Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul
secara tiba-tiba. Epilepsi juga diartikan sebagai gangguan otak kronis dengan tanda gejala
serangan yang tiba-tiba dan berulang yang diakibatkan oleh lepasan muatan listrik yang
abnormal pada sel otak. Dapat dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-
laki sedikit lebih banyak dari wanita.1 Epilepsi menurut World Health Organization merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak
karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat
disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak.2
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%.3-8 Dari 8,2 orang penyandang epilepsi aktif
di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang.9 Di Indonesia
penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang
epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan
40% masih dalam usia reproduksi.8,10 Angka kejadian epilepsi gestasional di Lampung
menunjukan jumlah yang cukup tinggi. Dari 40 orang yang dilaporkan memiliki riwayat epilepsi
25 diantaranya dalam kondisi hamil. Epilepsi pada kehamilan dapat meningkatkan terjadinya
resiko dalam kehamilan seperti meningkatkan resiko keguguran atau kecacatan bayi saat
dilahirkan.11
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai
kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap
kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. 10 Sekitar 25%-33,3%
serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-
komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.12
1
Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi
sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli obstetri dan ahli saraf agar dapat
bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan perkembangan
dan kelainan kongenital.12
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus kehamilan dengan epilepsi pada seorang wanita
23 tahun yang dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado.
2
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama : Ny. E.S.L
Umur : 23 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Tonadno Barat
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
MRS : 05 Juni 2018 - Jam 22:05 wita
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri perut ingin melahirkan sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang
- Pelepasan lendir campur darah (-)
- Pelepasan air dari jalan lahir (-)
- Pergerakan janin (+)
- Keputihan (-)
- Buang air besar dan air kecil biasa
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Epilepsi sejak maret 2017
4. Riwayat Kehamilan Terdahulu
Kehamilan sebanyak 1 kali. Partus pada 15 Januari 2016, anak laki-laki lahir
secara pervaginam spontan letak belakang kepala dengan berat 2400 gram, lahir
di rumah sakit dibantu dokter, anak sekarang dalam keadaan sehat. Riwayat
keguguran (-).
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
3
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja sebagai buruh.
Biaya kesehatan ditanggung oleh BPJS.
7. Riwayat Menikah
Mei 2017
Anamnesis Kebidanan
Riwayat Kehamilan Sekarang
Riwayat muntah pada kehamilan muda (+), mual (+), riwayat kejang saat hamil 5x (+), bengkak
(-), penglihatan terganggu (-), sakit kepala (+), buang air besar dan buang air kecil biasa,
perdarahan (-), keputihan (-)
C. Pemeriksaan Fisik
Status Praesens
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
4
Suhu badan : 36,5º C
BB/TB : 57 kg / 158 cm
Gizi : Cukup
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil isokor kiri = kanan, conjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-)
Tenggorokan : Hiperemis (-), T1/T1
Telinga : Serumen (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Bentuk simetris normal
Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Suara pernapasan vesikuler ka= ki, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Leopold I : Bokong
Leopold II : Punggung kanan
Leopold III : Kepala dan belum masuk PAP
Genitalia eksterna : Perempuan normal, infeksi (-)
Ekstremitas : Akral hangat , CRT ≤2 detik, edema (-)
Refleks : Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)
Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
TFU : 34 cm His :-
Letak anak : letak kepala, BJJ : 140-145x/menit
Taksiran berat badan janin : 2945 gram
Inspeksi
Fluksus (-), fluor (-), vulva tidak ada kelainan
Pemeriksaan inspekulo
-
Vaginal Toucher (VT)
5
Portio tebal lunak arah axial, pembukaan (-), pelepasan air ketuban (-)
Kimia Klinik
SGOT < 33 U/L 14 U/L
SGPT <34 U/L 6 U/L
Ureum Darah 10 – 40 mg/dL 8 mg/dL
Kreatinin Darah 0.5 – 1.5 mg/dL 0.4 mg/dL
Gula Darah Sewaktu 70 – 140 mg/dL 81 mg/dL
Chlorida Darah 98.0 – 109.0 mEq/L 105.0 mEq/L
Kalium Darah 3.50 – 5.30 mEq/L 4.00 mEq/L
Natrium Darah 135 – 153 mEq/L 137 mEq/L
Resume Masuk
G2P1A0 23 tahun hamil 42-43 minggu masuk rumah sakit tanggal 05 juni 2018 dengan
nyeri perut ingin melahirkan. Pelepasan air dari jalan lahir (-), pelepasan lendir campur darah
(-), pergerakan janin (+). TFU 30 cm dan BJJ 140-145 dpm. Riwayat penyakit ginjal, paru,
jantung, hati, kencing manis, serta darah tinggi disangkal. Riwayat epilepsi sejak Maret 2017.
