Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRESENTASI KASUS

REDUNDANT RECTOSIGMOID COLON

Oleh:
Azizah Hasanatul Fikriyah Lubis
411

Pembimbing:
dr. Nuraini Irma Susanti, SpA (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji atas kehadirat Allah SWT, atas


segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga presentasi kasus
“Redundant Rectosigmoid Colon” ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas selama kepanitraan klinik di Ilmu
Kesehatan Anak di RSUP Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Nuraini Irma Susanti, SpA (K), selaku pembimbing di kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan
bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
khususnya bagi mahasiswa kedokteran.

Jakarta, September 2018

Azizah Hasanatul Fikriyah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2


DAFTAR ISI .................................................................................................. 3
BAB I. ILUSTRASI KASUS.................................................................... 4
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 13
BAB III. ANALISIS KASUS.................................................................... 21
KESIMPULAN........................................................................................ 27
LAMPIRAN............................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 29

3
BAB 1
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Bayi Ny. SM
No Rekam medik : 01575836
Tempat/Tanggal lahir : Bogor, 17 Desember Februari 2017
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Masjid Darul Taqwa, Depok, Jawa Barat
Agama : Islam
Masuk RS : 30/01/2018

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 05 Januari 2018 secara autoanamnesis
dan alloanamnesis di bangsal Teratai RSUP Fatmawati.

Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan perut kembung sejak 1 bulan terakhir
sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang


Keluhan perut membesar dan kembung disertai BAB menyemprot timbul
sejak bayi berusia 1 bulanan. BAB sedikit-sedikit dan sering, warna kuning, cair
dan masih ada ampas. Terdapat keluhan muntah setiap setelah minum ASI,
sehingga intake pasien sulit, pasien minum ASI hanya sedikit. Keluhan ini baru
terjadi pertama kali, tidak ada riwayat perut kembung dan membesar sebelumnya.
Menurut ibu pasien, pasien bisa BAB dalam 24 jam setelah lahir.

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan pasien. Pasien sebelumnya
pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan sesak napas, batuk pilek dan
demam.

Riwayat Penyakit Keluarga

4
Tidak ada keluhan yang sama di keluarga.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak ada penyulit. Pasien
merupakan anak pertama. Ibu pasien tidak pernah mengalami sakit tertentu selama
pasien masih dalam kandungan. Ketika mengandung pasien, Ibu pasien mengaku
jarang melakukan pemeriksaan kehamilannya di bidan maupun dokter spesialis
kandungan, ibu pasien mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
selama kehamilannya selain susu untuk kehamilan.
Pasien lahir caesar karena pecah ketuban dan posisi bayi sungsang. Usia
kehamilan 34 minggu, pasien tidak langsung menangis, tidak kuning dan pucat
saat lahir. Berat badan lahir 1900 gram, panjang badan lahir 43 cm.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut Ibu pasien tumbuh seperti anak seusianya.
Riwayat Pemberian Makanan
Pasien diberi ASI sejak lahir hingga saat ini berusia 2 bulan tanpa diselingi
pemberian susu formula.

Riwayat Imunisasi
Pasien belum mendapatkan imunisasi dasar apapun.

1.3 Pemeriksaan Fisik (5 Januari 2018)


Keadaan umum : Tampak sakit sedang, kontak adekuat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
 Tekanan darah : mmHg
 Frekuensi nadi : x/menit, reguler, isi cukup
 Frekuensi napas : x/menit, irama teratur, kedalaman cukup, tipe
pernapasan torako-abdominal
 Suhu : 36,80 C
Status Gizi
 Berat badan : 3.8 kg
 Tinggi badan : 49 cm

5
 Umur : 2 bulan
 BB/U : -2 > z –score < -1
 PB/U : -3 > z-score < -2
 BB/TB : 1 > z-score < 2
Kesan : Gizi baik, perawakan pendek, normoweight

Status Generalis
Kepala : Normosefal, rambut hitam, persebaran merata,
tidak mudah dicabut
Mata : Tidak terdapat sklera ikteri, konjungtiva anemis
tidak ada, edema palpebra tidak ada, pupil bulat
isokor, refleks cahaya langsung +/+, tidak
langsung +/+, bola mata dapat bergerak ke
segala arah.
Telinga : Normotia, tidak ada sekret
Hidung : Napas cuping hidung tidak ada, deviasi septum
tidak ada, tidak ada sekret, tidak ada darah
Mulut : Bibir tidak sianosis, oral higiene baik, tidak ada
perdarahan gusi
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil tidak membesar
(T1-T1).
Leher : Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
Paru
 Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dada tampak
simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak
retraksi
 Palpasi : Ekspansi dada simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru,
tidak terdapat ronki dan tidak terdapat wheezing

