Anda di halaman 1dari 66

Manajemen Kasus

G1P0A0 hamil 43 minggu inpartu kala I lama fase laten gagal induksi

dengan Preeklampsia Berat Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala.

Perceptor:

dr. Ratna Dewi Puspita Sari, Sp.OG

Koass:

Aninda Nur Kumala Sari, S.Ked


Ghazlina Winanda Putri Edwin, S.Ked
M. Rifki Pratama, S.Ked
Maya Nadira Yasmine, S.Ked
Sukma Nugroho, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat pada kita
semua, sehingga kita dapat merasakan nikmat rahmat-Nya sampai saat ini. Dan
berkat ridho-Nya pula laporan kasus yang merupakan salah satu tugas kelompok
dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung ini dapat
diselesaikan.
Kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu serta dr. Ratna Dewi Puspita Sari, Sp.OG yang
banyak telah memberikan bimbingan kepada penulis.
Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
dan tambahan pengetahuan khususnya kepada kami dan kepada pembaca.

Bandar Lampung, 13 Oktober 2019

Penulis
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Status Obstetri

Tanggal MRS : 9 Oktober 2019

Waktu MRS : 22.30 WIB

Waktu Pemeriksaan : 08.30 WIB

I. Identitas

Nama Pasien : Ny. DA Nama Suami : Tn. DS

Umur : 23 tahun Umur : 28 tahun

Pendidikan : SMP Pendidikan : SMP

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam Agama : Islam

Suku : Jawa Suku : Jawa

Alamat : Natar Alamat : Natar

II. Anamnesis

Anamesis didapatkan secara autoanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2019

pukul 08.30 WIB di Ruang VK Gedung Delima RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung.

A. Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan mulas-mulas sejak 5 jam SMRS.


B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak usia kehamilan memasuki usia kurang lebih 28 minggu,

pasien mengaku mulai mengalami peningkatan tekanan darah yang

diketahuinya saat melakukan pemeriksaan antenatal rutin di bidan,

pada saat itu tekanan darah pasien 140/100 mmHg. Keluhan nyeri

kepala terkadang dirsakan, keluhan adanya kaki bengkak disangkal,

keluhan sesak nafas, pandangan kabur, muntah-muntah, maupun nyeri

epigastrium disangkal. BAK normal, disangkal adanya berkemih

dalam jumlah sedikit ataupun nyeri berkemih. Kemudian pasien

disarankan untuk melakukan pemeriksaan urin, dan hasilnya

proteinuria negatif.

Saat usia kehamilan memasuki 36 minggu, pasien mengaku

mengalami bengkak dikaki. Pasien mengatakan bengkak pada kaki

jika ditekan masuk kedalam kemudian beberapa saat kembali normal

lagi. Pasien tidak mengeluhkan keluhan lainnya. Kemudian pasien

kembali melakukan pemeriksaan antenatal rutin dan tekanan darah

pasien masih tinggi.

5 jam SMRS, pasien mengeluhkan mulas-mulas pada perut dan

rasa ingin mengedan. Kemudian pasien dibawa ke bidan, pada saat

dibidan pasien dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan didapatkan

tekanan darah 170/110 mmHg dengan hasil dipstick urin +1. Pasien

dilakukan induksi dengan misoprostol, namun gagal. Akhirnya pasien

dirujuk ke RSAM. Keluhan keluar air-air disangkal, keluar lendir

disertai darah disangkal. Keluhan nyeri kepala disangkal, nyeri


epigastrium disangkal, sesak nafas disangkal, mual muntah dsiangkal,

keluhan BAK biasa. Riwayat kejang disangkal, riwayat demam selama

kehamilam disangkal, nyeri berkemih disangkal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi sebelumnya tidak ada. Riwayat penyakit lain,

seperti kolesterol, diabetes mellitus, penyakit jantung, paru, dan

ginjal disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak pertama pasien memiliki hipertensi. Riwayat penyakit lain pada

keluarga, seperti kolesterol, diabetes mellitus, penyakit jantung, paru,

dan ginjal disangkal.

E. Riwayat Pekerjaan

Tidak ada yang berkaitan dengan zat-zat berbahaya.

F. Riwayat Pribadi

Pasien tidak merokok, minum-minuman beralkohol, dan

mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pasien juga tidak memiliki

riwayat alergi makanan maupun obat-obatan. Pasien mengalami

kenaikan berat badan kurang lebih 16 kg selama hamil, yaitu dari BB

79 kg menjadi 95 kg.

G. Riwayat Kontrasepsi

Tidak ada riwayat penggunaan kontrasepsi.


H. Riwayat Pernikahan

Pasien menikah satu kali. Usia menikah 22 tahun, sudah menikah

selama 1 tahun.

I. Riwayat Menstruasi

Menarche : 11 tahun

Siklus haid : 30-60 hari, tidak teratur

Jumlah : ±60 cc/24jam

Lamanya : 7 hari

HPHT : 15 Desember 2018

TP : 22 September 2019

J. Riwayat Kehamilan

Tgl partus Tempat Umur Jenis Penolong Penyulit JK BB


Partus Kehamilan Persalinan (kg)
09-10-19 RSAM Aterm SCTP Dokter PEB Lk 3,7
Spesialis

K. Riwayat Operasi

Tidak ada riwayat operasi.

L. Riwayat Antenatal

Pasien selama hamil rajin untuk memeriksa kehamilan di bidan

setiap sebulan sekali. Pasien mendapatkan kalsium, zat besi dan asam

folat dari bidan dan diminum rutin. Pasien melakukan imunisasi TT

2x dan Hep. B 2x. Selama pemeriksaan kehamilan tidak ada keluhan,


hanya pada usia kehamilan 28 minggu muncul hipertensi pada

kehamilan.

III. Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Nadi : 90x/ menit

Suhu : 36,6oC

Pernafasan : 25x/m

TB : 150 cm

BB : 95 Kg

Status Generalis

a. Kepala

Bentuk kepala : Normosefal

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

(-/-), eksoftalmus (-/-)

Telinga : Deformitas (-), nyeri tekan tragus (-),

nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)

Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), sekret (-),

septum deviasi (-), mukosa hiperemis (-)

Bibir : Simetris, sianosis (-)

Mulut : Tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-),


uvula ditengah

b. Leher

Bentuk : Simetris

KGB : Tidak teraba pembesaran

Trakhea : Normal

Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran

c. Thoraks

Dinding dada : Simetris

Paru – paru : Gerakan kedua hemitoraks simetris saat

inspirasi dan ekspirasi, vokal premitus

hemitoraks sama, krepitasi (-), nyeri

tekan (-), suara nafas vesikuler, ronki

(-/-), Wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jantung normal

d. Abdomen : Tampak cembung, tanda radang (-),

striae gravidarum (+), linea nigra (+)

e. Ekstremitas : Akral hangat pada ujung jari tangan dan

kaki, pitting oedem tungkai (+)/(+), CRT

<2”. Sensibilitas (+),


Status Obstetik

a. Pemeriksaan Luar

Leopold 1 : TFU 41 cm, kesan bokong

Leopold 2 : Punggung kanan, memanjang,

Leopold 3 : Presentasi kepala

Leopold 4 : Konvergen

DJJ : 136x/ menit

TBJ : 4185 gr

b. Pemeriksaan Dalam

Konsistensi Porsio : Lunak

Pendataran : 30%

Pembukaan : 3 cm

Ketuban :+

Presentasi : Kepala

Penurunan : Hodge I

Penunjuk : Tidak dapat dinilai

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Normal Satuan

Hemoglobin 11,2 11,5-16,5 g/dl

Hematokrit 33 38-47 %

Leukosit 13.400 4.500-10.700 /µL


Eritrosit 4,0 3,8-5,8 juta/µL

154.000-
Trombosit 312.000 /µL
400.000

Hitung jenis leukosit:

