Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
REKAM MEDIS

1.1. Identifikasi
Nama : Ny. Y
Umur : 29 tahun
Pendidikan Terakhir : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kayu Ara
Agama : Islam
Status : Menikah
Nama Suami : Tn. F
Umur : 32 tahun
Pendidikan Terakhir : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Kayu ara
MRS : 2 April 2013

1.2. Anamnesis (Autoanamnesis)


Anamnesis Umum
Riwayat perkawinan : 1 kali, lamanya 10 tahun
Riwayat sosioekonomi dan gizi : cukup
Riwayat Reproduksi :
Menarche : 14 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur, lama 7 hari
Nyeri sebelum/saat/setelah haid : ada sebelum haid
HPHT : 15 Juli 2012
Riwayat obstetri : G1P0A0
2

Riwayat penyakit yang pernah diderita : tidak ada


Riwayat operasi : tidak ada
Riwayat penyakit dalam keluarga : tidak ada
Riwayat memakai kontrasepsi : tidak ada

Anamnesis Khusus
Keluhan Utama : mau melahirkan dengan darah tinggi dan cukup bulan.

Riwayat Perjalanan Penyakit :


+ 3 jam SMRS, os mengeluh perut mules-mules yang menjalar ke
pinggang, hilang timbul, makin lama makin sering, kuat, dan tidak
menghilang jika dibawa berjalan. R/ darah dan lendir (+), R/ keluar air-air
(-), os kemudian ke bidan untuk memeriksa kehamilannya. Os belum
punya anak selama 10 tahun. R/ darah tinggi sebelum hamil (-), R/ darah
tinggi sebelumnya (-), R/ sakit kepala hebat (-), R/ pandangan kabur (-), R/
mual dan muntah (-), R/ nyeri ulu hati (-). Os kemudian disarankan oleh
bidan memeriksakan kehamilan ke RSUD Sekayu. Os mengaku hamil
cukup bulan dan gerakan bayi masih dirasakan.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 88 x/mnt
Frekuensi pernapasan : 20 x/mnt
Suhu : 36,5 oC
Konjunctiva palpebra pucat : (-/-)
Sklera ikterik : (-/-)
Gizi : cukup
Payudara hiperpigmentasi : (+/+)
3

Jantung : HR 88 x/menit, regular, BJ I dan II


normal, gallop (-), murmur (-)
Paru-paru : vesikuler normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Hati dan lien : sulit dinilai
Edema pretibia : (-/-)
Varises : (-/-)
Refleks fisiologis : +/+
+/+
Refleks patologis : -/-
-/-

Status Obstetri (2 April 2013)


Pemeriksaan luar : FUT 2 jbpx (33 cm), memanjang, puka, kepala,
4/5, his 2/10”/25’, djj = 152 x/menit,
TBJ = 3100 gr.

Pemeriksaan dalam (2 April 2013)


Inspekulo : tidak dilakukan
Vaginal Toucher : portio lunak, posterior, eff. = 100%, pembukaan 1
cm, ketuban (+), kepala, H I, penunjuk sutura
sagitalis melintang.
Rectal Toucher : tidak dilakukan
Pemeriksaan panggul : tidak dilakukan

1.4. Pemeriksaan Penunjang (2 April 2013)


1. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
HB : 10, 4 gr/dl (12,3 – 15,3 gr/dl)
Eritrosit : 4.4 jt/mm3 (4,1-5,1 juta/mm3)
Ht : 35 % (35-37%)
Leukosit : 7.700/mm3 (5.000-10.000/mm3)
Trombosit : 271.000/mm3 (150.000-400.000/mm3)

Hitung jenis :
4

Basofil : 0% (0-1%)
Eosinofil : 1 % (0-8%)
Netrofil batang : 0 % (2-4%)
Netrofil segmen : 20 % (25-40
Limfosit : 9 % (2-8%)
Monosit : 70 % (50-70%)
Urin rutin
Bilirubin : negatif
Protein : +++
Glukosa : negatif
Keton : negatif
Nitrit : negatif
pH : 6,0 (6,5-7)
Urobilinogen : normal
Elektrolit
Natrium : 3,6 mmol/L (3,3-5,1 mmol/L)
Kalium : 135 mEq/L (130-140 mEq/L)
Faal Ginjal
Kreatinin : 1,24 mg/dl (<0,9 mg/dl)

2. USG
Tampak JTH preskep
Biometri :
BPD
FL 38 minggu
AC
Di Plasenta fundus
Ketuban cukup sp.4,1
K/ hamil aterm JTH preskep
1.5. Diagnosa Kerja
G1P0A0 hamil aterm dengan PEB dan infertil primer 10 tahun inpartu kala I
fase laten janin tunggal hidup presentasi kepala + high social value baby.

1.6. Penatalaksanaan
1. Informed consent
2. Observasi tanda vital, DJJ, his
5

3. Stabilisasi
4. Injeksi MgSO4 4 gr i.v. (perlahahan dalam 10’-15’) dilanjutkan dengan
drip MgSO4 6 gr dalam asering 500 cc gtt xxv/m
5. Nifedipine 4 x 10 mg p.o.
6. Injeksi cefotaxime 2 x 1 gr i.v. (skin test)
7. Kateter menetap hitung input dan output
8. R/ Sectio Saesaria tanggal 3 April 2013 pukul 22.00 WIB
9. Cukur rambut kemaluan
10. Puasa mulai pukul. 14.00 WIB (3 April 2013)
11. Hubungin OK
12. Persiapan WB 2 kolf
13. Cek lab, DR, UR, CM.

1.7. Prognosis
Ibu : dubia
Anak : dubia

LAPORAN OPERASI

Hari/Tanggal : 2 April 2013


Nama Pasien/Umur : Ny. R/27 tahun
Alamat : Kayu Ara
Diagnosa : G1P0A0 hamil aterm dengan PEB dan infertil primer 10
tahun inpartu kala I fase laten janin tunggal hidup
presentasi kepala + high value baby.
Nama Operator : Dr. Taufik Firdaus Tahir, Sp.OG
6

Pukul 22.00 WIB Operasi dimulai


Pasien dalam posisi terlentang
Insisi abdomen mediana sampai menembus peritoneum
Tampak uterus gravidarus aterm
Dilakukan insisis SSTP
Bayi dilahirkan dengan meluksir kepala
Plasenta lahir lengkap
Dilakukan eksplorasi sisa (-) diskontinuitas (-)
Penjahitan sudur lukam dengan chromic no. 1
Penjahitan SBR dengan PGA no. 1.0 feston
Dilakukan eksplorasi perdarahan (-)
Penjahitan fascia dengan PGA no. 1.0
Dilakukan penjahitan kulit secara subkutikuler dengan PGA no.3.0
Luka operasi ditutup dengan sufratule dan hipafix.