6
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga 5, pada 1 jari
medial linea midklavikula sinistra
 Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis kanan, batas
jantung kiri 1 jari medial linea midklavikula
sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, tidak ada murmur
dan gallop
Abdomen
 Inspeksi : Tampak buncit
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak
teraba
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Anogenitalia : Genitalia perempuan normal, tidak ada
perbesaran KGB di sekitar genitalia, tidak
terdapat sekret yang keluar dari orifisium uretra
externa
Ekstremitas : Tidak terdapat deformitas, tidak ada paresis,
tidak ada edema di keempat ekstremitas,
tidak ada sianosis, akral hangat, capillary refill
time <2 detik.
Kulit : Tidak terdapat ikterik dan sianosis

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1.4.1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Nilai rujukan 06/02/18
Darah lengkap
Hemoglobin 11.8-15.0 g/dl 9.8

7
Hematokrit 33-45 % 30
Lekosit 4.5-13.5 ribu/ul 7.8
Trombosit 181-521 ribu/ul 425
Eritrosit 4.4-5.9 juta/ul 3.31
VER 80-100 fl 91.4
HER 26-34 pg 29.5
KHER 32-36 g/dl 32.3
RDW 11.5-14.5% 16.0
Glukosa darah
GDS 60-100 mg/dl 87
Elektrolit
Natrium 135-147 mmol/l 136
Kalium 3.3-5.1 mmol/l 4.9
Clorida 95-108 mmol/l 105

1.4.2. Colon Inloop. Dilakukan pada 01/02/2018.


Foto pra-prosedur:
Preperitoneal fat line baik
Psoas line dan kontur ginjal tertutup bayangan usus
Tak tampak dilatasi maupun penebalan dinding usus
Lengkung usus besar tampak berkelok-kelok
Distribusi udara usus tampak mencapai distal

Kontras dimasukkan kedalam kateter folley, tampak kontras lancer mengisi


rectum, kolon sigmoid, kolon desenden, dan sebagian kolon transversum
Tidak tampak zona transisional pada pada rectum
Rasio rektosigmoid 0.89
Rektum, kolon sigmoid, kolon desenden, dan sebagian kolon transversum
mukosa licin, dinding regular, tidak tampak filling defect maupun additional
shadow

Foto 24 jam pasca prosedur:


Tidak tampak retensi kontras

Kesan :

8
 Redundant rectosigmoid colon

1.5 Diagnosis Kerja


Redundant rectosigmoid colon

1.6 Penatalaksanaan
1.6.1. Medikamentosa
 IVFD Kaen IB 2000cc/24jam, 20 tetes/menit, makro
 Domperidon 3x10 mg po
 Asam Ursodeoksikolat 3x250 mg po
 Vitamin E 2x200 mg po
1.6.2. Nonmedikamentosa
 Bedrest, diet rendah lemak
 Menjaga higienitas diri, makanan-minuman, dan lingkungan

1.7 Prognosis
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : bonam
 Ad sanationam : bonam

FOLLOW UP

5 September 2107 (perawatan H.2) 6 September 2017 (perawatan H.3) 7 September 2017 (perawatan H.4)
S Pasien mengeluh masih lemas, mata Os masih mengeluh kuning pada mata. Os masih kuning pada mata, mual
masih kuning, muntah ada 2 kali, berisi Muntah tidak ada. Perasaan lemas muntah tidak ada, demam tidak ada,
cairan, tidak ada darah. BAK keruh masih dirasakan. BAK masih keruh. BAK warnanya sudah tidak sekeruh
seperti teh. BAB hari ini belum. BAB 1 kali, berwarna kuning pucat, seperti kemarin, nafsu makan sudah
Demam tidak ada. Nyeri uluhati ada konsistensi lunak. Demam tidak ada. membaik.
sedikit, hilang tiimbul. Makan tidak Nyeri ulu hati berkurang. Pasien puasa,
habis. rencana USG Abdomen hari ini.
O KU: tampak sakit sedang, KU: tampak sakit sedang, KU: tampak sakit sedang,
Kesadaran: compos mentis Kesadaran: compos mentis Kesadaran: compos mentis
TD: 100/70 mmHg, TD: 110/70 mmHg, TD: 110/80 mmHg,
HR: 63x/menit, HR: 66x/menit, HR: 71x/menit,
RR: 20x/menit, RR: 20x/menit, RR: 21x/menit,
T: 36,5°C T: 35,7°C T: 36,2°C
BB: 40 kg, TB: 158 cm BB: 40 kg, TB: 158 cm BB: 40 kg, TB: 158 cm

