Penyaji
Tessa Hijriani
Pembimbing
dr. Julianty Kusuma, Sp.OG
0
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis
(Autoanamnesis tanggal 10 Februari 2018)
1. Identitas
Nama : Ny. S
Med.Rec : 764195
Umur : 26 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Alamat : Selebar Kota Bengkulu
MRS : Sabtu, 10 Februari 2018 pukul 11.03 WIB
2. Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lama 8 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : Teratur 28 hari
Lamanya haid : 7 hari dengan 2 kali ganti pembalut/hari
Hari pertama haid terakhir : 23 Juli 2017
Taksiran persalinan : 30 April 2018
KB : Ya, suntik selama 3 bulan
4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. 2010, 2 bulan, abortus, dikuret di RS.
2. 2011, postterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 3500 g, laki-laki, sehat
3. 2013, postterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 3500 g, perempuan, sehat
4. 2016, aterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 2800 g, laki-laki, sehat
5. Hamil ini
1
5. Riwayat Antenatal Care
Selama kehamilan pasien melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan
sebanyak 2 kali.
8. Anamnesis Khusus
Keluhan utama :
Hamil kurang bulan dengan perut mulas
Riwayat perjalanan penyakit :
± 1 hari SMRS, os mengeluh perut mulas yang menjalar hingga ke pinggang,
makin lama makin sering (+). Riwayat keluar lendir darah (-). Riwayat keluar air-
air (-). Riwayat trauma (-). Riwayat keputihan (-) sejak awal bulan kehamilan.
Riwayat demam (-). Riwayat post coital (+). Riwayat perut diurut-urut (-). Os
mengaku hamil kurang bulan dan gerakan janin masih dirasakan. Os mengaku
menderita HIV sejak 1 tahun terakhir ini dan telah meminum obat ARV 1 tahun ini.
Os telah melakukan pemeriksaan CD4 sebanyak 4 kali dan pemeriksaan viral load 1
kali dengan hasil CD4 terakhir 996 sel/ µL, viral load 350 kopi/mL.
2. Status Obstetri
Pada pemeriksaan obstetri saat masuk rumah sakit tanggal 10 Februari 2018, pukul
11.30 WIB didapatkan:
Pemeriksaan luar:
FUT 24 cm (3 jari di bawah processus xiphoideus), memanjang, punggung kiri,
terbawah kepala, penurunan 5/5, His 1x/10’/35”, DJJ 146 x/menit dan teratur,
TBJ : 1705 gram.
Pemeriksaan dalam:
- Inspekulo : Portio livide, OUE tertutup, fluor (-), fluxus (-), perdarahan aktif (-),
E/L/P -/-/-.
- VT : portio lunak, posterior, eff 0%, kuncup, ketuban dan penunjuk belum dapat
dinilai
C. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil laboratorium (10 Februari 2018, pukul 16.06 WIB)
Hemoglobin : 10,9 gr/dl (12,0-16,0 g/dl)
Hematokrit : 30 % (40-54%)
Leukosit : 10.700 mm3 (4.000-10.000 mm3)
Trombosit : 196.000 sel/mm3 (150.000-400.000 sel/mm3)
HbsAg : negatif negatif
HIV : reaktif non reaktif
D. Diagnosa Kerja
G5P3A1 hamil 31 minggu belum inpartu dengan partus prematurus imminens janin
tunggal hidup presentasi kepala + HIV
E. Terapi
- Observasi tanda vital ibu, his, denyut jantung janin.
- Tirah baring
- IVFD RL gtt xx/menit
- Nifedipine tab 4x10 mg p.o
- Injeksi Dexamethasone 1x12 mg i.v
F. Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Anak : dubia ad bonam
G. Follow Up
Tanggal Follow Up
Minggu, O/ S/ Hamil kurang bulan dengan perut
11/02/2018 St. Present mulas berkurang
06.30 WIB KU : tampak sakit sedang
Sens : compos mentis A/ G5P3A1 hamil 31 minggu belum
TD : 110/70 mmHg inpartu dengan partus prematurus
N : 82x/menit imminens janin tunggal hidup
RR : 20x/menit presentasi kepala + HIV
T : 36,8oC
5
St. Obstetri P/
PL: Tinggi fundus uteri 3 jari - Observasi TVI, His, DJJ
bawah proc. xiphoideus (24 cm), - Tirah baring
memanjang, punggung kiri, - IVFD RL gtt xx/menit
presentasi kepala, U 5/5, His - Inj Dexamethasone 1x12 mg i.v
1x/10’/15”, DJJ 142 x/menit, - Nifedipine tab 4x10 mg p.o
TBJ: 1.705 gram. - Periksa Laboratorium CD4
Senin, O/ S/ Keluhan (-)
12/02/2018 St. Present
06.30 WIB KU : tampak sakit sedang A/ G5P3A1 hamil 31 minggu belum
Sens : compos mentis inpartu dengan partus prematurus
TD : 110/60 mmHg imminens janin tunggal hidup
N : 76x/menit presentasi kepala + HIV
RR : 20x/menit
T : 36,6oC
St. Obstetri P/
PL: Tinggi fundus uteri 3 jari - Observasi TVI, His, DJJ
bawah proc. xiphoideus (24 cm), - Tirah baring
memanjang, punggung kiri, - Aff infus
presentasi kepala, U 5/5, His (-), - Nifedipine tab 4x10 mg p.o
DJJ 146 x/menit, TBJ: 1.705
gram.
