Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

Seorang Wanita 27 Tahun G1P0A0 Hamil Aterm dengan PEB


Belum Dalam Persalinan, Plan Regional Anesthesia Sub
Arachnoid Block
Status Fisik ASA II E

DISUSUN OLEH:
ENO YUNIAR
G99172069

PEMBIMBING :
dr. ROBERTUS THEODORUS SUPRAPTOMO, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret/RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Wanita 27 Tahun G1P0A0 Hamil Aterm dengan PEB, Belum Dalam
Persalinan,
Plan Regional Anesthesia Sub Arachnoid Block
Status Fisik ASA II E

Hari, tanggal : Rabu, 29 Agustus 2018

Oleh:
Eno Yuniar G99172069

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Robertus Theodorus Supraptomo, Sp.An.


NIP. 19570308 198603 1 006

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Hingga saat ini, angka kematian ibu masih tinggi dan belum dapat turun
sesuai harapan. Penyebab tingginya angka kematian, antara lain yang terbanyak
perdarahan (45%), infeksi (15%) dan hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia)
(15%), penyebab lainnya berupa partus macet, abortus yang tidak aman, dan
berbagai penyebab tidak langsung lain.
Angka kejadian preeklampsia yang dilapokan oleh World Health
Organization (WHO) adalah sebanyak 861 dari 96.494 sampel di seluruh dunia.
Sekitar 14% (50.000-75.000) kematian maternal setiap tahunnya diperkirakan
akibat preeklampsia dan eklampsia. Indonesia menempati peringkat tertinggi
angka kematian ibu di Asia, yaitu sebanyak 228/100.000 kelahiran hidup, yang
24% disebabkan oleh preeklampsia. Pada tahun 2011, prevalensi kejadian
preeklampsia di RSUD DR. Moewardi Surakarta sebesar 31,58% lebih besar
dibandingkan angka rata-rata kejadian preeklampsia di Indonesia 7-10%.
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang ditandai oleh hipertensi,
akibat peningkatan resistensi pembuluh darah dan disertai disfungsi endotel difus,
proteinuria, serta koagulopati. Kurangnya kontrol dan perhatian pada kasus
preeklampsia dengan hipertensi, edema dan proteinuria sering mengakibatkan
munculnya preeklampsia berat, bahkan menjadi eklampsia karena tidak dicegah
sedini mungkin. Preeklampsia berat dapat menjadi salah satu indikasi
dilakukannya sectio caesarea untuk mengakhiri kehamilan.
Sampai saat ini, regional anesthesia telah banyak digunakan sebagai
pilihan teknik anestesi pada pasien dengan preeklampsia yang menjalani sectio
caesarea karena keamanannya telah dipercaya dan mampu memberikan hasil
yang lebih baik,serta angka morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah
dibandingkan anestesi umum.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. FF
Tanggal lahir : 20 Oktober 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Banjarsari, Surakarta
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Berat Badan (BB) : 96 kg
Tinggi Badan(TB) : 160 cm
Tanggal masuk : 19 Agustus 2018
Tanggal Pemeriksaan : 21 Agustus 2018
Nomor Rekam Medis : 01424349

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang wanita G1P0A0, usia 27 tahun, UK 30+1 minggu
datang rujukan dengan keterangan PEB preterm UK 30 minggu. Pasien
datang dengan keluhan hamil dengan tekanan darah tinggi. Pasien merasa
hamil 8 bulan. Gerakan janin masih dirasakan, lendir darah (-), air
ketuban belum dirasakan keluar. Keluhan nyeri kepala (-), pandangan
kabur (-), nyeri ulu hati (-). Riwayat ANC rutin tiap bulan di dokter
spesialis obsgyn.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat tekanan darah tinggi : (+) sebelum hamil terdiagnosis hipertensi
namun tidak rutin minum obat
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

3
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi :+
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengonsumsi alkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS

6. Riwayat Menstruasi
Hari Pertama Menstruasi Terakhir (HPMT) tanggal 6 Desember 2017.

7. Riwayat Kehamilan
Kehamilan saat ini usia 30+1 minggu

8. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah satu kali, sampai saat ini usia pernikahan sudah 1,5
tahun.
9. Riwayat Keluarga Berencana
-

4
10. Resume AMPLE

A : tidak ada riwayat alergi makanan dan obat

M : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan

P : Riwayat DM (-), hipertensi (+),asma (-), operasi sebelumnya (-)

L : Pasien terakhir makan minum jam 10.00 WIB sebelum operasi

E : Tekanan darah pasien tinggi, pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : baik
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda Vital
BB : 96 kg
TB : 160 cm
SiO2 : 99%
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 98 x/menit, reguler
Pernafasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36.5ºC (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a. Secara klinis
Gizi kesan baik
b. Secara Antropometris
IMT = 96 : (1,60)2 = 37,5
Status gizi secara antropometri: obesitas derajat II
4. Primary Survey
i. Airway: bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka mulut
>3 jari, mallampati 2, gerak leher bebas.