Pukul 22.30 WIB Operasi selesai


Diagnosis pra bedah : G1P0A0 hamil aterm dengan PEB dan infertil primer 10
tahun inpartu kala I fase laten janin tunggal hidup
presentasi kepala + high value baby.
Diagnosis pasca bedah : P1A0 post SSTP a.i. lilitan tali pusat pada infertil primer
10 tahun + high social value baby
Tindakan : Sectio Saesarea Transperitoneal Profunda

Instruksi Post Operasi


- Observasi tanda-tanda vital
o Tiap 15 menit sampai dengan 1 jam post operasi
7

o Tiap 30 menit sampai dengan 4 jam post operasi


o Tiap 60 menit sampai dengan 20 jam post operasi
- Baring terlentang selama 24 jam post operasi (bantal tinggi)
- Puasa selama 2 jam post operasi, selanjutnya diet lunak TKTP
- Kateter menetap, catat input dan output
- IVFD asering : D5% = 1 : 3 gtt xx/menit (drip oksitosin 20 IU dalam 500
cc asering sampai 2 kolf)
- Obat-obatan
o Injeksi cefotaxime 2 x 1 gr i.v. (skin test)
o Metronidazole flsh 3 x 500 mg
o Inj. tramadol 3 x 100 mg i.v.
o Inj. Asam traneksamat 3 x 250 mg i.v.
- Nifedipine 4 x 10 mg po
- Cek laboratorium Hb post operasi (Hb post operasi = 9,3 gr/dl)

Follow up tanggal 3 April 2013 :


S : nyeri luka operasi
O : Status present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : compos mentis Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/m RR : 18 x/m
Suhu : 370 C
St. Obstetri :
PL : abdomen datar, nyeri tekan pada luka operasi, TCB (-), FUT 2 jbpst,
kontraksi baik, perdarahan aktif negatif (-), lokhia rubra (+)
8

A : P1A0 post SSTP a.i. lilitan tali pusat pada infertile primer perawatan hari I
P:
- Observasi TVi, tanda-tanda perdarahan
- Imobilisasi
- Diet biasa
- ASI sesuai kebutuhan bayi
- Vulva hygene
- IVFD asering : D5% = 2 : 1 gtt xx/m
- Injeksi cefotaxime 2 x 1 gr
- Inj. tramadol 1 x 60 mg i.v
- Metrodinazole flsh 3 x 500 mg
- Inj. as. traneksamat 3 x 250 mg i.v.

Follow up tanggal 4 April 2013 :


S : habis operasi melahirkan
O : Status present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : compos mentis Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/m RR : 20 x/m
Suhu : 370 C

St. Obstetri :
PL : abdomen datar, nyeri tekan pada luka operasi, TCB (-), FUT 2 jbpst,
kontraksi baik, perdarahan aktif negatif (-), lokhia rubra (+)
A : P1A0 post SSTP a.i. lilitan tali pusat pada infertile primer perawatan hari II
P:
- Observasi TVi, tanda-tanda perdarahan
- Mobilisasi duduk
- Diet biasa
- ASI sesuai kebutuhan bayi
- Vulva hygene
9

- Up kateter
- Up infus  setelah injeksi 1 kali lagi, obat ganti per oral
- Ciprofloxacin 2 x 500 mg p.o
- Metronidazole 3 x 500 mg p.o
- Asam mefenamat 3 x 500 mg p.o
- Folaplus 1 x 1 tab p.o

Follow up tanggal 4 April 2013 :


S : habis operasi melahirkan
O : Status present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : compos mentis Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/m RR : 20 x/m
Suhu : 36,50 C
St. Obstetri :
PL : abdomen datar, nyeri tekan pada luka operasi, TCB (-), FUT 2 jbpst,
kontraksi baik, perdarahan aktif negatif (-), lokhia rubra (+)
A : P1A0 post SSTP a.i. lilitan tali pusat pada infertile primer perawatan hari III
P:
- Observasi TVi, tanda-tanda perdarahan
- Mobilisasi jalan
- Diet biasa
- ASI sesuai kebutuhan bayi
- Vulva hygene
- Ciprofloxacin 2 x 500 mg p.o
- Metronidazole 3 x 500 mg p.o
- Asam mefenamat 3 x 500 mg p.o
- Folaplus 1 x 1 tab p.o
10

BAB II
PERMASALAHAN

2.1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?


2.2. Apakah penatalaksanaan kasus ini sudah tepat?
2.3. Bagaimana prognosis ibu untuk kehamilan selanjutnya?
11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PREEKLAMPSIA
Dalam proses perkembangannya kehamilan dapat disertai hipertensi.
Hipertensi yang terjadi dalam kehamilan bisa tanpa gejala-gejala klinis lainnya
atau dengan gejala klinis yang dapat mengancam nyawa ibu hamil. Menurut
Report on The National High Blood Pressure Education Program Working
Group on High Blood Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183, 5. July 2000),
hipertensi dalam kehamilan diklasifikasi sebagai berikut :1-3
12

1. Hipertensi Gestasional. Pada kehamilan dijumpai tekanan darah ≥


140/90 mmHg, tanpa disertai proteinuria dan biasanya tekanan
darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca-persalinan.
2. Preeklampsia. Apabila dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria ≥ 300
mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ 1 +.
3. Eklampsia. Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia,
dapat disertai koma.
4. Hipertensi Kronik. Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20
minggu, ditemukan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan tidak
menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan.
5. Hipertensi Kronis dengan Super Imposed Preeklampsia. Pada
wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria ≥ 300
mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan
tanda preeklampsia lainnya.
Hipertensi pada pasien dengan pre-eklampsia biasanya timbul lebih
dulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis preeklampsia,
kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang
biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Sedangkan tekanan
diastolik naik 15 mmHg atau lebih, atau mencapai 90 mmHg atau lebih.
Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam
pada keadaan istirahat.1-3
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam
jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta
pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan
sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk
penentuan diagnosis pre-eklampsi. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu
dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan mencapai
1 kg seminggu beberapa kali menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya
pre-eklampsia.1-3
13

Protein urin 24 jam merupakan standar emas untuk pengukuran


proteinuria pada hipertensi kehamilan. Proteinuria berarti konsentrasi protein
dalam urine melebihi 0,3 g/liter/ 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan 1 atau 2+ atau 1 g/liter atau lebih dalam urine yang dikeluarkan
dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan
kenaikan berat badan, karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup
serius.1-3
3.1.1 Definisi
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria,
edema, atau kedua-duanya yang disebabkan oleh kehamilan setelah
minggu ke-20 dan terkadang timbul lebih dini jika terdapat perubahan-
perubahan hydatidiform yang ekstensif pada villi chorialis.1-3
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik
preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi
(didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90
mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru
proteinuria (didefinisikan sebagai > 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada
urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema
yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa
edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.1-3

3.1.2 Klasifikasi
Preeklampsia digolongkan preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut1-3:
Preeklampsia ringan
1. Tekanan darah sistolik ≥ 140/90-- < 160/110 mmHg. Kenaikan
tekanan sistolik ≥ 30 mm Hg dan kenaikan tekanan diastolik ≥ 15
mmHg tidak dimasukkan dalam kriteria diagnosis preeklampsia
tetapi perlu observasi yang cermat.
2. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam satu minggu.
3. Proteinuria ≥ 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitas +1 sampai +2
urin kateter atau urin aliran pertengahan.
14

Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau
lebih gejala dan tanda di bawah ini:
1. Tekanan darah: pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik ≥160
mmHg dan tekanan diastolik ≥ 110 mmHg.
2. Proteinuria: ≥ 5 gr/jumlah urine selama 24 jam atau dipstick: 4+.
3. Oliguria: produksi urine < 400-500 cc/24 jam.
4. Edema paru dan sianosis.
5. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen:
disebabkan teregangnya kapsula Glisone. Nyeri dapat sebagai gejala
awal rupture hepar.
6. Gangguan otak dan visus yang menetap : perubahan kesadaran, nyeri
kepala, skotomata, dan pandangan kabur.
7. Gangguan fungsi hepar: Peningkatan alanine atau aspartate amino
transferase.
8. Hemolisis mikroangiopati.
9. Trombositopenia: < 100.000 cell/mm3 / hemolisis intravaskular yang
jelas.
10. Sindroma HELLP.
11. Kemunduran pertumbuhan fetus.

3.1.3 Faktor Risiko


Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia, antara
lain4:
1. Risiko yang berhubungan dengan frekuensi kehamilan dan persalinan,
usia, dan pasangan
a. Primigravida. Preeklampsia telah diakui sebagai penyakit yang
banyak ditemui pada primigravida. Di kehamilan pertama, risiko
mengalami preeklampsia jauh lebih tinggi.
b. Primipaternitas
c. Umur yang ekstrim. Ibu hamil yang umurnya terlalu muda atau
terlalu tua mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami
preeklampsia. Spellacy dkk melaporkan bahwa pada wanita usia di
atas 40 tahun, kejadian preeklampsi meningkat tiga kali lipat (9,6%
berbanding 2,7%) dibandingkan dengan wanita kontrol yang berusia
15

20 sampai 30 tahun. Disimpulkan angka kejadian meningkat pada


primigravida muda dan meningkat tajam pada primigravida tua.
d. Pasangan laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil
dan mengalami preeklampsia.
e. Pemaparan terbatas terhadap sperma.
f. Inseminasi donor dan donor oosit.
2. Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan
riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat pernah preeklampsia. Ibu hamil dengan sejarah keluarga
menderita preeklampsia akan meningkatkan risiko ikut terkena
preeklampsia. Cinnotta pada penelitian prospektif terhadap 386
primigravida yang menderita preeklampsia menyimpulkan bahwa
ibu dengan riwayat keluarga menderita preeklampsia mempunyai
risiko preeklampsia 3 kali dan meningkat menjadi 4 kali pada
preeklampsia berat.
b. Hipertensi ronik
c. Penyakit ginjal
d. Obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia,
Stone dkk mendapatkan faktor risiko preeklampsia berat pada semua
wanita yang obesitas. Obesitas sering dihubungkan dengan
hipertensi kronis, dan tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor
independen untuk terjadinya preeklampsia.
e. Diabetes gestational, diabetes mellitus tipe I.
f. Antiphospholipid antibodies dan hiperhomosisteinemia.
3. Risiko yang berhubungan dengan kehamilan
a. Mola hidatidosa.
b. Kehamilan multiple. Mengandung bayi kembar juga meningkatkan
risiko preeklampsia.
c. Infeksi saluran kemih saat kehamilan.
d. Hidrops fetalis.
4. Risiko yang berhubungan dengan sosial ekonomi
16

Meskipun ada pendapat yang mengatakan kekurangan nutrisi dapat


menyebabkan preeklampsia, hipotesa ini kurang didukung oleh data
yang memadai. Bila kehamilan menyebabkan wanita kekurangan nutrisi,
mestinya preeklampsia lebih sering ditemukan pada multipara dari pada
nullipara, nyatanya adalah sebaliknya. Lebih lanjut penelitian dengan
nutrisi tambahan, tidak ditemukan penurunan frekuensi preeklampsia.
3.1.4 Patogenesis
Preeklampsia dulunya dikenal sebagai toksemia, karena diperkirakan
adanya racun dalam aliran darah ibu hamil. Meski teori ini sudah dibantah,
tetapi penyebab preeklampsia hingga kini belum diketahui. Ada beberapa
teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di
atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory.
Adapun teori-teori tersebut antara lain4-5:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan


Pada preeklampsia-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang
pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan
fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin.
Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit
fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2)
dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa
pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap
antigen plasenta tidak sempurna sehingga hal ini akan menimbulkan
respon imunitas yang tidak menguntungkan terhadap plasenta. Pada
kehamilan berikutnya pembentukan blocking antibodies ini lebih banyak
dan semakin sempurna akibat respon pada kehamilan yang lalu.
17

Fierlie F.M. tahun 1992 mendapatkan beberapa data yang mendukung


adanya sistem imun pada penderita preeklampsia-eklampsia, antara lain:
1. Beberapa wanita dengan preeklampsia-eklampsia mempunyai
kompleks imun dalam serum.
2. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem
komplemen pada preeklampsia-eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat
menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen
terjadi pada preelampsia-eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem
imunologi bisa menyebabkan preeklampsia-eklampsia.

3. Peran Faktor Genetik/Familial


Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada
kejadian preeklampsia-eklampsia antara lain:
1. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
2. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia
sebesar 26% dan kejadian eklamsi sebesar 2% pada anak-anak dari
ibu yang menderita preeklampsia-eklampsia.
3. Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia-eklampsia
pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia-
eklampsia dan bukan pada ipar mereka.
4. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS).
Beberapa peneliti menghubungkannya dengan kelainan genetik yang
diturunkan oleh gen resesif tunggal. Gen angiotensinogen (yang terletak
pada kromosom Iq) varian T 235 atau adanya mutasi factor V Leiden.
4. Peran Faktor Gizi
18

