Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN TB PARU KASUS BARU


MTB DETECTED MEDIUM DENGAN STATUS HIV (-) DALAM
PENGOBATAN OAT KATEGORI KHUSUS DENGAN
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA

Disusun oleh :
Kirana Pawitra Nareswari G991902032

Residen Pembimbing
dr. Wita Prominensa dr. Harsono Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN TB PARU KASUS BARU


MTB DETECTED MEDIUM DENGAN STATUS HIV (-) DALAM
PENGOBATAN OAT KATEGORI KHUSUS DENGAN
COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA

Oleh:

Kirana Pawitra Nareswari G991902032

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal

dr. Hasono Sp.PK

2
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Tanggal lahir : 27 April 1969 (50 tahun)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Surakarta
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk : 29 Oktober 2019
Tanggal pemeriksaan : 1 November 2019
Nomor rekam medis : 0148xxxx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan sesak nafas
sejak 1 bulan terakhir. Sesak nafas dirasakan hilang timbul dan mengganggu
aktivitas serta memberat 1 hari SMRS. Sesak tidak dipengaruhi oleh
perubahan posisi, cuaca maupun debu. Pasien nyaman tidur dengan 1 bantal
atau miring serta pasien menyangkal terbangun pada malam hari karena
sesak, pasien tidak pernah menggunakan penggunaan obat semprot (-), nyeri
dada (-).
Pasien mengeluhkan batuk hilang timbul sejak 1 bulan terakhir
dengan dahak berwarna putih kental. Keluhan batuk dirasakan semakin
memberat. Riwayat batuk darah disangkal oleh pasien. Pasien juga
mengeluhkan demam sumer-sumer ± 3 minggu SMRS.

3
Pasien mengalami penurunan nafsu makan serta berat badan ± 5 kg
dalam 1 bulan terakhir (53 kg  48 kg). Mual muntah (+), keringat pada
malam hari (-), benjolan di leher (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat minum OAT : (+) 1 hari FDC 1x 4 tablet
kemudian stop
Riwayat lingkungan dengan TB : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga MTB (+) : disangkal
Riwayat sesak napas : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat tuberkulosis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal

4
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) aktif, 10 batang/hari selama 30
tahun Indeks Brinkman 300 (Sedang)
Minum alkohol : (+)
Memasak dengan kayu bakar : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
Lingkungan asap dan debu : disangkal
Riwayat seks bebas : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang pekerja wiraswasta. Pasien berobat
menggunakan fasilitas layanan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran compos mentis dengan
GCS E4V5M6.
2. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
Frekuensi nadi : 85 x/menit, regular, isi kesan cukup
Suhu : 36,7 °C
SpO2 : 98% (O2 2 lpm)
qSOFA :1

3. Head to toe examination


a. Kulit : warna kuning langsat, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
venektasi (-), spider nevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
b. Kepala : bentuk mesocephal

5
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
d. Telinga : deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
e. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-),
sekret (-/-)
f. Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-), bibir kering (-), lidah
kotor (-), sianosis (-), lidah simetris, tonsil T1-T1, faring hiperemis
(-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-)
g. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), Jugular Venous
Pressure dalam batas normal, nyeri tekan (-), benjolan (-), leher
kaku (-)
h. Thoraks : pengembangan dinding dada kanan sama dengan dinding
dada kiri, tidak didapatkan retraksi dinding dada
i. Pulmo :
1) Paru (anterior)
Inspeksi : pengembangan dada kiri = dada kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri (↑) = kanan (↑)
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi :
a) Batas jantung paru kanan : SIC II-III linea parasternalis
b) Batas jantung paru kiri : SIC II-V linea mid clavicula
c) Batas paru-hepar : SIC VI linea mid
clavicularis
Auskultasi : SDV(↓) / SDV(↓)
Suara tambahan : Wheezing (-/-), Ronki basah kasar (+/+),
Ronki basah halus (-/-)
2) Paru (posterior)
a) Inspeksi: permukaan dada kiri =kanan
b) Palpasi : fremitus taktil kiri (↑) = kanan (↑)

6
c) Perkusi : sonor / sonor, Batas paru-diafragma : SIC VII-
VIII linea midscapula penanjakan diafragma 5cm
d) Auskultasi
Suara dasar : SDV(↓) / SDV(↓)
Suara tambahan : Wheezing (-/-), Ronki basah kasar (+/
+), Ronki basah halus (-/-)
j. Cor :
1) Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
2) Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea
midclavicularis sinistra, tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : terdengar bunyi jantung I dan II reguler,
bising (-)
k. Abdomen :
1) Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
2) Auskultasi : bising usus (+), dalam batas normal
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

l. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
m. Capillary Refill Time : < 2 detik

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (29 Oktober 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.3 g/dL 14.0-17.5
Hematokrit 34 % 33-45
Leukosit 27.7 ribu/uL 4.5-14.5
Trombosit 264 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.69 juta/uL 4.10-5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 91.2 /um 80.0-96.0
MCH 30.6 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.4 g/dL 33.0-36.0
RDW 14.5 % 11.6-14.6
MPV 9.1 Fl 7.2-11.1
RDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.2 % 0.00-4.00
Basofil 0.1 % 0.00-1.00
Neutrofil 82.30 % 55.00-80.00
Limfosit 9.60 % 33.00-48.00
Monosit 9.80 % 0.00 –6.00
KIMIA KLINIK
SGOT 11 u/L < 35
SGPT 14 u/L < 45
Kreatinin 3.7 mg/dl 0.9 – 1.3
Ureum 141 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 126 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.5 mmol/L 3.3-5.1

8
Chlorida darah 89 mmol/L 98-106
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
HIV Nonreaktif Nonreaktif

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Urin (30 Oktober 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
MIKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan SI Cloudy
KIMIA URIN
Berat Jenis 1.011 1.015-1.025
pH 6.0 4.5-8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +/Positif 1 mg/dl Negatif
Glukosa Normal Mg/dl Normal
Keton Negatif Mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal Mg/dl Normal
Bilirubin Negatif Mg/dl Negatif
Eritrosit +/Positif 1 Mg/dl Negatif
MAKROSKOPIS
Leukosit 34.9 /LPB 0-12
EPITEL
Epitel squamous - /LPB Negatif
Epitel transisional 4-6 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyaline 0 /LPK 0-3
Granulated 10-15 /LPK Negatif
Lekosit - /LPK Negatif

9
Yeast like cell 421.4 /uL 0.0-0.0
Small round cell 0.2 /uL 0.0-0.0
Mukus 0.12 /uL 0.0-0.0
Sperma 0.0 /uL 0.0-0.0
Konduktivitas 7.3 mS/cm 3.0-32.0

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (2 November 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
ELEKTROLIT
Natrium darah 124 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.7 mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 99 mmol/L 98-106

2. Pemeriksaan Gen Expert (30 Oktober 2019)


Hasil : MTB Detected Medium

3. Pemeriksaan BTA dari Sputum (30 Oktober 2019)


Hasil mikroskopis direk:
 Pengecatan Gram : Ditemukan kuman gram
positif Coccus, Leukosit 3+, Epithel 2+
 Pengecatan BTA dari sputum : BTA 3+

3. Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik (1 November 2019)

Organism : Neisseria flavescens


Ampicillin (S)
Vancomycin (S)
Oxacillin (S)
Komentar/Saran : Ampicillin

10
4. Foto thoraks PA dan Lateral (29 Oktober 2019)

Hasil bacaan foto thoraks PA/Lateral :


Cor : ukuran dan bentuk normal
Paru : tampak fibroinfiltrat disertai multiple kavitas di suprahiler
bilateral, tampak infiltrat disertai air bronchogram di parakardial kiri
Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam
Retrosternal dan retrocardiac space normal
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Tampak fraktur komplit pada 1/3 lateral os clavicula kiri disertai soft
tissue swelling disekitarnya
Kesimpulan:
1. TB paru mixed pneumonia
2. Fraktur komplit pada 1/3 lateral os clavicula kiri disertai soft tissue
swelling disekitarnya

E. Daftar Masalah
1. Anamnesis
a. Sesak napas sejak 1 bulan SMRS, dirasakan hilang timbul. Sesak
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan debu.

11
b. Batuk (+) sejak 3 bulan SMRS disertai dahak warna putih
kental.
c. Demam sumer-sumer (+) sejak 3 bulan SMRS.
d. Penurunan nafsu makan (+).
e. Penurunan berat badan (+) 5 kg dalam 1 bulan
f. Riwayat konsumsi OAT (+)  Gen Expert MTB detected Medium,
sputum BTA (+)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital
Frekuensi napas : 24 x/menit
SpO2 : 99% (O2 2 lpm)
b. Thoraks : pengembangan dinding dada kanan sama dengan kiri, tidak
didapatkan retraksi dinding dada
c. Pulmo
1) Paru (anterior)
Inspeksi : pengembangan dada kiri = dada kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri (↑) = kanan (↑)
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : SDV(↓) / SDV(↓)
2) Paru (posterior)
Inspeksi : permukaan dada kiri = kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri (↑) = kanan (↑)
Perkusi : sonor / sonor, Batas paru-diafragma : SIC VII-
VIII linea midscapula penanjakan diafragma 5cm
Auskultasi : SDV(↓) / SDV(↓)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: Azotemia, hiponatremia, hipokloremia
b. Gen Expert MTB detected Medium, Sputum BTA 3(+)

12
c. Foto thorax: TB paru mixed pneumonia
E. DIAGNOSIS BANDING
1. TB paru
2. Pneumonia komunitas
3. PPOK eksaserbasi akut
4. Bronkietasis

F. DIAGNOSIS KERJA
1. TB paru kasus baru BTA (+) status HIV (-) dalam pengobatan
OAT kategori khusus
2. CAP CURB-65 skor 1
3. Azotemia, hiponatremi dan hikloremia

G. PENATALAKSANAAN
1. Oksigenasi 2 lpm
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. IVFD NaCl 0.9% 20tpm
4. Inj. Ampicilin 1 gr/6 jam
5. Paracetamol 4x650 mg
6. N-Acetyl Cysteine 3x200mg

H. PLANNING
1. Rawat bangsal anggrek 1
2. Pemeriksaan sputum BTA, Mo/g/k/r
3. Konsul gizi
4. Cek darah rutin dan elektrolit post koreksi
5. Konsul interna

