensi factor IX. Hal ini juga menghambat proses hemostasis jalur intrinsic
yang mengakibatkan memanjangnya waktu APTT, sedangkan waktu PT masih dalam
batas normal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien
didapatkan diagnosis hemarthrosis hip joint sinistra, hemofilia B, Anemia mikrositik
hipokromik dan gizi kurang. Sehingga perlu segera dilakukan terapi perdarahan dengan
cara memberikan factor IX untuk menggantikan faktor pembekuan dan evaluasi selama
3 hari. Selain itu juga perlu adanya perbaikan gizi pasien untuk memperbaiki status gizi
dan kondisi anemia yang kemungkinan disebabkan defisiensi zat besi.

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. HEMOFILIA
A. Definisi
Hemofilia adalah penyakit genetik/turunan, merupakan suatu bentuk kelainan
perdarahan yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya dimana protein yang
diperlukan untuk pembekuan darah tidak ada atau jumlahnya sangat sedikit. Penyakit
ini ditandai dengan sulitnya darah untuk membeku secara normal. Apabila penyakit ini
tidak ditanggulangi dengan baik maka akan menyebabkan kelumpuhan, kerusakan
pada persendian hingga cacat dan kematian dini akibat perdarahan yang berlebihan.
Penyakit ini ditandai dengan perdarahan spontan yang berat dan kelainan sendi yang
nyeri dan menahun
B. Klasifikasi
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Hemofilia A, yang dikenal juga dengan nama :
Hemofilia Klasik karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan
faktor pembekuan pada darah, terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII)
yaitu protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan
darah. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak laki-laki yang mewarisi gen
defektif pada kromosom X dari ibunya. Ibu biasanya bersifat heterozigot dan tidak
memperlihatkan gejala. Akan tetapi 25% kasus terjadi akibat mutasi baru pada
kromosom X.
2. Hemofilia B, yang dikenal juga dengan nama :
Christmas Disease karena di temukan untuk pertama kalinya oleh seorang bernama
Steven Christmas asal Kanada. Hemofilia B terjadi karena kekurangan faktor 9
(Factor IX) yaitu protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses
pembekuan darah.
Klasifikasi hemofilia bergantung pada kadar factor VIII atau factor IX dalam
plasma. Pada keadaan normal kadar factor VIII dan factor IX berkisar di antara 50 –
150 U/dl atau 50 – 150%. Diklasifikasikan sebagai hemofilia berat bila kadar factor
VIII atau IX kurang dari 1%, hemofilia sedang bila kadarnya di antara 1 – 5% dan
hemofilia ringan kadarnya di antara 5 – 30%. Pasien dengan hemofilia berat dapat
mengalami perdarahan spontan atau akibat trauma ringan. Pada hemofilia sedang

16
biasanya perdarahan terjadi karena trauma yang lebih berat, sedangkan pada hemofilia
ringan dapat tidak terdeteksi untuk beberapa waktu sampai pasien mengalami
Tindakan operasi ringan seperti cabut gigi atau sirkumsisi.
C. Anatomi Fisiologi
1. Ciri-Ciri Fisik dan Kimia dari Trombosit
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2 sampai 4
mikrometer. Trombosit dibentuk di sumsum tulang dari megakarosit, yaitu sel yang
sangat besar dalam susunan hemopoetik dalam sumsum tulang yang memecah
menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah,
khususnya ketika mencoba untuk memasuki kapiler paru. Megakariosit tidak
meninggalkan sumsum tulang untuk memasuki darah. Konsentrasi normal
trombosit dalam darah ialah antara150.000 dan 350.000 per mikroliter.
Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel,
walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Didalam
sitoplasmanya terdapat faktor-faktor aktif seperti :
1) Molekul aktin dan miosin, sama seperti yang terdapat dalam sel-sel otot, juga
protein kontraktil lainnya, yaitu tromboplastin, yang dapat menyebabkan
trombosit berkontraksi.
2) Sisa-sisa retikulum endoplasma dan aparatus golgi yang mensintesis berbagai
enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium.
3) Mitokondria dan sistem enzim yang mamapu membentuk adenosin trifosfat
dan adenosin difosfat.
4) Sistem enzim yang mensintesis protaglandin, yang merupakan hormon
setempat yang menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan reaksi
jaringan setempat lainnya.
5) Suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin.
6) Faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan
sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, fibroblas, sehingga
dapat menimbulkan pertumbuhan sel-sel untuk memperbaiki dinding
pembuluh darah yang rusak.
Membran sel trombosit juga penting. Dipermukaannya terdapat lapisan
glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada
endotel normal dan justru melekat pada daerah dinding pembuluh yang luka
2. Fisiologi Pembekuan Darah