1. Basofil 0 0-1 %

2. Eosinofil 0 2-4 %

3. Batang 0 3-5 %

4. Segmen 80 50-70 %

5. Limfosit 12 25-40 %

6. Monosit 8 2-8 %

MCV 82 80-96 fL

MCH 28 27-31 Pg

MCHC 34 32-36 g/dl

Lain-lain

SGOT 17 <31 u/l

SGPT 8 <31 u/l

Ureum 11 13-43 mg/dl

Creatinin 0,59 0,55-1,02 mg/dl

GDS 94 <149 mg/dl

Natrium 139 135-145 Mmol/L

Kalium 3,8 3,5-5,0 Mmol/L

LDH 440 110-210 IU/L

Urinalisis
Warna Kuning Kekuningan

Kejernihan keruh Jernih

Berat Jenis 1,020 1,005-1,030

Ph 5,0 5-8

Leukosit 25 Negatif (10 Leuko/ul) leukosit/µl

Nitrit Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif (<30) mg/dl

Glukosa Negatif Negatif (<30) mg/dl

Keton Ngatif Negatif (<50) mg/dl

Urobilinogen Negatif Negatif (<1) mg/dl

Bilirubin Negatif Negatif (<2) mg/dl

eritrosit/
Darah Samar 50ery/ul Negatif (<10)
µl

Sedimen

LP
Leukosit 16-8 1-4
400x/LPB

LP
Eritrosit 10-12 0-1
400x/LPB

LP
Epitel 2-4 5-15
400x/LPB

Bakteri Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Silinder Negatif Negatif

Dll Negatif Negatif


1.2 Resume

Pasien mengeluhkan mulas-mulas sejak 5 jam SMRS. Pasien memiliki

hipertensi dalam kehamilan sejak usia kehamilan 28 minggu dengan hasil

proteinuria negatif. Keluhan lain tidak dirasakan pasien selama mengalami

pemingkatan tekanan darah tersebut. Saat usia kehamilan 36 minggu, pasien

mulai merasakan bengkak pada kaki. Keluhan lain disangkal. Kemudian

pasien melakukan pemeriksaan urinalisis kembali dan didapatkan hasil +1,

kemudian pasien disarankan untuk ke RSAM untuk penanganan lebih lanjut.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 160/100 mmHg, TFU: 41 cm,

punggung kanan, situs memanjang, presentasi kepala, , DJJ: 136 x/menit.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai, trombosit 312.000/uL,

SGOT 17 u/L, SGPT 8 u/L, LDH 440 IU/L, dan proteinuria negatif (-).

1.3 Diagnosis

G1P0A0 hamil 43 minggu inpartu kala I lama fase laten gagal induksi dengan

Preeklampsia Berat Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala.

1.4 Tatalaksana

Tatalaksana Obstetrik

 Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital

 Observasi denyut jantung janin dan his

 Stabilisasi pasien

 Induksi persalinan setelah stabilisasi


 Observasi kemajuan persalinan

 Rencana terminasi perabdominalis setelah 6 jam

Tatalaksana Medikamentosa

 Nifedipin 10 mg tab/8 jam

 Metildopa 500 mg tab/8 jam

 MgSO4 40% 10ml IV bolus selama 5 menit

 Protap MgSO4 40% drip 15 cc dalam RL 500 cc selama 6 jam

1.5 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


1.6 Followup

Hari, Hasil Pemeriksaan Instruksi Dokter Hasil


tanggal Pemeriksaan
Penunjang
Kamis, S/ Observasi TTV 09/10/2019
10  Pasien post SSTP a/i Ceftriaxon 1g/12 Hb: 10,0 g/dL
Oktober postterm dengan PEB gagal jam
2019 induksi. Asam treneksamat
 Perawatan hari pertama 250 mg/8 jam IV
post SSTP Ketorolac amp/8
 Nyeri perut (-) jam IV
 Nyeri kepala (-), nyeri
epigastrium atau kanan atas
(-), mual muntah (-)
 Bengkak di kaki (+)
 Perdarahan (+) 60 cc
 ASI (-)

O/
Keadaan umum: sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
TTV
T: 36,6 oC
O2: 98%
HR: 113x/menit
RR: 22x/menit
TD: 150/90 mmHg

TFU: 2 jari dibawah


umbilical, teraba keras.
Lochia (+) darah 60 cc
Luka jahitan (+), tidak ada
yang terlepas, lembab.

Kepala
konjungtiva anemis (+)
Thorax
I: simetris
P: fremitus taktil (+/+)
P: sonor
A: Vesikular

Abdomen
I: cembung, distensi (-)
A: BU (+) 15x/m
P: nyeri tekan regio
epigastrium, (-)
P: asites (-)

Ekstremitas
Edema pitting di ekstremitas
bawah (+)
Akral hangat
CRT < 2”

Urin output 600 cc/3 jam

A/ P1A0 Post SSTP a.i post


term gagal induksi dengan
PEB
Jumat, S/  Lanjutkan
11  Perawatan hari kedua post Terapi
Oktober SSTP  Jika KU baik,
2019  Lemes, lesu pulang
 Nyeri pada luka jahitan
 Nyeri kepala (-), nyeri
epigastrium atau kanan atas
(-), mual muntah (-)
 Bengkak di kaki (+)
 Perdarahan (+) 30-60 cc.
 ASI (-)

O/
Keadaan umum: sakit ringan
Kesadaran: compos mentis

TTV
T: 36,6 oC
O2: 96%
HR: 120x/menit
RR: 19x/menit
TD: 130/80 mmHg

TFU: 2 jari dibawah


umbilical, teraba keras.
Lochia (+) darah 60 cc
Luka jahitan (+), nyeri (+),
jahitan lengkap.

Kepala
konjungtiva anemis (+)
Thorax
I: simetris
P: fremitus taktil (+/+)
P: sonor
A: Vesikular

Abdomen
I: cembung, distensi (-)
A: BU (+) 15x/m
P: nyeri tekan regio
epigastrium, (-), nyeri tekan
pada luka jahitan.
P: asites (-)

Ekstremitas
Edema pitting di ekstremitas
bawah (+)  berkurang
Akral hangat
CRT < 2”

Kateter urin  tidak


terpasang lagi.