Diet yang kurang mengandung asam lemak esensial terutama asam


arakidonat (prekursor sintesis prostaglandin) dapat menyebabkan Loss
Angiotensin Refractironess, yang kemudian menimbulkan preeklampsia,
walaupun hal ini bukan faktor utama penyebab terjadinya preeklampsia.
WHO Expert Commitie on Nutrition in Pregnancy and Lactation
menyatakan tidak ada dasar ilmiah yang dapat dipercaya bahwa
kekurangan zat makanan essensial menjadi faktor predisposisi
preeklampsia. Walaupun dinyatakan angka kejadian tidak menurun
melalui perubahan diet, tetapi risiko menjadi berat dapat dikurangi.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa faktor protein, karbohidrat, ataupun
total energi di dalam diet tidak berpengaruh terhadap angka kejadian
preeklampsia.
5. Peran Trofoblas
Perubahan awal yang terjadi pada preeklampsia adalah kegagalan
invasi trofoblas pada arteri spiralis di tempat implantasi. Pada kehamilan
normal ditemukan infiltrasi minimal trofoblas pada arteri spiralis pada
umur kehamilan 8-22 minggu dan gelombang kedua pada umur
kehamilan 18-20 minggu. Proses ini menyebabkan arteri spiralis pasif
dan resistensi pembuluh darah rendah sehingga dapat secara maksimal
mengalirkan darah pada ruang intervillus plasenta. Pada preeklampsia
ditemukan gagalnya invasi trofoblas gelombang kedua, dengan
ditemukannya acute atherosis yang menyebabkan aliran darah
uteroplasenter terganggu.
6. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity
Preventing Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan,
asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil
dengan kadar albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam
lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar akan
menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana
19

VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek


toksik dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keenam faktor di atas tidak berdiri sendiri,
tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi
trofoblast dan terjadinya iskemia plasenta.2-3
Menurut Jaffe dkk tahun 1995 pada preeklampsia ada dua tahap
perubahan yang mendasari patogenesisnya. Tahap pertama adalah:
hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam
arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblast pada
dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua
kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna
dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus
diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta.1-3
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat
toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase
dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidative
stress yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih
dominan dibandingkan antioksidan. Oxidative stress pada tahap
berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut
disfungsi endotel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endotel
pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia.1-3
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat
yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida,
dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endotelium I, tromboksan,
dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan
terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan
mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan
pembentukan trombus.5
20

Gambar 1. Bagan Proses Plasentasi Normal dan


Abnormal pada Preeklampsia
21

Gambar 2. Patogenesis Preeklampsia dan Eklampsia


Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh
penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan
kegagalan organ seperti1-3:
1. Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
3. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru
dan oedema menyeluruh.
4. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
5. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
6. Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang,
kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
7. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin,
hipoksia janin, dan solusio plasenta.
3.1.5 Penegakan Diagnosis
3.1.5.1 Anamnesis
1. Adanya gejala-gejala: sakit kepala, masalah penglihatan
termasuk kebutaan sementara, pandangan buram dan lebih
22

sensitif pada cahaya/silau, nyeri perut bagian atas biasanya di


bawah rusuk sebelah kanan, muntah, pusing, berkurangnya
volume urin, berat badan yang naik secara cepat, biasanya di
atas 2 kg per minggu, pembengkakan (edema) pada wajah dan
tangan sering menyertai preeklampsia walau tidak selalu sebab
edema kerap terjadi pada kehamilan yang normal.
2. Penyakit terdahulu: adanya hipertensi dalam kehamilan,
penyulit pada pemakaian kontrasepsi hormonal, penyakit
ginjal, dan infeksi saluran kemih.
3. Riwayat penyakit keluarga: ditanyakan riwayat kehamilan dan
penyulitnya pada ibu dan saudara perempuannya.
4. Riwayat gaya hidup: keadaan lingkungan sosial, apakah
merokok atau minum alkohol.

3.5.1.2 Pemeriksaan Fisik


1. Kardiovaskuler: evaluasi tekanan darah, suara jantung, pulsasi
perifer.
2. Paru: auskultasi paru untuk mendiagnosis edema paru.
3. Abomen: palpasi untuk menentukan adanya nyeri pada hepar,
evaluasi keadaan rahim dan janinnya.
4. Refleks: adanya klonus.
5. Funduskopi: untuk menentukan adanya retinopati grade I-III.
3.1.6 Tatalaksana
Penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang definitif
adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam
penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan
janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan
seberapa jauh keterlibatan organ.1-3
Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah1-3:
1. Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping
itu mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
23

2. Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk


keadaan ibu hamil.
Dasar pengelolaan pre-eklampsia berat antara lain1-3,5:
1. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya, yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya.
2. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya, yang
tergantung pada umur kehamilan. Sikap terhadap kehamilannya dibagi
dua, yaitu:
a. Ekspektatif; konservatif: bila umur kehamilan <37 minggu,
artinya kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil
memberikan terapi medikamentosa.
b. Aktif; agresif: bila umur kehamilan ≥37 minggu, artinya
kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi ibu.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas
penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada kehamilan
preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan hasil
perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58
wanita dengan preeklampsia berat dengan usia kehamilan 28-34
minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan
kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau
ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena
indikasi ibu dan janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan
kelompok penanganan aktif diterminasi kehamilannya setelah 72
jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif melahirkan
pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk juga
menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok
dengan penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan
Witlin dkk melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin
terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan
selama penanganan secara ekspektatif.
c. Penderita belum inpartu
24

1. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥8. Dalam


melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak,
induksi persalinan dianggap gagal dan harus disusul dengan
pembedahan seksio sesaria.
2. Pembedahan seksio sesaria dapat dilakukan jika tidak ada
indikasi untuk persalinan pervaginam atau bila induksi
persalinan gagal, terjadi maternal distress, fetal distress, atau
umur kehamilan <33 minggu.

d. Bila penderita sudah inpartu


Beberapa prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
2. Memperpendek kala II
3. Pembedahan seksio sesaria dilakukan bila terdapat maternal
distress dan fetal distress.
4. Primigravida direkomendasikan pembedahan seksio sesaria.
5. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak
dianjurkan anastesia umum..
Penanganan sesuai kondisi adalah sebagai berikut:
1. Kala I
a. Fase aktif: 6 jam tidak masuk fase aktif dilakukan SC.
b. Fase laten: Amniotomi saja, 6 jam kemudian pembukaan
belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oksitosin).
2. Kala II. Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan
VE/FE.
Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, kita sedapat
mungkin harus berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada
kehamilan aterm persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila
dibandingkan dengan seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya
memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending eklampsia, kehamilan
harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di samping itu
pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat.
Biometri janin harus dievaluasi 2 kali seminggu, bila keadaan janin
25

memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari


keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau
perabdominal. Pada kehamilan preterm ≤ 34 minggu yang akan dilakukan
terminasi pemberian kortikosteroid seperti deksametason atau betametason
untuk pematangan paru harus dilakukan.1-3