6
Riwayat minum obat anti epilepsi fenitoin 2x1 dan folavit 2x1. Buang air besar dan buang air
kecil biasa. Menarche pada usia 12 tahun dengan siklus teratur dan lamanya haid setiap
siklus 3-4 hari. Hari pertama haid terakhir tanggal 11 Agustus 2017, taksiran tanggal partus
25 Mei 2018. Rencana partus dirumah sakit. Pemeriksaan antenatal care sebanyak 8x di
klinik dokter umum. Suntik tetanus toksoid 2 kali. Tidak ada riwayat gemeli. Perkawinan 1
kali.
Status Praesens
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : Tekanan darah :110/70 mmHg Nadi :112 x/mnt
Respirasi: 20 x/mnt Suhu badan: 36.5ºC
Status obstetrik
TFU : 30 cm
Letak janin : letak kepala
BJJ : 140-145x/menit
His :-
TBBJ : 2945 gram
Inspeksi
Fluksus (-), fluor (-), vulva tidak ada kelainan
Pemeriksaan inspekulo
-
Vaginal Toucher (VT)
Portio tebal lunak arah axial, pembukaan (-), pelepasan air ketuban (-)
Diagnosa Kerja
G2P1A0 23 tahun hamil 42 – 43 minggu belum inpartu janin intra uterine tunggal
hidup letak kepala riwayat epilepsi
Sikap/Terapi/ Rencana
7
• r/ Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda
• Cek lab, crossmatch
• Konsul informed consent
• Konseling KB
• Konsul neurologi
• Obs TTV, His, BJJ
• USG, EKG, NST
Follow up antepartum
05 Juni 2018 (16.45)
S : Nyeri perut ingin melahirkan (+)
O : Keadaan umum : cukup Kesadaran : Compos mentis
T: 110/80mmHg, N :92x/menit, R : 18x/menit S: 36,5ºC
Kepala : Normochepal, konjugtiva anemis (+), Sklera ikterus (-)
Abdomen : TFU : 30 cm
His : (-)
Bjj : 145 – 150 x/m
A : G2P1A0 23 Tahun hamil 42-43 minggu belum inpartu janin intra uterine tunggal
hidup letak kepala + riwayat epilepsi
P : rencana SCTP urgent, konseling informed consent, konseling KB, konseling
neurologi, observasi tanda vital, his, BJJ, NST,dan USG.
S: Pasien riwayat epilepsi sejak 1 tahun yang lalu. Kejang pertama kali usia 22 tahun. Kejang
terjadi saat pasien tidak dalam aktivitas. Durasi kejang kurang lebih 1 menit frekuensi 1 bulan
sekali. Pre iktal tangan dan kaki pasien merasa kram, sakit kepala, saat aktivitas. Iktal mata
melihat ke atas, kedua jari telunjuk tersentak, mulut berbusa dan tidak sadar. Post iktal pasien
tidak sadar, mual muntah dan binggung-binggung. Riwayat kejang demam tidak ada, riwayat
epilepsi pada keluarga tidak ada.
8
GCS: 15 TRM: -
Status motoric: kekuatan otot : 5555 5555 tonus otot n n reflex fisiologis n/n/n n/n/n
5555 5555 n n n/n n/n
Reflex patologis - -
- -
Status sensorik: normoestesi
P: Persalinan harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas memadai. Persalinan dapat
dilakukan pervaginan atau sectio caesarea. Saran cek faktor pembekuan darah, asam folat
1x1, vitamin K. Periksa bayi saat lahir apakah terdapat tanda perdarahan.