A/ P1A0 Post SSTP a.i post


term gagal induksi dengan
PEB
Sabtu, Pasien sudah pulang
12
Oktober
2019.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hipertensi Dalam Kehamilan

Hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat

kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan

atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang

sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg,

atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15

mmHg di atas nilai normal. High Blood Pressure Education Program

Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP)

memberikan suatu klasifikasi untuk mendiagnosa jenis hipertensi

dalam kehamilan, (NHBPEP, 2000) yaitu :


1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum

umur umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap

sampai 12 minggu pasca persalinan.

2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah

preeklampsi yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau

koma.

3. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia

superimposed upon chronic hypertension) adalah hipertensi

kronik disertai tanda- tanda preeklampsi atau hipertensi kronik

disertai proteinuria.

4. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul

pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi

menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kematian

dengan tanda-tanda preeklampsi tetapi tanpa proteinuria

(Prawihardjo, 2016).

Perbedaan gambaran klinis antara hipertensi kronik,

hipertensi gestasional dan preeklampsia dapat dilihat dari tabel dibawah

ini:

Tabel 1. Perbedaan Hipertensi Dalam Kehamilan (Suryono, 2009)

Gambaran Klinis Hipertensi Kronik Hipertensi Preeklampsia


Gestasional
Saatnya Muncul Kehamilan <20 Biasanya trimester Kehamilan > 20
minggu III minggu
Derajat Hipertensi Ringan-Berat Ringan Ringan-Berar
Proteinuria Tidak ada Tidak ada Ada
Hemokosentrasi Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
PEB
Trombositopenia Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
PEB
Disfungsi Hati Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
PEB

B. Faktor Resiko Hipertensi Dalam Kehamilan

Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial.

Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (Katsiki

N., et al., 2010):

1. Faktor Maternal

a. Usia Marernal

Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan

adalah usia 20-30 tahun. Komplikasi maternal pada

wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun

ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal

yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Dampak dari usia

yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama

kehamilan. Setiap remaja primigravida mempunyai

risiko yang lebih besar mengalami hipertensi dalam

kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun

(Manuaba, 2007).
b. Primigravida

Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi

pada kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian

hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman

adalah kehamilan kedua sampai ketiga (Katsiki, N., et al.,

2010).

c. Riwayat keluarga

Pada keluarga yang memiliki riwayat hipertensi

dalam kehamilan ternyata terbutki adanya peran genetic

yang menyertai hipertensi ini. Resiko hipertensi dalam

kehamilan meningkat pada ibu yang memiliki riwayat

penyakit tersebut dalam keluarganya (Muflihan FA, 2012).

d. Riwayat Hipertensi

Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama

sebelum kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya

hipertensi dalam kehamilan, dimana komplikasi tersebut

dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi dan

hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).

e. Tingginya Indeks Massa Tubuh

Faktor resiko yang berhubungan denga preeklampsi

yaitu obesitas. Terdapat hubungan yang progresif antara


berat badan maternal dengan resiko preeklampsi. Terdapat

peningkatan resiko dari 4,3% pada wanita dengan indeks

masa tubuh <20 kg/m2 menjadi 13,3% pada indeks masa

tubuh > 35 kg/m2 (Conde, 2000).

Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah

gizi karena kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam

yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya berbagai jenis

penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi

dalam kehamilan, penyakit jantung koroner, reumatik

dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan

kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya

timbunan lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan FA.,

2012).

f. Gangguan Ginjal

Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita

pada ibu hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam

kehamilan. Hal ini berhubungan dengan adanya

kerusakan glomerulus yang menimbulkan gangguan

filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muhflihan

FA., 2012)

2. Faktor Kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis

dan kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam

kehamilan. Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali

lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi

kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan

satu kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2007).

C. Definisi Preeklampsia

Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel

pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi

vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan

terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang

menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai

proteinuria 300 mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan

nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD.,

2011). Dari berbagai gejala

preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan berat

melalui tabel dibawah ini (Cunningham, FG., et al., 2010) :

Tabel 2. Perbedaan Derajat Preeklampsi (Cunningham, FG., et al., 2010)

Derajat Ringan Berat


Tekanan Darah Hipertensi ≥ 140/90 mmHg Hipertensi ≥ 160/110 mmHg

Proteinuria ≤ 2+ ≥ 3+
Sakit Kepala Tidak ada Ada
Gangguan penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri perut kanan atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Trombositopenia Tidak ada Ada
Peningkatan serum kreatinin Tidak ada Meningkat
Peningkatan serum Minimal Bermakna
transaminase
Pertumbuhan janin terhambat Tidak ada Ada
Edema Pulmo Tidak ada Ada

Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi

dapat terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan

normal, proteoglikan dalam membran dasar glomerulus

menyebabkan muatan listrik negatif terhadap protein, sehingga hasil

akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada penyakit ginjal

tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi hilang sehingga terjadi

nefropati dan proteinuria atau albuminuria. Salah satu dampak dari

disfungsi endotel yang ada pada preeklampsi adalah nefropati ginjal

karena peningkatan permeabilitas vaskular. Proses tersebut dapat

menjelaskan terjadinya proteinuria pada preeklampsi. Kadar kreatinin


plasma pada preeklampsi umumnya normal atau naik sedikit (1,0-

1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi menghambat filtrasi,

sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga terjadi perbedaan

(Guyton, 2007).

D. Etiopatogenesis Preeklampsia

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium diketahui

dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi

dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap

murlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah sebagai

berikut (Prawihardjo, 2016):

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

4. Teori adaptasi kardiovaskuiarori genetik

5. Teori defisiensi gizi

6. Teori inflamasi

a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran

darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua

pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta

dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis


menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis

memberi cabang arteria spiralis (Prawihardjo, 2016).

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi

invasi trofoblas ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang

menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebur sehingga terjadi

dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan

sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur

dan memudahkan iumen arteri spiralis mengalami distensi dan

dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi

dampak penunrnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular,

dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.

Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan

juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin

dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis"

(Prawihardjo, 2016).

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel

trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks

sekitarnya. Lapisan otot arreri spiralis menjadi tetap kaku dan keras

sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami

distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif

mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan "remodeling arteri

spiralis", sehingga aliran darah uteroplasenta menunrun, dan

terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta

akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan


patogenesis HDK selanjutnya. Diameter rata-rata arteri spiralis

pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada

preeklampsia rata-rata 2OO mikron. Pada hamil normal

vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran

darah ke utero plasenta. (Prawihardjo, 2016).

Gambar 1. Arteri spiralis pada preeklampia

b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

 Iskemia Plasenta

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan

menginvasi desidua dan miometrium dalam dua tahap. Pertama,

sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu

dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika

media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti

dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada

akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai

pada deciduomyometrial junction. Pada usia kehamilan 14-16

minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di mana sel-sel
trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam

hingga kedalaman myometrium (Prawihardjo, 2016).

Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu

penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta

perubahan material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari proses ini

adalah pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk

seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif

untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang

meningkat pada kehamilan (Prawihardjo, 2016).

