Anda di halaman 1dari 44

EFUSI PLEURA

(Case Based Discussion)

Oleh :
Bella Pratiwi Anzani
Meylita Zahra R. E
Natasha Naomi H. P
Tania Matalauta S
Setiawan Prayogi

Preceptor :
dr. Rasyidah, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H . ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura merupakan suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan di


rongga pleura. Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml
cairan yang berfungsi sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan
lancar saat bernapas. Cairan yang melebihi normal akan menimbulkan gangguan
jika tidak bisa diserap oleh pembuluh darah dan pembuluh limfe. Efusi Pleura
adalah penumpukan cairan di dalam ruang plaural yang terjadi karena proses
penyakit primer dan dapat juga terjadi karena penyakit sekunder akibat penyakit
lain. Efusi dapat berupa cairan jernih yang merupakan transudat, dan berupa pus
atau darah.

Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema
utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-
negara industri, diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang.
Amerika Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.
Menurut Depkes RI, kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi
saluran napas lainnya. WHO memperkirakan 20% penduduk kota dunia pernah
menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor, sehingga banyak
penduduk yang berisiko tinggi penyakit paru dan saluran pernafasan seperti efusi
pleura.

Efusi menunjukkan tanda dan gejala yaitu sesak nafas, bunyi pekak atau datar
pada saat perkusi di atas area yang berisi cairan, bunyi nafas minimal atau tak
terdengar dan pergeseran trachea menjauhi tempat yang sakit. Umumnya pasien
datang dengan gejala sesak nafas, nyeri dada, batuk, dan demam. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas dengan bunyi redup pada
perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada
auskultasi paru bila cairan efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura.

Deteksi awal adanya efusi pleura dapat ditegakkan dengan pemeriksaan rontgen
thoraks. Pemeriksaan ini dapat mengetahui adanya cairan dalam cavum plaura
walaupun cairan masih sedikit pada efusi pleura ringan. Karena cairan bersifat
lebih padat daripada udara, maka cairan yang mengalir bebas tersebut pertama
sekali akan menumpuk di bagian paling bawah dari rongga pleura, ruang
subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi pleura biasanya terdeteksi
pada foto toraks postero anterior posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 – 250
ml. Foto toraks lateral dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50 – 75 ml.

Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai
foto konvensional terutama foto thoraks pada kasus efusi pleura.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita
Nomor rekam medik : 58.10.43
Nama Pasien : Ny. AD
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Karang
Tanggal Masuk : 02 Februari 2019

II. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada pasien
1. Keluhan utama: Sesak nafas yang memberat 1 hari SMRS.
2. Keluhan tambahan : Batuk dan tidak nafsu makan
3. Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 3 bulan
SMRS dan memberat 1 hari SMRS. Sesak nafas juga disertai batuk-batuk
dan tidak nafsu makan. Pasien mengatakan lebih nyaman jika dalam
posisi duduk karena jika berbaring akan terasa lebih sesak. Sebelumnya
pasien pernah mengalami keluhan seperti ini dan dirawat pada tanggal 24
Januari 2019 karena efusi pleura. Saat itu sudah dilakukan pengambilan
cairan pleura yang didapatkan sebanyak ±1000 ml. Beberapa hari setelah
pulang dari Rumah Sakit, pasien mengatakan sesak muncul kembali dan
tidak membaik sehingga pasien kembali dibawa ke RS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya sehingga
dirawat di RSAM pada 24 Januari 2019 karena efusi pleura dan
dilakukan pungsi pleura dengan didapatkan cairan sebanyak ±1000 ml.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat penyakit paru-paru, hipertensi, dan kencing manis disangkal.
6. Riwayat pribadi
Riwayat merokok, minum alkohol, dan pemakaian narkoba disangkal
oleh pasien