17
Ketika pembuluh darah mengalami kerusakan atau terputus, darah akan
terpapar dengan molekul yang memicu proses hemostasis atau pembekuan,
mengakibatkan terbentuknya bekuan stabil yang mencegah kematian karena
perdarahan. Pada saat yang sama, proses yang akhirnya memecah bekuan juga
dimulai dan penyembuhan dimulai. Mekanisme antikoagulan yang rumit pun
teraktivasi dan mencegah bekuan pergi dari daerah kerusakan, sehingga mencegah
sumbatan aliran darah di pembuluh darah lain. Proses hemostasis akan bermanfaat
jika dibedakan menjadi hemostasis primer dan sekunder, meskipun kenyataannya
kedua proses tersebut dimulai dan berjalan kurang lebih secara simultan.
a. Hemostasis primer – trombosit
Putusnya pembuluh darah menyebabkan dinding pembuluh darah
memaparkan kolagen dan elemen lain dari matriks ekstraseluler ke tempat
plasma, factor von Willebrand (VWF) dan trombosit akan terikat, suatu proses
yang dipermudah dengan adanya gaya gesekan (shear stress) dalam aliran
darah. VWF yang terikat dengan kolagen akan memfasilitasi lebih banyak
trombosit lain untuk terikat. Selama proses pengikatan ini, trombosit
teraktivasi, melepaskan adenosin difosfat (ADP), tromboxan A2 dan VWF
sehingga trombosit tambahan lain juga tertangkap dan teraktivasi. Hasil
akhirnya adalah terbentuk sumbat trombosit primer yang akan menghentikan
kehilangan darah lebih lanjut.
b. Hemostasis sekunder – koagulasi
Darah yang melewati lokasi kerusakan pembuluh darah terpapar dengan
factor jaringan yang diekspresi dalam jumlah besar oleh sel-sel disekitar
dinding pembuluh darah, membentuk apa yang disebut sebagai ‘selubung
hemostasis’. Factor jaringan ini berikatan dengan factor VII di plasma,
membentuk suatu kompleks aktivasi dan memicu koagulasi darah. Proses ini
disebut ‘jalur ekstrinsik’ karena factor jaringan dianggap ekstrinsik terhadap
darah. Jalur ekstrinsik merupakan jalur fisiologis untuk aktivasi pembekuan
darah in vivo.

18
Gambar 1. Langkah pertama koagulasi in vivo

Gambar 2. Peningkatan koagulasi in vivo yang dipicu oleh thrombin (panah merah) dan oleh
trombosit teraktivasi (panah hijau). Tampak factor XII tidak berperan dalam koagulasi in vivo.

Kompleks factor jaringan dengan factor VII mengubah factor X menjadi


bentuk aktif (Xa) melalui pemecahan proteolitik dan Xa kini mampu
mengubah sejumlah kecil prothrombin (factor II) menjadi thrombin, lagi oleh
pemecahan proteolitik. Kerja paling penting dari thrombin adalah
mengaktivasi dua ko-faktor, yaitu factor V dan factor VIII menjadi bentuk
aktif. Factor Va dan VIIIa bukan suatu enzim, tetapi secara bermakna dapat
meningkatkan aktiviatas enzim dari factor IXa (juga diaktivasi oleh kompleks

19
factor jaringan – factor VII) dan factor Xa kira-kira lima kali lipat. Hasilnya
adalah amplifikasi besar-besaran stimulus awal dan lonjakan pembentukan
thrombin. Fase akhir adalah thrombin menginduksi pemecahan fibrinopeptide
A dan B dari fibrinogen membentuk fibrin monomer. Monomer-monomer ini
membentuk dimers dan kemudian polimer. Proses ini dilengkapi oleh aktivasi
factor XIII oleh thrombin yang membentuk jalinan fibrin monomer menjadi
bekuan yang stabil. Fibrinogen larut kemudian diubah menjadi fibrin stabil
yang tidak larut. Fibrin mengikat dan menstabilkan sumbat trombosit, yang
cenderung untuk tidak mengalami pemisahan lagi sehingga akhirnya terbentuk
sumbat yang kokoh dan tidak larut yang terdiri dari fibrin, trombosit, dan sel
darah lain.
Sebagian besar factor koagulasi disintesis oleh hepatosit, kecuali VWF,
yang disintesis oleh sel-sel endotel dan megakariosit.
c. Koagulasi In Vitro
Darah yang keluar dari tubuh akan membentuk bekuan. Koagulasi
diawali dengan kontak dengan berbagai permukaan bermuatan negative
termasuk kaca. Jalur ini, dengan cara yang disebut ‘aktivasi kontak’, dikenal
dengan jalur intrinsic karena jalur ini tampaknya merupakan kemampuan
intrinsic darah. Jalur kontak memanfaatkan factor XII (dan juga prekalikrein
dan kininogen berat molekul besar), tetapi ini bukan jalur yang penting untuk
koagulasi in vivo dan defisiensi factor ini tidak menyebabkan peningkatan
kecenderungan mengalami pendarahan.
Untuk memahami pemeriksaan laboratorium koagulasi dibutuhkan
pengetahuan mengenai jalur intrinsic dan ekstrinsik yang berlangsung in vitro.
Hal ini agak berbeda dengan interaksi kompleks yang terjadi in vivo, dua jalur
tersebut memiliki akhir yang sama.