Gambar 3. Tatalaksana Preeklampsia Berat dan Ringan


Pada penderita preeklampsia berat obat-obat yang dapat diberi
untuk memperbaiki keadaan ibu dan janinnya adalah1-3:
1. Magnesium sulfat (MgSO4)
a. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah
dan mengurangi terjadinya kejang. Di samping itu juga untuk
mengurangi komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin.
b. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak seluruhnya
diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-methyl D Aspartate
(NDMA) reseptor inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium
ke dalam neuron pada sambungan neuro muskuler (neuro muscular
junction) ataupun pada susunan saraf pusat. Dengan menurunnya
kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan menurun dan
kontraksi otot yang berupa kejang dapat dicegah.
26

c. Larutan MgSO4 40% sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan


intramuskular masing-masing bokong kiri dan kanan sebagai dosis
permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan.
Ini diberikan sampai 24 jam pascapersalinan atau hentikan bila 6
jam pascapersalinan ada perbaikan nyata ataupun tampak tanda-
tanda intoksikasi.
d. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella kuat, frekuensi
pernapasan > 16 kali per menit, dan diuresis > 100 cc dalam 4 jam
sebelumnya (0,5 ml/kgBB/jam), dan tersedia antidotum MgSO4
yaitu kalsium glukonas 10% 10 ml yang dapat segera diberikan
secara intravena dalam 3 menit.
2. Antihipertensi
Penggunaan obat hipotensif pada pre-eklampsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Diberikan bila tekanan darah
mencapai ≥180/110 mmHg. Jenis obat yang biasa diberikan adalah
nifedipine 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam atau satu-satunya antihipertensi yang tersedia
dalam bentuk suntikan. 1 ampul mengandung 0,15 mg/ml, caranya: 1
ampul klonidin diencerkan dalam 10 ml larutan garam faal atau
aquadest. Disuntikkan mula-mula 5 ml i.v pelan-pelan selama 5 menit;
setelah 5 menit tekanan darah diukur, bila belum turun, diberikan lagi
sisanya. Klonidin dapat diberikan tiap 4 jam sampai tekanan darah
mencapai normal.
3. Kortikosteroid
Berikan deksametason 2 x 6 mg selama 2 hari atau betametason 2 x
12 mg untuk pematangan paru pada umur kehamilan 32-34 minggu.
4. Diuretikum
Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena dapat
memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat hipovolemia,
dan meningkatkan hemokonsentrasi. Diuretikum hanya diberikan
hanya atas indikasi: edema paru, payah jantung kongestif, dan edema
anasarka.
5. Konsul ke bagian ilmu kesehatan mata dan ilmu penyakit dalam.
27

Pencegahan perlu dilakukan dalam bentuk upaya mencegah


terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko
terjadinya preeklampsia. Pencegahan dapat dilakukan dengan1-3:
1. Non medikal
a. Restriksi garam: tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia.
b. Suplementasi diet yang mengandung:
i.Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,
misalnya omega-3 PUFA
ii.Antioksidan: vitamin C, vitamin E, β-carotene, CoQ10, N-
Acetylcysteine, asam lipoik
c. Elemen logam berat: zinc, magnesium, kalsium.
d. Tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia
dan mencegah persalinan preterm. Di Indonesia tirah baring
masih diperlukan pada mereka yang mempunyai risiko tinggi
terjadinya preeklampsia.
2. Medikal
a. Diuretik: tidak terbukti mencegah preeklampsia bahkan
memperberat hipovolemia.
b. Antihipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya
preeklampsia
c. Kalsium 1500-2000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen
pada risiko tinggi terjadinya preeklamsia meskipun belum
terbukti bermanfaat untuk mencegah preeklampsia.
d. Zinc 200 mg/hari
e. Magnesium 365 mg/hari
f. Obat anti trombotik:
i. Aspirin dosis rendah: rata-rata di bawah 100 mg/hari tidak
terbukti mencegah preeklampsia.
ii. Dipyridamole.
28

3.1.7 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka
gejala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera
setelah persalinan berakhir, perubahan patofisiologik akan segera
mengalami perbaikan. Diuresis terjadi dalam 12 jam kemudian setelah
persalinan. Keadaan ini merupakan prognosis yang baik karena hal ini
merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal
dalam beberapa jam kemudian.1-3

3.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Komplikasi
yang biasa terjadi pada pre-eklampsia berat antara lain1-3:
Pada ibu:
1. Solutio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang
menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia.
2. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus.
3. Perdarahan otak, hipertensi ensefalopati, edema serebri
4. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang
terjadi pada retina dan edema retina bahkan makular atau retina
detachment, hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia
serebri.
5. Edema paru-paru, depresi pernapasan, iskemia miokardium. Hal ini
disebabkan karena payah jantung.
6. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, peningkatan enzim-enzim hepar,
dan trombositopenia
7. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal.
8. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
29

Pada janin:
1. Prematuritas
2. Pertumbuhan janin terhambat
3. Sindrom distres napas
4. Necrotizing Enterocolitis
5. Sepsis
6. Cerebral Palsy
7. Kematian janin intrauterin

3.2 INFERTILITAS
3.2.1. Definisi
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan
suami istri untuk menghasilkan kehamilan atau membawa kehamilan
dampai cukup bulan, setelah selama 12 bulan lebih melakukan
senggama secara teratur tanpa kontrasepsi. Pada populasi normal
dalam tahun pertama 85% pasangan akan mendapatkan kehamilan,
sedangkan sisanya 50% akan mendapatkan kehamilan dalam tahun
kedua (angka kehamilan kumulatif sebesar 92% dan 93% untuk tahun
ke-3).5
3.3.2. Etiologi
Penyebab utama infertilitas adalah disfungsi sperma, gangguan
ovulasi dan kerusakan tuba. Disfungsi sperma (motilitas, morfologi,
survival, dan kemampuan terhadap lendir vagina dan seviks) sering
menyebabkan infertilitas dengan kasus azoospermia terjadi pada 2%
kasus.4-5
Wanita dengan ganguan ovulasi akan memiliki siklus menstruasi
yang tidak teratur, oligomenorrhea atau amenorrhea. Sebagian besar
kasus oligomenorrhea dan 30% kasus amenorrhea disebabkan sindrom
ovarium polikistik.
Obstruksi dan kerusakan tuba (paling sering disebabkan oleh
infeksi Chlamydia) serta perlengketan tuba dan ovarium (karena
30

