Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

G5P3A1 HAMIL 31 MINGGU BELUM INPARTU DENGAN PARTUS PREMATURUS


IMMINENS JANIN TUNGGAL HIDUP PRESENTASI KEPALA + HIV

Penyaji
Tessa Hijriani

Pembimbing
dr. Julianty Kusuma, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. YUNUS BENGKULU
2018

0
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
(Autoanamnesis tanggal 10 Februari 2018)
1. Identitas
Nama : Ny. S
Med.Rec : 764195
Umur : 26 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Alamat : Selebar Kota Bengkulu
MRS : Sabtu, 10 Februari 2018 pukul 11.03 WIB

2. Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lama 8 tahun

3. Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : Teratur 28 hari
Lamanya haid : 7 hari dengan 2 kali ganti pembalut/hari
Hari pertama haid terakhir : 23 Juli 2017
Taksiran persalinan : 30 April 2018
KB : Ya, suntik selama 3 bulan

4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. 2010, 2 bulan, abortus, dikuret di RS.
2. 2011, postterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 3500 g, laki-laki, sehat
3. 2013, postterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 3500 g, perempuan, sehat
4. 2016, aterm, spontan ditolong bidan di klinik, BBL 2800 g, laki-laki, sehat
5. Hamil ini

1
5. Riwayat Antenatal Care
Selama kehamilan pasien melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan
sebanyak 2 kali.

6. Riwayat gizi/sosial ekonomi


Makan 3x sehari dengan menu bervariasi, sosio ekonomi sedang.

7. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat darah tinggi : (-)
- Riwayat kejang di kehamilan sebelumnya : (-)
- Riwayat asma : (-)
- Riwayat kencing manis : (-)
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat operasi : (-)
- Riwayat HIV : (+) sejak 1 tahun terakhir

8. Anamnesis Khusus
Keluhan utama :
Hamil kurang bulan dengan perut mulas
Riwayat perjalanan penyakit :
± 1 hari SMRS, os mengeluh perut mulas yang menjalar hingga ke pinggang,
makin lama makin sering (+). Riwayat keluar lendir darah (-). Riwayat keluar air-
air (-). Riwayat trauma (-). Riwayat keputihan (-) sejak awal bulan kehamilan.
Riwayat demam (-). Riwayat post coital (+). Riwayat perut diurut-urut (-). Os
mengaku hamil kurang bulan dan gerakan janin masih dirasakan. Os mengaku
menderita HIV sejak 1 tahun terakhir ini dan telah meminum obat ARV 1 tahun ini.
Os telah melakukan pemeriksaan CD4 sebanyak 4 kali dan pemeriksaan viral load 1
kali dengan hasil CD4 terakhir 996 sel/ µL, viral load 350 kopi/mL.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes melitus dan asma
disangkal.
2
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Keadaan umum
Kesan : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 59 kg
Tinggi badan : 157 cm
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
b. Keadaan khusus
Kepala : Normochepali, tidak ada deformitas
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, eksoftalmus (-/-)
Hidung : Normal, sekret (-/-), tidak terdapat deformitas
Telinga : Sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Mulut : Bibir tidak sianosis, mukosa bibir lembab (+), faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid(-)
Thoraks:
 Jantung
I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis tidak teraba
P : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung linea parasternalis
dekstra SIC V, batas kiri jantung linea axila anterior sinistra SIC
V
A : Bunyi jantung I dan II reguler, normal, murmur (-), gallop (-)
 Paru-Paru
I : Kedua dinding dada simetris kiri dan kanan saat statis maupun
dinamis
P : Ekpansi dinding dada simetris normal kiri dan kanan, stem
fremitus simetris normal kiri dan kanan
3
P : Sonor di semua lapang paru
A : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Abdomen : Status Obstetri
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema -/-, CRT<2”
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema -/-, CRT <2”
Genitalia Eksterna : Edema vulva (-)

2. Status Obstetri
Pada pemeriksaan obstetri saat masuk rumah sakit tanggal 10 Februari 2018, pukul
11.30 WIB didapatkan:
Pemeriksaan luar:
FUT 24 cm (3 jari di bawah processus xiphoideus), memanjang, punggung kiri,
terbawah kepala, penurunan 5/5, His 1x/10’/35”, DJJ 146 x/menit dan teratur,
TBJ : 1705 gram.
Pemeriksaan dalam:
- Inspekulo : Portio livide, OUE tertutup, fluor (-), fluxus (-), perdarahan aktif (-),
E/L/P -/-/-.
- VT : portio lunak, posterior, eff 0%, kuncup, ketuban dan penunjuk belum dapat
dinilai

C. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil laboratorium (10 Februari 2018, pukul 16.06 WIB)
Hemoglobin : 10,9 gr/dl (12,0-16,0 g/dl)
Hematokrit : 30 % (40-54%)
Leukosit : 10.700 mm3 (4.000-10.000 mm3)
Trombosit : 196.000 sel/mm3 (150.000-400.000 sel/mm3)
HbsAg : negatif negatif
HIV : reaktif non reaktif

- USG (10 Februari 2018)


Fetal Biometry
BPD : 7.97 cm ̴ 31w3d
HC : 28.26 cm ̴ 31w5d
4
AC : 28.79 cm ̴ 31w4d
FL : 6.36cm ̴ 31w2d
EFW : 1.802gram
Plasenta corpus anterior
Ketuban cukup
Kesan : Hamil 31 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala.

D. Diagnosa Kerja
G5P3A1 hamil 31 minggu belum inpartu dengan partus prematurus imminens janin
tunggal hidup presentasi kepala + HIV

E. Terapi
- Observasi tanda vital ibu, his, denyut jantung janin.
- Tirah baring
- IVFD RL gtt xx/menit
- Nifedipine tab 4x10 mg p.o
- Injeksi Dexamethasone 1x12 mg i.v

F. Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Anak : dubia ad bonam

G. Follow Up

Tanggal Follow Up
Minggu, O/ S/ Hamil kurang bulan dengan perut
11/02/2018 St. Present mulas berkurang
06.30 WIB KU : tampak sakit sedang
Sens : compos mentis A/ G5P3A1 hamil 31 minggu belum
TD : 110/70 mmHg inpartu dengan partus prematurus
N : 82x/menit imminens janin tunggal hidup
RR : 20x/menit presentasi kepala + HIV
T : 36,8oC

5
St. Obstetri P/
PL: Tinggi fundus uteri 3 jari - Observasi TVI, His, DJJ
bawah proc. xiphoideus (24 cm), - Tirah baring
memanjang, punggung kiri, - IVFD RL gtt xx/menit
presentasi kepala, U 5/5, His - Inj Dexamethasone 1x12 mg i.v
1x/10’/15”, DJJ 142 x/menit, - Nifedipine tab 4x10 mg p.o
TBJ: 1.705 gram. - Periksa Laboratorium CD4
Senin, O/ S/ Keluhan (-)
12/02/2018 St. Present
06.30 WIB KU : tampak sakit sedang A/ G5P3A1 hamil 31 minggu belum
Sens : compos mentis inpartu dengan partus prematurus
TD : 110/60 mmHg imminens janin tunggal hidup
N : 76x/menit presentasi kepala + HIV
RR : 20x/menit
T : 36,6oC

St. Obstetri P/
PL: Tinggi fundus uteri 3 jari - Observasi TVI, His, DJJ
bawah proc. xiphoideus (24 cm), - Tirah baring
memanjang, punggung kiri, - Aff infus
presentasi kepala, U 5/5, His (-), - Nifedipine tab 4x10 mg p.o
DJJ 146 x/menit, TBJ: 1.705
gram.

Laboratorium: Keadaan umum pasien baik, pasien


CD4 : 672 sel/µL boleh pulang.

BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Prematur


2.1.1. Definisi
Persalinan prematur adalah persalinan dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
atau berat bayi kurang dari 2500 gram. Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya
karena berpotensi meningkatkan kematian perinatal sebesar 70%. Pada persalinan ini,
seringkali bayi prematur mengalami gangguan tumbuh kembang organ-organ vital yang
menyebabkan bayi masih belum mampu untuk hidup di luar kandungan, sehingga sering
mengalami kegagalan adaptasi yang dapat menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas yang
tinggi.1 
Pada kebanyakan kasus, penyebab pasti persalinan prematur tidak diketahui. Berbagai
sebab dan faktor demografik diduga sebagai penyebab persalinan preterm, seperti: eklamsi,
preeklamsi, plasenta previa, solusio plasenta, kehamilan ganda, kelainan uterus,
polihidramnion, kelainan kongenital janin, ketuban pecah dini, DM dan lain-lain. Penyebab
persalinan preterm bukan tunggal tetapi multikompleks, antara lain karena infeksi. Infeksi
pada kehamilan akan menyebabkan suatu respon imunologik spesifik melalui aktifasi sel
limfosit B dan T dengan hasil akhir zat-zat yang menginisiasi kontraksi uterus. Terdapat
makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa mungkin sepertiga kasus persalinan preterm
berkaitan dengan infeksi membran korioamnion. Dari penelitian Lettieri dkk.(2003), didapati
38% persalinan preterm disebabkan akibat infeksi korioamnion.

2.1.2. Faktor Risiko Prematuritas


Mayor3
1. Kehamilan multipel
2. Hidramnion
3. Anomali uterus
4. Serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
6. Riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali
7. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
8. Operasi abdominal pada kehamilan preterm
9. Riwayat operasi konisasi
10. Iritabilitas uterus
7
Minor3
1. Penyakit yang disertai demam
2. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
3. Riwayat pielonefritis
4. Merokok lebih dari 10 batang perhari
5. Riwayat abortus pada trimester II
6. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.

2.1.3. Kriteria Diagnosis3


1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu lengkap atau antara 140 dan 259 hari
2. His 1x/10’/30”
3. Dilatasi serviks ≥2cm atau perubahan dilatasi dalam waktu 1 jam.
4. Pendataran serviks lebih dari 50-80%
5. Sebelum persalinan berlangsung dapat dirasakan tanda sebagai berikut:
 nyeri pinggang belakang
 rasa tertekan pada perut bagian bawah
 terdapat kontraksi irreguler sejak sekitar 24-48 jam
 terdapat pembawa tanda seperti bertambahnya cairan vagina atau terdapat
lendir bercampur darah.

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang3,4


1. Laboratorium
 Darah rutin, kimia darah
 Pemeriksaan kultur urine, urinalisis
 Bakteriologi vagina
 Amniosentesis  Surfaktan
 Pemeriksaan gas dan pH darah janin

8
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Usia gestasi, jumlah janin, besar janin, aktivitas biofisik, cacat kongenital, letak dan
maturasi plasenta, volume cairan ketuban, dan kelainan uterus.

2.1.5. Penatalaksanaan3,4,5
Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm dan yang mengalami
gejala persalinan preterm membakat harus ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran
neonatal.
1. Akselerasi pematangan fungsi paru
Pemberian kortikosteroid jika usia kehamilan <35 minggu untuk pematangan paru.
Pemberian steroid tidak diulang karena dapat menyebabkan IUGR (pertumbuhan
janin terhambat)
 Betametasone : 12 mg/hari i.m untuk 2 hari (2 dosis)
 Dexametason : 2x6 mg i.m dengan jarak setiap 12 jam, pemberian hanya
untuk 2 hari (4 dosis).

2. Pemberian tokolitik
Indeks tokolitik > 8 menunjukkan kontraindikasi pemberian tokolitik
0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Irregular Regular - -
Ketuban Tidak ada - Tinggi/tidak jelas - Rendah/pecah
pecah
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm

 Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya


hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg.
 Golongan beta-mimetik
 Salbutamol perinfus : 20-50 µg/menit, peroral : 2 mg, 2-4 kali/hari
(maintenance).
 Terbutalin per infuse : 10-25 µg/menit, peroral : 3-5 mg per hari
(maintenance).
Efek samping : hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.

9
 Ritodrine perinfus : 100 µg/menit, peroral : 5-10 mg setiap 8 jam
(maintenance).
 Magnesium Sulfat (MgSO4) 4-6 gr/iv pemberian bolus selama 20-30 menit,
infus 2-4gr/jam (maintenance).
Efek samping pemberian magnesium adalah diplopia, mulut kering, edema
paru, letargi, nyeri dada, depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

2.1.6. Kontraindikasi Penundaan Persalinan3,4,5


Mutlak
Gawat janin, korioamnionitis, perdarahan antepartum yang banyak.

Relatif
Gestosis, diabetes mellitus, pertumbuhan janin terhambat, pembukaan serviks lebih
dari 4 cm.