III. Pemeriksaan Fisik


A. Status umum
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS : 15, E: 4, V: 5, M: 6
c. Kulit : Akral hangat, turgor cukup, ikterik (-)
B. Status present
1. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 110/80 mmHg
b. Pernafasan : 32 x/menit, reguler
c. Nadi : 98x/menit, reguler, isi cukup
d. Suhu : 36,70C axila
2. Kepala dan muka
a. Bentuk dan ukuran : Normocephal, simetris
b. Mata
 Konjungtiva : Anemis (-/-)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Reflek cahaya : (+/+)
 Pupil : isokor
 Palpebra : edema (-/-)
c. Telinga : Bentuk normal, liang lapang.
d. Hidung : Deviasi septum (-), mukosa merah muda
e. Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
f. Mulut : Sianosis (-), pucat (-)
g. Gigi : Gigitivitis (-), caries (-)
3. Leher
 Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran
 Kelenjar tiroid : Dalam batas normal
 JVP : 5-2 cmHg
4. Dada (thorax)
Anterior Posterior
Inspeksi Ketinggalan gerak Ketinggalan gerak
dinding dada (-/+) dinding dada (-/+)
Palpasi Ekspansi dada asimetris Ekspansi dada asimetris
(-/+) (-/+)
Fremitus taktil terasa Fremitus taktil terasa
menurun (-/+) menurun (-/+)
Nyeri dada (-/-) Nyeri dada (-/-)
Perkusi Bunyi redup pada Bunyi redup pada
hemithoraks sinistra hemithoraks sinistra
Bunyi sonor pada Bunyi sonor pada
hemithoraks dextra hemithoraks dextra
Auskultasi Vesikuler menurun pada Vesikuler menurun pada
hemithoraks sinistra. hemithoraks sinistra.
Vesikuler pada Vesikuler pada
hemithoraks dextra hemithoraks dextra
Rhonki (-/-) Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pulsasi di ICS V midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung: ICS ll parasternal dextra
Auskultasi : BJ I dan II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen
 Inspeksi : Datar, lesi (-)
 Palpasi : Organomegali (-), Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
6. Region lumbal (Flank Area)
 Inspeksi : Massa (-), lesi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Nyeri ketok CVA -/-
 Auskultasi : Tidak dilakukan
7. Ekstremitas
 Superior : Fraktur (-/-), edema (-/-)
 Inferior : Fraktur (-/-), edema (-/-)
8. Tulang belakang : Spondilitis(-), kifosis (-), lordosis (-), fraktur
terbuka (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


a. Darah rutin (02 Februari 2019)
Hb : 12,9 gr/dl (N: 11,5-16,5 g/dl)
Ht : 37 % (N: 37-47%)
LED : 10 mm/jam (N: 0-15 mm/jam)
Leukosit : 15.500 /ul (N: 4.500-10.800 /uL)
Trombosit : 350.000 /ul (N: 154.000-385.000 /uL)
Eritrosit : 4,6 (N: 3,8-5,8 juta/uL)
MCV : 82(N: 76-96 fL)
MCH : 27 (N: 27-32 g/dl)
MCHC : 33 (N: 30-35 g/dl)
Hitung Jenis
Basofil : 0% (0-1%)
Eosinofil : 0% (2-4%)
Batang : 0% (3-5%)
Segmen : 65% (50-70%)
b. Kimia
Ureum : 14 (N: 13-43 mg/dL)
Creatinine : 0,31 (N: 0,55-1,02 mg/dL)
c. Urine Rutin : Tidak dilakukan
d. Faces Rutin : Tidak dilakukan
e. Imunologi
Tidak dilakukan
f. Radiologi
Rontgen thorax PA
Rontgen thorax lateral kiri

Rontgen Thorax :
 Nodul opak multipell berbagai ukuran di kedua lapang paru terutama
kiri
 Efusi pleura kiri
=========> Metastasis intrapulmonal
 Cor sulit dinilai, batas kiri tertutup bayangan opak homogen