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik +/+ ikterik +/+ ikterik +/+
Paru : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, Paru : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, Paru : suara napas vesikuler, ronkhi -/-,
wheezing -/- wheezing -/- wheezing -/-

9
Jantung : BJ I-II regular, murmur -, Jantung : BJ I-II regular, murmur -, Jantung : BJ I-II regular, murmur -,
gallop – gallop – gallop –
Abdomen : datar, supel, BU + normal, Abdomen : datar, supel, BU + normal, Abdomen : datar, supel, BU + normal,
nyeri tekan epigastrium (+), hepar nyeri tekan epigastrium (+), hepar nyeri tekan epigastrium (-), hepar
lien tidak teraba lien tidak teraba lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT < Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT < Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT <
2 detik, edema -/- 2 detik, edema -/- 2 detik, edema -/-
A Hepatitis A Hepatitis A Hepatitis A
P - IVFD Kaen IB 2000cc/24jam, 20 - Terapi teruskan - Terapi teruskan
tetes/menit, makro - Menunggu hasil USG Abdomen - Besok rencana periksa laboratorium
- Ranitidin 2x50mg iv
- Domperidon 3x10 mg po
- Asam Ursodeoksikolat 3x250 mg
po
- Vitamin E 2x200 mg po
- Besok rencana USG Abdomen

8 September 2107 (perawatan H.5) 9 September 2017 (perawatan H.6)


S Mata masih kuning, mual muntah tidak Mata masih kuning, mual muntah tidak ada, demam
ada, demam tidak ada, BAK keruh tidak ada, BAK keruh berukurang, BAB 1 kali,
berkurang, BAB 2 kali, berwarna warna pucat, konsistensi lunak. Nafsu makan baik.
kuning pucat, konsistensi lunak. Lemas berkurang. Pasien ingin pulang.
O KU: tampak sakit sedang, KU: tampak sakit sedang,
Kesadaran: compos mentis Kesadaran: compos mentis
TD: 100/60 mmHg, TD: 110/80 mmHg,
HR: 92x/menit, HR: 76x/menit,
RR: 20x/menit, RR: 21x/menit,
T: 36,1°C T: 36,4°C
BB: 40 kg, TB: 158 cm BB: 40 kg, TB: 158 cm

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+
ikterik +/+ Paru : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Paru : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, Jantung : BJ I-II regular, murmur -, gallop –
wheezing -/- Abdomen : datar, supel, BU + normal, nyeri tekan
Jantung : BJ I-II regular, murmur -, epigastrium (+)↓, hepar lien tidak teraba
gallop - Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT < 2 detik,
Abdomen : datar, supel, BU + normal, edema -/-
nyeri tekan epigastrium (+)↓, hepar
lien tidak teraba Hasil lab 8/9:
Ekstremitas : akral hangat +/+, CRT < SGOT/SGPT: 150/748

10
2 detik, edema -/- Bilirubin total: 6,4
Bilirubin direk: 5,3
Bilirubin indirek: 1,1

Urinalisa
Urobilinogen: 0,2 Albumin : (-)
Berat jenis : 1,020 Bilirubin : (+)
Keton : (-) Nitrit : (-)
pH : 6,0 Lekosit : (-)
Darah/Hb : (-) Glukosa urin : (-)
Warna : kuning Kejernihan : jernih
Sedimen urin
Epitel : 1,0/uL Lekosit : 0,3/uL
Eritrosit : 8,6/uL Silinder : (-)
Kristal : (-) Bakteri : 7,7/uL
Lain-lain : (-)
A Hepatitis A Hepatitis A
P - Infus aff - Terapi teruskan
- Ranitidin 2x50mg iv
- Domperidon 3x10 mg po
- Asam Ursodeoksikolat 3x250 mg
po
- Vitamin E 2x200 mg po
- Rencana cek SGOT/SGPT,
Bilirubin total/direk/indirek,
Urinalisa Lengkap

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hepatitis A
2.2.1. Definisi
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati
yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik,
maupun kelainan autoimun. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari
infeksi. Hepatitis A merupakan hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis
A Virus (HAV).

2.2.2. Virologi
HAV adalah virus RNA yang pertama kali diidentifikasi melalui mikroskop
elektron pada tahun 1973, merupakan virus RNA 27-nm nonevelop, termasuk

11
genus Hepatovirus, famili Picornavirus. Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-
3’NTR. HAV bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap empedu
sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat empat genotipe tapi hanya 1
serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme imun yang
diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis
atau persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-
infeksi.
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata
yang dapat menjdadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV
terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang
rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-oral. Virus yang tertekan
bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan
melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang
sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama
feses.