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
8
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Usia gestasi, jumlah janin, besar janin, aktivitas biofisik, cacat kongenital, letak dan
maturasi plasenta, volume cairan ketuban, dan kelainan uterus.
2.1.5. Penatalaksanaan3,4,5
Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm dan yang mengalami
gejala persalinan preterm membakat harus ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran
neonatal.
1. Akselerasi pematangan fungsi paru
Pemberian kortikosteroid jika usia kehamilan <35 minggu untuk pematangan paru.
Pemberian steroid tidak diulang karena dapat menyebabkan IUGR (pertumbuhan
janin terhambat)
Betametasone : 12 mg/hari i.m untuk 2 hari (2 dosis)
Dexametason : 2x6 mg i.m dengan jarak setiap 12 jam, pemberian hanya
untuk 2 hari (4 dosis).
2. Pemberian tokolitik
Indeks tokolitik > 8 menunjukkan kontraindikasi pemberian tokolitik
0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Irregular Regular - -
Ketuban Tidak ada - Tinggi/tidak jelas - Rendah/pecah
pecah
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
9
Ritodrine perinfus : 100 µg/menit, peroral : 5-10 mg setiap 8 jam
(maintenance).
Magnesium Sulfat (MgSO4) 4-6 gr/iv pemberian bolus selama 20-30 menit,
infus 2-4gr/jam (maintenance).
Efek samping pemberian magnesium adalah diplopia, mulut kering, edema
paru, letargi, nyeri dada, depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
Relatif
Gestosis, diabetes mellitus, pertumbuhan janin terhambat, pembukaan serviks lebih
dari 4 cm.
2.1.8. Komplikasi3,4,5
10
1. Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi. Bayi yang lahir dari ibu
yang menderita anmionitis memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko
distres pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan
intraventrikuler 3 kali lebih besar.Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran
hialin).
2. Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas
dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh udara
dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang
disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan
tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan
dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara
saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya terjadi Sindroma
Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan lainnya dan pada
beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika
penyakitnya berat, mungkin mereka perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator
dan diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah
selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
3. Ketidak matangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau
serangan apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi prematur
juga memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu
(henti nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk
mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan.
Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang
sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera .
4. Ketidak matangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi
jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu
banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran
kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.
11
5. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
6. Displasia bronkopulmoner.
7. Penyakit jantung seperti paten duktus arteriosus
8. Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi
hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan
akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
9. Infeksi atau septikemia.
Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka
belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta.
Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi.
Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi
(peradangan pada usus).
10. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
11. Anemia
12. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
13. Keterbelakangan mental dan motorik.
14
Gambar 2.2 Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)17
B. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak
seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi
HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk
dalam kategori risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah
virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores
dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.8
C. Penularan perinatal
15
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan
dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.8
1. Penularan in utero atau intra uterin
HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini
diketahuikarena didapatkannya HIV pada jaringan thymus, lien, paru dan otak dari
janin 20 minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.10,11
2. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.11
3. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV pada
kelenjar payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada perbedaan pendapat
mengenai hal ini karena hasil penelitian yang berbeda, tetapi karena belum adanya
vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada, maka disepakati
pemberian ASI pada bayi tetap masih di larang.10,11
2.2.4 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.12
A. Faktor Ibu
Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV
dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/mL) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/mL.
Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
16
Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.3 Sehingga tidak
sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat disarankan diberikan
susu formula untuk asupan nutrisinya.
B. Faktor Bayi
Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan
baik.
C. Faktor obstetrik
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode intrapartum,
mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang terinfeksi dan
sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama
kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak
terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3
bulan. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan yang memanjang,
pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang
mengandung darah. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah:
Jenis persalinan
17
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan melalui bedah
sesar (seksio sesaria).
Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu.
Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10 %
Bersalin 10 – 20 %
Menyusui 5 – 20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan
berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral
jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%,
18
dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke
anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik,
maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.12
20
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga
suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. Obat-obatan
PI yaitu Lopinavir (Aluvia).