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan

sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu:

a. Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-

sel trofoblas;

b. Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi

tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi

invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian

arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi

mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang

berarti masih terdapat resistensi vaskuler (Prawihardjo,

2016).
Gambar 2. Remodelling pembuluh darah pada preeklampsia

 Peroksida lemak sebagai oksidan pada

hipertensi dalam kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar

oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan

antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan

menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak

yang relatif tinggi (Prawihardjo, 2016).

Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat

toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan

akan merusak membran sel endotel. Membran sei endotel lebih

mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena

letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak

jenuh sangar rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan

berubah menjadi peroksida lemak (Prawihardjo, 2016).


 Disfungsi Endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak,

maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai

daii membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya

seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi

endotel" (mdothelial dysfunaion). Pada waktu terjadi kerusakan

sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka

akan terjadi:

a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu

fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin,

yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu

vasodilatator kuat.

b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang

mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah

untuk menutup tempar-tempat di lapisan endotel yang

mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi

tromboksan TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam

keadaan normal perbandingan kadar

prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin

(lebih tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar

tromboksan iebih tinggi dari kadar prosmsiklin sehingga


terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan

darah.

c. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus

(glomerular endotheliosis).

d. Peningkatan permeabilitas kapilar.

e. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu

endotelin. Kadar NO (vasodilatator) menurun,

sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.

f. Peningkatan faktor koagulasi (Prawihardjo, 2016).

c. Teori Toleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak

adanya "hasil konsepsi" yang bersifat asing. Hal ini disebabkan

adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan

penting dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak

hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat

melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu

(Prawihardjo, 2016).

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel

trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan

prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua

ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta

hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.

Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi


trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar

jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan

rcrjadrnya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi

sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasil.

Kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada preeklampsia

(Prawihardjo, 2016).

d. Teori Defisiensi Gizi

Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris

ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa

waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit

mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan

kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Prawihardjo, 2016).

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak

ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko

preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak

jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat

aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah

(Prawihardjo, 2016).

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk

memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung

asam lemak tak jenuh dalam mencegah preeklampsia. Hasil

sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan

mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.


Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada

diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya

preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes

dengan metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan

pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang

mengalami preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberi glukosa

17 % (Prawihardjo, 2016).

e. Teori Stimulasi Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas

di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya

proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan

debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik

trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai

bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses

inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih

dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam

batas normal (Prawihardjo, 2016).

Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di

mana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif,

sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga

meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada

plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan
sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin

meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam

darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada

kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel

endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula,

sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbuikan

gejala-gejala preeklampsia pada ibu (Prawihardjo, 2016).

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada

preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan

tersebut di atas, mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat

tinggi" pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut

sebagai "kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular

pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal dan

menyeluruh (Prawihardjo, 2016).

E. Patofisiologi Preeklampsia

Mekanisme tersebut diatas yang mendasari adanya pathogenesis

preeklampsia yang kemudian dapat menimbulkan berbagai gejala klinik.

Kerusakan endotel pada preeklampsia akan menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi vascular otak. Disfungsi vascular otak ini akan

menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan termasuk upper motor

neuron dan terjadi penurunan regulasi inhibisi pada lower motor neuron.

Kejadian ini akan menyebabkan timbulnya gejala klonus pada pasien

preeklampsia, terutama yang berat. Selain itu kerusaka pada jaringan otak
akan menyebabkan hiperaktivitas, hipersinkronisasi aktivitas elektrik pada

korteks dan terjadilah kejang atau eclampsia (Cunningham, FG., et al.,

2010).

Peningkatan permeabilitas vascular akibat disfungsi endotel akan

menyebabkan membrane pembuluh darah lebih permeable sehingga terjadi

kebocoran cairan plasma yang terjadi cepat daripada reabsorbsi cairan

kedalam pembuluh darah, bisa mengenai seluruh pembuluh darah dalam

tubuh. Hal ini akan menyebabkan manifestasi berupa peningkatan berat

badan secara drasis, edema pada wajah, edema pulmo, papilledema, dan

jika mengenai capsula bowman maka akan terjadi kebocoran protein

plasma melalui glomerulus kedalam urin dan terjadilah proteinuria

(Cunningham, FG., et al., 2010).

Vasokonstriksi pembuluh darah akibat adanya kerusakan endotel

akan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu vasokonstriksi di

intracranial akan memicu terjadi nya nyeri kepala, transient ischemia

attack (TIA), dan gangguan penglihatan berupa scotoma, pandangan kabur,

serta photopobia. Vasokontsriksi ini juga memicu terjadinya peningkatan

afterload jantung yang menyebabkan myometrium lebih meregang

sehingga terjadi keluhan nyeri dada. Jika terjadi akumulasi cairan vena

pada vena hepatica maka akan terjadi perbesaran hepar yang memicu

terjadinya peregangan kapsul hepar dan aktivasi nosireseptor. Kejadian ini

dapat memicu disfungsi hepar dan timbul gejala HELLP syndrome.

Vasokonstriksi pada arterioo ginjal akan menyebabkan penurunan filtrasi


glomerulus sehingga terjadi oliguria dan tingginya serum kreatinin yang

akan memicu terjadi gagal ginjal akut (Cunningham, FG., et al., 2010).

F. Diagnosis Preeklampsia

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan akut dan dapat terjadi

ante, intra dan postpartum. Dari gejala klinik, preeklampsia dapat dibagi

menjadi preeklampsia ringan dan berat, selain itu preeklampsia juga harus

dibedakan dengan hipertensi kehamilan lainnya (Gambar 1) Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang

disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada

usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia sebelumnya selalu

didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi

pada kehamilan (now onset hypertension with proteinuria). Edema tidak

lagi digunakan sebagai kriteria diagnostic karena sangat banyak ditemukan

pada wanita normal (POGI, 2016; Prawihardjo, 2016).


Gambar 3. Perbedaan Hipertensi Dalam Kehamilan

a. Penegakan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi didiagnosis ketika terjadi peningkatan tekanan

darah sistolik mencapai 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg pada

dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang

sama. Didefinisikan hipertensi berat jika peningkatan tekanan darah

sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolic

(POGI, 2016).

b. Hipertensi Gestasional

Diagnosis hipertensi gestasional dibuat pada wanita yang

pertama kalinya terjadi peningkatan tekanan darahnya mencapai


140/90 mmHg atau lebih tinggi setelah pertengahan kehamilan,

namun tidak dutemukan adanya proteinuria (Gambar 1). Pada

wanita dengan hipertensi gestasional hampir setengahnya kemudian

mengalami sindrom preeklampsia yang meliputi tanda-tanda seperti

proteinuria dan trombositopenia atau gejala nyeri kepala atau nyeri

epigastrium. Hipertensi gestasional direklasifikasi sebagai

hipertensi trasien jika terbukti tidak ada tanda-tanda preeklampsia

dan tekanan darah akan kembali normal setelah 12 minggu pasca

persalinan. Proteinuria adalah penanda objektif yang

mendefinisikan sistem kebocoran endotel, yang menjadi ciri

sindrom preeklampsia. Meski begitu, ketika tekanan darah

meningkat signifikan, namun belum ditemukan adanya proteinuria

perlu diawasi untuk bisa terjadi kejang eclampsia (Cunningham,

FG., et al., 2010).

c. Hipertensi Kronik Superimposed Preeklampsia

Diagnosis hipertensi kronis seperti tercantum diatas,

merupakan peningkatan tekanan darah >= 140/90 mmHg dari

sebelum kehamilan atau di diagnosis pada saat sebelum 20 minggu

kehamilan. Jika disertai dengan proteinuria maka preeklampsia

superimposed dapat di diagnosis. Preeklampsia superimposed dapat

terjadi lebih awal kehamilan daripada preeklampsia “murni”.

