LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : RS
Kebangsaan : Indonesia
Anak ke :2
Alamat : Ratatotok
B. IDENTITAS ORANGTUA
Usia : 39 tahun
Perkawinan : Pertama
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
1
Usia : 40 tahun
Perkawinan : Pertama
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Ratatotok
C. FAMILY TREE
D. ANAMNESIS
Keluhan utama : kelopak mata dan wajah bengkak sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Pasien datang dengan keluhan utama kelopak mata dan wajah bengkak
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak di tubuh, kaki, dan tangan tidak
ada. Demam disangkal, buang air kecil berwarna kuning jernih, nafsu makan dan
2
minum baik, riwayat batuk atau pilek atau infeksi pada kulit beberapa waktu
Pasien mengalami batuk dan pilek sejak 14 hari sebelum masuk rumah
sakit dan sudah mendapatkan terapi. Pasien juga pernah dirawat di RS selama 2
hari dengan diagnosis parotitis epidemika pada 8 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat buang air kecil berwarna merah disangkal, bengkak di kaki tidak ada,
mual dan muntah tidak ada. Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Budi Setia
Langoan dengan diagnosis suspek GNAPS dan telah diterapi dengan cefixime
E. ANAMNESIS ANTENATAL
kali dan mendapatkan imunisasi tetanus toksoid sebanyak 2 kali. Menurut ibu
pasien, ibu dalam keadaan sehat dan tidak menderita penyakit apapun selama ia
3
- Lain-lain : parotitis epidemika
4
I. IMUNISASI
1 BCG ✔
2 Hepatitis B ✔ ✔ - - -
3 Polio ✔ ✔ ✔ - -
4 DPT ✔ ✔ ✔ - -
5 Campak ✔
J. RIWAYAT KELUARGA
papan, dan berlantai papan. Terdapat 2 buah kamar di dalam rumah. Rumah
dihuni oleh 3 orang, 2 orang dewasa dan 1 orang anak-anak. Kamar mandi dan
WC berada di luar rumah pasien. Sumber penerangan berasal dari PLN. Sumber
air minum berasal dari air sumur. Penanganan sampah di rumah pasien yaitu
dibakar.
L. PEMERIKSAAN FISIK
5
Keadaan umum : tampak sakit
Berat badan : 17 kg
Tanda-tanda vital
Kulit : kulit berwarna sawo matang, tidak tampak pucat, tidak ada
Kepala
6
Rambut : rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak
mudah dicabut.
Mata : tampak edema periorbital , alis dan bulu mata tidak mudah
Mulut : bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, tidak ada
pernapasan.
Leher
Toraks
Pulmo
7
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, fremitus fokal simetris
Cor
Abdomen
Palpasi : lemas, tidak ada distensi, tidak ada asites, hepar tidak
Ekstremitas
8
refleks patologis tidak ada, sensibilitas normal, tidak
Anus : Ada
M. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
05/06/2018
Hematologi
Granulosit 50 – 70 % 50,9
Limfosit 20 – 40 % 40,8
Monosit 1 – 15 % 8,3
Kimia Klinik
9
Trigliserida <200 mg/dL 155
Urea 20 - 40 mg/dL 47
06/06/2018
Urinalisis
SG 1-2 1,015
pH 5-7 5,0
Sedimen Sel/LPB
Epitel + +
10
N. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
O. RESUME MASUK
Laki-laki, usia 6 6/12 tahun, berat badan 17 kg, tinggi badan 111,5 cm masuk
rumah sakit pada tanggal 8 Juni 2018 pukul 03.00 WITA, dengan keluhan utama
bengkak pada wajah dan kelopak mata sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengalami batuk dan pilek sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit dan
sudah mendapatkan terapi. Pasien juga pernah dirawat di RS selama 2 hari dengan
diagnosis parotitis epidemika pada 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
merupakan pasien rujukan dari RS Budi Setia Langoan dengan diagnosis suspek
11
GNAPS dan telah diterapi dengan cefixime 2x100mg dan furosemide 1x20mg
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri tekan