2.1.7. Cara Persalinan3,4,5


1. Janin presentasi kepala : pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan
forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
2. Indikasi seksio sesarea :
 Janin sungsang
 Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
 Gawat janin, bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
 Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
ologohidramnion, dan cairan amnion berbau. bila syarat pervaginam tidak
terpenuhi
 Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
3. Lindungi bayi dengan handuk hangat, usahakan suhu 36-37 ̊ C (rawat intensif di
bagian NICU ), perlu dibahas dengan dokter bagian anak.
4. Bila bayi ternyata tidak mempunyai kesulitan (minum, nafas, tanpa cacat) maka
perawatan cara kangguru dapat diberikan agar lama perawatan di rumah sakit
berkurang.

2.1.8. Komplikasi3,4,5

10
1. Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi. Bayi yang lahir dari ibu
yang menderita anmionitis memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko
distres pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan
intraventrikuler 3 kali lebih besar.Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran
hialin).
2. Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas
dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh udara
dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang
disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan
tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan
dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara
saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya terjadi Sindroma
Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan lainnya dan pada
beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika
penyakitnya berat, mungkin mereka perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator
dan diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah
selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
3. Ketidak matangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau
serangan apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi prematur
juga memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu
(henti nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk
mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan.
Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang
sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera .
4. Ketidak matangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi
jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu
banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran
kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.
11
5. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
6. Displasia bronkopulmoner.
7. Penyakit jantung seperti paten duktus arteriosus
8. Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi
hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan
akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
9. Infeksi atau septikemia.
Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka
belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta.
Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi.
Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi
(peradangan pada usus).
10. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
11. Anemia
12. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
13. Keterbelakangan mental dan motorik.

2.2 Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada Kehamilan


2.2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih di
dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Virus HIV
menyebar melalui cairan tubuh dan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan
tubuh manusia terutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV menyerang sel-
12
sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag yang merupakan
sistem imunitas seluler tubuh.6,7 Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kerusakan secara
progresif dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh tidak
mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV dapat merusak
banyak sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan tidak dapat melawan infeksi
dan penyakit sama sekali. Infeksi ini akan berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS).8
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan tahap infeksi yang terjadi
akibat menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus).8 AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita menjadi
rentan terhadap infeksi dan kanker terkait infeksi yang disebut infeksi oportunistik. 6,9 Infeksi
oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh yang menurun dan
dapat terjadi penyakit yang lebih berat dibandingkan pada orang yang sehat. Seseorang dapat
didiagnosis AIDS apabila jumlah sel CD4 turun di < 200 sel/µLdarah, selain itu seseorang
dapat terdiagnosis dengan AIDS jika menderita lebih dari satu infeksi oportunistik atau kanker
yang berhubungan dengan HIV dan perlu waktu 10-15 tahun bagi orang yang sudah terinfeksi
HIV untuk berkembang menjadi AIDS.9

Gambar 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)


2.2.2 Patogenesis Infeksi HIV
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini
mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus
mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi
genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri,
informasi genetik virus juga ikut diturunkan. 7,8 Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang
mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel
13
B, killercell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada
limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan
menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut
sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat
aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.7,9
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik
yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan
menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV
menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai < 200 sel/µL.2 Dalam
tubuh Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua
orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir
semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.7,8
Siklus hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV) melalui beberapa tahapan berikut:17

14
Gambar 2.2 Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)17

2.2.3 Penularan Virus HIV


Cara penularan virus HIV, yaitu :
A. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat
medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui
alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada
organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan
kesehatan.8

B. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak
seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi
HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk
dalam kategori risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah
virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores
dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.8

C. Penularan perinatal
15
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan
dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.8
1. Penularan in utero atau intra uterin
HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini
diketahuikarena didapatkannya HIV pada jaringan thymus, lien, paru dan otak dari
janin 20 minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.10,11
2. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.11
3. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV pada
kelenjar payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada perbedaan pendapat
mengenai hal ini karena hasil penelitian yang berbeda, tetapi karena belum adanya
vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada, maka disepakati
pemberian ASI pada bayi tetap masih di larang.10,11

2.2.4 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.12
A. Faktor Ibu
 Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV
dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/mL) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/mL.
 Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
 Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.

16
 Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
 Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.3 Sehingga tidak
sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat disarankan diberikan
susu formula untuk asupan nutrisinya.

B. Faktor Bayi
 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan
baik.

 Periode pemberian ASI


Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
 Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
 Respon imun neonatus.