Laporan Persalinan
Tanggal persalinan : 05 Juni 2018
Jam persalinan : 23.50 WITA
Lama persalinan : 1 jam 10 menit
Diagnosis Pra Persalinan : G2P1A0 23 tahun hamil 42 – 43 minggu belum inpartu + janin
intra uterine tunggal hidup letak kepala + riwayat epilepsi
9
Diagnosis pasca persalinan : P2A0 23 tahun post SCTP + riwayat epilepsi lahir bayi laki-laki /
SCTP / 3200gr / 47 m / Apgar Score 7-9
Jenis persalinan : Low Segment Caesareum Section
Indikasi persalinan : Hamil 42-43 minggu belum inpartu
Bayi lahir tanggal dan jam : 05-06-2018 / 23.53 WITA
Lahir bayi laki-laki/ BBL.3200gram/ PBL. 47 cm/ AS 7-9
Pengobatan : Ceftriaxone, sulfas ferosus
10
Follow Up
6 JUNI 2018 (06.30) NEURO
S : Nyeri kepala (-) kejang (-)
O : Keadaan umum : sedang Kesadaran : Compos mentis
T: 110/60mmHg, N :80x/menit, R : 22x/menit S: 36,5ºC
GCS: 15 PERRL: +/+ Ø 3mm/3mm TRM: -
Nervus cranialis: intak
St. motoric: KO: 5555 5555 TO: n n RF: n/n/n n/n/n RP: n n
5555 5555 nn n/n n/n nn
St. sensorik : normoestesi
St. otonom: inkontinensia uri et alvi
A : Epilepsi umum P2A0
P : Fenitoin 2x100gr
Asam folat 400mcg per 24 jam
6 JUNI 2018 (20.00) NEURO
S : Kejang (-)
O : Keadaan umum : sedang Kesadaran : Compos mentis
T: 110/70mmHg, N :74x/menit, R : 22x/menit S: 36,6ºC
GCS: 15 PERRL: +/+ Ø 3mm/3mm TRM: -
Nervus cranialis: intak
St. motoric: KO: 5555 5555 TO: n n RF: n/n/n n/n/n RP: n n
5555 5555 nn n/n n/n nn
St. sensorik : normoestesi
St. otonom: inkontinensia uri et alvi
A : Epilepsi umum P2A0
P : Fenitoin 2x100gr
Asam folat 400mcg per 24 jam
07 Juni 2018 (06.00)
S : Nyeri luka operasi
O : Keadaan umum : cukup Kesadaran : Compos mentis
T: 110/80mmHg, N :90x/menit, R : 18x/menit S: 36,5ºC
11
Conjungtiva anemis (-) Sklera icterus (-)
Mammae ASI (-/-)
Abdomen: kontraksi uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, luka operasi terawatt
V/V: lochia rubra
A : P2A0 23 Tahun post SCTP + epilepsi on treatment. Lahir bayi laki-laki sehat
berat badan 3200gr, panjang badan 47cm. APGAR score 7-9
P : Aff infus pasang venflon
Ceftriaxone inj 1 amp per 12 jam
Metronidazole 500mg per 8 jam
Sulfas ferosus 325mg per 24 jam
Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan
7 Juni 2018 (08.00) NEURO
S : Kejang (-)
O : Keadaan umum : sedang Kesadaran : Compos mentis
T: 120/70mmHg, N :82x/menit, R : 21x/menit S: 36,3ºC
GCS: 15 PERRL: +/+ Ø 3mm/3mm TRM: -
Nervus cranialis: intak
St. motoric: KO: 5555 5555 TO: n n RF: n/n/n n/n/n RP: n n
5555 5555 nn n/n n/n nn
St. sensorik : normoestesi
St. otonom: inkontinensia uri et alvi
A : Epilepsi umum P2A0
P : Bed rest
Fenitoin 2x100gr
Asam folat 400mcg per 24 jam
8 Juni 2018 (06.30)
S : Nyeri luka operasi
O : Keadaan umum : cukup Kesadaran : Compos mentis
T: 120/80mmHg, N :89x/menit, R : 19x/menit S: 36,5ºC
Konjungtiva anemis (+) sklera ikterus (-)
Mammae ASI (-/-)
12
Abdomen: kontraksi uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, luka operasi terawat
V/V: lochia rubra
A : P2A0 23 Tahun post SCTP + epilepsi on treatment. Lahir bayi laki-laki sehat
berat badan 3200gr, panjang badan 47cm. APGAR score 7-9
P : Aff venflon
Cefadroxil oral 500mg per 8 jam
Sulfas ferosus 325mg per 24 jam
Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan
13
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI EPILEPSI
Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram (EEG) dan
manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran informasi tentang epilepsi dan
bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat. Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara
luas adalah klasifikasi oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang terdiri dari
3 kategori utama yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang yang tak terklasifikasi.13
14
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien tidak mengalami kehilangan
kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan
emosional. Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik (repetitif, gerakan
kepala dan leher menengok ke salah satu sisi). Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala
somatosensorik berupa aura, halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot tertentu. Umumnya kejang
terjadi selama 90 detik.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak yang berdekatan dengan
telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat
terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami
kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali diawali dengan
aura. Episode serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut
kemungkinan terjadi pada kejang tipe ini.
3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan kesadaran dan kejang
(tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik).
Seringkali sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial dengan
generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali tak teramati. Onset fokal kejang
diidentifikasi melalui analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah otak yang lebih
luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang
lebih serius pada pasien.
1) Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat singkat sekitar 3-30
detik. Jenis yang jarang dijumpai dan umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja. Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini. Penderita tiba-tiba melotot atau
matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh
orang di sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial sederhana atau
15
kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention deficit. Selain itu terdapat jenis kejang
atypical absence seizure, yang mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh
atipikal mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang, serangan terjadi tidak
dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas.
Kejang ini diperantarai oleh ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur
otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang tipe ini kurang efektif
dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan tipe kejang absence tipikal.
2) Kejang tonik-klonik (grand mal)
Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal dari terjadinya kejang
biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat
berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot yang
berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30 detik.
Beberapa pasien mengalami pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami
kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis, keluar air liur,
inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera sesudah kejang berhenti pasien tertidur.
Kejang ini biasanya terjadi sekitar 2-3 menit.
3) Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami kehilangan kekuatan
otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi
pada salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala yang terkulai.
4) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, bilateral, dan terkadang
hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur,
pasien mengalami hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.
5) Simply tonic atau clonic seizures
Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang tonik, otot berkontraksi
dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10 detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi
klonik atau jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama terjadi pada
anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan tonik.
c. Kejang yang tak terklasifikasikan
16
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang cukup atau
lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi pada neonatus. Hal ini
kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di
bayi dan dewasa.
b. Kala II (pengeluaran)
Dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini berlangsung 2 jam pada
primigravida dan 1 jam pada multigravida. Kala II pada primi 2 jam dan pada multi 1 jam.22
17
c. Kala III (Pelepasan Uri)
Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30
menit. Pengeluaran plasenta disertai pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc.22
d. Kala IV (Observasi)
Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post partum. Tujuannya asuhan
persalinan adalah memberikan asuhan yang memadahi selama persalinan yang bersih dan aman,
dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi.22
Observasi yang harus dilakukan pada kala IV adalah :
a) Tingkat kesadaran penderita.
b) Pemeriksaan TTV : tekanan darah, nadi dan pernapasan.
c) Kontraksi uterus.
d) Terjadinya perdarahan (normal jika perdarahnnya tidak melebihi 400-500 cc).
Oksitosin merupakan agen farmakologi yang lebih disukai untuk menginduksi persalinan apabila
serviks telah matang. Konsentrasi oksitosin dalam plasma serupa selama kehamilan dan selama
fase laten dan fase aktif persalinan, namun terdapat peningkatan yang bermakna dalam kadar
oksitosin plasma selama fase akhir dari kala II persalinan.22
Seiring dengan perkembangan kehamilan, jumlah reseptor oksitosin dalam uterus meninglat (100
kali lipat pada kehamilan 32 minggu dan 300 kali lipat pada saat persalinan). Oksitosin
mengaktifkan jalur fosfolipase c- inositol dan meninglatkan kadar kalsium ekstraseluler,
menstimulasi kontraksi otot polos miometrium. Banyak studi acak yang terkontrol dengan
penggunaan plasebo memfokuskan penggunaan oksitosin dalam induksi persalinan. Ditemukan
bahwa regimen oksitosin dosis rendah (fisiologis) dan dosis tinggi (farmakologis) sama-sama
efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat.22
Oksitosin dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. Ia diabsorpsi oleh mukosa bukal dan
nasal. Jika diberikan per oral, oksitosin dengan cepat diinaktifkan oleh tripsin. Rute intravena
paling sering digunakan untuk menstimulasi uterus hamil karena pengukuran jumlah indikasi
yang diberikan lebih tepat dan dapat dilakukan penghentian obat secara relatif cepat apabila
terjadi efek samping.22
18
Saat diabsorpsi, oksitosin didistribusikan dalam cairan ekstraseluler dan tidak berkaitan dengan
protein. Dibutuhkan waktu 20-30 menit untukk mencapai kadar puncak plasma. Interval waktu
yang lebih singkat dapat memperpendek induksi persalinan, tetapi lebih cenderung berhubungan
dengan hiperstimulasi uterus dan gawat janin.
Mekanisme oksitosin adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler. Hal ini
dicapai dengan pelepasan deposit kalsium pada retikulum endoplasma dan dengan meningkatkan
asupan kalsium ekstraseluler. Aktivitas oksitosin diperantarai oleh reseptor membran spesifik
yang berpasangan dengan protein transduser dan efektor yang membawa informasi dalam sel.