2.2.3. Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika,
Amerika Selatan, Asia Tengah dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir
mencapai 100% pada anak usia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta,
Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun., dan mencapai
lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi
disekitar kampus universitas Gajdah mada yang menyerang lebih dari 500
penderita, yang diduga berasal dari pedangan kaki lima yang berada di sekitar
kampus. Di negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20%
dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.
Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi
hepatitis A, sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih
tua, diikuti konsekuensi timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan
gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan infeksi pada dewasa memberi gejala
yang lebih berat. Walaupun jumlah infeksi pada dewasa berkurang tetapi kasus

12
hepatitis A akut yang manifes maupun berat, dan kadang-kadang fulminan lebih
sering dijumpai.

2.2.4. Patogenesis
HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju
hepatosit, dan melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent
polymerase. Proses replikasi ini terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian
didapatkan bahwa HAV diikat oleh imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa
saluran pencernaan yang bertindak sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit
melalui reseptor asiaglikoprotein pada hepatosit. Selain IgA, fibronectin dan alfa-
2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar, HAV dieliminasi melalui
sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis
maupun laboratorius. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya
dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung
menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenik. Tubuh mengeliminasi
HAV dengan melibatkan proses netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi
oleh interferon, dan apoptosis oleh sel T sitotoksik.

2.2.5. Gejala Klinis


Gejala muncul secara mendadak, panas, mual, muntah, tidak mau maakn,
dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang
dikenali, dan jarang terjadi ikterus. Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi
HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan
menjadi 4 stadium, yaitu:
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari)
2. Masa prodormal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih.
Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual,
muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya
<39ºC), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang
ditemukan biasanya hepatomrgali ringan dengan nyeri tekan.

13
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh,
diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudiaan warna
sklera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu,
mual, dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal
dalam 4 minggu setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar pendertia
sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal
adanya petanda viremia persisten maupun penyakit kronis. Terdapat 5 macam
gejala klinis:
1) Hepatitis A klasik
Penyakit tinbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1
minggu sebelum jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simptomatis
mengalami jenis klasik ini. IgG anti HAV pads bentuk ini mempunyai
aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-
HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah
terjadinya relaps.

2) Hepatitis A relaps
Terjadi pada 4-20% penderita simptomatis. Timbul 6-10 minggu setelah
sebelumnya dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada
umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama
bila sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps.
Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3) Hepatitis A kolestatik
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan
gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan
jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT, dan ALP secara perlahan turun
ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi.
4) Hepatitis A protracted

14
Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi perlahan
sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat
mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal
dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis.
5) Hepatitis A fulminan
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat
menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus,
ensefalopati, dan pemanjangan waktu protrombin. Biasanya terjadi pada
minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua yang
menderita oenyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk
terjadinya bentuk fulminan ini.

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV.
Antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam
waktu 3-6 bulan. Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah
terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade, memberi proteksi terhadap HAV
seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh dan serum
menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan
biasanya hanya dilakukan untuk penelitian.
Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT
dapat mencapai 5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat
beratnya penyakit maupun prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin
mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati
tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis hepatitis A.

15
Gambar 1: Pola respons terhadap infeksi HAV

2.2.7. Pengobatan
Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat
dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau
menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi
13% penderita memerlukan rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi
dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali nilai normal,
koagulopati, dan ensefalopati.
Pengobatan meliputi istorahat, dan pencegahan terhadap bahan
hepatotoksisk, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat
diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu
perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protrombin secara
periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah:
(1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik
(2) umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun
(3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl atau waktu sejak dari ikterus
menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari

2.2.8. Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka
pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan

16
endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih
dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan umum meliputi
nasehat kepada pasien, yaitu: perbaikan higiene makanan-minuman, perbaikan
sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai dengan 2 minggu
sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2
bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin, dan imunisasi aktif
dengan inactivated vaccines.

Imunisasi pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif:
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang
penderita atau keluarganya menderita hepatitis A
3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A
4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan
ke negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu.
Imunoglobulin juga diberikan pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian
sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun.

Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kgBB
untuk perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh
diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines
(measles, mumps, rubella, varicella) sebab imunoglobulin akan menurunkan
imunogenisitas vaksin. Imunogenesitas vaksin HAV tidak terpengaruh oleh
pemberian imunoglobulin yang bersama-sama.

Tabel 1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan

Imunisasi aktif

17
Vaksin yang beredar saat ini Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal
dari inaktivitas dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung
preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan secara
intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah
2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.