Tabel 2.4 Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV Profilaksis
pada Bayi
NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN
(paduan untuk ibu)
1. ODHA sedang terapi ARV, Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau
kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
Lanjutkan dengan paduan ARV yang sama
selama dan sesudah persalinan
2. ODHA hamil dengan Mulai ARV pada minggu ke-14 kehamilan
jumlah dalam stadium Paduan sebagai berikut:
klinis 1 atau jumlah CD4 AZT + 3TC + NVP
>350 sel/µL dan belum TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
terapi ARV AZT + 3TC + EFV atau
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
3. ODHA hamil dengan Segera mulai terapi ARV dengan paduan
jumlah CD4 <350 sel/µL seperti pada butir 2
atau stadium 2,3,4
4. ODHA hamil dengan OAT tetap diberikan
tuberkulosis aktif Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
5. Ibu hamil dalam masa Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan atau
persalinan dan status HIV tes setelah persalinan
tidak diketahui Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Profilaksis ARV untuk bayi
AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2 kali/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu
21
Gambar 2.3Alur Pemberian Terapi Antiretroviral Pada Ibu Hamil
23
negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak
terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.16
BAB III
PEMBAHASAN
24
belum inpartu dengan partus prematurus iminens + HIV janin tunggal hidup presentasi
kepala.
25
protein surfaktan. Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan
kemampuan dan volume maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler,
meningkatkan pembersihan cairan paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki
fungsi respirasi, serta memperbaiki respon paru terhadap pemberian terapi surfaktan
post natal
d. Nifedipine
Pemberian Nifedipine 10 mg/6 jam p.o pada pasien ini juga sudah tepat. Hal ini
dikarenakan nifedipine merupakan calcium channel blocker yang bekerja pada otot
polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker
dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Dengan pemberian nifedipine maka dapat meberikan cukup waktu untuk mematangkan
paru janin
0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Irregular Regular - -
Ketuban Tidak ada - Tinggi/tidak jelas - Rendah/pecah
pecah
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
26
BAB IV
KESIMPULAN
1. Diagnosis pada kasus ini G5P3A1 hamil 31 minggu belum inpartu dengan partus
prematurus imminens janin tunggal hidup presentasi kepala + HIV sudah tepat
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang.
2. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat yakni dengan dilakukan observasi tanda
vital, His dan DJJ serta dilakukan pemberian tokolitik dan pematangan paru sehingga
mengurangi risiko terjadinya RDS (Respiratory Distress Syndrome) mortalitas bayi
prematur dengan usia 24-34 minggu.
3. Pasien direncanakan lahir pervaginam jika pemberian terapi ARV dimulai pada usia
kehamilan <14 minggu (ART > 6 bulan) dan viral load <1000 kopi/mL.
27
28
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham M.D, et al. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23 rd ed. USA:
McGraw- Hill; 2005.
2. Goepfert A.R. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle for Practise.
USA: McGraw-Hill; 2011.
3. Iams J.D. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine 5 th ed. USA:
Saunders; 2007.
4. Jafferson Rompas. Persalinn Preterm [Online]. 2004. Available from:URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145 11Persalinanpreterm.pdf/145.30.
5. Saifuddin AB, dkk. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi 4. Jakarta: PT Bina
Pustaka; 2011.
6. World Health Organization. Guidelines for second generation HIV surveillance: an
update: Know your epidemic. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS. World
Health Organization; 2013.
7. UNAIDS. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemic 2013. Global Report.
UNAIDS; 2013.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pengendalian
HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Dirjen P2PL; 2011.
10. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD.
Human Immunodeficiency VirusInfection. In : William’sObstetric. 22nd Edition. New
York: Mc Graw-Hill; 2001. p.1-8
11. Decherney A, Goodwin M. et.al. Human Immunodeficiency Virus Infection. In :
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10 th Edition. United
States of America. McGraw-Hill Companies; 2007.p.1-6
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak; 2013.
13. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta :
PT. Rineka Cipta; 2003.
29
14. Pusponegoro, et.al. Hubungan Penyuluhan Dengan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Ibu Hamil Tentang HIV dan Program Voluntary Counseling and Testing di Puskesmas
Pulo Gadung Tahun 2013. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI; 2013.
15. Roza J. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD Mandau
Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia; 2013.
16. Susan et.al. Disengagement and Engagement Coping with HIV/AIDS Stigma and
Psychological Well Being of People with HIV/AIDS. Journal of Social and Clinical
Psychology; 2012; 21 (2) : pp 123-50.
17. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: Mechanistic and
Therapeutic Insights. Nature reviews. Microbiology; 2012; 10:279-290.
18. Laskey, Sarah B. And Robert F. Silianto. A Mechanism Theory to Explain The
Efficacy of Antriretroviral Therapy. Nature Review Microbiology; 2014.
30