riwayat operasi atau endometriosis) terjadi pada 20% kasus yang datang
ke klinik infertilitas. Penyebab lain infertilitas yang perlu diperhatikan
adalah endometriosis dan kelainan lendir vagina atau serviks.
Sekitar 15% pasangan memiliki > 1 faktor penyebb infertilitas
karena itu sangan penting bagi seorang dokter untuk melakukan
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh terhadap
segala kemungkinan penyebab infertilitas. Walaupun telah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh, masih terdapat 25% pasangan yang tidak
diketahui penyebab infertilitasnya, kasus ini digolongkan sebagai
unexplained infertility.
Faktor lain yang turut mempengaruhi fertilitas adalah usia ibu.
Meningkatnya usia ibu akan menurunkan fertilitas dan keberhasilan
tatalaksana infertilitas. Cadangan fungsi ovarium dapat dilihat dengan
menilai kadar FSH dalam darah. Wanita dengan nilai FSH yang tinggi
berarti tidak memiliki fungsi cadangan yang baik dan hal ini memiliki
prognosis buruk bagi fertilitas.
Obesitas (indeks massa tubuh 25-30) atau penurunan berat badan
drastis dapat menyebabkan dan mempengaruhi keberhasilan beragai
modalitas terapi dalam kasus infertilitas, termasuk dapat meningkatkan
risiko abortus. Kebiasaan merokok pada wanita juga menurunkan
fertilitas.

3.3.3. Diagnosis dan Penatalaksanaan


Penilaian awal
Penilaian awal infertilitas pada wanita harus meliputi anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Tujuan penilaian ini adalah untuk
menilai adanya penyakit sistemik, kelainan genetik dan kelainan
endokrinologi. Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan untuk
mengetahui kemungkinan penyakit genetik (misalnya sindrom ovarium
polikistik). Pemeriksaan fisik meliputi indeks mass tubuh, payudara,
galaktorrhea, hirsutisme, virilisasi, kelainan neurologi (gangguan
31

penciuman dan lapang pandang) serta pemeriksaan daerah pelvik.


Pemeriksaan pelvik harus memperhatikan kelainan yang ada di daerah
geitalia eksterna, vagina, serviks, uteru, dan daerah rektovagina.
Sedangkan untuk penilaian awal infertilitas pada pria meliuti
pertumbuhan rambut, kelainan payudara (ginekomastia dan sekret),
kelaainan neurologi (anosmia dan gangguan lapang pandang) dan
penilaian genitalia eksterna. Penilaian genitalia eksterna pada pria harus
meliputi ukuran dan lokasi urethra eksternus, testis bilateral dan
varikokel. Perlu pula ditanyakan riwayat operasi (hernia, orchodopexy,
atau torsio testis).
Saat penilaian awal ini merupakan hal yang paling penting karena
itu setiap dokter harus bertemudan menerangkan dengan jelas pada
pasangan suami istri yang berobat. Mulai pendekatan ini juga dapat
diketahui frekuensi dan kualitas hubungan seksual yang biasa dilakukan
dan apakah selama melakukan hubungan seksual pasangan tersebut
memakai obat-obatan (pelumas) yang dapat bersifat toksik bagi sperma.
Keluhan infertilitas merupakan hal sensitif yang seringkali
menyebabkan pasien depresi, cemas, marah bahkan dapat menyebabkan
perceraian. Walaupun penyebab infertilitas hanya salah satu dari
pasangan suami istri saja, tetapi dokter harus menekankan bahwa
masalah ini merupakan masalah bersama antara suami dan istri.
Seringkali penyebab infertilitas merupakan gabungandar beberapa
faktor dalam sistem reproduksi karena penilaian inferilitas harus
dilakukan secara menyeluruh dan cermat.
Penilaian infertilitas
Penilaian inertilitas pada wanita meruppakan hal yang kompleks
dan acapkali harus dilengkapi dengan pemeriksaan darah lengkap,
urinalisis, penyakit menular seksual (terutama bila terdapat faktor
risiko), pemeriksaan antibodi terhadap toksoplasma, rubella,
cytomegalo dan herpes virus (TORCH), serta pemeriksaan pap smear.
32

Pemeriksaan yang harus diakukan pada kasus infertillitas adalah


sebagai berikut:
1. Analisis sperma
Pemeriksaan demen merupakan pemeriksaan pertama yang harus
dilakukan pada pria. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah
sperma yang sedikit atau tidak ada maka pemeriksaan ini harus
diulangi 2-3 bulan selanjutnya mengingat siklus perkembangan
sperma yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain temperatur. Kriteria analisis sperma yang normal sesuai dengan
yang ditetapkan WHO. Pemeriksaan uji senggama (post coital test)
bersifat kontroversial dan tidak bermakna.
2. Penilaian fungsi ovulasi
Siklus menstruasi teratur (21-35 hari) merupakan inndikasi adanya
proses ovulasi. Deteksi proses ovulasi dengan menggunakan kurva
kenaikan suhu basal saat ini tidak direkomendasikan lagi. Teknik
untuk mendeteksi adanya ovulasi adalah de ngan cara mengukur
kadar hormon progesteron pada fase midluteal (+ hari ke 21  > 5
ng/ml). Pasien yang datang dengan keluhan siklus menstrusi yang
tidak teratur menggambarkan proses ovulasi yang terganggu, oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan hormonal. Tetapi bila siklus
menstruasi teratur dan infertilitas sudah berlangsung > 2 tahun
maka pasien juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
hormon (FSH, LH, E2, dan progesteron). Kadar hormon FSH dan
LH dianjurkan untuk diperiksa antara hari ke 2-5 siklus menstruasi.
Pemeriksaan lain yang penting dilakukan pada pasien dengan siklus
menstruasi adalah TSH dan prolaktin. Hiperprolaktinemia jarang
dijumpai bila tidak ada keluhan amenorrhea.
Gangguan ovulasi terjadi pada > 25% wanita infertil dengan
keluhan amenorrhea, oligomenorrhea, atau siklus menstruasi
ireguler. Keluhan oligomenorrhea kebanyakan disebabkan oleh
33

sindrom overium polikistikdengan 8-10% dijumpai peningkatan


kadar prolaktin.
Sindrom ovarium polikistik ditegakkan bila dijumpai 2-3 tanda
dibawah ini:
 Hiperandrogen klini atau laboratoris (penilaian 17-
hidroksiprogesteron dan dehidroepiandrosteron)
 Oligoovulasi
 Ovarium polikistik (Ultrasonografi)
3. Kerusakan Tuba
Pada setiap kaus infertilitas harus dilakukan pemeriksaan terhadap
patensi kedua tuba falopii. Kurang lebih 20% kasus infertilitas
disebabkan oleh faktor tuba. Bila dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik tidak dicurigai adanya kelainan pada tuba maka disarankan
untuk melakukan pemeriksaan histerosalpingografi (HSG). Bila
hasil HSG yang abnormal maka sebaiknya dilanjutkan dengan
tindakan laparoskopi mengingat pada tindakan HSG mungkin
terjadi spasme dari kornu yang menghambat patensi tuba. Oklusi
pada tuba dapat diperbaiki melalui tindakan laparoskopi atau bedah
mikro dengan kebberhasilan 15-35%. Saat ini infertilitas yang
disebabkan oleh faktor tuba dianjurkanuntuk mengikuti program In
Vitro Fertilization (IVF) dengan keberhasilan 25%. Bila dijumpai
hidrosalping maka sebelumnya perllu dilakukan tindakan
salpingektomi terlebih dahulu mengingaat kondisi ini sangat
mempengaruhi keberhasilan program IVF.
4. Endometriosis
Endometriosi dijumpai pada 5-10% kasus infertilitas dengan
kemungkinan kehamilan setiap bulan bagi pasangan yang
menderita endometriosis berkisar 2-3% dibandingkan dengan
pasangan normal yang memiliki kemungkinan kehamilan sampai
20%. Saat ini pengobatan surgikal endometriosis banyak dilakukan
untuk meningkatkan keberhasilan terapi terutama bila
34