Transduser oksitosin adalah guanosil trifosfat (gtp) binding protein atau protein g. Kompleks
reseptor oksitosin – protein g menstimulasi fosfolipase c (plc). Fosfolipase c secara selektif akan
menghidrolisa fosfatidil inositol 4,5 –bisofat (pip 2) untuk membentuk inositol 1,4,5 –trifosfat
(ip2) dan 1,2 –diasil gliserol.22
Apabila tidak ada kalsium ekstraseluler, respons sel-sel miometrium terhadap oksitosin meurun.
Kompleks oksitosin – protein g membantu keluarnya kalsium dari retikulum endoplasma dengan
melakukan perubahan pada kanl kalsium, baik secara langsung maupun melalui efek yang
diperantarai ip3, menyebabkan influks kalsium ekstraseluler. Efek oksitosin terhadap masuknya
kalsium ekstraseluler ke dalam sel miometrium tidak sensitif terhadap nifedipin.
Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui makanisme yang bebas dari konsentrasi
kalsium intraseluler. Ditemukan bahwa konsentrasi prostaglandin e (pge) dan prostaglandin f
(pgf) meningkat selama pemberian oksitosin. Oksitosin juga menstimulasi produksi pge dan pgf
dari desidua manusia. Penemuan ini menunjukkan adanya interaksi positif antara oksitosin dan
prostaglandin sebagai tambahan terhadap aksi uteronika dan mungkin pelepasan prostaglandin
oleh okstosin perlu untuk mengifisiensikan kontraksi uterus selama persalinan. 22
19
2. Riwayat sc dan kala ii memanjang
4. Gawat janin pada kala ii dengan syarat perjalanan persalinan normal dan fasilitas sectio
cesaria sudah siap
10) Harus ada kekuatan mengejan ibu dan kontraksi uterus (his)
20
2) Kala II lama dengan presentasi kepala belakang
b. Kontra Indikasi
6) Tidak kooperatif
Ekstraksi Forcep
2.3.1 Definisi Ekstraksi Forcep
Forsep adalah tindakan obstetric yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan
jalan menarik bagian terbawah janin (kepala) dengan alat cunam. Ekstraksi forcep adalah suatu
persalinan buatan, janin dilahirkan dengan cunam yang dipasang dikepalanya. Cunam yang
umum dipakai adalah cunam niagle, sedang pada kepala yang menyusul dipakai cunam piper
dengan lengkung panggul agak datar dan tangkai yang panjang, melengkung keatas dan terbuka.
Bentuk persalinan forsep dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Forcep rendah (low forcep)
21
Forcep yang digunakan telah dipasang pada kepala janin yang berada sekurang-kurangnya pada
hodge iii.
2. Forcep tengah (midforcep)
Pemasangan forcep pada saat kepala janin sudah masuk dan menancap di panggul pada posisi
antara hodge ii dan hodge iii.
3. Forcep tinggi
Dilakukan pada kedudukan kepala diantara hodge i atau hodge ii, artinya ukuran terbesar kepala
belum melewati pintu atas panggul dengan perkataan lain kepala masih dapat digoyang. Forsep
tinggi saat ini sudah diganti dengan sectio cesarea.
Syarat ekstraksi forcep
Keadaan yang menjadi syarat untuk memutuskan partus dengan ekstraksi forcep adalah sebagai
berikut :
1) Pembukaan harus lengkap
Jika pembukaan belum lengkap bibir servik dapat terjepit antara kepala anak dan sendok
sehingga servik juga bisa robek yang sangat membahayakan karena dapat menimbulkan
perdarahan hebat.
2) Ketuban sudah pecah atau dipecahkan
Jika ketuban belum pecah maka selaput janin ikut tertarik oleh forcep dan dapat menimbulkan
tarikan pada plasenta yang dapat terlepas karenanya ( solution plasenta).
3) Ukuran terbesar kepala harus sudah melewati pintu atas panggul kepala sekurang-kurangnya
sampai di hodge iii untuk letak belakang kepala. Supaya tidak tersesat oleh caput succedanum
dalam menentukan turunnya kepala maka toucher harus selalu di control oleh palpasi.
4) Kepala harus dapat dipegang oleh forcep
Forsep tidak boleh dipasang pada kepala yang luar biasa ukuran atau bentuknya, seperti :
premature, hidrochepal.
5) Panggul tidak boleh terlalu sempit
1. Indikasi ibu
22
a. persalinan distosia
Persalinan terlantar
b. Ekslampsi/pre ekslampsi
Gestosis
Hipertensi
Penyakit jantung
Penyakit paru-paru
d. Ibu keletihan
2. Indikasi janin
3. Indikasi waktu :
b. Modifikasi remeltz
23
APAKAH PEREMPUAN DENGAN RIWAYAT EPILEPSI BOLEH HAMIL ?
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi.
Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita
penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya
pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan
pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.6,14,15
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan
sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekwensi serangan.16 Beberapa peneliti lain
mendapatkan pengaruh kehamilan terhadap epilepsi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Pengaruh kehamilan terhadap frekuensi serangan epilepsi
Peningkatan frekwensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia
wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi serangan
pada kehamilan yang lalu.16
Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap bulannya
sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita
penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali,
tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil.17 Penderita lebih dari dua
tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak
timbul.18
Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal
sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa frekwensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi laki-
24
laki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi beberapa peneliti lain
tidak berpendapat demikian.19
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan,
terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekwensi
serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh:8
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap
selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar
hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang
kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang
pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita
penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang meningkat akan lebih sering
mengalami kejang dibandingkan dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen
adalah menghambat transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase).
Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga
nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya
serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh
glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
B. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam
serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat
mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya
alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang,
meskipun masih selalu diperdebatkan.
C. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti
rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat
tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan
serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu
pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat yang
25
sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal
distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan
absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata. Tonus lambung dan
pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain
berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding
plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada
trimester terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi kadar
plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein berkurang
dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan
cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi
enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid(estrogen dan progesteron). Pada
umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali
normal.8
E. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang
telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga menjelang partus dan
pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen
asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia
mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai
antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.20
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (phenytoin
dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Namun dapat dikatakan
tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.8
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden abortus
spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang dilahirkan.7 Jadi
walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah
minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat dilanjutkan
selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada
26
wanita hamil yang sebelumnya melahirkan anak dengan kelainan neural tube defect, terutama
wanita yang mendapat obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.7
F. Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan
kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi
dan gangguan psikologik sekunder.
G. Penggunaan alkohol dan zat
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan
kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul
kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan
gangguan siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang. Hal lain yang
meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan
adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin
yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27% tidak
meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek samping (termasuk
teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya obat anti
epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat anti
epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.8,17
a. Tatalaksana Umum
Prinsip tatalaksana: gunakan obat dengan dosis terendah dan hindari penggunaan obat pada
kehamilan muda yang meningkatkan kemungkinan kelainan bawaan (asam valproat).13
27
• Jika ibu kejang, berikan 10 mg diazepam IV pelan selama 2 menit, bisa diulang sesudah
10 menit.
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
b. Tatalaksana Khusus
• Jika kejang berlanjut (status epileptikus) berikan 1 g fenitoin IV dilarutkan dalam NaCl
0,9% 50-100 mL selama 30 menit (18 mg/kgBB). JANGAN masukkan fenitoin dalam
cairan lain (selain NaCl 0,9%) karena akan terjadi kristalisasi.
• Bilas dengan NaCl 0,9% sebelum dan sesudah infus fenitoin.
• Jangan berikan infus fenitoin melebihi 50 mg/menit, karena bisa terjadi denyut jantung
ireguler, hipotensi dan depresi pernafasan.
• Jika ibu epilepsi sudah diketahui sebelumnya, lanjutkan terapi yang sudah didapatkan
selama ini.
• Jika tidak diketahui pengobatan epilepsi selama ini, berikan fenitoin oral 100 mg 2-3
kali/hari
• Suplemen asam folat oral dosis 600 μg/hari diberikan bersama dengan terapi antiepilepsi
dalam kehamilan.
• Fenitoin dapat mengakibatkan defisiensi neonatal terhadap faktor pembekuan yang
bergantung pada faktor vitamin K. Sebaiknya berikan vitamin K 1 mg IM pada neonatus.
Mengingat banyaknya efek samping obat anti epilepsi dan komplikasi pada kehamilan, maka
penanganan kehamilan dengan epilepsi meliputi:21,22
a. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi.
Kadar obat anti epilepsi dalam darah sebaiknya selalu dikontrol setiap bulan sebelum
terjadinya kehamilan sehingga penyesuaian dosis pada saat kehamilan bisa dilakukan.
Disini perlu kerjasama dengan ahli farmakologi klinik.
b. Penyuluhan pada wanita penyandang epilepsi usia remaja sebelum konsepsi mengenai:
- Risiko akibat timbulnya serangan selama kehamilan seperti perdarahan, eklampsia dan
prematuritas.
- Risiko obat anti epilepsi pada janin, yaitu timbulnya malformasi dan gangguan
perkembangan.