5
ii. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas 22x/menit.
iii. Circulation: bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
114/79mmHg, nadi 79 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
iv. Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya (+/+).
v. Exposure : suhu 36.50C
5. Secondary Survey
i. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
ii. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
iii. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-),cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)
iv. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
v. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
vi. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
vii. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
viii. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm, leher pendek
ix. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+),

6
suara tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
x. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal 13 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung kiri, presentasi
kepala, kepala belum masuk panggul, DJJ (+) 180
x/ menit irreguler, his (-), TFU 21 cm (TBJ 1240
gram)
xi. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
xii. Genital : Dari pemeriksaan VT didapatkan VU tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio lunak mecucu di
belakang, diameter OUE 0 cm, kulit ketubandan penunjuk
belum dapat dinilai, air ketuban (-), sarung tangan lendir
darah (-).

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (19 Mei 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12.1 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 37 % 33-45
Leukosit 12.9↑ ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 185 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.00 juta/ul 4.10-5.10
Golongan darah O
HEMOSTASIS
PT 11.2 detik 10.0-15.0
APTT 30.3 detik 20.0-40.0
INR 0.850
KIMIA KLINIK
Glukosa darah sewaktu 69 mg/dl 60-140
SGOT 18 u/l <31
SGPT 18 u/l <34
Albumin 3.1↓ g/dl 3.5-5.2
Creatinine 1.5↑ mg/dl 0.6-1.1
Ureum 38 mg/dl <50
LDH 661↑ u/l 140-300
ELEKTROLIT
Natrium darah 143 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.8 mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 105↑ mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive
SEKRESI
Protein Kualitatif ++++/Positif 4 Negatif
Kesan : proteinuria, Hipoalbumin

2. USG
Tampak janin tunggal intrauterine, memanjang, punggung kiri, presentasi
kepala, DJJ (+) 180 kali/menit, irreguler
Fetal biometry : BPD 7.17 cm ~ 29+6 minggu
HC 20.48 cm ~ 30+2 minggu
AC 22.44 cm ~ 29+1 minggu

8
FL5.59 cm ~ 29+5 minggu
EFBW :1177 gram
Tampak plasenta insersi di corpus grade II, tampak air ketuban kesan
cukup, dan tidak tampak jelas kelainan kongenital mayor.
Kesan :saat ini janin dalam keadaan baik

3. CTG : baseline 180x, variabilitas 5-15, akselerasi (+), deselerasi (-), fetal
movement (+), kontraksi (-). NST Kategori I.

E. TATALAKSANA
1. Resusitasi intaruterin:
- O2 8 Lpm NRM
- Miring kiri
2. Pro SCTP emergensi dan MOW
3. Informed consent
4. KIE
5. Konsultasi TS Anestesi
6. Konsultasi TS Jantung
7. Post operasi mondok di HCU.

F. DIAGNOSA ANESTESI
Ny. FF, perempuan 27 tahun, UK 30+1 minggu G1P0A0 dengan PEB
pada primigravida hamil aterm belum dalam persalinan, pemeriksaan fisik
kondisi umum baik, tekanan darah 160/90 mmHg, dan denyut nadi 98
kali/menit. Pada prinsipnya setuju tata laksana anestesi dengan status fisik
ASA II E, plan informed consent, IV line, DC, puasa makanan padat 6 jam
dan makanan cair 4 jam, obat tetap diberikan terus, premedikasi di OK
IBS, regional anesthesia sub arachnoid block, dan perawatan pasca operasi
di HCU.

G. PROBLEM

9
1. PEB
2. Obesitas derajat II

H. POTENTIAL PROBLEM
1. Perdarahan
2. Eklampsia
3. Nyeri post operasi
4. Infeksi
5. Atonia uteri

I. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 21 Agustus 2018 di OK IBS
Primary Survey
1. Airway: bebas, patensi hidung (-/-), deviasi septum (-/-), buka mulut
>3 jari, mallampati 2, gerak leher bebas, TMD > 6cm
2. Breathing: thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas
20x/menit.
3. Circulation: bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
150/100mmHg, nadi 74 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
4. Disability: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya (+/+).
5. Exposure: suhu 36.50C
Secondary survey
1. Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-)
2. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
3. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-),cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)

10
4. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
5. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
6. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
7. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
8. Leher : trakeadi tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, TMD > 6 cm
9. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)

10. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal 13 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung kiri, presentasi
kepala, kepala belum masuk panggul, DJJ (+)180
kali/menit reguler, his (-), TFU 21 cm (TBJ 1240
gram)

11
11. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema --
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
12. Genital :Dari pemeriksaan VT didapatkan V/U tenang, dinding
vagina dalam batas normal, portio lunak mecucu di belakang,
diameter OUE - cm, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat
dinilai, air ketuban (-), sarung tangan lendir darah (-).