Preeklampsia superimposed cenderung lebih parah dan sering

disertai dengan pertumbuhan janin terhambat (Cunningham, FG., et

al., 2010).
d. Preeklampsia

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru

terjadi pada kehamilan/ diatas usia kehamilan 20 minggu disertai

adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,

kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus

didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut.

Proteinuria merupakan kriteria objektif yang penting. Proteinuria

didefinisikan sebagai eksresi protein urin dalam 24 jam melebihi

300 mg, rasio protein urin banding kreatinin 0,3 atau protein 30

mg/dL (dipstick +1). Tetapi nilai ini cukup bervariasi dikarenakan

konsentari urin sangat bervariasi dan demikian pula dalam

pembacaan dipstick (POGI, 2016; Cunningham, FG., et al., 2010)

Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya

protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu

gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia: trombosit <100.000/microliter

2. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau

didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi

dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.


3. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2

kali normal dana tau adanya nyeri di daerah epigastrium

atau regio kanan atas abdomen.

4. Edema paru

5. Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala,

gangguan visus.

6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan

sirkulasi uteroplasenta: oligohidramnion, fetal growth

restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or

reversed end diastolic velocity (POGI, 2016),.

e. Preeklampsia Berat

Pada preeklampsia berat ditemukan adanya peningkatan

tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110

mmHg diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

menggunakan lengan yang sama. Pada preeklampsia berat dapat

juga ditemukan gejala dan tanda kelainan laboratorium seperti pada

preeklampsia diatas. Beberapa penelitian terbaru tidak lagi

menunjukkan hubungan antara kuantitas protein urin terhadap

batasan preeklampsia, sehingga kondiri protein urin massif (lebih

dari 5 g atau lebih dari +3 dipstick) telah dieleminisasi dari kriteria

preeklampsia berat (POGI, 2016).


Gambar 4. Perbedaan Preeklampsia dan Preeklampsia Berat

f. Sindroma HELLP

Sindroma HELLP adalah preeklampsia-eklampsia disertai

timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan

trombositopenia. Diagnosis ditegakkan bila adanya tanda hemolisis

intravaskular, khususnya kenaikan AST, LDH dan bilirubin indirek.

Tanda kerusakan/disfungsi hepatosit hepar ditandai dengan kenaikan


ALT dan atau AST >= 40 IU/L , LDH >= 600 IU/L. Trombositopenia

<= 150.000/mL (Prawihardjo, 2016).

G. Tatalaksana Preeklampsia

Pengelolaan terhadap preeklanrpsia berat salah satunya adalah

pencegahan kejang, pengobatan pada hipertensi, pengelolaan cairan

pengibatan, pelayanan suportif terhadap penyuilit organ yang terlibat, dan

menentukan ketepatan untuk persalinan (Prawihardjo, 2016). Dalam

manajemen setiap preeklamsi dalam kehamilan yang paling mendasar

adalah terminasi kehamilan dengan minimal trauma pada ibu dan janin,

sejahteranya dalam kelahiran dan pertumbuhan bayi serta pemulihan

kesehatan ibu. Terdapat dua unsur dalam perawatann preeklampsia berat

yang sebenarnya sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,

yaitu unsur sikap terhadap penyakitnya seperti pemberian obat-obat yang

biasa disebut terapi medisinalis dan unsur sikap terhadap kehamilannya

(Prawihardjo, 2016; Cunningham, FG., et al., 2010).

a. Tatalaksana Obstetrik

Sikap perawatann terhadap kehamilannya terbagi menjadi


dua yaitu:

1. Aktif (agressive management)

Kehamilan yang akan segera diakhiri atau

diterminasi bersamaan dengan pemberian terapi

medisinalis. Saat dalam pengakhirat kehamilan

(terminasi kehamilan) dilakukan memandang


apakah sudah inpartu atau belum (Prawihardjo,

2016). Setelah preeklamsia berat terdiagnosis,

induksi persalinan dan persalinan pervaginam secara

normal merupakan tujuan ideal. Pertimbangan

terminasi dapat dilihat dari beberapa masalah,

seperti serviks yang lama membuka, perasaan

urgensi karena keparahan preeklamsia, dan

kebutuhan untuk mengoordinasikan perawatan

intensif neonatal (Cunningham, FG., et al., 2010).

Tabel 3. Syarat Terminasi Kehamilan (POGI, 2016)

Terminasi kehamilan
Data maternal Data janin
1. Hipertensi berat yang tidak 1. Usia kehamilan 34 minggu
terkontrol 2. Pertumbuhan janin terhambat
2. Gejala preeklampsia berat yang 3. Oligohidramnion persisten
tidak berkurang (nyeri kepala, 4. Profil biofisik <4Deselerasi
pandangan kabur, dsbnya) variabel dan lambat pada NST
3. Penuruan fungsi ginjal progresi 5. Doppler a. umbilikalis: reversed
trombositopenia persisten atau end diastolic flow
HELLP syndrom 6. Kematian janin
4. Edema Paru
5. Eklampsia
6. Solusio Plasenta
7. Persalinan atau ketuban pecah

2. Konservatif (ekspektatif)

Kehamilan yang akan tetap dipertahankan

bersamaan dengan pemberian terapi


medikamentosa. Tujuan utama dari manajemen

ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran

perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal

serta memperpanjang usia kehamilan tanpa

membahayakan ibu. (Prawihardjo, 2016; POGI,

2016).

Indikasi perawatan konservatif adalah jika

kehamilan preterm 37 minggu tanpa disertai tanda-

tanda bahaya eklampsia serta keadaan pada janin

yang baik. Selama perawatan konservatif akan

dilakukan observasi dan evaluasi sama seperti

perawatan aktif namun kehamilan tidak diakhiri

(Prawihardjo, 2016)

Selain preeklampsia berat dengan usia

kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat

kondisi ibu dan janin stabil, manajemen ekspektatif

direkomendasikan untuk melakukan perawatan di

fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia

perawatan intensif bagi maternal dan neonatal.

Pemberian kortikosteroid harus diberikan untuk

untuk pematangan paru pada janin. Pasien dengan

preeklampsia berat akan di rawat inap selama

melakukan perawatan ekspektatif (POGI, 2016).