V. Diagnosis Banding
- Efusi pleura
- Ateletaksis
- Pneumonia

VI. Diagnosis Kerja


Efusi pleura pulmo sinistra

VII. Terapi
 IVFD RL XX gtt/menit
 Metilprednisolon 125 mg/12 jam
 Furosemide 40 mg 1-0-0
 Racikan sesak
- Salbutamol 0,5 mg
- Teofilin 75 mg
- Glycerile Guaiacolate 100 mg
- Cetirizine 5 mg

VIII. Rencana Lanjutan


Konsultasi dokter spesialis paru untuk dilakukan evaluasi efusi pleura dan
tindakan pungsi pleura

IX. Prognosis
Qua ad vitam : dubia
Qua ad sanationam : dubia
Qua ad fungsionam : dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan fisiologi pleura


Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan.
Membran ini membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis:
1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan
paru.
2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan
dinding dada.
Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang memproduksi
cairan), membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan
limfe.

Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus


merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini
diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe
dan kembali kedarah. Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat
sedikit, hanya beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain
menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml. Kapanpun
jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka
kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang
membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam mediastinum,
permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural parietalis.
Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura
visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit
sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas. Pleura terletak dibagian
terluar dari paru-paru dan mengelilingi paru. Pleura disusun oleh jaringan ikat
fibrosa yang didalamnya terdapat banyak kapiler limfa dan kapiler darah serta
serat saraf kecil. Pleura disusun juga oleh sel-sel (terutama fibroblast dan
makrofag). Pleura paru ini juga dilapisi oleh selapis mesotel. Pleura
merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus dinding
anterior toraks dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini
mengandung kolagen dan jaringan elastik.

Ada 2 macam pleura yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan pleura viseralis
melapisi paru-paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa
hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini yaitu pleura viseralis bagian
permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak
lebih dari 30 μm). Diantara celah - celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit.
Di bawah sel-sel mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan
histiosit. Seterusnya dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan
kolagen dan serat-serat elastik.

Pada lapisan terbawah terdapat jaringan intertitial subpleura yang sangat


banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari A. Pulmonalis dan A.
Brankialis serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis
ini menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru. Pleura parietalis
mempunyai lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel mesotelial juga
dan jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan
ikat, terdapat pembuluh kapiler dari A. Interkostalis dan A. Mammaria
interna, pembuluh getah bening dan banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang
peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Sistem persarafan ini
berasal dari nervus intercostalis dinding dada. Keseluruhan jaringan pleura
parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga mudah dilepaskan dari
dinding dada di atasnya.

Di antara pleura terdapat ruangan yang disebut spasium pleura, yang


mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi. Cairan
tersebut dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan
pleura viseralis sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas
pleura hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih
rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah
normal cairan pleura adalah 10-20 cc.

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura


parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk
mencegah pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua
buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek
tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit
dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di
dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui
pleura viseralis. Hal ini disebabkan karena perbedaan tekanan antara tekanan
hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar dan tekanan
onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di
dalam. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih
besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis
dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis
sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam
rongga pleura.

2.2. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura.
Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-
20 ml.

2.3. Etiologi
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap
yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis
transudat atau eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi


pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe
transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat
Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini,
sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria
ini :
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum LDH normal
Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura
Perbedaan Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar LDH dalam efusi (IU) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi <0,6 >0,6
Berat jenis cairan efusi <1,016 >1,016
Rivalta Negatif Positif

Efusi pleura berupa:


1. Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler
yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi
dibandingkan protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas
membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah
bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada
pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh :
a. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara
100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap
virus dalam cairan efusi.
b. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli
oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar
secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob
maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan
cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
c. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
d. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah
bening, dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein
yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC
biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang masif. Pada
pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat
badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
e. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada
paru-paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura
terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan
yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada. Gejala
lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini
diduga karena :
 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan
terjadi kebocoran kapiler.
 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan
gangguan aliran balik sirkulasi.
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan
pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam
cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan
sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang
menggunakan jarum (needle biopsy).
f. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa
kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik,
namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura
yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk
dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:
 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum
pleura
 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan
pleura
 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.
g. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma
h. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.

2. Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler
hidrostatik dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya
cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya.
Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler
sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya
tekanan koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra
pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada :
a. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena
kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan
tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu
peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas
reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga
akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura
dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang
bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi
pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada
payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat,
digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-
kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.
b. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
c. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga
pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.
Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan
pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)
dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
d. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan
yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena
cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
e. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisa.
Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat
3. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar
Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah.
Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit.
Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding
dada.

2.4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis
dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan
kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan
penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme
yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada
sirkulasi kapiler
2. Meningkatnya tekanan intravaskuler pleura
3. Penurunan tekanan kavum pleura
4. Hipoproteinemia
5. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh
darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya
pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh
trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi
seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain


bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom
nefrotik, dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan.
Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan


permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling
sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura
sebagai transudatif atau eksudatif.

2.5. Manifestasi klinis


1. Gejala dan tanda
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Manifestasi klinis efusi pleura beragam sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. Gejala yang paling sering timbul adalah
sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul
akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan
menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan

2. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi
Pengembangan dada asimetris dengan pengembangan dada yang tidak
terjadi atau terlambat pada sisi yang mengalami efusi
 Palpasi
Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil
pada sisi yang sakit
 Perkusi
Redup pada perkusi
 Auskultasi
Penurunan bunyi napas

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi
napas bronkus. Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan
adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas
dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari
pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat
terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :
 Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh
G. Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada
dan abdomen.
 Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus
phrenicus menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,


karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu
daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada
auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada
permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

3. Pemeriksaan Penunjang
 Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang
terdapat dalam rongga pleura akan terlihat meningkatnya opasitas
hemithorax. Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura
akan membentuk bayangan seperti kurva membentuk dengan
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak
sudut kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi
lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Jika
efusi pleura yang terjadi bersifat masif, maka seluruh bagian
hemithoraks akan tampak opak dan jantung serta jantung mungkin
terdorong ke sisi yang normal.Apabila setelah dilakukan x-ray
hasilnya masih tidak jelas apakah densitas merepresentasikan cairan
atau infiltrat parenkim; cairan tersebut loculated atau free-flowing;
Efusi pleura kiri yang moderate dengan classic meniscus sign.

maka sebaiknya dilakukan x-ray decubitus lateral, CT thorax, atau


USG.
Efusi pleura

Normal and blunted right lateral costophrenic angle. A, The hemidiaphragm


usually makes a sharp and acute angle as it meets the lateral chest wall on the
frontal projection to produce the lateral costophrenic sulcus (black arrow). Notice
how normally aerated lung extends to the inner margin of each of the ribs (white
arrows). B, When an e usion reaches about 300 mL in volume, the lateral
costophrenic sulcus loses its acute angulation and becomes blunted (black arrow).

 USG Dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan.
Jumlahnya sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan dalam
rongga pleura. Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada.
 CT Scan Dada
CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan
dengan jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam
menentukan adanya efusi pleura. CT dapat mendektsi efusi pleura
ringan dengan cairan <10 mL dan jumlah cairan yang sangat sedikit
(2mL) di rongga antara kedua pleura. Selain itu juga bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor. Hanya saja
pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
 Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris
posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran
cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada
satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock
(hipotensi) atau edema paru Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan
pemeriksaan:
a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan
(serous-santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi
trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma
aorta. Bila kunig kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan
empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.
Perbedaannya dapat dilihat pada tabel :

Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura


 Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan
sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil: pada infeksi akut
- Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna).
- Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
- Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
- Sel giant: pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
- Sel maligna: pada paru/metastase.
 Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.
 Biopsi Pleura
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis
dan tumor pleura. Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan
penyebabnya maka dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura
sebelah luar untuk dianalisa. Pemeriksaan histologi satu atau beberapa
contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 -75% diagnosis kasus-
kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternaya hasil biopsi
pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat
ditentukan.Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi
dan analisa cairan pleura.
Gambar 2. Alur diagnosis