Anestesi dimulai pukul 16.00 berlangsung 120 menit, sampai pukul 18.00.
Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 16.15–17.00 WIB. Dilakukan
regional anesthesia sub arachnoid block dengan injeksi Lidocain75 mg dan
Fentanyl 25 mcg secara intratekal pada pukul 16.00. Setelah menunggu
beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan
Sectio Caesaria dengan posisi supine pada pasien. Durante operasi
diberikan O23 lpm dengan nasal kanul, infus Ringer Laktat, ondansentron
4 mg IV, serta Oksitosin drip10 IU.
Perhitungan cairan(BB = 96 kg) durante operasi adalah :
1. EBV pasien = 90 cc/kg x 96kg = 8.640 cc
2. ABL= (Hct – 24/100) x 3 x EBV = (37-24)/100x3x8640 = 3369,6cc
3. Kebutuhan cairan selama operasi:
a. Maintenance + stress operasi = 90cc/jam (pasien PEB)
b. Pengganti puasa = 2 cc/jam x 96 x 4 = 768 cc (terpenuhi)
4. Maka, kebutuhan cairan
a. jam I = 90cc
b. jam II = 90 cc

Maintenance anestesi :
1. B1 (Breathing) : suara nafas vesikuler, nafas terkontrol

12
2. B2 (Bleeding) : perdarahan ± 300 cc
3. B3 (Brain) : pupil isokor
4. B4 (Bladder) : kateter terpasang, urin 100 cc
5. B5 (Bowel) : bising usus (-)
6. B6 (Bone) : intak

Proses sectio caesaria selesai pada pukul 17.00. Di ruang pemulihan,


sesuai skala Bromage, terjadi kejadian berikut ini :
1. 15 menit setelah operasi, skor = 3(tak mampu fleksi pergelangan
kaki)
2. 30 menit setelah operasi, skor = 2(tak mampu fleksi lutut)
3. 45 menit setelah operasi, skor = 1 (tak mampu ekstensi tungkai)
4. Kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, denyut
nadi 80 kali/menit, frekuensi nafas 16 kali/menit, suhu 36.5ºC, dan
saturasi oksigen 100% dengan nasal kanul 3 lpm. Pasien lalu
dipindahkan ke ruang HCU Melati 1 karena Skor Bromage ≤ 2

Bayi lahir perabdominal pada tanggal 21 Agustus 2018 pukul 16.30


dengan jenis kelamin perempuan dengan berat badan 3100 gram, skor
APGAR 7-8-9, anus (+), kelainan kongenital (-).
Setelah operasi, pasien dirawat di HCU Melati 1 untuk mendapatkan
perawatan lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit, frekuensi
nafas 20 kali/menit, suhu 36.5ºC, dan saturasi oksigen 99% dengan nasal
kanul 3 lpm. Tatalaksana post operasi meliputi
1. Pengawasan KUVS dan tanda perdarahan sampai dengan 24 jam
post op.
2. Puasa hingga peristaltik usus (+).
3. Mobilisasi bertahap.
4. Vitamin C 500mg/12jam.
5. Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v.

13
6. Protap PEB
a. Oksigen 3 lpm
b. IVFD RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20% 1 gram/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 10 mg/8 jam
e. Awasi KU/VS/BCdan tanda impending eklampsia

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Preeklampsia
A. Definisi
Preeklampsia merupakan hipertensi spesifik pada masa kehamilan
yang diikuti dengan gangguan multisistem. Dikatakan hipertensi ketika
tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
Kenaikan tekanan darah biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20
minggu, seringkali mendekati usia aterm, dan dapat diperberat dengan
penyakit hipertensi lainnya.
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah
kehamilan 20 minggu atau kadang-kadang timbul lebih awal bila
terdapat perubahan hidatiformis yang luas pada vili korialis) yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90 mmHg) dan
proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya normal
pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.10 Preeklampsia merupakan
penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga
disertai peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel difus,
proteinuria, dan koagulopati.5 Preeklampsia paling sering muncul
dengan hipertensi onset baru yang disertai dengan proteinuria onset
baru, sehingga diagnosis preeklampsia dahulu ditegakkan berdasarkan
kedua pemeriksaan tersebut.
Pada beberapa wanita yang mengalami hipertensi pada masa
kehamilan dengan tanda - tanda multisistemik menunjukkan derajat
penyakit ini walaupun tidak disertai dengan proteinuria. Tanpa adanya
proteinuria, diagnosis preeklampsia ditegakkan bila didapatkan
hipertensi dengan trombositopenia (angka trombosit <100.000/µL),
gangguan fungsi hati (peningkatan liver transaminase hingga 2 kali
lipat), insufisinsi renal (peningkatan kreatinin serum > 1.1mg/dL atau

