Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus Demam Tifoid

Laporan Kasus Sindrom Nefrotik


pada anak usia 9 tahun

PEMBIMBING

dr. Ratna Sari Barus, Sp.A

DISUSUN OLEH

dr. Roni AJ Simanjuntak

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JARAGA SASAMEH
BUNTOK, KABUPATEN BARITO SELATAN
PERIODE 15 NOVEMBER 2020 – 15 AGUSTUS 2021

1
Presentasi Kasus Demam Tifoid

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal masuk RS SM : 03 Desember 2020

RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : Kedua mata bengkak, Kaki bengkak, dan perut
buncit

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluhan kedua mata bengkak, kaki bengkak, dan
perut membesar sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. An. Juga kadang
mengeluh sesak napas, mual, muntah, pilek tanpa batuk.
Pasien juga mengeluhkan BAK terakhir 2 hari SMRS. Muntah 2x
SMRS berisi sisa makanan.
4 tahun yang lalu pasien pernah mengalami hal serupa dan di rawat di
RSUD Ulin Banjarmasin namun tidak pernah kontrol. Di keluarga dan
lingkungan keluarga pasien tidak ada yang menderita mengalami sakit
serupa. Riwayat sering jajan diluar rumah, dan riwayat makan tidak teratur

RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA


 Tidak ada riwayat alergi
 Tidak ada riwayat asma
 Tidak ada riwayat kejang

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


A. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pasien dikandung cukup bulan dan sesuai masa kehamilan. Ibu pasien
memeriksakan kehamilannya secara teratur selama hamil. Ibu pasien
tidak memiliki keluhan yang berarti. Pasien dilahirkan di klinik di Bantu
oleh bidan. Lahir spontan, langsung menangis, pergerakan aktif dan tidak
ada cacat fisik maupun trauma lahir.
Kesan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik.

B. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan


Riwayat Pertumbuhan

2
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Menurut ibu pasien pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien
terus meningkat sampai sekarang. Penimbangan berat dan panjang badan
dilakukan rutin setiap bulan di posyandu. KMS pasien sudah hilang.
Riwayat Perkembangan
 Mengangkat kepala : 4 bulan
 Tengkurap dan berbalik : 6 bulan
 Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Merangkak : 9 bulan
 Berdiri sendiri : 10 bulan
 Berjalan : 11 bulan
 Berbicara : 12 bulan
Kesan: Riwayat tumbuh kembang baik

C. Riwayat Imunisasi Dasar


 Hepatitis B : 3 kali
 BCG : 1 kali
 DPT : 3 kali
 Polio : 4 kali
 Campak : 1 kali
Kesan: Riwayat imunisasi dasar baik

D. Riwayat Makanan
0 - 6 bulan : ASI eksklusif
6 - 12 bulan : ASI ditambah MPASI
13 - sekarang : Makan biasa nasi padat dengan lauk ikan/daging dan
sayuran, 3 kali sehari, teratur, buah-buahan sekali
sehari. Susu kaleng atau kemasan.

E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Penyakit Umur Penyakit Umur
Diare - Darah -
Otitis - Difteri -
Radang paru - Morbili -
Tuberkulosis - Parotitis -
Kejang - Demam berdarah -

3
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Ginjal 5 Demam Typhoid -


Jantung - Operasi -
Cacingan - Kecelakaan -
Alergi - Lain – lain -

RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA


Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit tertentu.
Sekarang tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 04 Desember 2020

PEMERIKSAAN UMUM
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda vital :
 Frekuensi nadi : 110x / menit
 Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
 Frekuensi napas : 23x / menit
 Suhu tubuh : 36,6 C

DATA ANTROPOMETRI
 Berat badan : 29 kg
 Tinggi badan : 135 cm
 BB/U : 92%
 TB/U : 104%
 BB/TB : 85%

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
 Bentuk dan ukuran : normocephal
 Rambut dan kulit kepala : hitam terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut
 Mata : palpebra superior edema, mata tidak
cekung, konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak anemis, pupil bulat isokor, diameter
3mm, refleks cahaya +/+

4
Presentasi Kasus Demam Tifoid

 Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, tidak


ada sekret
 Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi,
tidak ada sekret, tidak ada pernapasan
cuping hidung
 Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak
ada sianosis, tidak keluar darah dari mulut,
 Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1 tenang
 Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak
teraba, kelenjar submandibula, supra-infra
clavicula dan cervical tidak teraba

THORAX
 Paru
- Inspeksi : pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi intercostae dan
suprasternal
- Palpasi : stem fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama
kuat
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru batas paru-hepar di ICS
VI MCL dektra
- Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, menjauh, ronkhi +/+
minimal , wheezing -/-

 Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga V midklavikula kiri
- Perkusi : redup, batas jantung kiri : sela iga V linea
midclavicula sinistra
kanan : parasternal
atas : sela iga II linea parasternal
sinistra
- Auskultasi : BJ I dan II murni, murmur (-), Gallop (-)

ABDOMEN
- Inspeksi : tampak cembung

5
Presentasi Kasus Demam Tifoid

- Palpasi : hepar tidak teraba, konsistensi kencang, nyeri tekan


abdomen (+), lien tidak teraba, defans muskular (-),
undulasi (+)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (+), meteorismus (+)
- Auskultasi : bising usus (+) suara kecil

GENITALIA : ♀, bentuk normal, scrotum edema (+/+)

ANUS REKTUM : tidak tampak kelainan dari luar

EKSTREMITAS : akral hangat, tidak sianosis, edema (+/+), tidak


ada deformitas

KULIT : turgor baik, petechiae (-)

KGB : submandibula, cervical, supra-infra clavicula,


axilla, inguinal tidak teraba

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

 Refleks Fisiologis
Tendon achilles : +/+, normal
Lutut : +/+, normal
Biceps : +/+, normal
Triceps : +/+, normal
 Refleks Patologis
Babinski : -/-, normal
Chaddock : -/-, normal
Oppenheim : -/-, normal
Gordon : -/-, normal

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 03 Desember 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi
Hemoglobin 14,1 gr% 11,7-15,5
Hematokrit 40,1 vol% 35-47
Trombosit 346.000/μl 150.000-440.000

6
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Leukosit 8.100/μl 3.600-11.000


Gula darah sewaktu 108mg/dL

RESUME
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berumur 9 tahun datang ke
RSUD Jaraga Sasameh dengan keluhan kedua kelopak mata dan kaki
bengkak sejak 7 hari SMRS. Pasien juga menderita mual dan sempat muntah
1x cair berisi sisa makanan kira-kira sebanyak 1/2 gelas aqua. Pasien juga
mengeluh jarang BAK sejak 3 hari SMRS. Tidak ada yang menderita
kelainan serupa di keluarga dan lingkungan tetangga. Pasien sering jajan
makanan dan minuman instant di luar rumah.
Pada pemerisaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, tampak sakit
sedang, dengan kesadaran compos mentis.
Tanda vital :
 Frekuensi nadi : 110 x/menit, regular, isi cukup, teraba kuat
 Tekanan darah : 120/80 mm Hg
 Frekuensi napas : 23 x/menit
 Suhu tubuh : 36,6 ºC
Pada pemeriksaan sistematis didapatkan kedua palpebral edema. Cor
dalam batas normal, pulmo ditemukan ronki minimal di kedua lapang paru
dan suara napas mengecil. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri
tekan abdomen(+), meteorismus (+), Bising usus (+) suara mengecil, dan
asites

DIAGNOSA
Sindrom Nefrotik

DIAGNOSA BANDING
- Sindrom Nefrotik relaps
- Sindrom Nefrotik resisten kortikosteroid
- Sindrom Nefrotik idiopatik

PENATALAKSANAAN
 Non medika mentosa
Tirah baring selama ±2 minggu
Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat, rendah
garam

 Medika Mentosa

7
Presentasi Kasus Demam Tifoid

D5 ½ ns : 20 tpm mikro/IV
Cefotaxime : 500mg/12jam/IV
Furosemide : 15mg/12jam/IV
Ranitidine : 25mg/12jam/IV
Sucralfat : 3 x 3cc/po
Prednisone : 3x5mg p.o
Captopril : 2x6,25mg p.o
Kalk : 1x1 tab

ANJURAN PEMERIKSAAN
 Kadar kolesterol
 Albumin
 Urin lengkap
 Pemeriksaan foto thorax

PROGNOSA
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN

Tanggal 05 Desember 2020


S : Bengkak kedua kelopak mata

O : KU: tampak sakit sedang


Kesadaran : CM
Tensi : 120/70 mmHg
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,8°C
Respirasi : 24x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :
Kepala : Normocephal,edema palpebra +,
CA -/- SI -/-, KGB tidak teraba
Thorax : BJ I-II +, regular, ronki (+/+)
minimal
Abdomen : Meteorismus, BU (+), NT (+), asites
+
Extremitas : Akral hangat, edema (+/+)