2.7. Penatalaksanaan
1. Terapi penyakit dasarnya
a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya
dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga
dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah
(misalnya streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus
berlanjut atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka
perlu dilakukan tindakan pembedahan
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian
obat antikanker untuk tumor yang menyumbat aliran getah bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah.
Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian
fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari
tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih
besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan
terluar dari pleura (dekortikasi).
d. Pleuritis TB
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,
Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan.
Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis
paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap
kembalai, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat
dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan
sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid secara
sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis
diturunkan).

2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik Torakosentesis
untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk
tujuan terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa
indikasi.
 Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada,
perasaan tertekan pada dada.
 Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan
mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya,
yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
 Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah
melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan
sudah berubah menjadi pyotoraks.
 Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati
6 minggu, namun cairan masih tetap banyak

Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:


 Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau
di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris
media di bawah batas suara sonor dan redup.
 Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan
dengan jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan
aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui
rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga
mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar 3. Metode torakosentesis

 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc


pada setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang
dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura
shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi
karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya
belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan
cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex
vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi..
Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli
udara, dan laserasi pleura viseralis.

3. Pemasangan WSD
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
 Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9
linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea
medioklavikuralis.
 Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal
selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
 dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
 Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
 Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi
selang toraks.
 Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
 Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
Gambar 4. Pemasangan jarum WSD

 WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi
pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru
mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
 Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan
jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi
maksimum.

4. Pleurodesis
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,
merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang
digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard,
5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu
pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis
obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus
dipasang dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg
dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke
dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan
garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10
ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini.
Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin
juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem
selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran
tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu
24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toraks dapat dicabut.
Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan biasanya
berupa nyeri pleuritik atau demam.
BAB IV
PEMBAHASAN

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah
yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Penumpukan cairan yang
terdapat dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura
hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml. Efusi karena eksudat dapat
disebabkan oleh pleuritis karena virus dan mikoplasma, pleuritis karena bakteri
piogenik pleuritis karena fungi ,pleuritis tuberkulosa, neoplasma dan
parapneumoni. Sedangkan efusi karena transudat dapat disebabkan oleh gangguan
kardiovaskular, hipoalbuminemia, hidrothoraks hepatik, Meig’s syndrome, dialisis
peritoneal dan adanya darah dalam cavum pleura.

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, pasien memiliki pasien datang


dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 3 bulan SMRS dan
memberat 1 hari SMRS. Sesak nafas juga disertai batuk-batuk dan tidak nafsu
makan. Pasien mengatakan lebih nyaman jika dalam posisi duduk karena jika
berbaring akan terasa lebih sesak. Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan
seperti ini dan dirawat pada tanggal 24 Januari 2019 karena efusi pleura. Saat itu
sudah dilakukan pengambilan cairan pleura yang didapatkan sebanyak ±1000 ml.
Beberapa hari setelah pulang dari Rumah Sakit, pasien mengatakan sesak muncul
kembali dan tidak membaik sehingga pasien kembali dibawa ke RS.

Berdasarkan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, pada pemeriksaan thoraks


didapatkan pergerakan thoraks sinistra tertinggal. Saat palpasi, didapatkan
fremitus taktil pada thoraks sinistra menurun dan perkusi redup pada thoraks
sinistra, hal ini dapat mengindikasikan terdapatnya cairan pada rongga thoraks.
Pada auskultasi, didapatkan suara vesikuler menurun pada thoraks sinistra.

Untuk menegakkan diagnosis, selain anamnesis dan pemeriksaan fisik,


dibutuhkan pula pemeriksaan penunjang. Dalam hal ini, pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, kimia darah dan foto thoraks.