28
- Risiko timbulnya serangan kejang pada anak (kejang neonatal, kejang tanpa demam dan
epilepsi), termasuk adanya prediposisi genetik pada bayi bila orang tuanya menderita
epilepsi.
c. Masa Pra Konsepsi
- Melakukan evaluasi terhadap kontrasepsi KB yang dipergunakan
- Melakukan evaluasi terhadap obat anti epilepsi yang dipergunakan.
- Melakukan evaluasi kembali mengenai diagnosis epilepsinya atau bukan epilepsi (kejang
non epilepsi, sinkop atau suatu sindroma lain).
- Mencoba menghentikan obat anti epilepsi pada yang telah bebas kejang 2-3 tahun.
29
minum phenobarbital. Lalu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya gangguan
perkembangan, terutama pada anak yang ibunya menderita epilepsi yang sukar diatasi.
- Pada umumnya ibu dapat menyusui bayinya namun bila terlihat efek sedasi, gangguan
minum dan menurunya berat badan bayi maka dianjurkan untuk memperpendek
pemberian ASI tersebut. Penghentian obat anti epilepsi jangan berlangsung mendadak
karena dapat menimbulkan kejang pada neonatal.
Tabel 2. Komplikasi maternal dan janin pada wanita hamil penyandang epilepsi
_____________________________________________________________________________
Komplikasi maternal & janin Epilepsi Bukan epilepsi
_____________________________________________________________________________
Total kehamilan 371 125,423
Hiperemesis gravidarum 1%-3% 0,8%
Perdarahan pervaginam 5,1% 2,2%
Preeclampsia 7,5% 4,7%
Lahir dengan - SC 3,2% 1,1 %
- EF/EV 6,3% 2,4%
Usia gestasi < 37 minggu 8,9% 5,0%
Berat lahir < 2500 g 7,4% 3,7%
Hipoksia 1,9% 0,7%
Malformasi kongenital 4,5% 2,2%
Cleft lip or palate 1,1%
Angka Mortalitas Janin (per 1000 kelahiran)
Stillbirth 5,3 7,8
Perinatanal 31,8* 14,6
Kematian neonatal 29,3* 8,0
Kematian postnatal 5,3 3,4
____________________________________________________________________________
30
22,19
Dikutip dari Yerby Ms dkk dan Cartlidge
* P value <0,01
31
APA EFEK SAMPING OBAT ANTI EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN ?
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug
withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar (tremor),
mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan
muntah-muntah.28 Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit
sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1
atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 2-4 bulan.
Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat
mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan
perkembangan bahasa. Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%) pada
yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti epilepsi dan
kadar asam folat yang rendah.8
Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar malformasi kongenital
terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita hamil trimester pertama
(18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada factor genetiknya. Tidak ada
malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti epilepsi satu jenis tertentu.10
Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%-3%
(yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural tube) dan
malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow
philt, hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube
(terutama spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak
daripada karbamazepin (0,5%). Oleh karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang
digunakan diturunkan pada wanita hamil penyandang epilepsi.29
Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap
teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses detoksifikasi dan inhibisi yang berinteraksi
dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko
teratogenitas.29
Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari
fenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain, tampaknya phenytoin paling banyak
disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering
32
dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya
dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma
yang terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero.30
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin pada 35
bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20% perkembangan
yang lambat.30
Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:30
- Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi mental,
lipatan epikantal, hernia inguinalis dll. Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat
ini tidak digunakan lagi.
- Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi
perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat timbul akibat
phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan defisiensi asam folat.
- Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah,
gangguan perkembangan dan defek jantung.
- Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal,
Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal.
- Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan
gangguan perkembangan.
American college of obstetric and gynecology mengizinkan hanya phenobarbital sebagai obat
anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di berhentikan atau tidak
mendapat pengobatan. Keputusan yang ekstrim ini dianggap tidak mempertimbangkan banyak
aspek seperti toleransi obat terhadap penderita, efek penghancuran yang potensial terhadap
phenobarbital pada janin dan penggantian obat anti epilepsi lain ke phenobarbital. Saat ini di
Perancis para dokter kandungan lebih menyukai penggunaan phenobarbital sedangkan di
Inggris dan Amerika Serikat lebih menyukai phenytoin. 31
Akhir-akhir ini ada beberapa obat baru yang pada percobaan hewan tidak teratogenik
misalnya felbamat dan gabapentin. Wanita penyandang epilepsi yang menyusui bayinya dapat
menyebabkan obat anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi dalam ASI
adalah sebagai berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%, karbamazepine
33
40%, asam valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI tetap diberikan, karena penghentian
ASI yang mendadak dapat menyebabkan kejang pada neonatal.32
D. Pengaruh obat anti epilepsi terhadap kehamilan
Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi mempunyai risiko, karena itu
memilih antara minum atau tidak minum obat haruslah berpedoman pada risiko timbulnya
komplikasi obat anti epilepsi pada ibu dan janin atau neonatus.
Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga obat anti epilepsi maka
yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut adalah phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin.33
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti
epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5 – 4,5 kali dan
induksi partus dilakukan 2-4 kali.34 Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan
kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria
(dua kali lebih sering dari biasa). Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu indikasi untuk
operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil
penyandang epilepsi sehingga Hilesmaa membuat daftar indikasi section caesarea yang dapat
dilihat pada tabel
Sectio caesarea atas dasar epilepsi15
_________________________________________________________
Seksio sesaria elektif
Dasar neurologik atau defek mental
Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus
Kejang yang sukar diatasi pada trimester III
Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari
Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu
Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental
Seksio darurat
Kejang tonik klonik selama partus
Adanya asfiksia janin
Tidak adanya kerja sama maternal
__________________________________________________________
15
Dikutip dari Hilesmaa VK
34
PENUTUP
1. Pelatihan bagi dokter yang ikut mengobati, merawat dan medampingi wanita penyandang
epilepsi, supaya dapat memberikan penyuluhan dasar penanganan wanita penyandang epilepsi
sebelum konsepsi.
2. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi oleh bagian farmakologi klinik.
3. Pemakaian obat yang dianjurkan mengingat efek samping obat anti epilepsi yang kurang baik,
tentunya yang murah dan mudah didapat. FDA telah menetapkan kategori teratogenisitas
beberapa obat anti epilepsi pada wanita hamil yaitu yang termasuk kategori C (karbamazepin
dan klonazepam) dan kategori D (trimethadione, asam valproat, phenytoin dan
29
phenobarbital. Beberapa obat anti epilepsi baru seperti gabapentin, lamotrigine, tiagabine,
topiramate dan vigabatrin tidak didapatkan efek teratogenik pada hewan percobaan, tetapi
penelitian pada wanita hamil baru sedikit dan ini digunakan lebih banyak sebagai add-on
terapi. Di Inggris, hanya lamotrigine yang diakui sebagai monoterapi.28
35
Bagi masyarakat
Bagi para ibu dan keluarga sebaiknya lebih memperhatikan keadaan kesehatan diri
sendiri terhadap penyakit yang diderita, memperhatikan kehamilan dengan rutin memeriksakan
kehamilan minimal 4 kali, jika sudah terdiagnosis epilepsi diharapkan ibu dapat mengkonsumsi
obat antiepilepsi secara rutin dan juga dibutuhkan peran keluarga untuk selalu mendukung,
menjaga dan memberikan perhatian lebih pada ibu hamil dengan epilepsi.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
19. Morrell MJ. Epilepsy in women : The Science why it is special. Neurology, 1999; 53:
542-548
20. Morrell MJ. Guidelines for the care of women with epilepsy. Neurology, 1998;51:S21-
S26
21. Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998; 39: S2-
S8
22. Suryani, et.al. 2006. Pedoman tatalaksana epilepsi. Jakarta : Perdossi.
23. Harsono.2007. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Gajah Mada University Press.
24. H.Ropper, M.D. and Robert H. Brown, D.Phil., M.D. 2005. Neurology 8th edition. Mc
graw hill companies inc.
25. Markam, Prof.dr. Soemarno. 2005. Penuntun Neurologi. Jakarta;Binapura Aksara
26. Tobing, Prof. DR. S.M. Lumban. 1998. Pemeriksaan Fisik dan Mental. Neurologi Klinik,
FKUI
27. The commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epileptic seizures. Epilepsia, 1981; 22: 489-501
28. The commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes.
Epilepsia, 1989; 30: 389-99
29. Cartlidge NEF. Medical disorders during pregnancy In: neurologic disorders.
Philadelphia: 529-533
30. Delgado-Escueta AV, Janz D. Consensus: Preconception Counseling, Management and
care of the pregnant woman with epilepsy. Neurology, 1992; 42: 149-160
31. Bjerkedal T. Bahne S. The course and outcome of pregnancy in women with epilepsy.
Acta obstet gynec Scand, 1973; 52: 245-8
32. Yerby M, Koepsell T, Daling J. Pregnancy complications and outcomes in a cohort of
women with epilepsy. Epilepsia, 1985; 26: 631-5 22
33. Shorvon SD. Epilepsi untuk dokter umum. PT Ciba Geigy Pharma Indonesia, 1988: 7-78
34. Knight AH, Rhind EG. Epilepsy and pregnancy: A study of 153 patients. Epilepsia, 1975;
16: 99-110
38