I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia

13
Ad fungsionam : dubia
J. FOLLOW UP

14
Catatan Perkembangan Terintegrasi
29/10/2019 30/10/2019 31/10/2019
DPH 0 DPH 1 DPH 2
23.30 08.00 08.00
S: Sesak (+) ,batuk S: Sesak (+), batuk (+) S: Sesak ↓, batuk (+), Diare
(+), dahak (+) O: (+), mual (+), muntah (+)
O: KU : sakit sedang, CM O:
KU : sakit sedang, CM VS : TD : 120/80 mmHg KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 110/70 Nadi : 86x/ menit RR : VS : TD : 130/50 mmHg
mmHg Nadi : 112x/ 22x/ menit SpO2 : 99% Nadi : 106x/ menit RR :
menit RR : 24x/ menit O2 2 lpm 20x/ menit SpO2 : 96% O2 2
SpO2 : 99% O2 2 lpm Kepala : mesocephal lpm
Kepala : mesocephal Mata: CA -/- SI -/- Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/- Pulmo : Mata: CA -/- SI -/-
Pulmo : I : Pengembangan dada Pulmo :
I : Pengembangan dada kanan=kiri I : Pengembangan dada
kanan=kiri P : fremitus taktil kiri (↑) kanan=kiri
P : fremitus taktil kiri = kanan (↑) P : fremitus taktil kiri (↑) =
(↑) = kanan (↑) P : sonor/ sonor kanan (↑)
P : sonor/ sonor A : SDV ↓/ SDV ↓, RBK P : sonor/ sonor
A : SDV ↓/ SDV ↓, (+/+), wheezing (-/-) A : SDV ↓/ SDV ↓, RBK
RBK (+/+), wheezing Cor : BJ 1 2 reguler, (+/+), wheezing (-/-)
(-/-) murmur – Cor : BJ 1 2 reguler,
Cor : BJ 1 2 reguler, Abdomen : supel, NT (-) murmur –
murmur – Ekstremitas : Akral Abdomen : supel, NT (-)
Abdomen : supel, NT dingin -/-/-/-, CRT < 2 Ekstremitas : Akral dingin
(-) detik -/-/-/-, CRT < 2 detik
Ekstremitas : Akral A:
dingin -/-/-/-, CRT < 2 Pemeriksaan penunjang 1. CAP CURB-65 skor 1
detik 2. TB paru kasus baru
A: A: MTB detected medium,
1. CAP CURB-65 1. CAP CURB-65 skor status HIV (-) dalam
skor 1 1 terapi OAT kategori
2. TB paru kasus baru 2. TB paru kasus baru khusus ec azotemia
MTB detected MTB detected 3. Dengan masalah
medium, HIV (-) medium, status HIV underweight, azotemia,
3. Dengan masalah (-) dalam terapi OAT hiponatremia,
azotemia, kategori khusus hipokloremia
15
hiponatremi dan 3. Dengan azotemia, P:
hikloremia hiponatremia, Terapi
hipokloremia 1. O2 2 lpm
1/11/2019 2/11/2019 3/11/2019
DPH 3 DPH 4 DPH 5
07.00 07.00 07.00
S: Sesak ↓, batuk (+), S: Sesak ↓, Diare (+) , S: Sesak ↓, Diare (+), mual
Diare ↓, mual ↓, mual ↓, muntah ↓ ↓, muntah ↓
muntah ↓ O: O:
O: KU : sakit sedang, CM KU : sakit sedang, CM
KU : sakit sedang, CM VS : TD : 110/70 mmHg VS : TD : 110/70 mmHg
VS : TD : 130/50 Nadi : 92x/ menit RR : Nadi : 92x/ menit RR : 20x/
mmHg Nadi : 92x/ 20x/ menit SpO2 : 97% menit SpO2 : 97% O2 2 lpm
menit RR : 24x/ menit O2 2 lpm Kepala : mesocephal
SpO2 : 97% O2 2 lpm Kepala : mesocephal Mata: CA -/- SI -/-
Kepala : mesocephal Mata: CA -/- SI -/- Pulmo :
Mata: CA -/- SI -/- Pulmo : I : Pengembangan dada
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan=kiri
I : Pengembangan dada kanan=kiri P : fremitus taktil kiri (↑) =
kanan=kiri P : fremitus taktil kiri (↑) kanan (↑)
P : fremitus taktil kiri = kanan (↑) P : sonor/ sonor
(↑) = kanan (↑) P : sonor/ sonor A : SDV ↓/ SDV ↓, RBK
P : sonor/ sonor A : SDV ↓/ SDV ↓, RBK (+/+), wheezing (-/-)
A : SDV ↓/ SDV ↓, (+/+), wheezing (-/-) Cor : BJ 1 2 reguler,
RBK (+/+), wheezing Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
(-/-) murmur – Abdomen : supel, NT (-)
Cor : BJ 1 2 reguler, Abdomen : supel, NT (-) Ekstremitas : Akral dingin
murmur – Ekstremitas : Akral -/-/-/-, CRT < 2 detik
Abdomen : supel, NT dingin -/-/-/-, CRT < 2 A:
(-) detik 1. CAP CURB-65 skor 1
Ekstremitas : Akral A: 2. TB paru kasus baru
dingin -/-/-/-, CRT < 2 1. CAP CURB-65 skor MTB detected medium,
detik 1 status HIV (-) dalam
A: 2. TB paru kasus baru terapi OAT kategori
1. CAP CURB-65 MTB detected khusus ec azotemia
skor 1 medium, status HIV 3. Dengan masalah
2. TB paru kasus baru (-) dalam terapi OAT azotemia, hiponatremia,
MTB detected kategori khusus hipokloremia
medium, status 3. Dengan masalah P:
HIV (-) dalam azotemia, Terapi
terapi OAT hiponatremia, 1. O2 2 lpm
16
kategori khusus ec hipokloremia 2. IVFD NaCL 0.9% 20
azotemia P: tpm
3. Dengan masalah Terapi 3. Diet TKTP 1700 kkal
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki usia 50 tahun datang ke IGD Rumah Sakit dr


Moewardi dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan terakhir. Sesak nafas
dirasakan hilang timbul dan mengganggu aktivitas serta memberat 1 hari
SMRS. Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi, cuaca maupun debu.
Pasien nyaman tidur dengan 1 bantal atau miring serta pasien menyangkal
terbangun pada malam hari karena sesak, pasien tidak pernah menggunakan
penggunaan obat semprot (-), nyeri dada (-).
Pasien mengeluhkan batuk hilang timbul sejak 1 bulan terakhir
dengan dahak berwarna putih kental. Keluhan batuk dirasakan semakin
memberat. Riwayat batuk darah disangkal oleh pasien. Pasien juga
mengeluhkan demam sumer-sumer ± 3 minggu SMRS.

Pasien mengalami penurunan nafsu makan serta berat badan ± 5 kg


dalam 1 bulan terakhir (53 kg  48 kg). Mual muntah (+), keringat pada
malam hari (-), benjolan di leher (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Diagnosis TB paru dan CAP ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien
mengeluhkan sesak napas sejak 1 bulan dan memberat dalam 1 hari, hilang
timbul, tidak dipengaruhi perubahan posisi, cuaca, ataupun debu. Pasien
juga mengeluhkan batuk hilang timbul sejak 1 bulan terakhir dengan dahak
putih kental dan ada demam sumer-sumer dalam 3 minggu terakhir.

17
Didapatkan penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir, Pasien memiliki
riwayat minum OAT namun hanya 1 hari kemudian tidak lanjut.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan suara dasar vesikuler,


peningkatan fremitus taktil, dan ditemukan ronki basah kasar di kedua
lapang paru.

Kemudian, pada pemeriksaan penunjang radiologis, didapatkan


adanya gambaran TB paru mixed pneumonia dan fraktur komplit pada 1/3
lateral os clavicula kiri. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapatkan anemia normositik-normokromik, neutrofilia absolut, azotemia,
hiponatremia, dan hipokloremia. Hasil ini menandakan kemungkinan
adanya infeksi bakteri akut, adanya anemia normositik-normokromik dapat
terjadi karena penyakit kronis seperti infeksi TB ataupun bersama dengan
azotemia menandakan mungkin adanya gangguan ginjal serta adanya
ketidakseimbangan elektrolit yang juga sering didapatkan pada penderita
TB. Pada urinalisis didapatkan proteinuria, hematuria, didapatkan silinder
dan jamur, Sehingga kemungkinan dapat terjadi infeksi saluran kemih atas
karena jamur. Infeksi jamur cukup sering dijumpai pada pasien dengan
sistem imun rendah seperti pada penyakit TB. Kondisi ini dapat menjadi
faktor penyulit dalam tatalaksana TB. Selain itu, untuk menegakkan
diagnosis TB, dilakukan pemeriksaan gen expert yang hasilnya MTB
detected medium, serta pengecatan gram dan BTA sputum yang hasilnya
ditemukan kuman gram + coccus, leukosit 3+, epitel 2+, dan BTA 3+.
Kemudian, pasien juga dilakukan pemeriksaan mikrobiologi klinik sputum
didapatkan hasil Neisseria flavescens yang sensitif terhadap Ampicilin dan
Vancomisin untuk tatalaksana pneumonia.

Dapat disimpulkan bahwa pasien merupakan pasien TB paru dengan


pneumonia dengan penyulit azotemia karena AKI dd akut on CKD,
hiponatremia, hipokloremia, dan infeksi saluran kemih atas karena jamur.

18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB
sebafai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun
2009 adalah :

 Insiden kasus : 9,4 juta

 Prevalens kasus : 14 juta

 Kasus meninggal (HIV negatif): 1,3 juta

 Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta

Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika


(30%), dan regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah
HIV positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun
2009, diperkirakan kasus TB MDR sebanyak 250.000 kasus, tetapi hanya
12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil data WHO
2009, 5 negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India (1,6-2,4 juta),
China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37-0,55)
dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira seperlima
dari seluruh jumlah kasus didunia (21%).

HIV dan TB merupakan kombinasi penyakit mematikan. HIV akan


melemahkan sistem imun. Apabila seseorang dengan HIV positif

19
kemudian terinfeksi kuman TB, maka akan berisiko untuk sakit TB lebih
besar dibanding dengan HIV negatif. Tuberkulosis merupakan penyebab
kematian utama pada penderita HIV. Di Afrika, HIV merupakan satu-
satunya faktor utama menyebabkan peningkatan insidens TB sejak tahun
1990.

Tujuan nomor 6 daro Millenium Development Goals (MDG) 2015


yaitu melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya termasuk TB.
Diharapkan proporsi kasus TB yang terdeteksi dan pengobatan dengan
DOTS meningkat. Di Indonesia, pada tahun 2010 target indikator case
detection rate (CDR) sebesar 73% dengan capaian 73,02% dan target
angka keberhasilan pengobatan atau success rate (SR) 888%. Target stop
TB partnership pada tahun 2015 yaitu mengurangi rerata prevalens dan
kematian dibandingkan pada tahun 19990. Pada tahun 2050 targetnya
adalah mengurangi insiden global kasus TB aktif menjadi kurang daari 1
kasus per satu juta populasi per tahun.

1. Etiologi

• Cara penularan

o Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara


dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak


berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap
dan lembab.

20
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB


ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.

• Risiko penularan

o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan


dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan
risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk


of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

o ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

2. Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini
akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

21
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)
dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga


terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB
telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang
berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman
TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam

22
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru


biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang


terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat


terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam

23
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui
cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun- tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan
lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran


hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah
menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata
ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

24
karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized


hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang
sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini
berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus
perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),


biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar
TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial,
dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan
menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang
lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi,
bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja
dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang


terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,

25
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun
kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

3. Manifestasi Klinis

Gejala respiratori:

• Batuk ≥2 minggu

• Batuk darah

• Sesak nafas

• Nyeri dada

Gejala sistemik:

• Demam

• Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun.

Gejala TB ekstraparu :

Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya


pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala
meningitis. Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri
dada pada sisi yang ringga pleuranya terdapat cairan.

4. Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal


yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.

26
* Pemeriksaan fisik.

* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).

* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

* Rontgen dada (thorax photo).

* Uji tuberkulin.

Diagnosis TB Paru

Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa

Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:

 Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes cepat


molekuler
 Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak
memiliki akses ke tes cepat molekuker.

27
Gambar 1 : Alur Diagnosis Tuberculosis

Diagnosis TB Ekstra Paru

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku


kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.

• Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja


dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat
(presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

5. Klasifikasi

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:

1) Tuberkulosis paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.


tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

28
2) Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,


misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis,


yaitu pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman


TB positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen


dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.


Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi


pengobatan

29
C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif

dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat


dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”),
dan atau keadaan umum pasien buruk.

2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan


penyakitnya, yaitu:

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.

b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis


peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.

D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi


menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau


sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

30
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau


kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB


lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam


kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

6. Tatalaksana

A. Penanganan kasus TB Orang Dewasa

Definisi kasus TB orang dewasa yang dimaksud disini adalah kasus


TB yang belum ada resistensi OAT.

1. Pengobatan TB

a. Tujuan Pengobatan TB adalah:

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta


kualitas hidup.

2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk


selanjutnya.

31
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.

4) Menurunkan risiko penularan TB.

5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

b. Prinsip Pengobatan TB:

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam


pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat


mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.

2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO


(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi


dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai
pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

c. Tahapan Pengobatan TB:

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap


lanjutan dengan maksud:

1) Tahap Awal:

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini


adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum

32
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

2) Tahap Lanjutan:

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang


masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

d. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1. OAT Lini Pertama

Jenis Sifat Efek samping


Neuropati perifer (Gangguan saraf
Isoniazid tepi), psikosis toksik, gangguan
(H) Bakterisidal fungsi hati,
kejang.
Flu syndrome(gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal,urine berwarna
merah, gangguan fungsi hati,
Rifampisin (R) bakterisidal trombositopeni, demam, skin rash,
sesak
nafas, anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid
Bakterisidal gangguan fungsi hati, gout
(Z)
arthritis.
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran,
renjatan anafilaktik, anemia,

33
Bakterisidal agranulositosis,
Streptomisin
trombositopeni.
(S)
Gangguan penglihatan, buta warna,
bakteriostatik neuritis perifer
Etambutol (E) (Gangguan saraf tepi).

e. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan yang digunakan


adalah ;

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2
yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan
obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien untuksatu

(1) masa pengobatan.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk


memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu
(1) masa pengobatan.

34
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko


terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.

2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin


efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Paduan OAT TB RO disediakan dalam bentuk lepasan dengan dosis yang


disesuaikan dengan berat badan pasien.

f. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya Pengobatan TB


dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali
perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah
direkomendasikan.

Tabel: 2. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa

Obat Dosis rekomendasi


Harian 3 kali per minggu
Dosis Maksi Dosis Maksi
(mg/ mum (mg/ mum
kgBB) (mg) kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 600 10 (8-12) 600

(R) (8-12)
Pirazinamid 25 35 (30-40)

35
(Z) (20-30)
Etambutol (E) 15 30 (25-35)

(15-20)
Streptomisin 15 15

(S)* (12-18) (12-18)


1) Kategori-1:

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

c) Pasien TB ekstra paru.

d) Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Setiap hari RHZE Setiap hari
(150/75/400/275) RH (150/75)
Berat
Badan
selama 56 hari selama 16

minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

36
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet

Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)

Tahap Intensif Tahap Lanjutan 3


Setiap hari RHZE kali seminggu RH
(150/75/400/275) (150/150)
Berat
Badan
Selama 56 hari Selama 16

minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2) Kategori -2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:

a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1


sebelumnya.

c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-


up).

d. Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

37
Tahap Lanjutan Setiap hari
Tahap Intensif RHE
Setiap hari (150/75/275)
Berat RHZE (150/75/400/275) + S
Badan
Selama selama 20
Selama 56 hari
28 hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab
+ 500 mg 4KDT 2 tablet
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab
+ 750 mg 4KDT 3 tablet
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab
4KDT 4 tablet
+ 1000 mg

Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab
4KDT
+ 1000mg
( > do 5 tablet
Streptomisin inj.
maks )

38
B. PNEUMONIA KOMUNITAS
1. Pneumonia Komuniti
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.
Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan
angka kematian tinggi di dunia.

2. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa
pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar)
dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi
yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
 Klebsiella pneumoniae 45,18%
 Streptococcus pneumoniae 14,04%
 Streptococcus viridans 9,21%
 Staphylococcus aureus 9%
 Pseudomonas aeruginosa 8,56%

39
 Steptococcus hemolyticus 7,89%
 Enterobacter 5,26%
 Pseudomonas spp 0,9%

3. Diagnosis Pneumonia Komuniti


Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 380C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500

4. Penilaian Derajat Keparahan Penyakit


Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia
Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini :
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT

40
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau
lebih' kriteria di bawah ini .
a. Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg

b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :


• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita
riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis

c. Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk


indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobuS
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Pneumonia pada pengguna NAPZA

41
a. Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu
(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam
[syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari
250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan
sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan
merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.

5. Pneumonia atipik
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula
dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp.
Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A
& B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus.

6. Penatalaksanaan

42
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat
diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme
pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin.
Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alcohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multiple
 Bakteri enterik Gram negative
 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multiple
 Riwayat pengobatan antibiotik

b. Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:


a. Penderita rawat jalan
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

43
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
d. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang
rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di
Ruang Rawat Intensif.

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk


maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
c. Pengobatan pneumonia atipik:

44
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan
oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
􀂃 Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
􀂃 Fluorokuinolon respiness
􀂃 Doksisiklin
d. Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan
obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang
diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu
mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama),
switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau
berbeda, potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim
oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian
pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
e. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia
komuniti:
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal

3.1. Evaluasi pengobatan

45
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak
ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor
penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteripenyebabnya, seperti
dapat dilihat pada gambar 1.

7. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit
pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia
komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita
yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease
Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia komuniti pada
rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan
pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%.
Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita
pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan
pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun
1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -
35%.

46
8. Pencegahan
• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin
tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,
penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitiviti tipe 3.

47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pasien laki – laki 50 tahun datang ke IGD RSDM dengan keluhan sesak na
pas, batuk berdahak, demam sumer-sumer, keringat keluar pada malam hari tanpa
aktivitas, penurunan berat badan. Riwayat pasien mengkonsumsi OAT hanya 1
hari FDC kemudian di stop sendiri. Keluhan pasien disebabkan karena pasien men
galami TB paru, demam dan sesak pasien disebabkan karena pneumonia
komunitas. Hal ini didukung dengan hasil pemeriksaan penunjang berupa rontgen
thorax yang memberi gambaran TB paru mixed Pneumonia serta pemeriksaan
Gen Expert dengan hasil MTB detected medium.

B. Saran
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sudah cukup lengkap untuk
menegakkan diagnosis TB, sangat diperlukan untuk monitoring dengan kultur TB
melalui prosedur kultur dengan media Lowenstein – Jensen dimana kuman m.
tuberculosis diisolasi selama 2 bulan untuk dinilai koloni kuman yang terbentuk
sehingga dapat diprediksi lama terapi berkelanjutan terhadap pasien.

48
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic Society. 2001. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163:
1730-54.
2. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
3. Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc
Graw-Hill Companies In North America.
4. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit
FK UI.
5. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta
2002.
6. Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2002.
13. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
14. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam,
Jilid II, edisi ke-3. Gaya Baru. Jakarta. 2001
15. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in
pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
16. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. EdisiV jilid III. Jakarta : Interna Publishing; 2009. p: 2329-
31
17. Doenges E Mailyn, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta, EGC.
1999
18. Smeltzer suzanne dan Brenda Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddart Edisi 8. Jakarta : EGC
19. Syamsuhidayat R. & Jong W. D (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC

49
20. Mitchell, Kuman, Abbas & Fausto. Dasar Patologis Penyakit Edisi : 7.
Jakarta : EGC

50

Anda mungkin juga menyukai