Jika dalam waktu 24 jam ibu sudah mencapai tanta-


tanda preeklamosia ringan magnesium sulfat

dihentikan. Lalu jika dalam 24 jam tidak ada

perbaikan bahkan perburukan, keadaan ini dianggap

sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan

harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila

penderita kembali ke gejala-gejala arau tanda-tanda

preeklampsia ringan (Prawihardjo, 2016).


Dalam manajemen ekspektatif dapat

memperpanjang usia kehamilan, dan mengurangi

morbiditas perinatal dan maternal. Morbiditas

perinatal dapat disebutkan seperti penyakit

membran hialin, necrotizing enterocolitis,

kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta

lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih

besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden

pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak.

Salah satu kejadian morbiditas maternal adalah

seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio

sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat

memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi

morbiditas perinatal seperti penyakit membran

hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan

perawatan intensif dan ventilator serta lama

perawatan (POGI, 2016).

Gambar 5. Penanganan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat

Rawat inap setidaknya dilakukan pada awal wanita hamil

dengan hipertensi dengan onset baru terutama jika ada hipertensi

persisten atau memburuk atau pengembangan proteinuria. Evaluasi


sistematis dilembagakan untuk mencakup yang berikut

(Cunningham, FG., et al., 2010):

1. Pemeriksaan terperinci diikuti oleh pemeriksaan

harian untuk temuan klinis seperti sakit kepala,

gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, dan

penambahan berat badan yang cepat

2. Berat badan ditentukan setiap hari

3. Analisis untuk proteinuria saat masuk dan

setidaknya setiap 2 hari sesudahnya

4. Pembacaan tekanan darah

5. Pengukuran plasma atau kreatinin dan hati serum

kadar transaminase, dan hemogram untuk

memasukkan kuantifikasi trombosit.

6. Evaluasi ukuran dan kesejahteraan janin serta

volume cairan amnion baik secara klinis atau

menggunakan sonografi

b. Tatalaksana Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa bertujuan untuk menurunkan

tekanan darah dan stabilisasi keadaan ibu termasuk mencegah

terjadinya kejang eclampsia.

1. Antihipertensi

Indikasi utama pemberian obat antihipertensi

pada kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam


mencegah penyakit serebrovaskular. Pemberian

metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500mg

per oral 2-3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3g

per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah

obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum

diekskresikan lewat ginjal (Scott, 2002; POGI,

2016).

European Society of Cardiology (ESC)

Guidelines 2010 merekomendasikan pemberian obat

antihipertensi pada tekanan darah sistolik

>140mmhg dan tekanan darah diastolic >90 mmhg

pada wanita dengan hipertensi (dengan atau tanpa

proteinuria), hipertensi kronik superimposed,

hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau

kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan

berapapun. Antihipertensi lini pertama yang

digunakan adalah Nifedipin 10-20 mg dapat diulang

setelah 30 menit dengan dosis maksimum 30 mg.

Sedangkan untuk lini kedua digunakan sodium

nitroprusside 0,25 ug iv/kgBB/menit, infus dan

dapat ditingkatkan 0,25 ug iv/kgBB/5 menit. Selain

sodium nitroprusside dapat digunakan dizokside

dosis 30-60 mg IV/5 menit atau IV infus 10

mg/menit dititrasi (Montan, 2016; POGI, 2016).


Pemilihan antihipertensi golongan calcium

canal blocker dipertimbangkan dikarenakan

mekanisme kerja obat pada otot polos arteriol dan

menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat

masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya

resistensi perifer akibat pemberian calcium canal

blocker dapat mengurangi afterload. Jika nifedipin

juga bekerja sebagai vasodilator arteriolar ginjal

yang selektif dan bersifat natriuretic sehingga

meningkat produksi urin (Alex, 2005; POGI, 2016).

Pemberian Nifedipin oral short acting sebagai anti

hipertensi golongan calcium canal blocker menjadi

pilihan pertama dengan target penurunan tekanan

darah sistolik <160mmhg dan tekanan diastolik

<110 mmhg. Penggunaan Nifedipin tablet dosis

peroral menjadi pilihan yang sesuai dikarenakan

dapat menurunkan tekanan darah lebih cepat, tetapi

pemberian sublingual atau IV tidak

direkomendasikan dikarenakan efek vasodilatasi nya

yang terlalu cepat sehingga dapat menimbulkan efek

samping feto-maternal (Prawihardjo, 2016).

Pemilihan obat golongan beta blocker

termasuk atenolol yang merupakan beta-blocker

kardioselektif (bekerja pada reseptor P1


dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan

pertumbuhan janin terhambat, terutama pada

digunakan untuk jangka waktu yang lama selama

kehamilan atau diberikan pada trimester pertama,

sehingga penggunaannya dibatasi sehingga tidak

dapat menjadi alternatif jika pemberian anti

hipertensi lainnya tidak efektif (POGI, 2016).

Pemilihan metildopa sebagai agonis

reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat

menjadi salah satu pilihan obat antihipertensi yang

paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan

hipertensi (POGI, 2016). Walaupun bekerja

terutama pada system saraf pusat, namun juga

memiliki sedikit efek perifer yang akan

menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah

arteri tetapi tidak mempengaruhi frekuensi nadi,

cardiac output, dan aliran darah ginjal. Efek

samping yang diberikan oleh metildopa juga sangat

minimal dan mempunyai safety margin yang luas

(paling aman) terhadap kesehatan ibu dan janin

(Prawihardjo, 2016).

2. Anti Kejang

a. MgSO4
Pemberian MgSO4 pada kasus

preeklamsia berat bertujuan untuk mencegah

dan mengurangi angka kejadian eklampsia,

serta mengurangi morbiditas dan mortalitas

maternal serta perinatal (Prawihardjo, 2016).

Salah satu mekanisme kerja MgSO4 sebagai

antikonvulsan adalah menyebabkan vasodilatasi

melalui relaksasi otot polos, termasuk

pembuluh darah perifer dan menghambat

reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA) di otak

yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat

menyebabkan masuknya kalsium ke dalam

neuron mengakibatkan kerusakan sel dan dapat

terjadi kejang (POGI, 2016).

Pemberian MgSO4 secara tepat

merupakan tatalaksana yang tepat untuk

pencegahan kejang pada preeklampsia berat.

MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu

dengan eklamsia (tatalaksana kejang) dan

preeklamsia berat (pencegahan kejang). Tata

cara pemberian MgSO4 yang sesuai. emberian

dapat sebagai berikut (Kemenkes R1 2013; FK

Unair 2015).
ALTERNATIF 1 (Kombinasi IV dan

IM)  pada faskes primer. Loading Dose:

 Injeksi 4g IV bolus MgSO4 20% 20cc atau

bila tersedia Mg SO4 40% berikan 10cc

kemudian diencerkan dengan 10 cc aquadest

bolus selama 5 menit

 Injeksi 10g IM MgSO4 40% 25 cc pelan

selama 5 menit, dengan pembagian 5 gr pada

abokong kanan dan 5 g pada bokong kiri.