C. Faktor obstetrik
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode intrapartum,
mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang terinfeksi dan
sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama
kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak
terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3
bulan. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan yang memanjang,
pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion yang
mengandung darah. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah:
 Jenis persalinan
17
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan melalui bedah
sesar (seksio sesaria).
 Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu.

2.2.5 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa
lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika
terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak
pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV
pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) saat
hamil diperkirakan sekitar 15-45%.8 Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan
bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa
nifas dan menyusui.7

Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10 %
Bersalin 10 – 20 %
Menyusui 5 – 20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan
berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral
jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%,
18
dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke
anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik,
maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.12

2.2.6 Diagnosis Infeksi HIV


Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara keseluruhan
kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis
(mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen
darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan
diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang
berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria
sensitivitas dan spesifitas.13

Tabel 2.2 Tes Diagnostik untuk Infeksi HIV


Skrinning
ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya
Aglutinasi latek untuk HIV-1
Konfirmasi
Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2
Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1
Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1
Lain-lain
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen
Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menetapkan untuk mendiagnosis


AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal
ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal
terdapat 2 gejala mayor atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor. Pemeriksaan jumlah
sel CD4 dapat segera di lakukan setelah pertama kali dinyatakan positif HIV dan saat akan
melahirkan menggunakan spesimen darah.13

Tabel 2.3 Gejala Mayor dan Minor HIV/AIDS


19
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 bulan Batuk menetap > 1 bulan
Diare kronik berlangsung > 1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan > 1 bulan Herpes zoster multisegmental dan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
wanita
Renitis cytomegalovirus

2.2.7 Pemberian Terapi Antiretroviral 11


Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan
dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang
bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal
yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari
timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/ keluarga dalam
terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan
tatalaksana yang sesuai. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV
adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI) atau (2 NRTI + 1
PI).Berikut penjelasan mengenai golongan obat tersebut:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), mentargetkan pencegahan
protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi
viral DNA. Obat-obatan NNRTI yaitu Zidovudine (AZT), Didanosine (ddl), Stavudine
(d4T), Lamivudine (3TC), Tenofovir (TDF).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) memperlambat reproduksi dari
HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting.
Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–
sel. Obat-obatan NNRTI yaitu Nevirapine (NVP), delavirdine (Rescripta), efavirenza
(Sustiva).

20
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga
suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. Obat-obatan
PI yaitu Lopinavir (Aluvia).

Tabel 2.4 Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV Profilaksis
pada Bayi
NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN
(paduan untuk ibu)
1. ODHA sedang terapi ARV,  Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau
kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
 Lanjutkan dengan paduan ARV yang sama
selama dan sesudah persalinan
2. ODHA hamil dengan  Mulai ARV pada minggu ke-14 kehamilan
jumlah dalam stadium  Paduan sebagai berikut:
klinis 1 atau jumlah CD4 AZT + 3TC + NVP
>350 sel/µL dan belum  TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
terapi ARV  AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
3. ODHA hamil dengan  Segera mulai terapi ARV dengan paduan
jumlah CD4 <350 sel/µL seperti pada butir 2
atau stadium 2,3,4
4. ODHA hamil dengan  OAT tetap diberikan
tuberkulosis aktif  Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
5. Ibu hamil dalam masa  Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan atau
persalinan dan status HIV tes setelah persalinan
tidak diketahui  Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada masa  Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Profilaksis ARV untuk bayi
AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2 kali/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu

21
Gambar 2.3Alur Pemberian Terapi Antiretroviral Pada Ibu Hamil

2.2.8 Tata Laksana Persalinan dengan Infeksi HIV


Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara persalinan
bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Adanya
trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun bayi akan mengakibatkan terjadinya
penularan vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan
penggunaan elektrode kepala perlu dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan
persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk
persalinan lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan
38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load
dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus
mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan.14,15
Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan
seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset
persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah
mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih >1000 kopi/mL, wanita
yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin. 14,15
Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam sebelum operasi
dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat.
b. Sedapat mungkin meminimalisir perdarahan selama operasi dan diusahakan kulit ketuban
dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan.
22
c. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya.