15
meningkat 2 kali lipat tanpa penyakit ginjal lainnya), edema pulmo,
serta gangguan otak atau pengelihatan11. Preeklampsia adalah kelainan
disfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas
sehingga terjadi vasospasme, mengakibatkan terjadinya penurunan
perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya
hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300 mg per
24 jam atau 30 mg/dL (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif
saat pengambilan urine sewaktu10.
Wanita yang sedang hamil bisa saja mempunyai penyulit dalam
kehamilannya seperti timbulnya gejala-gejala subjektif yang disebut
dengan impending eklampsia. Impending eklampsia adalah gejala-
gejala yang timbul pada saat wanita hamil mengalami preeklampsia
berat dimana tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 160
mmHg dan tekanan darah diastolik sama dengan atau lebih dari 110
mmHg disertai dengan proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam.1Impending
eklampsia adalah gejala-gejala oedema, protenuria, dan hipertensi yang
disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif antara lain, nyeri
kepala berat, gangguan visual,muntah, dan nyeri epigastrium.
Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperefleksia, eksitasi motorik,
kenaikan progresif tekanan darah (tekanan darah sistolik bisa mencapai
≥ 200 mmHg), dan sianosis.

B. Klasifikasi
Berdasarkan Guideline of Hypertension in Pregnancy oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG),
hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi preeklampsia, eklampsia,
hipertensi kronis, hipertensi kronis dengan preeklampsia superimposed,
hipertensi gestasional, dan hipertensi postpartum11.
Sementara itu, berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran yang dikeluarkan oleh Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia pada tahun 2016 tentang Diagnosis dan

16
Tatalaksana Preeklampsia, preeklampsia dibagi menjadi dua yakni
preeklampsia dan preeklampsia berat11.
Terjadinya preeklampsia dipengaruhi oleh beberapa faktor
predisposisi antara lain usia ibu, paritas, usia kehamilan, status
ekonomi, dan hiperplasentosis12. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan atau diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut
tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan
gangguanorgan spesifik akibat preeklampsia tersebut.
Kejadian preeklampsia paling tinggi pada primigravida dan
prevalensi terbesar terjadi pada multipara. Preeklampsi khas dengan
adanya trias : hipertensi, proteinuria, dan edema yang menyeluruh dan
diagnosa preeklampsi ditegakkan bila ditemukan 2 dari 3 gejala klinis
sebagai berikut hipertensi (tekanan sistolik ≥140 mmHg atau 30 mmHg
diatas nilai dasar dan tekanan diastolik ≥90 mmHg atau 15 mmHg
diatas nilai dasar yang harus dicatat 2 kali paling tidak selama 6 jam),
edema menyeluruh, dan proteinuria. Preeklampsia adalah suatu
kelainan yang tidak nampak sebelum usia kehamilan 20 minggu. Bila
preeklampsia disertai kejang disebut sebagai eklampsia.
Preeklampsia atau eklampsia umumnya terjadi pada primigravida
yang sangat muda atau tua.Penyebab utama kematian ibu dari kasus ini
adalah perdarahan otak (30-40%), edema paru (30-38%), gagal ginjal
(10%), edema otak (19%), DIC atau disseminated intravascular
coagulation (9%), dan obstruksi jalan nafas (6%).
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan
dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau
disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi
yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia
berat adalah salah satu dibawah ini :

17
a. Tekanandarah sekurang-kurangnya sistolik 160 mmHg atau
diastolik 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
e. Edema paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR),
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).

C. Etiologi
Preeklampsia adalah suatu penyakit yang unik pada kehamilan
pada manusia, karena itu penelitian mendapat keterbatasaan tidak adanya
model binatang percobaan yang adekuat untuk melakukan penelitian
penyakit ini. Etiologi dari eklampsia masih tidak diketahui. Etiologi yang
paling diterima disebabkan peningkatan relatif tromboksan plasenta
dibandingkan dengan prostasiklin. Selama gestasi yang normal, plasenta
memproduksi jumlah tromboksan yang ekuivalen dengan jumlah
prostasiklin. Suatu peningkatan absolut atau relatif tromboksan
menyebabkan vasokonstriksi, agregasi trombosit, peningkatan aktivitas
uterus, dan hipoperfusi uteroplasenta, gambaran yang konsisten dengan
preeklampsia.
Apapun kejadian permulaannya, iskemia plasenta menghasilkan
pelepasan renin uterus yang mengkatalisa angiotensinogen ke angiotensin
II. Neurohormon ini menyebabkan vasokonstriksi, hipoperfusi jaringan,