Ekstremitas : akral hangat, CRT kurang dari 2 detik, tidak ada edema pretibia
12
Hematokrit : 28,0% Eritrosit : ++
Limfosit : 40,8%
P. DIAGNOSIS
HIPERTENSI GRADE II
Q. DIAGNOSIS BANDING
SINDROM NEFROTIK
R. TERAPI
- Farmakologi:
· Cefixime 2 x 200mg
· Furosemide 2 x 20mg
- Nonfarmakologi:
13
· Balans cairan setiap 24 jam = insensible water loss (IWL) + jumlah
S. FOLLOW UP
Toraks : simetris, tidak ada retraksi, cor: tidak ada bising, pulmo: suara
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri ketok sudut
Terkontrol
14
P Medikamentosa:
- Cefixime 2 x 200mg
- Furosemide 2 x 20mg
Asuhan Gizi :
gram/hari
Asuhan Keperawatan
Toraks : simetris, tidak ada retraksi, cor: tidak ada bising, pulmo: suara
15
pernapasan bronkovesikuler, tidak ada ronki maupun wheezing
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri ketok sudut
P Medikamentosa:
- Cefixime 2 x 200mg
- Furosemide 2 x 20mg
Asuhan Gizi :
gram/hari
Asuhan Keperawatan
Hasil urinalisis:
Mikroskopis
16
Kimia
Leukosit +3
Protein +3
Darah / Eritrosit +5
Toraks : simetris, tidak ada retraksi, cor: tidak ada bising, pulmo: suara
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri ketok sudut
17
P Medikamentosa:
- Cefixime 2 x 200mg
- Furosemide 2 x 20mg
Asuhan Gizi :
gram/hari
Asuhan Keperawatan
18
THT : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Toraks : simetris, tidak ada retraksi, cor: tidak ada bising, pulmo: suara
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri ketok sudut
P Medikamentosa:
- Cefixime 2 x 200mg
- Furosemide 2 x 20mg
Asuhan Gizi :
- Diet 1530kal/hari
gram/hari
Asuhan Keperawatan
19
S Kencing merah (-) ; Bengkak (-) ; Nyer perut (-)
Toraks : simetris, tidak ada retraksi, cor: tidak ada bising, pulmo: suara
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, tidak ada nyeri ketok sudut
P Medikamentosa:
- Cefixime 2 x 200mg
- Furosemide 2 x 20mg
Asuhan Gizi :
gram/hari
20
muntah, feses, slang nasogastrik, dan lain-lain.
Asuhan Keperawatan
Hematologi
Kimia Klinik
Urea 20 - 40 mg/dL 38
21
BAB II
PEMBAHASAN
22
sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu
pertama. Edema paling sering muncul di daerah periprbital (edema palpebra),
disusul daerah tungkai. Edema biasanya merupakan hasil dari retensi air dan
garam, bahkan sindroma nefrotik bisa ditemukan pada 4-10% kasus, namun sifat
edema pada GNAPS lebih ringan dibandingkan edema yang menjadi karakteristik
sindroma nefrotik12. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah
perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom
nefrotik.
Pada pasien ini tidak didapatkan keluhan kencing berwarna merah. Namun
pada pemeriksaan urinalisis didapatkan eritrosit >50 /LPB. Kencing berwarna
merah seperti cucian daging merupakan salah satu gejala klinis yang paling sering
ditemukan pada GNAPS (30%-70%), yaitu hematuria makroskopis. Deskripsi
lain yang juga sering menjadi keluhan adalah kencing seperti “coca-cola” atau
seperti teh. Deskripsi ini perlu diperhatikan, karena perlu dibedakan antara
hematuria pada GNAPS dengan kencing darah yang lebih berwarna merah segar
yang merupakan temuan pada gangguan anatomis saluran kencing seperti
urolithiasis13. Hematuria mikroskopis dijumpai hampir pada semua kasus.
Hematuria makroskopis biasanya hilang dalam beberapa hari, namun hematuria
mikroskopis bisa bertahan sampai bertahun-tahun dan biasanya dapat
tereksaserbasi pada keadaan seperti demam.11 Pada hematuria mikroskopik yang
menetap lebih dari setahun perlu dilakukan biopsi ginjal.9
Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien mengalami batuk dan
pilek sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit dan sudah mendapatkan terapi.
Pasien juga pernah dirawat di RS selama 2 hari dengan diagnosis parotitis
epidemika pada 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan teori
kepustakaan, GNAPS menunjukkan adanya kejadian pasca infeksi dengan etiologi
berbagai macam bakteri dan virus dengan kuman penyebab tersering ialah
Streptokokus β hemolitikus grup A yang nefritogenik. GNAPS didahului oleh
infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit
(piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada
pioderma.2
23
Pada pemeriksaan penunjang urinalisa didapatkan adanya proteinuria +3.
Keadaan ini sesuai dengan kondisi pada GNAPS yaitu terdapat proteinuria.
Namun secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++,
jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus
dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik.
Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/ m 2 LPB/24 jam, tetapi
pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam.9
Pada pemeriksaan penunjang darah imunoserologi anti streptolisin titer O
(ASTO) ditemukan 480. ASTO merupakan reaksi serologis yang paling sering
diperiksa, karena mudah dititrasi. ASTO meningkat 70-80% pada GNAPS.
Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus
dan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 hingga 5 dan mulai menurun pada
bulan ke-2 hingga 6. ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. ASTO bisa normal atau tidak meningkat akibat
pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO.
Sebaliknya ASTO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena
adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi
terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar
50% kasus menyebabkan ASTO meningkat.3,4,6
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan C3. Komplemen serum
hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses
antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara
sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling
sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis
melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar
C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan
penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala
penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C 3 ini masih rendah, maka hal
ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis
membran proliferatif atau nefritis lupus.3,6
Pada pemeriksaan swab tenggorok pasien tidak ditemukan adanya
pertumbuhan bakteri. Hal ini bisa disebabkan karena pemberian antibiotic di
24
Rumah Sakit sebelumnya (RS Budi Setia Langoan). Menurut kepustakaan, 83%
dari total 47 anak yang masuk dalam penelitian menunjukan hasil negative pada
swab tenggorok 24 jam pasca diberikan antibiotik.13
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tekanan darah pasien meningkat
130/80 mmHg sehingga pasien didiagnosis dengan Hipertensi Grade II. Tekanan
darah pada anak diklasifikasikan berdasarkan National High Blood Pressure
Education Program Working Group on High Blood Pressure Education in
children and adolescents. Tekanan darah normal yaitu tekanan sistolik dan
diastolik di bawah persentil 90. Pra-hipertensi yaitu tekanan darah sistolik atau
diastolik lebih tinggi atau sama dengan persentil 90 tetapi lebih rendah daripada
persentil 95 atau tekanan darah 120/80 mmHg atau lebih pada remaja. Hipertensi
yaitu tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan persentil
95. Hipertensi stadium 1 yaitu tekanan sistolik atau diastolik berada antara
persentil 95 sampai persentil 95+5 mmHg. Hipertensi stadium 2 yaitu tekanan
darah sistolik atau diastolik di atas persentil 99+5 mmHg. Hipertensi merupakan
gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik
yang lain.2,14
Tatalaksana pada pasien ini yaitu istirahat di tempat tidur hingga selesai
fase akut hingga 10-14 hari perawatan bila tidak ditemukan adanya komplikasi.
Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-gejala seperti edema, hematuria,
hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium
menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium
urin maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Selain itu,
pengaturan diet diperlukan untuk mencegah katabolisme dengan memberikan
kalori secukupnya, yaitu 90 kkal/kgbb/hari. Diet garam juga perlu diperhatikan
untuk mengurangi edema. Diet protein dibatasi bila kadar ureum meninggi.
Sedangkan jumlah cairan harus diperhitungkan dengan baik, yaitu jumlah cairan
yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah
urin + b (10 ml/kgbb/hari). Diet garam sebanyak 1 gram/hari, protein sebanyak 1
gram/kgBB/hari, dan asupan cairan berdasarkan perhitungan balans diuresis.2,9
25
Tatalaksana selanjutnya pada GNAPS yaitu pemberian antibiotik yang
sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi
antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus,
sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif
belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi
oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat
periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). ,2,9 Pada pasien ini, diberikan
antibiotik cefixime 2 x 200 mg.
Penanganan simtomatik yang diberikan pada pasien GNAPS yaitu
bendungan sirkulasi, hipertensi, dan gangguan ginjal akut. Hal paling penting
dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata lain asupan
harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema
paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. 2,9 Penanganan hipertensi
sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0.3-2
mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya.2,9,13 Pada kasus ini,
diberikan furosemid 2 x 20mg.
Prognosis pasien ini secara ad vitam, ad functionam, dan ad sanationam
adalah baik karena pasien berespon baik terhadap pengobatan selama perawatan
di RSUP Prof RD Kandou. Edukasi yang diberikan pada pasien pada saat
dipulangkan adalah segera melakukan kontrol ketat di pelayanan kesehatan
terdekat bila mengalami ISPA, anak mengalami bengkak, atau mengalami keluhan
berkemih. Anak juga diedukasi untuk mengonsumsi obat antihipertensi secara
teratur dan melakukan kontrol sesuai jadwal yang sudah diberikan.15-6
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Noer MS, dkk. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2011.
2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede S. Glomerulonefritis. Buku Ajar
Nefrologi. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. Hal. 323-61.
3. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian
children. Paediatrica Indonesiana.2005;45:264-9.
4. Carapetis JR, Steer AC, Mullolans EK, Weber M. The global burden of group
a streptococcal diseases. The Lancet Infectious Diseases. 2005;5:685-94.
5. Kher KK. Acute Glomerular diseases in children. The Open Urology &
Nephrology Journal. 2015;8:104-116.
6. Bhimma R. Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis: Practice Essentials,
Pathophysiology, Epidemiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2016
[cited 7 Juni 2018]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview
7. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam:
Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric
Nephrology, Sixth Completely Review, Updated and Enlarged Edition. Berlin
Heidelberg: SpringerVerlag; 2008; hlm. 743-55.
8. Rivera F, Anaya S, Perez-Alvarez J, de la Niela, Vozmediano MC, Blanco J.
Henoch-Schonlein nephritis associated with streptococcal infection and
persistent hypocomplementemia: a case report. J Med Case Reports.
2010;4(1): 50.
27
9. Rauf S, Husein A, Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. Dalam: UKK Nefrologi. Jakarta: Unit Kerja Nefrologi IDAI;
2012.
10. Hidayani ARE, Umboh A, Gunawan S. Profil glomerulonefritis akut pasca
streptokokus pada anak yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado [Skripsi]. Manado: Universitas Sam
Ratulangi; 2016.
11. Itube BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. In Paediatric
Nephrology. 6th edn, edited by Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yaskikawa N. Springer – Verlag Berlis Heidelberg, Germany, 2009. 743-755
12. Rodriguez- Hurbo B, Batsford S. Pathogenesis of poststreptococcal
glomerulonephritis : a century after clemons von Pirquet. Kidney Int 71,
2007: 1094 -1104.
13. Snellman LW, Stang HJ, Johnson DR. Duration of positive troath cultures for
group A streptococci after initiation of antibiotic therapy. Minnesota:
Pediatrics; 1993
14. Sekarwand N, Rachmadi D, Hilmanto D. Konsensus Tatalaksana Hipertensi
pada Anak. Dalam: UKK Nefrologi. Jakarta: Unit Kerja Nefrologi IDAI;
2011.
15. Qian GL, Huang L, Mao JH, Liu AM. Acute Post-streptococcal
Glomerulonephritis with Normal Range Complement C3 Level: Three Case
Reports. HK J Paediatr. 2014; 19: p. 188-191.
16. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, Gerber MA, Kaplan EL, Lee G, et al.
Clinical practical guideline for the diagnosis and management of group A
streptococcal pharyngitis: 2012 update by the infectious disease society of
america. IDSA Guideline. 2012 September: p. 1-17.
28
Lampiran 1. Kurva Pertumbuhan
29
Lampiran 2.
30
Lampiran 3. Tabel tekanan darah anak laki-laki berdasarkan usia dan persentil
tinggi badan
Dikutip dari The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood
pressure
in children and adolescent
31