20
Gambar 3. Koagulasi darah in vitro. System intrinsic dan ekstrinsik dipahami sebagai dua hal
berbeda. Akan terlihat bahwa in vitro factor XII memiliki peran penting pada aktivasi kontak dan
pada jalur intrinsic.
D. Patofisiologi
1. Darah mengandung:
a. Plasma Darah
b. Darah Beku :
- Eritrosit
- Leukosit
- Trombosit
Disini trombosit mengalami gangguan yang tidak bisa menghasilkan factor VIII
(AHF) yang menyebabkan darah sukar membeku.
2. Patogenesis
Trombosit tidak dapat menghasilkan AHF (Anti Hemophiliac Faktor).
Sehingga AHF darah kurang dari standart AHF ini berfungsi menunjang stabilisasi
fibris usntuk mengadakan pembekuan karena AHF kurang dari normal, sehingga
darah sukar terjadi pembekuan.
E. Etiologi
Trombosit tidak bisa membuat factor VIII (AHF).
Faktor Penunjang:
1. Adanya anak perempuan dari seorang pria penderita hemophilia menjadi seorang
karier.
2. Kemungkinan 50% anak lelaki dari keturunan anak wanita yang menjadi karier
hemofilia.

21
3. Anak yang dilahirkan dari ayah yang menderita hemophilia dan ibu yang
menderita karier hemofilia.
4. Hemofilia paling banyak di derita hanya pada pria. Wanita akan benar-benar
mengalami hemofilia jika ayahnya adalah seorang hemofilia dan ibunya adalah
pemabawa sifat (carrier). Dan ini sangat jarang terjadi. (Lihat penurunan
Hemofilia).
5. Sebagai penyakit yang di turunkan, orang akan terkena hemofilia sejak ia
dilahirkan, akan tetapi pada kenyataannya hemofilia selalu terditeksi di tahun
pertama kelahirannya.
6. Penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau
faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat
mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan
terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
7. Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan dibandingkan
hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu
berat, seperti olah raga yang berlebihan.
8. Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan. Mereka
mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi,
cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia ringan mungkin
akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi.
F. Gejala Hemofilia
Gejala yang mudah dikenali adalah bila terjadi luka yang menyebabkan sobeknya
kulit permukaan tubuh, maka darah akan terus mengalir dan memerlukan waktu
berhari-hari untuk membeku. Bila luka terjadi di bawah kulit karena terbentur, maka
akan timbul memar/ lebam kebiruan disertai rasa nyeri yang hebat pada bagian
tersebut. Perdarahan yang berulang-ulang pada persendian akan menyebabkan
kerusakan pada sendi sehingga pergerakan jadi terbatas (kaku), selain itu terjadi pula
kelemahan pada otot di sekitar sendi tersebut.
Gejala akut yang dialami penderita Hemofilia adalah sulit menghentikan
perdarahan, kaku sendi, tubuh membengkak, muncul rasa panas dan nyeri pasca
perdarahan, Sedangkan pada gejala kronis, penderita mengalami kerusakan jaringan
persendian permanen akibat peradangan parah, perubahan bentuk sendi dan
pergeseran sendi, penyusutan otot sekitar sendi hingga penurunan kemampuan
motorik penderita dan gejala lainnya. Hemofilia dapat membahayakan jiwa

22
penderitanya jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh yang vital seperti
perdarahan pada otak, akibatnya adalah :
1. Apabila terjadi benturan pada tubuh akan mengakibatkan kebiru-biruan
(pendarahan dibawah kulit).
2. Apabila terjadi pendarahan di kulit luar maka pendarahan tidak dapat berhenti.
3. Pendarahan dalam kulit sering terjadi pada persendian seperti siku tangan, lutut
kaki sehingga mengakibatkan rasa nyeri yang hebat.
G. Tingkatan Hemofilia
Hemofilia A dan B dapat di golongkan dalam 3 tingkatan, yaitu :