8
Presentasi Kasus Demam Tifoid

A : Sindroma nefrotik H+2

P : Terapi lanjut

Tanggal 6 Desember 2020


S : Bengkak pada kedua kelopak mata
O : KU: tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 37,2°C
Respirasi : 25x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :
Kepala :Normocephal,CA-/-,SI-/-,edema
palpebral +/+, KGB tidak teraba
Thorax : BJ I-II +, regular. Wh+/+, rk +/+.
Abdomen :Meteorismus berkurang , BU(+),
asites +, NT (-)
Extremitas : Akral hangat, edema +/+

A: Sindroma nefrotik

P: Terapi lanjut

Tanggal 7 Desember 2020


S : edema palpebra berkurang

O : KU : tampak sakit sedang


Kesadaran : CM
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 96x/menit
Suhu : 36,3°C
Respirasi : 24x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :
Kepala : Normocephal, CA -/- SI -/-, edema
palpebral +/+ berkurang, KGB tidak
teraba
Thorax : BJ I-II +, regular
Abdomen : Meteorismus (-), BU (+) normal,
asites +, NT (-)

9
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Extremitas : Akral hangat; Normal ; Oedem +/+

A: Sindrom Nefrotik

P: Terapi lain lanjut

Tanggal 8 Desember 2020


S : Edema palpebra berkurang

O : KU : tampak sakit sedang


Kesadaran : CM
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,5°C
Respirasi : 26x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :
Kepala : Normocephal, CA -/- SI -/-, edema
palpebral +, KGB tidak teraba
Thorax : BJ I-II +, regular
Abdomen : Meteorismus (-), BU (+)
normal,Asites -, NT (-)
Extremitas : Akral hangat, edema -

A: Sindroma nefrotik

P: Terapi lanjut

Tanggal 9 Desember 2020


S : Edema palpebra sudah tidak ada

O : KU : tampak sakit ringan


Kesadaran : CM
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36°C
Respirasi : 24x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :

10
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Kepala : Normocephal, CA -/- SI -/-, edema


palpebral - KGB tidak teraba
Thorax : BJ I-II +, regular
Abdomen : Meteorismus (-), BU (+) normal,
asites -,NT (-)
Extremitas : Akral hangat, edema -

A: Sindroma nefrotik
P: Terapi lanjut

Tanggal 10 Desember 2020


S : Edema palpebra sudah tidak ada

O : KU : tampak sakit ringan


Kesadaran : CM
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36°C
Respirasi : 24x/menit
Pemeriksaan fisik abdomen :
Kepala : Normocephal, CA -/- SI -/-, edema
palpebral - KGB tidak teraba
Thorax : BJ I-II +, regular
Abdomen : Meteorismus (-), BU (+) normal,
asites -,NT (-)
Extremitas : Akral hangat, edema -

A: Sindroma nefrotik
P: Pasien boleh pulang control 2 minggu lagi

ANALISA KASUS
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik
penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5
gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka,
hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Pada pasien ini di tegakkan
diagnosa Sindroma nefrotik. Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:

11
Presentasi Kasus Demam Tifoid

 Pasien edema anasarka sejak 7 hari SMRS


 Pasien jarang BAK
 Pasien sering jajan makanan dan minumam instan di luar rumah, yang
tidak jelas kebersihannya
 Pasien memiliki riwayat menderita hal serupa saat umur 5 tahun
namun tidak rutin berobat.

Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :


 Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum
yang sedang, tanpa gangguan kesadaran
 Pada palpebra pasien di temukan edema, abdomen tampak
cembung, skrotum dan kedua kaki tampak edema

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa sindroma


nefrotik dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (1)darah lengkap, (2)urinalisis
lengkap, (3) kolestrol total
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama
dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses
yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang
sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus
ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap
protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif
proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau ≥ 3,5 g/hari),

12
Presentasi Kasus Demam Tifoid

hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia,


dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia.
Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu
mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Pembatasan
asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena
tidak ada keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan
untuk istirahat dan mobilisasi bertahap, diet rendah protein, dan
melanjutkan terapi hingga 8-12 minggu.

13
Presentasi Kasus Demam Tifoid

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang


ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema,
hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya,
SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan
kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga
menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan
konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta
peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang
mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (4). Kelainan
histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis
membrano-proliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi,
keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi
alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi
ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di
klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum
memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN

14
Presentasi Kasus Demam Tifoid

dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah
terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan
penatalaksanaan SN.[3]

DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3
disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas. [1,2,3]

EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada
orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-
rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN
idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus. [3]
ETIOLOGI

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan


sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik
seperti berikut:

15
Presentasi Kasus Demam Tifoid

A. glomerulonefritis (GN) primer:


- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- GN membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
hodgki, mieloma multiple, dan karsinoma ginjal
iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, captopril
v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan
lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.


Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),
Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN
membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang
sering ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan
misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B,

16
Presentasi Kasus Demam Tifoid

akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit
sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.

Patofisiologi [3,4,8,10,11]

Gambar 1.3
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

17
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid


plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi
efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal.
Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk
menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan
selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang


memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon
katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah
sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom
nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom
nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru
yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air
terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.

18
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan
kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses


yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama,
karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [11]

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik,


disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis,
hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL
(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low
density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi
VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.
Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan
penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas

19
Presentasi Kasus Demam Tifoid

enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai


katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas
LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. [3]

GEJALA KLINIK
Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza,
bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas
dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri
perut.Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis
dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan
sintesis albumin yang meningkat.

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik [3,11]


Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus
ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap
protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif
proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau ≥ 3,5 g/hari),
hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan
tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen
urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB)
dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal).

20
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Gambaran laboratorium [2,3,11]


 Darah : - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)
- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat
 Urin : - Volumenya : normal sampai kurang
-
Berat jenis : normal sampai meningkat
-
Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
-
Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
-
Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak,
oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.
Pemeriksaan urin yang didapatkan [7,10]:

Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau


tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang
berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau
bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya)
didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15
gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini
berlangsung selama edema masih ada.
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik
(dengan pewarnaan Sudan III).
Terdapat leukosit

21
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Pemeriksaan darah yang didapatkan [2,3,11]:


Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin
terbalik.
Hiperkolesterolemia

Komplikasi Sindrom Nefrotik [3,8,11]


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
hemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan
agregasi trombosit.

2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,


staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit
perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya
tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3. Gangguan tubulus renalis

22
Presentasi Kasus Demam Tifoid

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin


disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal.
Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan
menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi
karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus
proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG.
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein
pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli.
7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik
dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria.

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Secara Suportif, Diitetik dan


Medikamentosa Suportif:

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap


penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,

23
Presentasi Kasus Demam Tifoid

mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah


garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral
dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon
dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan.
Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria.
Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan.
Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi
pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum
secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti
klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan
kolesterol HDL. [11]

 Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)


 Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein
disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24
jam.
 Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari.
Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari
makanan yang diasinkan.

24
Presentasi Kasus Demam Tifoid

 Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari


 Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900
sampai 1200 ml/ hari

Medikamentosa: [3,8,11]
 Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi
pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang
seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.

 Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada
pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat
penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada
respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama
pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan
intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus
memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang
dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena
dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,4]

 Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril


untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan
konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki
kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat
meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi
penderita dengan gangguan fungsi ginjal.

25
Presentasi Kasus Demam Tifoid

 Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada


dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami
relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat
diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari
selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-
obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan
hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis
hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang. [1,2,3]

Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic


syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari
selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan
prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset
neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang
relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap
selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah
25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji
klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu
digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak
anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic
syndrome. [1]
[3,4,8,11]
Prognosis Sindrom Nefrotik

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan


segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat

26
Presentasi Kasus Demam Tifoid

mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik


bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan
jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya
dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-
tahun dengan kortikosteroid.

Kelainan minimal (minimal lesion):


Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-
anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.

Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)


Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal
akibat uremia dalam waktu 10-20 tahun.

Glomerulosklerosis fokal segmental


Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
Prognosis buruk

Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)


Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus
yang progresif dan pada sindrom nefrotik.

27
Presentasi Kasus Demam Tifoid

KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis


yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi,
lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer
glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit
tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman
pengobatan rasional sebagian besar pasien SN.

Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar


ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria,
memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website:


Indonesia Kidney Care Club. [cited 2010, Dec 12]. Available:
http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik.


Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009

28
Presentasi Kasus Demam Tifoid

3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan.


Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma.
[cited 2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogen
esis.pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html

4. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology.


Mar 17, 2010. [cited Dec 05, 2010]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

5. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi


Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001

6. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia:


Elsevier saunders. 1996

7. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3 rd edition. New York:


Mcgraw-hill.2001

8. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review].


2008: vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]

9. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In


: Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3 rd
ED. Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-22

10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s

Manual Of Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
11. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549

29
Presentasi Kasus Demam Tifoid

12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed.

US: FA Davis Company; 2007

13. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of

Disease. 5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477

30

Anda mungkin juga menyukai