Tabel 2. Dosis Havrix yang dianjurkan

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walupun titer
geometrik rata-rata anti-HAV pada Vaqta lebih tinggi. Dalam beberapa studi
klinis kadar 20 mlU/l pada Havrix dan 10 mlU/l pada Vaqta mempunyai nilai
protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99% pada Havrix dan 95%
dan 100% pada Vaqra pada bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan
kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan
kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi.
Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan.
Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah
dilaporkan (sindroma Guillain-Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis),
walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi
yang tidak divaksinasi.
Indikasi imunisasi aktif:
1. Individu yang akan bekerja ke negera lain dengan prevalensi HAV
sedang sampai tinggi.
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau
periodic outbreak.
3. Homoseksual
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun nonijeksi, karena banyak
golongan ini yang mengidap hepatitis C kronis
5. Peneliti HAV

18
6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan
sesudah transplantasi hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis
fulminan meningkat
7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX)

Vaksinasi aktif memberikan kekebalan tehadap infeksi sekunder dari kontak


penderita, maupun pada sat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah
penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah
18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat.
Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang
bersamaan tetapu berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan
perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh
karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan lebih dari 70%
orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang
dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar
antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi
dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.

BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini dengan keluhan utama kuning pada mata

19
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan kuning disertai buang air kecil
berwarna kuning keruh seperti air teh sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Selain itu terdapat keluhan mual dan muntah berupa cairan, muntah sebanyak 1
kali, sekali muntah kira kira setengah gelas belimbing, disertai perasaan lemas dan
kurang nafsu makan. Dari timbulnya jaundice pada pasien maka harus dipikirkan
penyebabnya yang dapat terjadi akibat proses di pre-hepatik, intra-hepatik, dan
post-hepatik.
Penyebab ikterus pre-hepatik adalah hemolisis, perdarahan internal,
sindrom Gilbert, sindrom Crigler-Najjar, sindrom Dubin-Johnson, dan sindrom
Rotor. Semua penyakit tersebut memiliki kesamaan dimana terdapat
hiperbilirubinemia indirek. Penyebab ikterus intra-hepatik adalah hepatitis,
keracunan obat, penyakit hati karena alkohol, dan penyakit hepatitis autoimun.
Penyebab ikterus post-hepatik adalah batu duktus koledokus, kanker pankreas,
striktur pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, dan kolangitis
sklerosing.
Jika dilihat dari gejala-gejala pasien dimana awalnya didapatkan berupa
keluhan demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan demam disertai batuk dan pilek. Dimana ini merupakan gejala
klinis hepatitis pada tahap masa prodormal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu
atau lebih. Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual,
muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya <39ºC),
merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu (flu like symptoms).
Pasien juga mengeluhkan mata tampak menguning disertai buang air kecil
berwarna kuning keruh seperti air teh sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Selain itu terdapat keluhan mual dan muntah berupa cairan, muntah sebanyak 1
kali, sekali muntah kira kira setengah gelas belimbing, disertai perasaan lemas dan
kurang nafsu makan. Dari keluhan tersebut menunjukkan bahwa pasien memiliki
gejala hepatitis fase ikterik, yaitu urin yang berwarna kuning tua, seperti teh,
diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudiaan warna sklera dan
kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual, dan muntah.
Secara umum terdapat 4 tahap gejala klinis yang dibedakan menjadi masa
inkubasi, masa prodromal, fase ikterik, dan fase penyembuhan.

20
Dari analisis faktor risiko, pasien dan Ibu pasien mengaku bahwa pasien
suka jajan sembarangan di sekolahan, dimana pada virus hepatitis A cara
penularanya melalui transmisi fekal-oral dari makanan atau minuman yang telah
terkontaminasi. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya riwayat penyakit
keluarga yang menderita penyakit maupun kelainan pada hati. Walaupun Ibu
pasien pernah mengalami kuning disertai demam pada saat sebelum menikah,
tetapi dikatakan sembuh sendiri dalam beberapa hari dan tidak pernah kambuh
kembali. Pasien juga mengatakan belum pernah menjalani transfusi darah,
menyangkal adanya pemakaian jarum suntik secara bersama. Jika dilihat dari
gejala-gejala riwayat yang terdapat pada pasien ini mengarah ke hepatitis A, dan
diagnosis infeksi virus hepatitis B dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan didapatkan sklera mata
ikterik, dan pada palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan kulit
tampak ikterik. Pada fase ikterik temuan yang paling nyata adalah timbulnya
ikterik yang paling jelas diamati pada sklera mata. Selain pada sklera, ikterik juga
dapat diamati pada kulit, selaput lendir dan langit-langit mulut. Ikterik dan
tubuh yang menguning terjadi sebagai akibat hambatan aliran empedu karena
kerusakan sel parenkim hati. Virus hepatitis akan menyebabkan blokade luas di
duktus-duktus kecil dalam empedu. Obstruksi tersebut menghambat aliran keluar
cairan empedu yang mengandung bilirubin, menyebabkan lemak terakumulasi di
dalam darah dan tidak terekskresi secara normal. Keadaan ini disebut
hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. 
Pembesaran hati dan limpa dapat teraba (pada 67% kasus hepatitis akut)
dan juga bisa tidak teraba (33% kasus). Hepatomegali pada perabaan hati yang
timbul pada pasien dikarenakan virus hepatitis A dapat mempengaruhi fungi liver
ketika melakukan replikasi dalam hepatosit. Sistem imun seseorang kemudian
akan teraktivasi untuk memproduksi sebuah reaksi spesifik untuk mencoba
melawan dan mengeradikasi agen infeksius tersebut. Sebagai konsekuensinya,
liver akan mengalami inflamasi dan membesar. Namun pada pasien ini tidak
dirasakan pada pemeriksaan fisik adanya pembesaran hati. Sehingga dari
pemeriksaan fisik yang ditemukan dapat mendukung diagnosis sementara kearah
hepatitis A.

21
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai SGOT: 1716 U/L,
SGPT: 2070 U/L, bilirubin total: 3,4 mg/dl , bilirubin direk: 2,6 mg/dl, bilirubin
indirek: 0,8 mg/dl, Anti HAV IgM: reaktif. SGOT merupakan singkatan dari
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, disebut juga Aspartate
Aminotransferase (AST), merupakan sebuah enzim yang secara normal berada di
sel hati dan organ lain seperti sel darah merah, ginjal, otot jantung, dan otot
skeletal. SGOT dikeluarkan kedalam darah ketika hati rusak dan level SGOT
darah dihubungkan dengan kerusakan sel hati. Hati dapat dikatakan rusak bila
jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normalnya, seperti
pada hepatitis akibat virus. SGPT yang merupakan singkatan dari Serum Glutamic
Pyruvate Transaminase, atau disebut juga Alanine Transaminase (ALT) adalah
enzim yang terdapat dalam hepatosit.
Ketika sel-sel hati mengalami kerusakan maka ALT akan bocor ke
sirkulasi darah sehingga terdeteksi meningkat levelnya. ALT dapat ditemukan
mengalami kenaikan pada hepatitis akibat virus dan hepatitis yang diinduksi oleh
obat-obatan seperti Paracetamol. Kadar SGOT dan SGPT menunjukkan
peningkatan yang bervariasi selama fase prodromal infeksi hepatitis akut.
Peningkatan nilai enzim ini bervariasi, dari 40 hingga 4000 IU. Level puncak
terjadi pada saat pasien secara klinis ikterik dan menurun secara progresif selama
fase penyembuhan hepatitis akut. Pada infeksi hepatitis, peningkatan kadar SGPT
lebih tinggi dari SGOT, yang nantinya akan kembalil normal setelah 5-20 minggu
kemudian.
Jaundice (ikterik) biasanya terlihat jika serum bilirubin lebih dari 43 µmol
(2,5 mg/ dl). Saat timbul ikterik, serum bilirubin umumnya mengalami
peningkatan di rentang 85-340 µmol (5-20 mg/ dl). Serum bilirubin mungkin akan
terus meningkat meski serum aminotransferase telah menurun. Pada pasien ini,
penurunan bilirubin serum (awalnya dari 3,4 mg/dl pada hari perawatan ke-5
menjadi 6,4 mg/dl), diikuti oleh penurunan level aminotransferase (penurunan
SGPT dari 2070 menjadi 748 U/l, SGOT dari 1716 menjadi 150 U/l).
Metabolisme bilirubin melalui empat langkah  yaitu produksi,
transportasi, konyugasi, dan ekresi. Bilirubin diproduksi dari hasil pemecahan
heme yaitu bagian dari hemoglobin yang nantinya membentuk bilirubin indirek

22
kemudian diikat oleh albumin untuk ditransportasi ke hepar yang
bertanggungjawab atas clearance dari bilirubin melalui proses konjugasi agar
lebih larut air untuk disekresi ke empedu kemudian diekskresi ke lumen usus.
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonyugasi menjadi serangkaian senyawa yang
dinamakan sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna
coklat. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin
direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut
siklus enterohepatis. Sekitar 10% sampai 20% urobilinogen mengalami siklus
enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam kemih. Kadar bilirubin
total akan meningkat ketika ada kelainan pada empat tahap metabolisme tersebut
diantaranya yaitu pada pasien hepatitis.

HbsAg IgM anti-HAV IgM anti-HBc Anti-HCV Interpretasi


+ - + - Hepatitis B akut
+ - - - Hepatitis B kronik
+ + - - Hepatitis A akut dengan hepatitis B kronik
+ + + - Hepatitis A dan B akut
- + - - Hepatitis A akut
- + + - Hepatitis A dan B akut
(HbsAg di bawah nilai treshold)
- - + - Hepatitis B akut
(HbsAg di bawah deteksi treshold)
- - - + Hepatitis C akut

Hasil tes serologi HBsAg dan HCV RNA kuantitatif pada pasien ini
didapatkan hasil yang negatif. Hal ini juga mendukung untuk dapat
menyingkirkan diagnosis infeksi virus hepatitis B dan C. Namun setelah hasil IgM
anti HAV positif, maka dapat tegaklah diagnosis Hepatitis A. Antibodi IgM untuk
virus hepatitis A pada umumnya positif ketika gejala muncul disertai kenaikan
SGPT atau ALT. IgM akan positif selama 3-6 bulan setelah infeksi primer terjadi
dan bertahan hingga 12 bulan dalam 25% pasien. Setelah melewati masa akut,
IgG anti-HAV muncul setelah IgM turun dan biasanya bertahan hingga bertahun-
tahun. Pada awal penyakit, keberadaan IgG anti-HAV selalu disertai dengan
adanya IgM anti-HAV. Sebagai anti-HAV IgG tetap seumur hidup setelah infeksi

23
akut, deteksi IgG anti-HAV saja menunjukkan infeksi yang pernah terjadi pada
masa lalu.
Pencitraan biasanya tidak diindikasikan untuk infeksi virus hepatitis A,
namun ultrasound dapat digunakan untuk membantu menyingkirkan diagnosis
banding, untuk melihat patensi pembuluh darah, dan mengevaluasi apakah ada
penyakit liver kronis. Pada pasien gagal hati fulminant USG penting dilakukan.
Pada pasien ini pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan kesan hepatomegali
ringan ec acute parenkimal liver disease, contracted gall blader, organ lain
normal. Hasil tersebut menyingkirkan penyakit liver kronis, serta menyingkirkan
penyebab ikterus post-hepatik.
Menurut Arief dkk dalam Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi, tidak
ada pengobatan anti virus spesifik untuk HAV. Pasien dirawat inap bila ada
dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, muntah hebat, kadar SGOT-
SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati. Pada pasien ini dirwat
karena adanya mual muntah dan peningkatan kadar SGOT-SGPT >10 kali.
Pengobatan meliputi istirahat (bed rest) dan pencegahan terhadap bahan
hepatotoksik, misalnya asetaminofen.
Tidak ada diet khusus bagi penderita hepatitis A, yang penting adalah
jumlah kalori dan protein adekuat yaitu 1 g/kg protein, 30-35 kal/kgBB. Pada
pasien ini terapi yang diberikan selama masa perawatan bersifat suportif. Hal ini
dikarenakan penyakit bersifat self limited dan seperti yang telah dibahas
sebelumnya, tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis A. Selama perawatan terapi
yang diberikan adalah infus IVFD Kaen IB 2000cc/24jam, cairan ini berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan maintenance harian air dan elektrolit. Pemeberian
antiemetik domperidone 3 x 10 mg po, dan asam ursodeoksikolat 2 x 250 mg po
yang merupakan hepatoprotektor.

Biasanya pemberian antiemetik tidak diperlukan, namun bila muntah


berkepanjangan, pasien dapat diberikan antiemetik. Mual dan muntah dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada saraf pusat maupun perifer, dimana
mual akibat gangguan saraf pusat disebabkan karena adanya gangguan di
chemoreseptor trigger zone (CTZ) baik karena visual maupun akibat bau bauan