18
dan hipoksia. Sekresi aldosteron distimulasi, menyebabkan reabsorpsi
natrium dari renal dan menyebabkan edema. Iskemia menyebabkan
kerusakan bentuk plasenta, yang akan menyebabkan pelepasan
tropoblastik ke sirkulasi ibu dan penempatan fibrin secara luas dan
agregasi trombosit pada tempat kerusakan endotel. Bila kondisi semakin
berat akan terjadi koagulopati dan pada ginjal deposisi fibrin pada
pembuluh darah glomerulus menyebabkan proteinuria.
Beberapa mekanisme diajukan sebagai penyebab dari
preeklampsia, tetapi terdapat empat mekanisme yang secara umum
dinilai cukup kuat menjelaskan etiologi preeklampsia:
1. Impantasi plasenta dengan invasi tropoblastik yang abnormal
terhadap pembuluh darah uterina
2. Maladaptif toleransi sistem imun antara maternal dan jaringan
3. Maladaptasi sistem kardiovaskular maternal terhadap perubahan atau
proses inflamasi pada kehamilan normal
4. Proses genetik terkait presdiposisi genetik dan pengaruh epigenetik

D. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital, dan melahirkan bayi dengan selamat13. Pada
preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah karena
preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.Preeklampsia berat dirawat segera
bersama dengan bagian interna dan neurologi, dan kemudian ditentukan jenis
perawatan atau tindakannya.
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit
organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat
teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri
kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat tekanan darah.
Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria,

19
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG
dan NST.14
Wanita dengan preeklampsia dan fetus yang imatur dapat dikelola
sampai kehamilan hampir mendekati aterm. Akan tetapi, bila penyakitnya
progresif, seperti memburuknya hipertensi, trombositopenia, disfungsi hepar
atau ginjal, eklampsia, persalinan harus tetap dilakukan walaupun fetus imatur.
Terapi definitif dari preeklampsia adalah mengeluarkan unit fetoplasenta.
Semua tindakan ditujukan kepada normalisasi parameter hemodinamik,
mencegah dan mengobati kejang, serta koreksi koagulopati.
Berdasarkan panduan William obstetrics, ditinjau dari umur
kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama
perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri atau diterminasi bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.Indikasi : Bila didapatkan satu atau
lebih dari keadaan berikut ini :
a. Ibu
1) Kehamilan lebih dari 37 minggu
2) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
3) Kegagalan terapi pada perawatan konservatifyaitu: keadaan klinik
dan laboratorik memburuk
4) Diduga terjadi solusio plasenta
5) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
b. Janin
1) Adanya tanda-tanda gawat janin
2) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat
3) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4) Terjadinya oligohidramnion
5) Laboratorium : adanya sindroma HELLP khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat

20
Pengobatan medikamentosa meliputi :
a. Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc (60-
125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian medikamentosa.14Indikasi perawatan
konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai
tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi
pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap
terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama
seperti perawatan aktif, tetapi kehamilan tidak diakhiri. Magnesium
sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak
ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita preeklampsia berat
boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda-
tanda preeklampsia.
Prinsip tatalaksana preeklampsia :
1. Penggantian volume
Curah jantung yang rendah pada pasien preeklampsia dikoreksi
dengan mengganti volume intravaskuler. Tujuan penggantian
volume adalahcardiac filling pressure kanan-kiri normal, cardiac
index membaik, dan denyut jantung ibu serta resistensi vaskuler
sistemik menurun. Hipertensi sistolik dan diastolik ibu akan
membaik dengan hidrasi. Ekpansi volume dan normalisasi
hemodinamik menunjukkan perbaikan perfusi jaringan dan fetal.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab

21
terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan
gradien tekanan onkotik koloid atau pulmonary capillary wedge
pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral
ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat
penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa
jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan tindakan
koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa
a. 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah
tetesan:<125cc/jam atau
b. infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus
ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(13)
2. Terapi anti konvulsan
Mekanisme MgSO4 dalam mencegah eklampsia belum diketahui.
Umumnya diberikan dosis bolus 4 gram MgSO4 20% melalaui
suntikan intravena dilanjutkan dengan1-2 gram/jam. Eksresi ginjal
merupakan jalan utama untuk klirens magnesium dan waktu paruh
eliminasi kira-kira 20-30 menit bila fungsi ginjalnya baik. Level
magnesium dalam darah harus diperiksa, terutama bila ada
disfungsi ginjal dan ada oligouria. Magnesium 6-8 mg/L adalah
rentang terapi, meningkatnya konsentrasi ion magnesium akan
menyebabkan depresi kardiorespirasi.Bila terjadi eklampsia
walaupun terapi magnesium adekuat dapat diberikan dosis kecil
pentotal atau diazepam.
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih
efektif dibandingkan fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap
enam uji klinik yang melibatkan 897 penderita eklampsia,
magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin
pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi

22
neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan
menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi
(terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
a. Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 %
dalam 10 cc) selama 15 menit
b. Maintenance dose : Diberikan infus 6 gram dalam larutan
ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram intramuskular tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan
intravena selama 3 menit
b. Refleks patella (+) kuat
c. Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress
nafas
3. Anti hipertensi (terapi vasodilator)
Antihipertensi lini pertama : Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral,
diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua :
a. Sodium nitroprussida : 0,25 µg iv/kg/menit, infus ditingkatkan
0,25µg iv/kg/5 menit.
b. Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infus 10
mg/menit/dititrasi.
4. Kortikosteroid