Penderita hemofilia parah/berat yang hanya memiliki kadar faktor VIII atau
faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di dalam darahnya, dapat mengalami
beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang - kadang perdarahan terjadi begitu
saja tanpa sebab yang jelas.
Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami perdarahan dibandingkan
hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat,
seperti olah raga yang berlebihan.
Penderita hemofilia ringan lebih jarang mengalami perdarahan. Mereka
mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut
gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita hemofilia ringan mungkin akan
pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami menstruasi
H. Komplikasi
Komplikasi terpenting yang timbul pada hemofilia A dan B adalah:
1. Timbulnya inhibitor.
Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat konsentrat faktor VIII
atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya. Inhibitor adalah cara
tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya sebagai benda asing yang masuk . Hal
ini berarti segera setelah konsentrat faktor diberikan tubuh akan melawan dan akan
menghilangkannya.
2. Kerusakan sendi akibat perdarahan berulang.
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan berulang di
dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan yang menetap dapat disebabkan oleh

23
satu kali perdarahan yang berat (hemarthrosis). Namun secara normal, kerusakan
merupakan akibat dari perdarahan berulang ulang pada sendi yang sama selama
beberapa tahun. Makin sering perdarahan dan makin banyak perdarahan makin
besar kerusakan. Kerusakan sendi pada hemofilia biasa sebagai "artropati
hemofilia".

Gambar 4. Normal joint and Arthritic joint

Infeksi yang ditularkan oleh darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C
yang ditularkan melalui konsentrat faktor pada waktu sebelumnya.
Dalam 20 tahun terakhir, komplikasi hemofilia yang paling serius adalah
infeksi yang ditularkan oleh darah. Di seluruh dunia banyak penderita hemofilia
yang tertular HIV, hepatitis B dan hepatitis C. Mereka terkena infeksi ini dari
plasma, cryopresipitat dan khususnya dari konsentrat factor yang dianggap akan
membuat hidup mereka normal.

I. Pengobatan
Bagi mereka yang memiliki gejala-gejala seperti di atas, disarankan segera
melakukan tes darah untuk mendapat kepastian penyakit dan pengobatannya.
Pemberian transfusi rutin berupa kriopresipitat-AHF atau Recombinant Factor VIII
untuk penderita Hemofilia A dan plasma beku segar untuk penderita hemofilia B.
Terapi lainnya adalah pemberian obat melalui injeksi. Baik obat maupun transfusi
harus diberikan pada penderita secara rutin setiap 7-10 hari. Tanpa pengobatan yang
baik, hanya sedikit penderita yang mampu bertahan hingga usia dewasa. Karena itulah
kebanyakan penderita hemofilia meninggal dunia pada usia dini.
Bila terjadi pendarahan/ luka pada penderita Hemofilia pengobatan definitif yang
bisa dilakukan adalah dengan metode RICE, yaitu :
1. Rest.

24
Penderita harus senantiasa beristirahat, jangan banyak melakukan kegiatan yang
sifatnya kontak fisik.
2. Ice.
Jika terjadi luka segera perdarahan itu dibekukan dengan mengkompresnya
dengan es.
3. Compression.
Dalam hal ini, luka itu juga harus dibebat atau dibalut dengan perban.
4. Elevation.
Berbaring dan meninggikan luka tersebut lebih tinggi dari posisi jantung.
Ada dua cara pengobatan Hemofilia, pertama, terapi on demand yaitu terapi saat
terjadi perdarahan menggunakan infus produk untuk menggantikan faktor pembekuan.
Sedangkan yang kedua profilaksis adalah infus faktor ke delapan secara rutin untuk
mempertahankan kadar minimum faktor VIII/IX dengan kadar konsentrasi untuk
mencegah sebagian besar perdarahan.

II. ANEMIA
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (Bakta, 2009).
B. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta,2009).
C. Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO:
1. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
2. Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
3. Wanita hamil Hb < 11 gr/dl
D. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

25
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoietik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Anemia akibat perdarahan
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
1. Anemia hipokromik mikrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab
anemia ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik
pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai
dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada

26
anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan
ukuran eritrosit. Contoh anemia dengan morfologi ini adalah:
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %).
Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam
folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia)
a. Bentuk megaloblastic
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

E. Diagnosis anemia
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal
ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia.
1. Menentukan adanya anemia

27
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4. Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Kumar,vinay (2003). Robbins basic pathology. elsevier inc. ISBN 978-979-448-


843-0.

Underwood JCE. General and Systemic Pathology. 4th ed. USA: Elsevier; 2004.

Brenner BM, Lazarus JM (2000). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3

Edisi 13. Jakarta: EGC, pp: 1435-1443.

Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta : ECG

Gatot Djajadiman, Moeslichan S (2006). Buku Ajar Hematologi – Onkologi

Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

IDAI (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :

Badan Penerbit IDAI.

Jane Bain, Barbara (2010). Haematology : A Core Curriculum. United Kingdom :

Imperial College Press.

29

Anda mungkin juga menyukai