Dapat ditambahkan 1 ml lidokain 2% untuk

mengurangi nyeri. Sedangkan untuk

maintanace dose:

 Injeksi 5g IM MgSO4 40% 12,5 cc pelan

selama 5 menit pada bokong bergantian

setiap 6 jam hingga 24 jam setelah

persalinan atau kejang terakhir.

ALTERNATIF 2 (Pemberian IV saja)

 pada faskes sekunder dan tersier. Initial

Dose:

 Injeksi 4g IV MgSO4 20% 20cc atau jika

tersedia MgSO4 40% berikan 10 cc

diencerkan dengan 10 cc aquadest bolus 5-

10 menit dengan maintenance dose:


 Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam

dengan Infus. Contoh sisa 15 cc MgSO4

40% (6 g MgSO4) diencerkan dengan 500 cc

Kristaloid dan diberikan selama 6 jam (28

tpm).

Jika Terdapat kejang berulang,

tambahkan 2g IV bolus (MgSO4 20%) 10 cc,

jika tersedia MgSO4 40% dapat diberikan 5cc

diencerkan dengan 5 cc aquadest berikan

selama 2-5 menit dan dapat diulang 2 kali. Jika

kejang berlanjutkan dapat diberikan tambahan

diazepam (Kemenkes R1 2013; FK Unair

2015).

MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah

persalinan atau kejang terakhir. Observasi TTV,

pernapasan >16 kali/menit, refles patella (+),

Produksi urin >100cc/4jam. Bila terjadi depresi

pernafasan lakukan pembebasan jalan nafas dan

berikan Ca Gluconas 1g (10ml dari larutan

10%) secara intravena perlahan sampai

pernafasan normal (Kemenkes R1 2013; FK

Unair 2015).

b. Anti Kejang lainnya


Diazepam dan fenitoin sebagai obat

antikejang telah banyak dicoba pada penderita

eclampsia. Beberapa peneliti telah memakai

bermacam-macam regimen. Fenitoin sodium

mempunyai khasiat stabilisasi membrane

neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek

antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi

intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam

dosis 15mg/kg berat badan dengan pemberian

IV 50mg/menit hasilnya tidak lebih baik dari

penggunaan Magnesium Sulfat. Banyak peneliti

tidak merekomendasikan pemakaian dari

fenitoin atau pun antikejang lainnya

dikarenakan efek feto-maternal yang belum

jelas. Pemberian magnesium sulfat sebagai

antikejang lebihefektif dibandingkan anti

kejang lainnya (Prawihardjo, 2016).

3. Diuretikum

Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali

bila diindikasikan adanya edema paru, payah

jantung kongestif, atau edema anasarka. Diuretik

yang biasa dipakai adalah furosemide. Pada

preeklampsia berat sangat mungkin terjadi edema


paru akibat kardiogenik atau non kardiogenik

sehingga pemberian diuretik sangat membantu,

tetapi pemberian diuretikum secara rutin dapat

merugikan, yaitu dapat memperberat hipovolemia,

memperburuk perfusi uretero-plasenta,

meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan

dehidrasi pada janin dan menurunkan berat janin

(Prawihardjo, 2016).

4. Glukokortikoid

Pemberian glukortikoid untuk pematangan

paru janin tidak merugikan ibu, dapat diberikan pada

kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Selain itu

pemberian glukokortikoid berguna bagi ibu dengan

komplikasi sindrom HELLP karena terbukti dapat

menurunkan angka peningkatan kerusakan sel akibat

hemolisis intravaskulare dan memperbaiki nilai

trombosit pasien, (Prawihardjo, 2016; Cunningham,

FG., et al., 2010).

H. Komplikasi Preeklampsia

Komplikasi preeklampsia yang sering terjadi pada ibu adalah solutio

plasenta, koagulopati, ablatio retina, gagal ginjal akut, edema paru, perdarahan

post partum, kerusakan hati, penyakit kardiovaskular, dan kerusakan


neurologis. Sedangkan komplikasi pada janin beruapa, kelahiran premature,

berat lahir rendah, sindrom distress nafas (RDS), transient tachypnea of the

newborn (TTN), dan persistent pulmonary hypertension (PPHN), dan

pertumbuhan janin terhambat (Brinkman, 2001).

BAB III

ANALISIS KASUS

A. Analisis Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pasien mengaku mengeluhkan terjadinya

peningkatan tekanan darah sistolik mencapai 140 mmHg sejak awal

kehamilan 28 minggu. Kemudian pasien mengeluhkan bengkak pada kaki

sejak awal memasuki kehamilan 36 minggu. Pasien juga mengatakan


tekanan darah tinggi masih dikeluhkan sampai memasuki kehamilan 36-42

minggu dengan tekanan darah tertinggi adalah 170 mmHg. Pada saat

dilakukan pemeriksaan urinalisis didapatkan hasil proteinuria +1. Keluhan

nyeri kepala kadang dirasakan pasien, keluhan lainnya disangkal. Hal ini

sesuai dengan teori bahwa diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan jika

tekanan darah sistolik mencapai 140 mmHg dan diastolic mencapai

90mmHg selama kehamilan > 20 minggu dan disertai adanya protein urin

minimal 300 mg/24 jam atau dipstick +1, jika tidak didapatkan hasil

protein positif maka dapat didukung dengan hasil lain salah satunya

keluhan gangguan neurologis, yaitu nyeri kepala yang ditemukan pada

pasien. Keluhan kejang pada pasien disangkal, sehingga diagnosis

eclampsia dapat disingkirkan (Cunningham, FG., et al., 2010; POGI,

2016).

Selain itu jika dilihat dari faktor resiko pasien, primigravida

merupakan salah satu faktor resiko hipertensi dalam kehamilan. Sekitar

85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan pertama. Saat

ini merupakan kehamilan pertama pasien, sehingga hal ini meningkatkan

resiko terhadap preeklamsia. Faktor resiko lain yang berhubungan dengan

preeklampsia yaitu obesitas. Terdapat peningkatan resiko preeklampsia

pada indeks masa tubuh > 35 kg/m2. Berat badan pasien 95kg dengan

tinggi badan 150 Maka didapatkan indeks masa tubuh pasien yaitu 40 dan

dinyatakan obesitas grade III. Sehingga resiko preeklampsia meningkat

pada pasien (Cunningham, FG., et al., 2010; POGI, 2016).


Berdasarkan pemeriksaan fisik saat di ruangan Delima, tekanan

darah pasien terukur 160/100 mmHg. Selain itu didapatkan adanya edema

pitting pada telapak kaki kanan dan kiri. Pemeriksaan lain seperti, nyeri

tekan epigastrium, nyeri tekan regio kanan atas disangkal. Dari hasil

pemeriksaan fisik ini, dapat disimpulkan pasien masuk kedalam kriteria

preeklampsia berat. Hal ini disesuaikan dengan teori karena didapatkan

adanya minimal satu kriteria preeklampsia berat yaitu adanya peningkatan

tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolic, meskipun tidak ditemukan adanya kelainan organ lain ataupun

kelainan laboratorium (Cunningham, FG., et al., 2010; POGI, 2016).

Berdasarkan hasil laboratorium didapatkan Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan nilai, trombosit 312.000/uL, SGOT 17 u/L, SGPT

8 u/L, LDH 440 IU/L, dan proteinuria negatif (-). Dari hasil pemeriksaan

ini, tidak ditemukannya ada kelainan laboratorium yang dapat mendukung

kriteria preeklampsia, tetapi terdapat peningkatan LDH sebesar 2x lipat

yang menandakan adanya proses hemolisis ataupun disfungsi hepatosit

hepar. Berdasarkan teori, adanya penurunan kadar trombosit, peningkatan

kadar SGOT/PT dan LDH dapat mendukung diagnosis preeklampsia.

Tetapi, jika tidak ditemukan kelainan, namun tetap memenuhi kriteria lain

seperti peningkatan darah setidaknya 140-160 mmHg sistolik dan 90-110

mmHg diastolic dalam masa kehamilan > 20 minggu tetap bisa

dikategorikan sebagai preeklampsia atau preeklampsia berat. Dari hasil

pemeriksaan laboratorium ini juga tidak mengarah kepada sindroma

HELLP. Sedangkan, hasil protein pasien setelah dilakukan pemeriksaan


kembali, didapatkan hasil yang negatif, menurut teori protein urin bisa saja

negatif akibat variasi dari jumlah urin setiap harinya. Selain itu juga, jika

protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia (Cunningham, FG.,

et al., 2010; POGI, 2016; Prawiharjo, 2016).

B. Analisis Tatalaksana

a. Tatalaksana Obstetrik

Dalam kasus ini pasien dilakukan tatalaksana obstetrik yaitu

obsrvasi keadaan umum dan tanda-tanda vital, observasi denyu

jantung janin dan his, stabilisasi pasien, induksi persalinan setelah

stabilisasi, observasi kemajuan persalinan, dan rencana terimanasi

perabdominalis setelah 6 jam. Pada teori teori selama rawat inap akan

dilakukannya pemeriksaan terperinci diikuti oleh pemeriksaan harian

untuk temuan klinis seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri

epigastrium, dan penambahan berat badan yang cepat, berat badan

ditentukan setiap hari, analisis untuk proteinuria saat masuk dan

setidaknya setiap 2 hari sesudahnya, pembacaan tekanan darah,

pengukuran plasma atau kreatinin dan hati serum kadar transaminase,

dan hemogram untuk memasukkan kuantifikasi trombosit. Evaluasi

ukuran dan kesejahteraan janin serta volume cairan amnion baik

secara klinis atau menggunakan sonografi (Cuningham, 2012). Pada

pasien ini akan dilakukan teriminasi karena sudah memenuhi kriteria


terminasi seperti Hipertensi berat yang tidak terkontrol dan usia

kehamilan sudah lebih dari 34 minggu (POGI, 2016).

b. Tatalaksana Medikamentosa

1. Nifedipin 10 mg tab/8jam

Pada pemeriksaan tekanan darah pasien didapatkan hasil

>160/110 mmhg dan tekanan sistolik tertinggi dapat mencapai

170 mmhg. Pemberian Nifedipin 10 mg tab/8 jam menjadi

pilihan obat anti hipertensi yang tepat pada pasien Preeklamsia

Berat dengan tekanan darah sistolik >140mmhg dan tekanan

darah diastolic >90. Penggunaan Nifedipin tablet peroral sebagai

antihipertensi lini pertama menjadi pilihan yang sesuai

dikarenakan dapat menurunkan tekanan darah lebih cepat.

Nifedipin dapat diberikan dengan dosis 10-20 mg, dapat diulang

setelah 30 menit dengan dosis maksimum 30 mg (Montan, 2016;

POGI, 2016).

2. MgSO4 40% 10ml IV bolus selama 5 menit dan protap

MgSO4 40% drip 15 cc dalam RL 500 cc selama 6 jam

Pada pasien ini telah dilakukan pemberian dosis awal

MgSO4 40% 10 ml IV bolus selama 5 menit dan dilanjutkan

dosis rumatan MgSO4 40% drip 15 cc didalam infus Ringer

laktat 500cc selama 6 jam di faskes sekunder/tersier. Pemberian

MgSO4 pada pasien tersebut sudah sesuai dengan pedoman

pemberian MgSO4, yaitu: initial dose dengan Injeksi 4g IV


MgSO4 20% 20cc atau jika tersedia MgSO4 40% berikan 10 cc

diencerkan dengan 10 cc aquadest bolus 5-10 menit dilanjutkan

maintanace dose dengan pemberian MgSO4 6 gr dalam 500 cc

kristaloid dan diberikan selama 6 jam (1gr/jam) (Kemenkes R1

2013).
DAFTAR PUSTAKA

Alex CV, Mary A, Carroll SMR. 2005. Acute hypertensive emergencies in

pregnancy. Crit Care Med. 33: 307-12

Brinkman, C. 2001. Kelainan kehamilan hipertensif. Esensial Obstetri dan

Ginekologi Edisi 2. Jakarta : Hipokrates

Brooks MD., 2011. Pregnancy, Preeclampsia. Dalam: Wulan, S.K., 2012.

Karakteristik Penderita Preeklampsia dan Eklampsia di

RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2009 – 2011.

Medan.

Cunningham, FG., et al. (2010). CF., et al, william obstetrics 23rd Ed.

New York: McGraw-Hill Companies Inc

FK Unair. 2015. Buku panduan praktis hipertensi dalam kehamilan oleh

Divisi Kedokteran Feto-maternal Departemen Obstetri

dan Ginekologi FK Unair.

Katsiki N, Godosis D, Komaitis S,Hatzitolios A. 2010. Hypertention in

pregnancy:

classification, diagnosis and treatment. Medical Journal.


Greece: Aristotle University of Thessaloniki; 37(2): hlm. 9-

18.

Kemenkes R1. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Faskes Dasar dan

Rujukan. Edisi 1. Kemenkes RI: Jakarta

Manuaba C, Manuaba F, Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri

[e-book]. Jakarta : EGC

Montan S. 2016. Drugs used in hypertensive disease in pregnancy. Curr Opin

Obstetry Gynecology. 16: 111-5

Muflihan FA, Sudiat M, Basuki R. 2012. Analisis faktor-faktor

terjadinya preeklamsia berat di RSUD Tugurejo tahun

2011 [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah

Semarang.

NHBPEP. 2000. Report of The National High Blood Pressure Education Program

Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy.

Bethesda: American Journal of Obstetrics and

Gynecology;183(1):hlm. 1–22.

POGI. 2016. Pedoman nasional pelayanan pedokteran diagnosis dan tatalaksana

Preeklampsia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal.


Prawihardjo, Sarwono. 2016. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo.

Scott BJNM. 2002. Hypertension therapy during pregnancy. Clinical Obstetrics

and Gynecology. 45: 22-34

Suyono S. 2009. Hipertensi pada Kehamilan dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Edisi Kelima, Jilid II. Jakarta : Fakultas Kedokteran

UI. hlm 1100-5.

Anda mungkin juga menyukai