Tabel 2.5 Tatalaksana Persalinan


PERSALINAN PER VAGINAM PERSALINAN PER ABDOMINAM
Syarat: Syarat:
 Pemberian ARV mulai pada minggu  Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau  VL >1.000 kopi/mL atau
 VL <1.000 kopi/mL  Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu

2.2.9 Tata Laksana Postnatal


Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis
terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi
penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap
12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah
resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit
CD4 diatas 200 dan 400. 15
Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual. Secara
teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu,
WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun
mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat
diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi.16

2.2.10 Tata Laksana Neonatus


Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan bati diberikan
monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat alternatif
bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi
untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau
ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama.15
Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes IgA
dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes yang
harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini

23
negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak
terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.16

BAB III
PEMBAHASAN

1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?


Pada kasus ny. S usia 26 tahun dengan diagnosis G5P3A1 hamil 31 minggu belum
inpartu dengan partus prematurus imminens janin tunggal hidup presentasi kepala + HIV.
Dalam kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, serta perjalanan penyakit pasien.
Berdasarkan anamnesis dari pasien, pasien seorang wanita, 26 tahun, datang ke RSUD
M Yunus pada tanggal 10 Februari 2018, dengan keluhan perut mulas dengan hamil kurang
bulan, makin lama makin sering. Pada anamnesis os mengaku saat ini adalah kehamilannya
yang kelima, riwayat post coital (+), pasien mengaku terinfeksi HIV, rutin kontrol ke VCT
dan rutin minum obat ARV. HPHT tanggal 23 Juli 2017 dan pemeriksaan fisik didapatkan
tinggi fundus uteri setinggi 24 cm. Kehamilan sudah berusia ± 31 minggu. Dari hasil
pemeriksaan his 1x/10/35”, pendataran 0% serta pembukaan pada serviks 0 cm. Detak
jantung janin 146 kali/menit teratur. Letak janin memanjang, punggung kiri, terbawah
kepala, penurunan 5/5. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini
memenuhi kriteria diagnosis persalinan preterm yaitu usia gestasi 22 – 36 minggu (pada
pasien usia gestasi 31 minggu), his 1x/10’/30” (pada pasien his 1x/10’/35”), dilatasi ≥ 2 cm
atau perubahan dilatasi dalam waktu 1 jam (pada pasien pembukaan 0 cm), pendataran 50-
80% (pada pasien pendataran 0%). Sehingga diagnosis pasien G3P2A0 hamil 31 minggu

24
belum inpartu dengan partus prematurus iminens + HIV janin tunggal hidup presentasi
kepala.

2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat?


Tatalaksana yang dilakukan kepada ny.S sudah tepat, berikut tatalaksana yang telah
dilakukan:
a. Observasi TVI, His, DJJ
Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan mengobservasi kondisi tanda vital
ibu agar keadaan ibu tetap stabil dan tidak menurun. His dipantau untuk melihat
reaksi pemberian tokolitik. Denyut jantung janin di observasi untuk memantau
keadaan/kesejahteraan janin.

b. IVFD RL xx gtt /menit


Ringer laktat, komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa
dengan cairan ekstraseluler tubuh, Na=130-140, K=4-5, Ca=2-3, Cl-109-110,
Basa=28-30 mEq/l. Di indikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit.
Pada ibu dalam kasus ini perlu di berikan infus ringer laktat sudah tepat karena
untuk mempertahankan kadar elektrolit ibu agar tetap stabil. Selain itu adapun
tujuan pemberian infus:
1. Mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, kalori yang tidak dapat
dipertahankan secara adekuat melalui oral.
2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.
3. Memperbaiki volume komponen-komponen darah.
4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.
5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP).
6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan diistirahatkan.
c. Dexamethasone
Injeksi dexamethasone 12mg/24 jam selama 2 hari sudah sesuai dimana,
berdasarkan teori pada pasien PPI dengan kehamilan 31 minggu perlu
dipertimbangkan untuk diberikan injeksi kortikosteroid untuk tujuan kematangan paru
janin sehingga mengurangi risiko terjadinya RDS (Respiratory Distress Syndrome)
mortalitas bayi prematur dengan usia 24-34 minggu. Pemberian kortikosteroid
sebelum paru matang akan memberikan efek berupa peningkatan sintesis fosfolipid
surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru.
Kortikosteroid bekerja dengan menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam
proses sintesis fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi
menjadi fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan

25
protein surfaktan. Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan
kemampuan dan volume maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler,
meningkatkan pembersihan cairan paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki
fungsi respirasi, serta memperbaiki respon paru terhadap pemberian terapi surfaktan
post natal
d. Nifedipine
Pemberian Nifedipine 10 mg/6 jam p.o pada pasien ini juga sudah tepat. Hal ini
dikarenakan nifedipine merupakan calcium channel blocker yang bekerja pada otot
polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker
dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Dengan pemberian nifedipine maka dapat meberikan cukup waktu untuk mematangkan
paru janin
0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Irregular Regular - -
Ketuban Tidak ada - Tinggi/tidak jelas - Rendah/pecah
pecah
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm

3. Bagaimana proses persalinan pada pasien ini?


Cara persalinan pada pasien HIV harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38
minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Pada pasien ini dapat
direncanakan persalinan per vaginam.
Berdasarkan rekomendasi dari beberapa referensi, semua ibu hamil dengan HIV positif
disarankan untuk melakukan persalinan dengan sectio caesaria. Operasi sectio caesaria
pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah
dini direkomendasikan untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan
kadar viral load yang masih >1000 kopi/mL. Sedangkan persalinan pervaginam dapat
dilakukan jika memenuhi syarat bahwa pemberian ARV dimulai pada usia kehamilan
<14 minggu (ART > 6 bulan) dan viral load <1000 kopi/mL.
Pada pasien ini, pasien sudah lama rutin mengonsumsi obat HIV dan viral load
terakhir pasien ini adalah 350 kopi/mL. Sehingga cara persalinan pervaginam dapat
dilakukan pada pasien ini.

26
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diagnosis pada kasus ini G5P3A1 hamil 31 minggu belum inpartu dengan partus
prematurus imminens janin tunggal hidup presentasi kepala + HIV sudah tepat
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang.
2. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat yakni dengan dilakukan observasi tanda
vital, His dan DJJ serta dilakukan pemberian tokolitik dan pematangan paru sehingga
mengurangi risiko terjadinya RDS (Respiratory Distress Syndrome) mortalitas bayi
prematur dengan usia 24-34 minggu.
3. Pasien direncanakan lahir pervaginam jika pemberian terapi ARV dimulai pada usia
kehamilan <14 minggu (ART > 6 bulan) dan viral load <1000 kopi/mL.

27
28
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham M.D, et al. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23 rd ed. USA:
McGraw- Hill; 2005.
2. Goepfert A.R. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle for Practise.
USA: McGraw-Hill; 2011.
3. Iams J.D. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine 5 th ed. USA:
Saunders; 2007.
4. Jafferson Rompas. Persalinn Preterm [Online]. 2004. Available from:URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145 11Persalinanpreterm.pdf/145.30.
5. Saifuddin AB, dkk. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi 4. Jakarta: PT Bina
Pustaka; 2011.
6. World Health Organization. Guidelines for second generation HIV surveillance: an
update: Know your epidemic. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS. World
Health Organization; 2013.
7. UNAIDS. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemic 2013. Global Report.
UNAIDS; 2013.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pengendalian
HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Dirjen P2PL; 2011.
10. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD.
Human Immunodeficiency VirusInfection. In : William’sObstetric. 22nd Edition. New
York: Mc Graw-Hill; 2001. p.1-8
11. Decherney A, Goodwin M. et.al. Human Immunodeficiency Virus Infection. In :
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10 th Edition. United
States of America. McGraw-Hill Companies; 2007.p.1-6
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak; 2013.
13. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta :
PT. Rineka Cipta; 2003.

29
14. Pusponegoro, et.al. Hubungan Penyuluhan Dengan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Ibu Hamil Tentang HIV dan Program Voluntary Counseling and Testing di Puskesmas
Pulo Gadung Tahun 2013. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI; 2013.
15. Roza J. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD Mandau
Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia; 2013.
16. Susan et.al. Disengagement and Engagement Coping with HIV/AIDS Stigma and
Psychological Well Being of People with HIV/AIDS. Journal of Social and Clinical
Psychology; 2012; 21 (2) : pp 123-50.
17. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: Mechanistic and
Therapeutic Insights. Nature reviews. Microbiology; 2012; 10:279-290.
18. Laskey, Sarah B. And Robert F. Silianto. A Mechanism Theory to Explain The
Efficacy of Antriretroviral Therapy. Nature Review Microbiology; 2014.

30

Anda mungkin juga menyukai