23
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat
ini masih kontroversi. Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema
paru akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel kiri akibat
peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel
endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeklampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria. Pemberian
glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP.15
5. Anestesi dan sedative
Untuk penderita preeklamsia diperlukan anestesi dan sedativa lebih
banyak dalam persalinan. Namun, untuk saat ini teknik anestesi yang
lebih disukai adalah anestesi epidural lumbal.Pada kala II, pada
penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih
besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan
ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum14.
E. Prognosis
Prognosis preeclampsia berat dan eklampsia dikatakan jelek karena
kematian ibu antara 9.8 – 20.5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi
lagi, yaitu 42.2 – 48.9%. Kematian ini disebabkan karena kurang
sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
terjadi karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah
ginjal, dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi antara lain
karena prematuritas dan hipoksia intra uterin. Selain itu pada ibu yang
selamat dapat mengalami peningkatan morbiditas neurologis, sistem
ekskresi, dan system kardiovaskular di kemudian hari.

24
II. Sectio caesaria
A. Definisi
Sectio caesariaatau bedah sesar adalah sebuah bentuk
melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahanyang
menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus
(hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih. Tujuan
melakukan sectio caesaria (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan
segmen bawah rahim. Sectio caesareaumumnya dilakukan pada
plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan
hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa,
sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga
sectio caesarea tetap dilakukan pada placenta previa walaupun
anak sudah mati.
B. Indikasi
1. Indikasi medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a. Power
Daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung, atau penyakit
menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
b. Passanger
Anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primigravida di atas 35 tahun dengan letak sungsang, anak
tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak
menderitafetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau
dan melemah).
c. Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan
serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan
lahir yang diduga bisa menular ke anak, seperti herpes kelamin
(herpes genitalis), condyloma lata (kondiloma sifilitik yang

25
lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang
menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin
wanita), hepatitis B, dan hepatitis C.
2. Indikasi ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35
tahun, memiliki risiko melahirkan dengan persalinan normal.
Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini,
biasanya seseorang memiliki penyakit yang berisiko, misalnya
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes mellitus, dan
preeklamsia.
b. Tulang panggul
Cephalopelvic Diproportion(CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu yang tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala
janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara
alami. Sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c. Persalinan sebelumnya dengan sectio caesaria
Sebenarnya, persalinan melaluibedah caesar tidak memengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau
tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan
dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar,
panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau
membuka, operasi bisa saja dilakukan.
d. Faktor hambatan jalan lahir.
e. Kelainan kontraksi rahim.
f. Ketuban pecah dini.
g. Rasa takut kesakitan15.
3. Indikasi janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress).
b. Detak jantung janin melambat.
c. Bayi besar (makrosomia).

26
d. Letak sungsang.
e. Faktor plasenta
f. Kelainan tali pusat
Salah satu indikasi dilakukan tindakan sectio caesarea adalah
preeklampsia berat. Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah
satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh
kehamilan itu sendiri yang sebab terjadinya masih belum jelas.
Sindrom preeklampsia dengan hipertensi, oedema, dan protein urin
sering tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan sehingga
tanpa disadari dalam waktu yang singkat, jika tidak dilakukan
tindakan yang tepat untuk mencegah hal tersebut akan muncul
preeklampsia berat bahkan akan menjadi eklampsia.2

C. Komplikasi
1. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat,
misalnya peritonitis, sepsis, dan lain-lain. Infeksi post operasi
terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala
infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan
predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya
setelah ketuban pecah atau tindakan vaginal sebelumnya).
Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika,
tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama sectio
caesarea klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada sectio
caesarea transperitonealis profunda.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi - komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan
embolisme paru – paru.

27
4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih
banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.

D. Pemeriksaan penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (Hb/Ht) untuk mengkaji perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah
pada pembedahan
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis atau kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit

E. Penatalaksanaan post operasi


Penatalaksanaan Medis Post SC
1. Pemberian cairan
2. Diet
3. Mobilisasi
4. Kateterisasi
5. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda
setiap institusi
b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
1. Supositoria = ketopropen supositoria 2x/24 jam
2. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi = petidine 75-90 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
c. Obat-obatan lain

28
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita
dapat diberikan roboransia seperti neurobion dan vitamin C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah
dan berdarah harus dibuka dan diganti
7. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah
suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan

III. Anestesi pada Sectio Caesarea


A. Pendahuluan
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak
hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar
operasi dapat berjalan lancar. Obat yang digunakan dalam
menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini
dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal.

B. Persiapan praanestesia
Evaluasi pre anestesi adalah langkah awal tindakan anestesi yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.
Tujuan:
a. Mengetahui status fisik pasien pra operatif
b. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
c. Memilih jenis anestesi yang sesuai
d. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi
atau pasca bedah.

29
Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Pemeriksaan
Pasien juga harus menjalani beberapa pemeriksaan laboratorium
terkait pemilihan teknik anestesi yang akan digunakan. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
1. Darah: Hb, HCT, leukosit, trombosit, PT dan APTT
2. Kimia darah: sesuai indikasi seperti pemeriksaan fungsi hati, ginjal,
dan elektrolit
3. Urin: reduksi dan protein
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-
4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan
1 jam sebelum induksi anestesia.
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anestesi.

30
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi refleks yang membahayakan.

Untuk menentukan prognosis, ASA (American Society of


Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut:
1. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
2. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
3. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien
apendisitis perforasi dengan septikemia atau pasien ileus obstruksi
dengan iskemia miokardium.
4. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
5. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis
kranii dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA
juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E).
6. ASA 6, yaitu pasien calon transplantasi organ.

Anestesi Spinal

31
Anestesi spinal atau intratekal atau blok subarakhnoid dilakukan
dengan menyuntikkan secara langsung obat anestesi ke dalam cairan
serebrospinalis di dalam ruang subarakhnoid. Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan diatas vertebra sakralis 1. Batas atas
ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah ini
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan
dilakukan insersi. Dosis yang diberikan adalah bolus tunggal (Primatika et
al., 2010)

Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Replacement dan dapat untuk tindakan emergensi pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB /
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 10° Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
i. Ringan = 4 ml / kgBB / jam
ii. Sedang = 6 ml / kgBB / jam
iii. Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid

32
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10% maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

C. Skor pemulihan pasca anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah
dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery Room (RR).
Bromage Score (SAB/Sub Arachnoid Block):
- Gerakan penuh dari tungkai :0
- Tak mampu extensi tungkai :1
- Tak mampu flexi lutut :2
- Tak mampu flexi pergelangan kaki :3
Bromage score ≤ 2 boleh pindah ruangan.

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan diagnosis yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien di RSUD dr. Moewardi
didapatkan pasien ini adalah G1P0A0 dengan PEB pada primigravida hamil aterm
belum dalam persalinan pro SCTP emergensi. Penatalaksanaan pada pasien ini
adalah SCTP emergensi. Pada pasien telah dilakukan penatalaksanaan awal di
HCU Mawar 1 berupa protap PEB, puasa makan padat, dan pemasangan DC
kateter. Pasien sudah dikonsultasikan ke bagian anestesi dan jantung untuk
penatalaksanaan permasalahan pasien dan penilaian toleransi operasi sehingga
pasien direncanakan untuk operasi dengan anestesi regional.
Pasien ini mengalami preeklampsia berat yaitu hipertensi yang terdeteksi
setelah usia usia kehamilan 20 minggu disertai proteinuria dan atau edema dan
ditandai dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik
17
110 mmHg disertai dengan proteinuria 5 gram / 24 jam. Hal ini sesuai
pernyataan dimana pasien belum pernah hipertensi sebelum kehamilan maupun
masa awal kehamilan, pengukuran tekanan darah pasien 160/100 mmHg, dan
hasil laboraturium urin terdapat proteinuria +4.
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit dapat
dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Hal tersebut dikarenakan
penanganan yang terlambat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
maupun janin. Kemudian pada pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan
sectio caesaria emergensi atas indikasi fetal dan maternal. Indikasi maternal
adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi eklampsia. Usia kehamilan pada
kasus ini adalah kehamilan aterm.
Anestesi yang baik dilakukan pada pasien dengan kondisi hamil adalah
anestesi spinal, karena bayi yang lahir dari ibu dengan anestesi spinal tidak
terpengaruh oleh obat anestesi yang digunakan saat operasi, berbeda dengan obat-
obatan anestesi umum yang dapat melewati sirkulasi plasenta. Selain itu, pasien

34
dengan anestesi spinal yang kondisinya sadar saat operasi memiliki risiko aspirasi
isi lambung yang minimal jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat
anestesi umum. Aspirasi isi lambung dapat menyebabkan terjadi pneumositis
kimia pada pasien.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre
anastesi 98 kali/menit, tekanan darah 160/90 mmHg, dan frekuensi pernafasan 22
kali/menit. Status ASA pada pasien ini adalah ASA II emergency karena pasien
ini memiliki penyakit sistemik sedang yang dapat berpotensi mengalami
komplikasi dalam kehamilan, yaitu eklampsia. Komplikasi kehamilan tersebut
dapat mengancam nyawa ibu dan janin sehingga memerlukan penanganan yang
segera terhadap kondisi tersebut.
Pada kasus ini pasien direncanakan untuk dilakukan SCTP emergensi dan
pasien telah menyetujui untuk dilakukan operasi sehingga dapat dilakukan
persiapan anestesi. Pada pasien ini dilakukan regional anesthesia sub arachnoid
block dengan injeksi Lidodex 75 mg dan Fentanyl 25 mcg secara intratekal.
Durante operasi diberikan O23 lpm dengan nasal kanul dan infus Ringer Laktat
serta Oksitosin drip 20 IU.
Pasien dirawat di HCU setelah operasi untuk observasi ketat keadaan
umum, kesadaran, tanda-tanda vital, dan tanda-tanda perburukan komplikasi
kehamilan.

35
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan G1P0A0 PEB pada
primigravida hamil aterm belum dalam persalinan pro SCTP
emergensi.
2. Pada pasien tersebut tata laksana anestesi dengan status fisik ASA II
E, plan informed consent, IV line, DC, puasa makanan padat 6 jam
dan makanan cair 4 jam, obat tetap diberikan terus, premedikasi di
OK IGD, regional anesthesia sub arachnoid block, dan perawatan
pasca operasi di HCU mawar 1.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien sebelum tindakan anestesi
dilakukan terkait resiko dan komplikasi tindakan.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, U.2014. UNFPA, the World Bank, and the United Nations
Population Division. Trends in maternal mortality: 1990 to 2013. World
Health Organization, 201456.
2. Jayakusuma, AAN. Manajemen Resiko pada Preeklampsia (Upaya
Menurunkan Kejadians Preeklampsia dengan Pendekatan Berbasis
Resiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah. 2004

3. Angsar, MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi II. Lab/SMF Obstetri


dan Ginekologi FK Unair. Surabaya. 2003. pp.28-32

4. Himpunan Kedokteran Feto-Maternal POGI. Edisi II. Pedoman


Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia. 2005

5. Solomon CG, Seely EW. Brief review: Hypertension in pregnancy: A


manifestation of the insulin resistance syndrome ? Hypertension
2001;37:232-9.
6. Hikmah EV, Maryanto S, Ariesti ND. Hubungan Kejadian Preeklampsia
Dengan Tindakan Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa Tahun 2014. STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, 2014.
7. Shrestha AB dan Sharma KR. Spinal Anesthesia for Cesarean section in
Preeclampsia. Postgraduate Medical Journal of NAMS, 2012. 12(2), pp:
30 – 35.
8. Savaj S, Vaziri ND. An overview of recent advances in pathogenesis and
diagnosis of preeclampsia. Iran J Kidney Dis. 2012;6(5):334-8.
9. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail's Clinical
Anesthesiology, 5e. New York : McGraw-Hill Education, LLC; 2013
10. Heazell A, Baker PN. Hypertensive disorders of pregnancy. In: Oakley C,
Warnes CA, eds. Heart disease in pregnancy. 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2007:264-80.

37
11. American College of Obstetricians and Gynecologists.2013.Hypertension
in pregnancy. Report of the American College of Obstetricians and
Gynecologists’ Task Force on Hypertension in Pregnancy.Obstet Gynecol.
;122(5):1122-31.
12. Cunningham, F. G., et al. 2010. Hipertensi dalam kehamilan dalam
Obstetri Williams Edisi 21 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
13. Angsar, MD 2009, ‘Hipertensi dalam kehamilan’, dalam Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirodrdjo, edk 4, eds. T Rachimhadhi & Wiknjosastro GH,
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
14. Prawirohardjo, Sarwono., (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
15. Kasdu D., 2005. Solusi Problem Persalinan. Jakarta : Puspa Swara
16. Mangku I , Senapati TGA.2010. Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta:Indeks
17. Muhardi M., dkk., 1989. Anestesiologi. Jakarta: FKUI
18. Krisdiyanto H., 2000. Kemudahan Pemasangan Sungkup Laring dengan
Induksi Thiopentone + Midazolam dan Propofol + Midazolam. Karya
Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro
19. Nugroho, R.C., 2002. Pengaruh Pretreatment Midazolam atau Atracurium
Terhadap Fasikulasi, Mialgia, dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase
Darah Akibat Suksinilkolin. Karya Akhir. Semarang: Universitas
Diponegoro.
20. Susianto, O., 2004. Pengaruh Pretreatment Fentanil 1µg/kgBB Terhadap
Iritasi Jalan Napas Pada Induksi Inhalasi Isoflurane. Karya Akhir.
Semarang: Universitas Diponegoro.
21. Satoto H., 2005. Pengaruh Anestesi Sevofluran and Enfluran Terhadap
Klirens Kreatinin. Karya Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro.
22. Wirjoatmodjo, Karjadi., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar
untuk pendidikan S1 kedokteran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depatemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hal 150; 165-67: 169-73

38
23. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat
Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id
24. Hariyono, Siswo. 2006. Pengaruh Tindakan Intubasi Trakea terhadap
Perubahan Laju Jantung dan Tekanan Darah. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id
25. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-UI: Jakarta.

39

Anda mungkin juga menyukai