endometriosis berada pada stadium sedang-berat yang sering


menyebabkan perlengketan genitalia interna sehingga dapat
menyebabkan infertilitas.
5. Unexplained infertility
Sebanyak 30% pasangan infertil memiliki hasil pemeriksaan yang
normal pada funngsi ovulasi, sperma dan patensi tubasehinga kasus
ini dimasukkan ke dalam unexplained infertility. Salah satu faktor
yang memegang kontribusi pada kasus ini adalah usia ibu, terutama
bila usia ibu > 37 tahun. saat ini manajemen awal dari unexplained
infertility adalah dengan ,melakukan inseminasi intrauterin
sebanyak 3-6 siklus dengan kemungkinan kehamilan sebesar 9,5%
bila dilakukan induksi ovulasi dengan klomifen sitrat dibandingkan
dengan 3,3% bila tanpa induksi ovulasi. Bila terapi ini belum
berhasil maka pilihan selanjutnya adalah dengan menggunaakan
gonadotropin.

3.3 LILITAN TALI PUSAT


3.3.1 Definisi
Lilitan tali pusat (nuchal cord) adalah situasi dimana terdapat satu
atau lebih tali pusar yang melilit di sekitar leher janin.
3.3.2 Epidemiologi
Insidensi lilitan tali pusat pada leher satu kali, dua kali, tiga kali,
dan empat kali pada saat persalinan dilaporkan sebanyak 10.6% ; 2.5%;
0.5%; 0.1%.
Nuchal cord lebih sering terjadi pada bayi laki-laki karena bayi
laki-laki cenderung memiliki tali pusat yang lebih panjang, sehingga
lebih memungkinkan terjadinya lilitan.
3.3.3 Faktor Risiko
a. Usia kehamilan. Kematian bayi pada trimester pertama atau kedua
sering disebabkan karena puntiran tali pusat secara berulang-ulang
ke satu arah. Ini mengakibatkan arus darah dari ibu ke janin melalui
35

tali pusat tersumbat total. Karena dalam usia kehamilan tersebut


umumnya bayi masih bergerak dengan bebas. Hal tersebut
menyebabkan kompresi tali pusat sehingga janin mengalami
kekurangan oksigen.
b. Polihidramnion. Kemungkinan bayi terlilit tali pusat semakin
meningkat.
c. Panjangnya tali pusat dapat menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali
pusat bayi rata-rata 50 – 60 cm. Namun, tiap bayi mempunyai
panjang tali pusat berbeda-beda. Panjang pendeknya tali pusat tidak
berpengaruh terhadap kesehatan bayi, selama sirkulasi darah dari
ibu ke janin melalui tali pusat tidak terhambat.
3.3.4 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi Giacomello, nuchal cord dibagi menjadi 2
tipe, yaitu :
a. Tipe I (a) : dapat lepas spontan
b. Tipe II (b) : tidak dapat terlepas spontan (tipe locking)
3.3.5 Diagnosis
Beberapa hal yang menandai bayi terlilit tali pusat, yaitu :
a. Pada bayi dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu, namun
bagian terendah janin (kepala atau bokong) belum memasuki
pintu atas panggul perlu dicurigai adanya lilitan tali pusat.
b. Pada janin letak sungsang atau lintang yang menetap meskipun
telah dilakukan usaha untuk memutar janin (versi luar/knee chest
position) perlu dicurigai pula adanya lilitan tali pusat.
c. Dalam kehamilan dengan pemeriksaan USG, khususnya colour
doppler dan USG 3 dimensi dapat dipastikan adanya lilitan tali
pusat.
d. Dalam proses persalinan pada bayi dengan lilitan tali pusat yang
erat, umumnya dapat dijumpai dengan tanda penurunan detak
jantung janin di bawah normal, terutama pada saat kontraksi
rahim.
36

3.3.6 Tatalaksana
Jika bayi terlilit tali pusat, maka harus segera diambil keputusan
yang tepat untuk melanjutkan persalinan, yaitu dengan memberikan
oksigen pada ibu dalam posisi miring. Namun, bila persalinan masih
akan berlangsung lama dan detak jantung janin semakin lambat
(bradikardia), persalinan harus segera diakhiri dengan tindakan operasi
saesar.
Sebenarnya, bantuan USG hanya dapat melihat adanya gambaran
tali pusat di sekitar leher. Namun, tidak dapat dipastikan sepenuhnya
bahwa tali pusat tersebut melilit leher janin atau tidak. Apalagi untuk
menilai erat atau tidaknya lilitan. Dapat saja tali pusat tersebut hanya
berjalan di samping leher bayi. Namun, dengan USG berwarna (collor
doppler) atau USG 3 dimensi, kita dapat lebih memastikan tali pusat
tersebut melilit atau tidak di leher janin, serta menilai erat tidaknya
lilitan tersebut.
3.3.7 Prognosis
Lilitan tali pusat tidak memiliki efek yang merugikan. Hal ini
terbukti pada komplikasi intrapartum seperti denyut jantung janin
irreguler dan cairan amnion yang bercampur mekonium terjadi
peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Skor APGAR < 7 pada menit
pertama menurun secara signifikan pada lilitan tali pusat pada leher.
3.3.8 Komplikasi
a. Terbentuk cord knot
b. IUGR (intra uterine growth restriction)
c. Pertumbuhan janin terhambat
37

BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada tanggal 2 April 2013, Ny. Y berusia 27 tahun, alamat Kayu Ara,
kebangsaan Indonesia, pekerjaan ibu rumah tangga datang ke RSUD Sekayu
dengan keluhan mau melahirkan dengan darah tinggi dan cukup bulan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, penderita didiagnosis G1P0A0
hamil aterm dengan PEB dan infertil primer 10 tahun inpartu kala I fase laten
janin tunggal hidup presentasi kepala + high social value baby.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg.
Kemungkinan diagnosis yang diperkirakan pada kasus ini adalah PEB, eklampsia,
hipertensi gestasional, hipertensi kronik dalam kehamilan. Pada kasus ini,
eklampsia disingkirkan karena pasien belum mengalami kejang. Hipertensi kronik
dalam kehamilan disingkirkan karena tidak ada riwayat hipertensi sebelum
kehamilan. Untuk menentukan penyakit yang diderita pasien, maka dilakukan
pemeriksaan penunjang laboratorium. Pada hasil pemeriksaan protein urin
didapatkan hasil proteinuria +3. Jadi, hipertensi gestasional dapat disingkirkan
dan dapat ditegakan diagnosis preeklampsia berat.
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan suami istri
untuk menghasilkan kehamilan atau membawa jehailan sampai cukup bukan,
setelah selama 12 bulan atau lebih melakukan senggama secara teratur tanpa
kontrasepsi. Berdasarkan riwayat perkawinan, didapatkan pasien menikah 1 kali
dan lamanya 10 tahun. Pasien ini melakukan hubungan seksual tanpa
menggunakan kontrasepsi. Hal ini mendukung penegakan diagnosa infertil.
Infertil primer ditegakan apabila pasien tidak pernah hamil setelah selama 12
bulan menikah dan melakukan senggama tanpa kontrasepsi secara. Jadi, dalam hal
ini pasien didiagnosa infertil primer dan high social value baby.
38

Diagnosis inpartu dapat ditegakkan bila ada his teratur yang adekuat
minimal 2 kali dalam 10 menit selama 20 detik pada pasien primigravida dan
adanya perubahan dari serviks (pendataran dan penipisan), serta keluarnya darah
dan lendir (bloody show). Pada pasien ini his hanya 2 kali dalam 10 menit
lamanya 25 detik dan terdapat pendataran serviks 100 % dan pembukaan 1 cm,
sehingga dapat ditegakkan diagnosa peralinannya inpartu kala I fase laten.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tinggi fundus uteri 3 jari di bawah
processus xiphoideus (33 cm), memanjang, puka, kepala, penurunan 4/5. Dari
penunjang USG juga didapatkan tampak JTH preskep, biometri menunjukkan usia
kehamilan 38 minggu, plasenta di fundus, dan ketuban cukup. Dari kedua
pemeriksaan didapatkan kesimpulan hamil aterm janin tunggal hidup presentasi
kepala.
Dari semua anamnesa, pemerisaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan dapat ditegakkan diagnosa pasien ini adalah G1P0A0 hamil aterm
dengan PEB dan infertil primer 10 tahun inpartu kala I fase laten janin tunggal
hidup presentasi kepala + high social value baby.
Sesuai dengan prinsip terapi dari preeklampsia berat, yaitu melahirkan
bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu mencegah
komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada ibu dan mencegah terjadinya
kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu. Untuk mencegah
terjadinya kejang diberikan Inj. MgSO4 40% 4 gr bolus pelan dalam waktu 10
menit, IVFD asering + MgSO4 40% 6 gr gtt xx/m. Pemberian MgSO 4 harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain tersedianya Ca Glukonas, respiration rate
> 16 x per menit, refleks patela kuat, dan urin output > 100 cc/jam. Cara kerja
MgSO4 adalah menghambat masuknya kalsium ke dalam neuron pada neuro
muscular junction), dengan menurunnya kalsium yang masuk, maka penghantaran
impuls akan menurun dan kontraksi otot yang berupa kejang dapat dicegah.
Untuk memantau urin output yang merupakan salah satu syarat penggunaan
MgSO4 dilakukan pemasangan kateter. Pemberian nifedipine 4 x 10 mg per oral
untuk menurunkan tekanan darah. Dengan pertimbangan bahwa pasien ini
menderita infertil primer selama 10 tahun, yang menunggu kelahiran bayi dalam
39

waktu yang lama (high social value baby) maka direncanakan terminasi
perabdominal. Sebelum menjalani operasi melahirkan (seksio saesaria), pasien
puasa 8 jam sebelum operasi, injeksi cefotaxime (skin test) 1 gr i.v. satu jam
sebelum operasi dimulai, cukur rambut kemaluan untuk menurunkan risiko
terjadinya infeksi. Serta mempersiapkan kubutuhan darah (whole blood) untuk
kebutuhan transfusi apabila terjadi perdarahan pada pasien.
Prognosis ibu dan anak pada kasus ini adlaa dubia mengingat anggka
kematian bayi pada persalinan PEB lebih tinggi bila dibandingkan dengan
persalinan normal. Dengan pertimbangan bahwa preeklampsia merupakan salah
satu penyebab kematian maternal.
40

BAB V
KESIMPULAN

Diagnosis kasus ini sudah tepat karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang dapat diketahui bahwa penderita dapat didiagnosis
G1P0A0 hamil aterm dengan PEB dan infertil primer 10 tahun inpartu kala I fase
laten janin tunggal hidup presentasi kepala + high social value baby.
Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat, berupa informed consent,
bservasi tanda vital, DJJ, his, stabilisasi, injeksi MgSO 4 4 gr i.v. (perlahahan
dalam 10’-15’) dilanjutkan dengan drip MgSO 4 6 gr dalam asering 500 cc gtt
xxv/m, nifedipine 4 x 10 mg p.o., i njeksi cefotaxime 2 x 1 gr i.v. (skin test),
kateter menetap hitung input dan output, R/ Sectio Saesaria tanggal 3 April 2013
pukul 22.00 WIB, cukur rambut kemaluan, puasa mulai pukul. 14.00 WIB (3
April 2013), hubungin OK, persiapan WB 2 kolf, dan cek lab, DR, UR, CM.
Prognosis ibu dan anak pada kasus ini adlaa dubia mengingat anggka
kematian bayi pada persalinan PEB lebih tinggi bila dibandingkan dengan
persalinan normal. Dengan pertimbangan bahwa preeklampsia merupakan salah
satu penyebab kematian maternal.
41

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasibuan. Hubungan antara preeklampsia dengan berat bayi lahir rendah di


RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 [skripsi]. Bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP H. Adam Malik FK USU, Medan, Sumatera Utara. 2009.
2. Susi, I. Hubungan antara paritas dengan angka kejadian preeklampsia di RS
PKU Muhammadiyah Surakarta tahun 2011 [skripsi]. FK Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2011.
3. Sitti Nur dan Ika Sukmah. Gambaran epidemiologi kejadian preeklampsia-
eklampsia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2007-2009. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 13 No. 4. Oktober 2010: 378–385.
4. Hanifa, W, Abdul BS, dan Trijatmo, R (editor). Ilmu kandungan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.
5. Manuaba IGB. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, 2007.

Anda mungkin juga menyukai