24
(aromatik), sedangkan pada kasus hepatitis ini mual dan muntah disebabkan
karena adanya gangguan di saraf perifer akibat adanya gangguan pada saraf
otonom (N.vagus dan saraf simpatis) dan pada sel parietal gaster sehingga terjadi
peningkatan produksi HCL yang bersifat iritatif.
Pemberian domperidon 3 x 10 mg digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah yang diderita pada pasien tersebut, dimana domperidone berkerja dengan
menghambat rangsangan sel parietal gaster untuk mensekresi HCl yang berlebihan
sehingga menghambat terjadinya iritasi pada gaster. Domperidon merupakan
antagonis dopamine yang secara peripheral bekerja selektif pada reseptor D2.
Domperidon mempunyai khasiat yang sama dengan metoklopramid. Namun
karena pada anak metoklopramid sering menimbulkan efek piramidalis, maka
penggunaan metoklopramid tidak diberikan pada anak sedangkan domperidon
tidak menimbulkan efek piramidalis. Dosis yang digunakan pada anak 0,2- 0,4
mg/kgBB/ kali. Pada kasus ini berat badan pasien adalah 40 kg sehingga pasien
membutuhkan 12 mg (0,3 mg x 40 kg = 12 mg). Domperidone mempunyai waktu
paruh 7-9 jam, sehingga dapat diberikan 3 kali pemberian. Bentuk sedian
domperidone tablet 10 mg, sehingga pasien diberikan 3 x 10 mg.
Asam ursodeoksikolat merupakan asam empedu yang secara alami terdapa
pada mamalia, merupakan turunan dari kolestrol. Asam ursodeoksikolat
merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar dari 7
ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam
kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus. Asam ursodeoksikolat bekerja
dengan cara; pertama, pada manusia, asam empedu terutama terdiri dari 38-54%
AKDK, 26-39% asam kolat (AK) dan 16-33% asam deoksikolat; asam
ursodeoksikolat dan asam litokolat (LK) didapatkan hanya dalam jumlah kecil
(0,1-5%). Kecuali asam ursodeoksikolat, semua asam empedu bersifat toksis
terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi hambatan aliran empedu ke
usus, asam empedu tersebut akan merusak hati. Selama pengobatan dengan asam
ursodeoksikolat terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama asam
deoksikolat berkurang.
Kedua, asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel
dengan cara meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan

25
kolangiosit. Asam ursodeoksikolat secara kompetitif akan berikatan dengan
bagian apolar membran tersebut, sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam
empedu toksik dapat dikurangi. Ketiga efek imunomodulator, pada kolestasis
terjadi peningkatan ekspresi major histocompability complex (MHC) kelas I dan II
yang berakibat terjadinya dekstrusi sel oleh limfosit sitotoksik. Asam
ursodeoksikolat bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II tersebut. Dosis
pemberian ssam ursodeoksikolat bervariasi, 10-16 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Bentuk sedian domperidone tablet 250 mg, sehingga pasien diberikan 3 x 250 mg.
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka
pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan
endemisitas tinggi. Pencegahan meliputi nasihat kepada pasien yaitu perbaikan
hygiene makanan dan minuman misal mencuci tangan dengan sabun setelah
buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan; persediaan air publik dan
pembuangan limbah; perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi, pencegahan
khusus dengan imunisasi. Dengan berkembangnya alternatif pengobatan maka
diharapkan prognosis hepatitis menjadi lebih baik. Hepatitis A memberikan
prognosis yang baik, lebih dari 99% dari pasien dengan hepatitis A infeksi
sembuh sendiri.

KESIMPULAN
Pasien pada kasus di atas menderita penyakit hepatitis A yang disebabkan
virus hepatitis A berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit hepatitis A, pengobatan
hanya berupa tirah baring sedangkan terapi yang dilakukan hanya untuk
mengatasi gejala yang ditimbulkan. Hepatitis A dapat dicegah dengan menjaga
higienitas dan melakukan imunisasi. Prognosis penyakit ini baik, lebih dari 99%
dari pasien dengan hepatitis A infeksi sembuh sendiri.
LAMPIRAN
Hasil USG Abdomen tanggal 6 September 2017

26
DAFTAR PUSTAKA

27
1. Yazigi N, Balistreri WF. Viral Hepatitis. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N,
St Geme J, Beherman R. Nelson Textbook of Pediatrics. 2011. Philadelphia:
Elsevier; 2011. p.1393-6.
2. Arief S. Hepatitis Virus. Dalam: Juffrie M, Soenarta SS, Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastrenterologi hepatologi jilid I. Jakarta:
IDAI; 2010. h.285,293.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, et al. Hepatitis Akut. Dalam: Pedoman pelayanan medis ikatan dokter
anak indonesia. Jakarta: ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: IDAI; 2009.
h.98
4. Wijaya I. The Role of Ursodeoxycholic Acid in Acute Viral Hepatitis: an
Evidence-based Case Report. Acta Medica Indonesia vol.47; 2015
5. World Health Organization, 2010. The Global Prevalence of Hepatitis A
Virus Infection and Susceptibility: a Systematic Review. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_IVB_ 10.01_eng.pdf
6. Katzung G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed 10. Jakarta: Penerbit EGC;
2012

28

Anda mungkin juga menyukai