Pada pemeriksaan darah rutin didapat kan hasil sebagai berikut.


Hb : 12,9 gr/dl (N: 11,5-16,5 g/dl)
Ht : 37 % (N: 37-47%)
LED : 10 mm/jam (N: 0-15 mm/jam)
Leukosit: 15.500 /ul (N: 4.500-10.800 /uL)
Trombosit : 350.000 /ul (N: 154.000-385.000 /uL)
Eritrosit : 4,6(N: 3,8-5,8 juta/uL)
MCV : 82(N:76-96 fL)
MCH : 27(N: 27-32 g/dl)
MCHC : 33(N: 30-35 g/dl)
Hitung Jenis
Basofil : 0% (0-1%)
Eosinofil : 0% (2-4%)
Batang : 0% (3-5%)
Segmen : 65% (50-70%)

Dari hasil tersebut diketahui bahwa pasien mengalami leukositosis dan


trombositosis. Leukositosis dapat terjadi pada keadaan infeksi, keganasan, reaksi
alergi, polisitemia vera, dan penggunaan obat-obatan tertentu seperti
kortikosteroid. Sedangkan trombositosis dapat terjadi juga pada keadaan
defisiensi besi, infeksi, keganasan, post operasi splenektomi dan penggunaan
obat-obatan seperti epinephrin atau heparin sodium.

Pada pemeriksaan foto thoraks, dilakukan pemeriksaan foto thoraks posisi PA dan
lateral.
Pada foto posisi PA didapatkan gambaran radioopak yang menutupi hampir
seluruh hemithoraks sinistra, sudut costophrenicus tumpul dan perbesaran
jamtung sulit dinilai karena batas jantung tertutupi bayangan opak. Terdapat pula
nodul opak pada hemithoraks dekstra. Bayangan opak yang terlihat dapat
mengindikasikan adanya cairan dalam rongga thoraks. Pada posisi lateral, terlihat
adanya multiple nodul pada hemithoraks sinistra.

Sehingga kesan yang didapatkan dari foto thoraks ini adalah sebagai berikut.
- Nodul opak multipell berbagai ukuran di kedua lapang paru terutama kiri
 Efusi pleura kiri
=========> Metastasis intrapulmonal
 Cor sulit dinilai, batas kiri tertutup bayangan opak homogen

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah sebagai berikut.


 IVFD RL XX gtt/menit
 Metilprednisolon 125 mg/12 jam
 Furosemide 40 mg 1-0-0
 Racikan sesak
- Salbutamol 0,5 mg
- Teofilin 75 mg
- Glycerile Guaiacolate 100 mg
- Cetirizine 5 mg

Untuk mengevaluasi dan menatalkasana efusi pleura, diperlukan pula konsultasi


ke dokter spesialis paru untuk tindakan pungsi pleura/ torakosintesis.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai
berikut :
 Obati penyakit yang mendasarinya
a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya dikeluarkan
melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan
obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya
streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau
jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan
tindakan pembedahan
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat
antikanker untuk tumor yang menyumbat aliran getah bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah.
Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian
fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari
tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih
besar.Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan
terluar dari pleura (dekortikasi).
d. PleuritisTB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,
Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis
dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru.
Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi
untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan
torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi
kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik
(Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan).

 Torakosintesis
Keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih
1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan
jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis
ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya.Torakosentesis untuk tujuan
diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik
pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi.
- Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan
tertekan padadada.
- Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan
mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang
dapat menyebabkan kematian secaratiba-tiba.
- Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati
masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah
menjadipyotoraks.
- Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu,
namun cairan masih tetap banyak.

 ChestTube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang
selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi
sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan
sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml
lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres
pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru.

 Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan
mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan
untuk efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena keganasan
Sebelum dilakukan pleurodesis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui
selang dada dan paru dalam keadaan mengembang.Pleurodesis dilakukan
dengan memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke dalam rongga
pleura.Efektifitas dari bahan ini tergantung pada kemampuan untuk
menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura.

Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini


yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro
urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin
merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga
murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang
keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan
dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura,
selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk
pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit
atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan
pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang
melakukan selama 30 menit dan selama itu posisi penderita diubah-ubah
agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam
cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.
Evaluasi Foto Thorax

Identitas tertera baik nama, tanggal pengambilan foto dan posisi.


Tertera marker pada foto
Kualitas foto
 Centering : Nampak adanya rotasi karena jarak antara clavicular
head dengan processus spinosus tidak equidistance. Sehingga sulit
dinilai apakah trakea simetris atau tidak.
 Penetrasi : nampak proccessus spinosus hingga vertebrae thoracal
4
 Inspirational effort : sulit dinilai. CXR dengan kualitas yang baik
harus dengan full inspirational effort yaitu ujung dari bagian
anterior dari costae ke enam berpotongan dengan hemidiafragma
kanan

Dinding thorax
 Iga dan ruang intercosta : simetris, tidak nampak adanya fraktur,
lesi litik ataupun sklerotik. Jarak antar interkosta simetris.
 Klavikula mendatar, sesuai dengan posisi foto PA klavikula
mendatar. Scapula berada didalam lapang paru, seharusnya pada
posisi PA scapula berada diluar lapangan paru. Hal ini dapat
disebabkan oleh kesalahan dari pemosisian pasien saat di lakukan
pengambilan foto CXR.
 Tulang vertebrae: nampak jelas hingga VT 3. Tidak nampak
adanya fraktur, lesi litik, lesi sklerotik ataupun kalsifikasi
 Soft Tissue, tidak nampak kelainan pada soft tissue

Lapang paru
 Nodul opak multipell berbagai ukuran di kedua lapang paru
terutama kiri
 Efusi pleura kiri  Metastasis intrapulmonal
 Cor sulit dinilai, batas kiri tertutup bayangan opak homogen

Hilus : peningkatan bercakan bronkovaskular pada daerah perihilus


Sinus costofrenicus: tumpul pada hemithoraks kiri
Diafragma : diafragma kiri sulit dievaluasi
Cor : CTR < 0,5

Posisi dalam pengaruh foto CXR


Rotasi pada centering dan scapula yang berada didalam lapangan paru
yang tidak sesuai dengan kriteria foto PA dapat disebabkan oleh
karena positioning dari pasien saat pengambilan foto CXR.
Positioning memiliki peran yang signifikan dalam penampakan udara,
cairan dan pembuluh darah.
 Udara: udara cenderung berada di posisi tertinggi pada rongga
dada. Pada posisi supine, titik tertinggi dari dada berdekatang
dengan jantung dan mediastinum.
 Cairan : pada posisi erect, cairan pleura akan terkoleksi di
basal paru dan peningkatan opasitas dan mengaburkan
gambaran struktur disekitarnya. Cairan biasanya dapat
mencapai titik tertingginya menyusuri dinding dada sebelah
lateral dibandingkan melalui mediastinum sehingga akan
nampak meniscus sign. Pada posisi supine, cairan akan
terakumulasi pada dinding dada posterior sehingga akan
menyebabkan gambaran opak yang difus pada hemithorax
yang mengalami kelainan.
 Pembuluh darah : pada posisi supine, pembuluh darah lobus
atas normalnya memiliki kaliber yang sama pada kedua lobus
atas dan bawah. Sedangkan pada posisi erect, kalibernya lebih
kecil akibat adanya gaya gravitasi.

Pada posisi AP erect dapat menyebaban gambaran posisi lordosis,


karena pasien condong ke belakang sehingga bahu menjadi lebih
dekat ke plat xray dibandingkan dengan dada bagian bawah.
Normalnya klavikula terproyeksi diatas apex paru dan tumpang
tinding dengan iga pertama. Iga juga nampak lebih horizontal.
Gambaran jantung dan mediastinum nampak lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai