Anda di halaman 1dari 51

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019

UNIVERSITAS PATTIMURA

LAKI-LAKI 19 TAHUN DENGAN PANSITOPENIA EC SUSPEK ANEMIA APLASTIK

Disusun oleh:
ADE IRWAN SURYADI
NIM. 2018-84-047

Pembimbing
dr. Denny Jolanda, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Lelaki 19 tahun
dengan pansitopenia ec suspek anemia aplastik”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu penyakit dalam RSU dr.
M. Haulussy Ambon.
Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. Denny Jolanda, Sp.PD selaku pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan penulisan laporan kasus ini ke depannya. Semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambon, November 2019

Penulis

2
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 27-8-2000
Umur : 19 Tahun
Pekerjaan : SMK
Agama : Islam
Alamat : Poka RT/RW: 03/01
No. RM : 15.16.06
Tanggal MRS : 2 0ktober 2019
Jam Masuk Rumah Sakit : 11.00 WIT
Ruang Perawatan : Ruang Interna Laki RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis & alloanamnesis (kakak kandung)
a. Keluhan Utama :
Lemas sejak 1 minggu sebelum masuk RS
b. Keluhan Tambahan :
BAB hitam, mual, pusing, demam, sakit kepala, nyeri badan,nyeri ulu hati
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan lemas, mual sejak 1 minggu SMRS, keluhan disertai sakit kepala
dan riwayat demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit hilang timbul. Buang air besar
keras berwarna hitam dialami sudah 3 kali sejak ± 3 hari yang lalu. Keluhan disertai nyeri
ulu hati ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti tertusuk-tusuk, muncul
secara tiba-tiba dan akan berkurang jika mengkonsumsi obat (Omeprazole) yang didapat
saat berobat ke dokter umum . Keluhan, Buang air kecil normal, sesak napas tidak ada,
batuk tidak ada. Riwayat nyeri badan sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit dan

3
mengkonsumsi obat penghilang nyeri yang juga didapatkan dari dokter (Asam
mefenamat, piroksikam dan dexa) selama 2 minggu.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Maag (+)
- Riwayat Sakit Serupa : Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Kebiasaan : pola makan tidak baik

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 07 oktober 2019.
a. Keadaan umum : Sakit sedang
b. Status Gizi : Gizi normal (BB 45 kg, TB 155cm, IMT 18,7 kg/m2)
c. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
d. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 91x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
- Pernapasan : 21x/menit
- Suhu : 36,8’ C (Axilla)
- SpO2 : 99% tanpa O2
e. Kepala :
- Bentuk Kepala : Normocephali
- Simetris Wajah : Simetris
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi normal
f. Mata :
- Bola mata : Eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan : Bisa ke segala arah, strabismus

4
- Kelopak mata : Xanthelasma (-/-),
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sklera : Ikterus (-/-)
- Kornea : Injeksi siliaris (-/-), sikatrik kornea (-/-)
- Pupil : Bulat, Isokor (3 mm/3 mm), reflex cahaya langsung (+/+),
reflex cahaya tidak langsung (+/+)
g. Telinga :
- Aurikula : Tofus(-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-)
- Pendengaran : Kesan normal
- Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
h. Hidung :
- Cavum Nasi : Lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)
- Perdarahan : (-/-)
i. Mulut :
- Bibir : Sianosis (-), stomatitis (-), perdarahan (-), Pucat (+), mukosa kering
- Tonsil : T1/T1 tenang, hiperemis (-)
- Gigi : Intak
- Faring : Hiperemis (-)
- Gusi : Perdarahan (-)
- Lidah : Bersih, atrofi papil lidah (-), kandidiasis oral (-)
j. Leher
- Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid : Ukuran normal, permukaan licin, konsistensi kenyal, nyeri
tekan (-)
- JVP : 5-2 cmH2O
- Pembuluh darah : Venektasi (-), pulsasi abnormal (-)
- Kaku kuduk : Negatif
- Tumor : Tidak ada
k. Dada
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan abnormal (-)

5
- Bentuk : Normochest
- Pembuluh darah : Venektasi (-), spider naevi (-)
- Buah dada : Simetris kiri = kanan, tanda radang (-)
- Sela iga : Pelebaran (-)
l. Paru
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri = kanan, pembengkakan
abnormal (-)
- Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor, batas paru hepar di ICS V, batas paru belakang
kanan vertebra torakalis IX, batas paru belakang kiri
vertebra torakalis X
- Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), bunyi tambahan ronkhi
kasar (-/-), wheezing (-/-)

Depan Belakang

Kanan kiri kanan kiri

m. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tampak ICS V linea mid clavicula sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra
- Perkusi : Redup, batas jantung di ICS III-IV linea parasternalis dextra, pinggang
jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari mid sternum), batas kiri jantung di ICS V linea mid
clavicularis sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular murni, murmur sistolik (-), gallop (-)

6
n. Perut
- Inspeksi : Cembung, striae (-), caput medusae (-)
- Palpasi : Nyeri tekan selurh region abdomen (-), hepatosplenomegali
(-), ballotement ginjal (-/-), tidak teraba masa tumor
- Perkusi : Ascites (-), Shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) (11 x/menit)
o. Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan.
p. Anus dan Rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan.
q. Punggung :
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Nyeri ketok CVA (-/-)
r. Ekstremitas :
- Inspeksi : Sianosis (-), tanda radang (-), ulkus (-)
- Palpasi : akral hangat (-), CRT < 2 detik, pembesaran kelenjar getah bening
aksila dan inguinal (-), Edema (-) pada kedua tungkai, Pitting edema (-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah rutin (Tanggal 02 Oktober 2019)
Eritrosit : 1.26 103/mm3
HB : 4.1 g/dL
HT : 12 %
MCV : 95 um3
MCH : 32 pg
MCHC : 34.6 g/dL
Jumlah trombosit : 3 103/mm3
Jumlah leukosit : 4.7 103/mm3
Neutrofil : 17 %
Limfosit : 66.4 %
Monosit : 11.8 %
Eosinofil : 1.9%
Basofil : 2.9%

7
b. Darah kimia
SGOT : 41 u/L
SGPT : 35 u/L
E. RESUME
Pasien laki-laki dengan lemas, mual sejak 1 minggu SMRS, keluhan disertai sakit kepala dan
riwayat demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit hilang timbul. Buang air besar keras berwarna
hitam dialami sudah 3 kali sejak ± 3 hari yang lalu. Keluhan disertai nyeri ulu hati ± 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti tertusuk-tusuk, muncul secara tiba-tiba dan akan
berkurang jika mengkonsumsi obat (Omeprazole) yang didapat saat berobat ke dokter umum .
Keluhan Riwayat nyeri badan sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit dan mengkonsumsi
obat penghilang nyeri yang juga didapatkan dari dokter (Asam mefenamat, piroksikam dan dexa)
selama 2 minggu.
. Riwayat penyakit dahulu: Maag (+). Pemeriksaan tanda-tanda vital: TD = 120/80 mmHg;
Nadi = 91 x/m; Suhu = 36,9 C; RR = 20 x/m; SpO2 = 99% tanpa O2. Pemeriksaan fisik: CA
(+/+), mukosa bibir pucat dan kering. Pemeriksaan penunjang: Eritrosit 1,26 106/mm3,
Hemoglobin = 4,1 g/dL, Hematokrit 12,0%, trombosit 3 103/mm3 , Leukosit 4,7 03/mm3 ,
netrofil 17,0%, Linfosit 66,4%, Monosit 11,8%.
F. DIAGNOSIS
Pansitopenia ec suspek anemia aplastic
Dispepsia
G. DIAGNOSIS BANDING:
 MDS
H. RENCANA PENGOBATAN
- IVFD RL 30 tpm
- Inj ranitidine 2x1 amp  omeprazole 40 mg. tab 2x1 tab
- Inj asam traneksamat 500 mg/5 ml amp. 3x1 amp.IV
- Sucralfat 500 mg/5ml syr. 3x1 C. PO
- Transfusi trombosit 8 kantong
- PRC 1 kantong/ hari (4 kantong)
- Cek ADT sebelum tranfusi
- Inj Vit K 1x1 amp

8
I. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

07-10-2019 Kaki kanan kesemutan, TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 20 tpm
nyeri sendi (+), lemas, suspek aplastik
Hp 6 TD : 120/80 Omeprazole 2x40 mg/IV
nyeri ulu hati
berkurang, N : 91 x/m Sucralfat syr 3x1 C

RR : 20 x/m Ceftriaxone 2x1 gr/IV (STOP)

S : 36,9 PRC 2 kolf (sudah 4 kolf)

PEMFIS : Natrium diclofenac 2x25 mg

CA +/+

HB : 7,0 g/dl

Trombosit : 4200

Leukosit : 5200

Albumin 4,2

Anti HIV : NR

ADT :
Pansitopenia
disertai tanda-
tanda perdarahan
DD supek MDS

08-10-2019 Kesemutan sudah TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 20 tpm


hilang, lemas, nyeri suspek anemia
Hp 7 TD : 120/80 aplastic Omeprazole 2x40 mg/IV
sendi berkurang, nyeri
ulu hati berkurang N : 78x/m Sucralfat syr 3x1 C

RR : 18 x/m Ceftriaxone 2x1 gr/IV (STOP)

S : 36,8 PRC 2 kolf (sudah 4 kolf)

PEMFIS : Natrium diclofenac 2x25 mg

CA +/+

09-10-2019 nyeri sendi berkurang, TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 20 tpm
lemas, nyeri ulu hati s anemia aplastik
Hp 8 TD : 110/70 Omeprazole 2x40 mg/IV
berkurang
- febris
N : 80x/m Sucralfat syr 3x1 C

RR : 20 x/m Paracetamol 3x500 mg

S : 39,4 Na diclofenac

9
PEMFIS : PRC 1 kolf (sudah 5 kolf)

CA +/+ Periksa darah rutin

HB POST

10-10-2019 Nyeri sendi berkurang, TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 24 tpm
suspek anemia
Hp 9 TD : 130/90 aplastik Omeprazole 2x40 mg/ IV

N : 92x/m Sucralfat 3x1 C

RR : 20 x/m Paracetamol 3x500 mg

S : 37 Na diclofenac 2x25 mg

PEMFIS :

CA +/+

HB : 8,4

Trombosit : 2000

Leukosit : 4080

11-10-2019 Nyeri sendi berkurang, TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 20 tpm
kurang tidur suspek anemia
Hp 10 TD : 120/80 aplastik Omeprazol 2x40 mg/IV

N : 100x/m Sucralfat syr 3x1 C

RR : 20 x/m Na diclofenac 2x25 mg (Kp)

PEMFIS : Paracetamol 3x500 mg (Kp)

CA +/+ Metilprednisolon 2x62,5 mg IV

Tranfusi trombosit 10 kantong

12-10-2019 Nyeri sendi sudah TTV : - Pansitopenia ec NaCl 0.9 % : futrolit 20 tpm
berkurang suspek Anemia
Hp 11 TD : 120/80 aplastik Omeprazol 2 x 40 mg/IV

N : 100x/m Sucralfat syr 3x1 C

RR : 20 x/m Na diclofenac 2x25 mg (Kp)

PEMFIS : Paracetamol 3x500 mg (Kp)

CA +/+ Metilprednisolon 2x62,5 mg IV

Tranfusi trombosit 10 kantong

PASIEN PULANG PAKSA PADA HARI SABTU TANGGAL 12-10-2019

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI ANEMIA APLASTIK

1. Definisi

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang untuk memeproduksi sel-
sel darah.1,2,3,4,7 Kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang menyebabkan kegagalan sumsum
tulang dalam memproduksi komponenn sel-sel darah mengakibatkan tidak ada atau
berkurangnya sel-sel darah di darah tepi, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Pansitopenia
merupakan keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia pada
darah tepi.1,2,3,4

2. Epidemiologi

Anemia aplastic sangat jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar
antara 2 sampai 6 persejuta penduduk pertahun.1,2,3,4 Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. 1,2,3,4 Frekuensi tertinggi anemia aplastic
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua pada usia 65 sampai 69 tahun.
Angka kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi dibandingkan
dengan Eropa dan Amenika Serikat. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar
daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan
faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia
yang tinggal di Amerika.1,2,3,4

Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat dari pada perempuan. Perbedaan umur dan
jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis
mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.1,5,6

11
a. Klasifikasi
Anemia aplastic umumnya diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Klasifikasi menurut kausa:4
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui
3. Konstitusional : adanya kelaianan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia
Fanconi.
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat table 1).1,2,6,7

TABEL 1. KLASIFIKASI ANEMIA APLASTIC BERDASARKAN TINGKAT KEPARAHAN

Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau


25-50% dengan <30% sel hematopoetik.
- Dua dari tiga kriteri berikut:
 Netrofil <0,5 x 109/L
 Trombosit <20 x 109/L
 Retikulosit <20 x 109/L
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastic berat kecuali
netrofil <0,2 x 109/L

Anemia aplastik tidak berat Pasien yang tidak memenuhi kritertia anemia
aplastic berat atau sangaat berat, dengan sumsum
tulang yang hiposeluler dan memenuhi dua dari
tiga tiga kriteria berikut:

- Netrofil <1,5 x 109/L


- Trombosit <100 x 109/L
- Hemoglobin <10 g/Dl

3. Etiologi anemia aplastic

Secara klinis, anemia aplastik dibagi menjadi tipe akuisita dan kongenital (herediter)
merupakan hal yang berguna (Tabel 2). Sebagian besar (lebih dari 95%) kasus merupakan tipe
akuisita. Dari kasus-kasus tersebut, sebagian besar (40% hingga 70%) dianggap sebagai anemia
aplastik primer atau idiopatik, karena tidak ada batasan jelas mengenai agen etiologinya yang
dapat diidentifikasi. Sisanya termasuk dalam anemia aplastik sekunder, timbul akibat pajanan
terhadap bahan kimia, obat-obatan, radiasi, atau infeksi yang terdokumentasi. Sebagai tambahan,
beberapa kasus anemia aplastik turut terlibat dalam disfungsi sistem imun, yang menyebabkan
“serangan” imunologik dan “penolakan” sumsum tulang. Antibodi yang menyerang sel-sel

12
sumsum tulang mungkin terinduksi akibat obat-obatan, beberapa infeksi atau kondisi perubahan
imunitas, seperti kehamilan atau penyakit jaringan ikat vaskular. Kasus anemia aplastik herediter
sangat amat jarang, dengan kasus yang paling umum pada kelompok ini adalah anemia Fanconi.7

TABEL 2. ETIOLOGI YANG BERHUBUNGAN DENGAN


TERJADINYA ANEMIA APLASTIK7
Akuisita (>95%)
Primer atau idiopatik (40%-70%)
Sekunder
- Agen kimia
- Obat-obatan
- Radiasi ionisasi
- Infeksi
- Penyebab lainnya
Kongenital (Herediter) (>5%)
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenital

A. Anemia aplastik akuisita


1. Idiopatik atau Primer
Anemia aplastik paling sering dianggap asalnya idiopatik, karena tidak ada penyebab
kegagalan sumsum tulang yang jelas teridentifikasi, sekalipun telah ditelaah secara teliti.
Anemia aplastik idiopatik mencakup sekitar 40%-70% kasus anemia aplastik
nonherediter yang terlihat pada populasi barat.1,3,7
2. Sekunder
Varietas yang cukup luas dari agen kimiawi, fisik, dan infeksius telah dihubungkan
dengan timbulnya anemia aplastik (Tabel 3). Biasanya agen-agen ini dibagi kedalam agen
yang sering menyebabkan aplasia sumsum tulang setelah pajanan berulang (mis. benzena,
iradiasi, dan agen kemoterapi_ dan agen yang lebih jarang menyebabkan aplasia atau
kejadian idiosinkrasi (mis. kloramfenikol, fenilbutazon) (Tabel 4).7

13
TABEL 3. PENYEBAB ANEMIA APLASTIK AKUISITA
SEKUNDER1,7,8,9
Agen Kimiawi
Benzene
Insektisida
Herbisida (Weed killers)
Obat-obatan
Kloramfenikol
Fenilbutazon
Antikonvulsan
Sulfonamid
Emas
Agen kemoterapi
Radiasi ionisasi
Infeksi
Hepatitis
Virus Epstein-Barr
Cytomegalovirus
Penyebab lain
Kehamilan
Malnutrisi
Disfungsi imunologik

TABEL 4. AGEN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA APLASTIK1,7,8,9


Agen yang Sering Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang setelah Dosis Tertentu
Radiasi ionisasi
Benzene dan turunan benzene
Agen kemoterapi (misal. busulfan, vinkristin)
Obat-obatan yan Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang pada Keadaan Idiosinkrasi

Tipe Obat Relatif Sering Jarang


Antimikroba Kloramfenikol, Streptomisin,
Penisilin, Amfoterisin B,
Tetrasiklin Sulfonamid
Antikonvulsan Metilfeniletildantoin Metilfenilhidantoin
Trimetadion Difenildantoin,
Primidon
Analgesik Fenilbutazon Aspirin,
Tapazole
Agen Hipoglikemik Tolbutamide,
Chlorpropamide
Insektisida Chlorophenothane
Parathion
Lain-lain Colchicine,
Acetazolamide
Pewarna rambut

14
a. Agen Kimiawi
Beberapa agen kimiawi yang dihubungkan dengan kegagalan sumsum tulang atau
anemia aplastik adalah benzena, trinitrotoluene, arsen, insektisida, dan herbisida.
Sebagian besar bahan-bahan ini memiliki bagian cincin benzena pada struktur
kimianya. Modifikasi dari bagian cincin benzena dengan kelompok nitroso atau nitro
dihubungkan dengan kejadian anemia aplastik.7
Benzena telah diketahui sebagai penyebab berbagai derajat kegagalan sumsum
tulang selama hampir 100 tahun, sejak deskripsi orisinal oleh Santesson tentang
empat kasus fatal dari anemia aplastik yang terjadi pada pekerja di perusahaan ban
sepeda. Benzena diaplikasikan dalam berbagai bentuk industri. Industri-industri
tersebut termasuk sebagai pelarut untuk karet, lemak, dan alkaloid, dan dalam
pembuatan obat-obatan, cat, dan bahan eksplosif. Karena sebagian bahan benzena
mudah menguap, mereka sangat mudah diabsorbsi melalui inhalasi.7
Benzena mungkin menginduksi spektrum luas dari supresi sumsum tulang, mulai
dari anemia ringan atau trombositopenia hingga pansitopenia fatal. Terdapat
keberagaman yang cukup luas antar individu terkait kerentanan masing-masing
terhadap bahan benzena tersebut. Supresi sumsum tulang langsung terjadi beberapa
saat setelah pajanan pertama pada beberapa orang, atau bisa cukup lama yakni 10
tahun setelah pajanan pada orang lainnya. Supresi sumsum tulang biasanya bersifat
reversibel setelah pajanan terhadap benzena dihentikan. Benzena dianggap bekerja
dengan cara menghambat sintesis DNA dan RNA, menghambat proliferasi selular
dan diferensiasi sel sumsum tulang. Benzena juga dihubungkan dengan akumulasi
abnormalitas kromosom dan pengembangan kejadian leukemia akut pada beberapa
pasien.7
b. Obat-Obatan
Berbagai macam obat-obatan telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik.
Kejadian-kejadian tersebut biasanya merupakan hasil dari reaksi yang tidak diprediksi
atau idiosinkrasi terhadap suatu obat. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya,
hal ini mungkin timbul akibat toksisitas langsung atau timbulnya reaksi imun
abnormal dimana antibodi menyerang obat-obatan yang bereaksi dengan sel sumsum
tulang. Antibiotik kloramfenikol dan agen antiinflamasi fenilbutazon merupakan

15
contoh obat yang jelas terdokumentasi sebagai penyebab anemia aplastik. Toksisitas
yang berhubungan dengan obat-obatan ini biasanya tidak berhubungan dengan dosis
total obat yang diberikan, dan antibodi yang diinduksi oleh obat diidentifikasi hanya
pada sebagian pasien. Oleh karena itu, hubungan antara obat dan kejadian anemia
aplastik bergantung pada data epidemiologik dan hubungan temporal antara konsumsi
obat dan pengembangan kejadian kegagalan sumsum tulang. Mekanisme dari supresi
kegagalan sumsum tulang yang diinduksi obat biasanya tidak diketahui, dan untuk
mengidentifikasi pasien mana yang bereaksi terhadap obat-obatan tersebut tidaklah
mungkin untuk dilakukan. Untungnya, reaksi idiosinkrasi tersebut cukup jarang
terjadi. Diperkirakan 1 dari 20.000 hingga 30.000 orang mungkin memiliki reaksi
idiosinkrasi terhadap kloramfenikol, yang mana sekitar 10 kali insidensi anemia
aplastik pada populasi yang tidak mengkonsumsi kloramfenikol.7
Kloramfenikol telah menunjukkan dua jenis efek pada sumsum tulang. Reaksi
tersering adalah supresi sumsum tulang reversibel yang terjadi selama pasien
mengkonsumsi obat dan berhubungan dengan vakuolisasi dari sel prekursor sumsum
tulang (Gbr 2) dan peningkatan kadar besi serum, menggambarkan eritropoiesis
inefektif. Reaksi kedua merupakan bentuk anemia aplastik ireversibel yang terhadi
beberapa minggu hingga bulan setelah pajanan terhadap obat. Reaksi yang lebih parah
tersebut tidak dapat diprediksi melalui dosis, durasi, dan rute administrasi obat. Oleh
karena hubungan yang cukup kuat antara kejadian anemia aplastik, penggunaan
kloramfenikol telah dikurangi. Saat ini penggunaan obat tersebut hanya untuk
indikasi-indikasi spesifik dimana obat alternatif lainnya tidak ada.7
Berbagai macam obat lainnya telah diimplikasikan sebagai supressor langsung
terhadap hematopoiesis dan kadang dihubungkan dengan aplasia sumsum tulang.
Insidensi dan prediktabilitas dari supresi sumsum tulang bervariasi antara obat (Tabel
4). Misalnya, agen kemoterapi telah diketahui sebagai penyebab hipoplasia sumsum
tulang yang sering dan berhubungan dengan dosis. Obat lainnya (antibiotik,
antikonvulsan, dan analgetik) lebih sulit diprediksi. Pengetahun tentang efek yang
mungkin terjadi pada sumsum tulang perlu diingat saat menggunakan obat-obatan ini
dan pengawasan komponen darah perifer yang baik perlu dilaksanakan. Biasanya,
hipoplasia sumsum tulang yang diinduksi oleh obat bersifat reversibel secara penuh

16
saat obat dihentikan. Minoritas pasien yang lebih sedikit mungkin dapat
mengembangkan suatu kerusakan ireversibel.7
c. Radiasi Ionisasi
Telah diketahui bahwa radiasi ionisasi memiliki efek destruktif akut pada sel-sel
sumsum tulang yang membelah dengan cepat, yang dapat diprediksi sesuai dosis.
Radiasi dosis tinggi, antara 300 sampai 500 rads, mengarah ke hilangnya sel-sel
hematopoietik secara keseluruhan dan bersifat ireversibel dan letal. Dosis yang lebih
kecil mengarah ke anemia reversibel, leukopenia, dan trombositopenia dengan
penyembuhan total berlangsung antara 4 hingga 6 minggu. Sel hematopoietik lebih
rentan terhadap radiasi dalam bentuk penetrasi, seperti yang dapat dijumpai pada sinar
gamma dan sinar x. namun, ingesti sumber radiasi energi rendah yang kronik (seperti
yang dijumpai pada pelukis jam yang menelan radium sewaktu membasahi kuas pada
mulut mereka dan menghirup serbuk radium) juga dapat menyebabkan efek yang
merusak pada sumsum tulang.
Radiasi ionisasi mempengaruhi sumsum tulang dan sel-sel berproliferasi cepat
lainnya dengan mengganggu ikatan kimiawinya. Hal ini menyebabkan pembentukan
radikal bebas dan bahan biologis aktif lainnya. Mereka berinteraksi dengan DNA dan
menyebabkan putusnya atau cross-link untai DNA. Hal ini menyebabkan kematian
selular dan abnormalitas genetik letal maupun non letal. Sebagai tambahan dari efek
langsung yang bergantung pada dosis oleh irradiasi terhadap sel hematopoietik, ada
pula efek jangka-panjang atau efek yang tertunda yang lebih sulit diprediksi. Anemia
aplastik dapat terjadi beberapa bulan hingga tahun setelah pajanan radiasi,
kemungkinan timbul sekunder setelah alterasi genetik yang berlangsung lama pada sel
induk hematopoietik, sekalupun kelainan seperti displasia sumsum tulang dan
leukemia akut lebih sering dijumpai.7
d. Infeksi
Banyak infeksi memiliki efek supresi pada sumsum tulang. Infeksi akut, dan
sembuh-sendiri dapata menyebabkan supresi sumsum tulang selama 10 hingga 14 hari
dengan efek minor pada hitung sel darah perifer. Infeksi kronik mungkin dapat
menimbulkan efek yang lebih berat pada sistem hematopoietik. Beberapa infeksi virus,
termasuk hepatitis, virus Epstein-Barr, dan cytomegalovirus, telah dikaitkan dengan

17
kejadian anemia aplastik. Dari jenis infeksi tersebut, hepatitis dari virus hepatitis yang
tidak tergolongkan (yaitu, tipe non-A, non-B, dan non-C) memiliki hubungan yang
paling kuat dengan kejadian anemia aplastik refraktori. Mekanisme dimana virus-virus
tersebut menyebabkan anemia aplastik masih belum diketahui. Telah dikemukakan
bahwa virus mungkin memiliki efek infeksi langsung pada sel induk hematopoietik
atau menginduksi reaksi autoimun terhadap sel induk hematopoietik. Infeksi sistemik
lainnya, seperti tuberkulosis milier, juga telah dikaitkan dengan kejadian anemia
aplastik atau disfungsi sumsum tulang.7
e. Penyebab lainnya
Anemia aplastik biasanya memiliki komponen berbasis imun dan banyak pasien
menunjukkan respon terhadap terapi imunosupresif, sekalipun mekanismenya masih
belum terlalu diketahui ataupun antigen penyebabbnya. Beberapa kondisi dengan
perubahan fungsin imun, seperti kehamilan atau graft vs host disease setelah
transplantasi sumsum tulang telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik. Kasus
anemia aplastik lainnya dikaitkan dengan malnutrisi, seperti pada kasus anoreksia
nervosa atua insufisiensi pankreatik (sindrom Schwachman-Diamond). Kondis-
kondisi tersebut dikaitkan dengan nekrosis sel induk dan perubahan degeneratif pada
sel stroma sumsum tulang, atau dengan kata lain transformasi gelatinus.

B. Anemia aplastik kongenital


1. Anemia Fanconi
Anemia aplastik kongenital ditandai dengan abnormalitasi hematologik yang ada
sejak lahir, diturunkan dari keluarga, dan adanya defek kongenital yang berkaitan.
Beberapa bentuk gambaran klinis yang diketauhi dan terdeskripsikan secara baik adalah
anemia Fanconi. Anemia fanconi merupakan kelainan yang jarang, dengan lebih dari 500
kasus telah dilaporkan dalam literatur yang menunjukkan berbagai fitur klinik dan pola
resesif autosomal yang diturunkan cukup sering dijumpai. Biasanya pasien-pasien ini
memiliki gangguan pertumbuhan yang terkait, termasuk satu atau lebih kelainan berikut:
defek skeletal (biasanya aplasia atau hipoplasia ibu jari), hiperpigmentasi kutaneus,
gangguan ginjal, mikrosefali, retardasi mental, dan gangguan tumbuh kembang. Pasien
biasanya mengalami pansitopenia yang berkembang seiring usia dan biasanya simtomatik

18
dalam waktu 5 hingga 10 tahun sejak lahir. Anemia (biasanya makrositik atau
normokrom normositik) dan trombositopenia biasanya mendahului kejadian leukopenia.
Dapat pula ditemukan peningkatan ekspresi antigen pada sel darah merah, peningkatan
kadar hemoglobin fetal, dan kadar eritropoietin. Hal ini menggambarkan adanya pola
stres pada eritropoietin. Sumsum tulang mungkin awalnya normosel atau hiperselular,
namun seiring waktu akang terjadi hipoplasia. Pasien-pasien tersebut juga lebih rentan
terhadap timbulnya kanker.7
Anemia Fanconi ditandai dengan sejumlah abnormalitas genetik yang melibatkan
setidaknya sembilan jenis gen berbeda yang berinteraksi secara fisik ataupun fungsional
pada kontrol siklus sel dan perbaikan DNA. Hal ini secara fungsional tampak pada
beberapa penelitian yang menunjukkan kadar pemecahan kromosom yang tinggi, DNA
cross-linking, dan defek perbaikan DNA pada sel-sel pasien anemia Fanconi yang
diterapi dengan agen cross-linkin atau stres genotoksik. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bahwa pasien-pasien ini juga memiliki peningkatan insidensi leukemia
akut myelogenus dan keganasan lainnya, yang mengarah ke karakter yang dikenal
sebagai sindrom genetik-kanker. Sembilan gen berbeda yang berhubungan dengan
anemia Fanconi telah dikloning, yang mana seluruhnya berhubungan dengan respon
kerusakan DNA. Alur ini diregulasi oleh protein ubiquitination dan mungkin
mempengaruhi apoptosis yang dimediasi p53, mengarah ke timbulnya gejala klinis
penyakit ini.7
Pasien anemia Fanconi yang tidak mendapatkan terapi biasanya meninggal dunia
akibat infeksi atau perdarahan yang timbul akibat sitopenia darah atau akibat timbulnya
keganasan. Saat ini, sebagian besar pasien diobati dengan transplantasi sumsum tulang,
sekalipun regimen kemoterapi atau irradiasi berhubungan dengan toksisitas yang tinggi
akibat defek perbaikan DNA, sehingga penurunan intensitas dengan pendekatan yang
menyesuaikan mungkin lebih menjadi pilihan. Pengembangan pendekatan
penatalaksanaan lainnya, seperti terapi gen, mungkin dapat memberi harapan baru pada
pasien-pasien ini dimasa mendatang.7
2. Diskeratosis kongenital
Penyebab kongenital anemia aplastik lainnya lebih jarang ditemukan dibandingkan
dengan anemia Fanconi. Dyskeratosis congenita merupakan kelainan X-linked dimana

19
sekitar setengah dari penderita mengalami anemia aplastik. Hal ini tidak terkait dengan
instabilitas kromosom, namun timbul akibat defek pada gen yang mengkode protein
dyskerin. Dyskerin diketahui terlibat dalam struktur telomer dan pemeliharaannya. Pasien
dengan dyskeratosis congenita memiliki telomer pendek berlebih, yang mana diduga
menyebabkan kegagalan sumsum tulang.7

3. Patofisiologi

Defek dasar dari anemia aplastik adalah kegagalan produksi sel darah oleh sumsum tulang,
termasuk eritrosit, leukosit, dan trombosit. Produksi sel darah dalam sumsum tulang bergantung
pada pertumbuhan, diferensiasi, dan self-renewal dari sel induk umum, pluripoten (CFU-S).
Agar dapat berproliferasi dan diferensiasi, CFU-S berespon terhadap sitokin dan faktor
pertumbuhan lainnya yang diproduksi pada lingkungan mikro sumsum tulang. Sehingga,
kegagalan sumsum tulang mungkin timbul akibat penurunan sel induk hematopoietik yang
disebabkan oleh menurunnya kerja self-renewal atau destruksi seluler. Dengan kata lain,
gangguan pada lingkungan mikro tulang, menyebabkan penurnan pensinyalan untuk proliferasi
sel dan diferensiasinya, yang selanjutnya menyebabkan aplasia sumsum tulang (Gambar 1).1,3,5,8,9

Gambar 1 ; Hematopoesis
Sumber : Perkins Sherrie. Aplastic Anemia Ancluding Pure Red Cell Aplasia, Congenital Anemua. In:
Harmening Denisa. Clinical Hematology and Fundamentals if Hematostatis.. 5th ed. Philadeplhia: F.A Davis
Company;2009.P 156

20
Sebagian besar penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa penurunan sel induk
sumsum tulang dibandingkan adanya defek pada lingkungan mikro sebagai penyebab
sebagian besar kasus anemia aplastik. Karena sumsum tulang tidak dapat berespon terhadap
sitopenia darah perifer yang berkembang dengan peningkatan hematopoiesis, hal itu telah
digolongkan sebagai proses refraktori atau suatu proses regeneratif. Tidak ada batasan yang
jelas yang dapat diaplikasikan untuk menentukan penyebab menurunnya produksi sel pada
anemia aplastik. Mekanisme yang dikemukakan tentang terjadinya anemia aplastik adalah
sebagai berikut, efek langsung toksik terhadap sumsum tulang, destruksi sumsum tulang
yang dimediasi proses imun, dan kelainan kongenital. Namun, pada sebagian besar kasus
batasan yang jelas mengenai mekanisme terjadinya kegagalan sumsum tulang tidak dapat
diidentifikasi (Tabel 1).7

TABEL 5. MEKANISME YANG DIKEMUKAKAN TENTANG


PENGEMBANGAN ANEMIA APLASTIK7
Idiopatik atau Tidak Diketahui
Efek Langsung Toksik pada Sumsum Tulang
Radiasi
Obat-obatan (misalnya, kemoterapi, obat lainnya)
Benzene
Racun atau bahan kimia
Kelaparan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Kerusakan Sumsum Tulang yang Dimediasi Sistem Imun
Autoantibodi yang diinduksi obat
Kelainan autoimun
Kehamilan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Defek Kongenital Sumsum Tulang
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenital

Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak kemungkinan yang
harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti maka digolongkan ke dalam
penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan
sumsum tulang adalah iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan
yang terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan
sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan
baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung atau

21
defisiensi sel-sel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada anemia
aplastik berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat
kimia. Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan interaksi
antara progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro (microenvironment) pada
sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi
oleh faktor pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan
pemeriksaan flouresent activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34+
dan adhsesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal.7

Dapat disimpulkan anemia aplastic terjadi karena dua mekanisme. Mekanisme pertama
adalah cedera hematopoetik langung karena bahan-bahan kimia. Mekanisme kedua,
didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel
sumsum tulang. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam kerusakan
jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti interferon-α (IFN-γ) dan tumor
necrosis factor β (TNF-β) dan adanya pemebentukan fas ligand. Ada dua efek yang
ditimbulkan oleh produksi IFN-gama dan TNF-alfa. Yang pertama, akan menginduksi
pemebentukan nitric oxide synthase (NOS) dan nitric oxide (NO). NOS dan NO akan
merangsang ekspresi dari CD34+ yang kemudian aktifasi dari reseptor ini akan memicu
terjadinya apoptosis. Ini juga merupakan yang ditimbulkan oleh fas ligand, dimana
pembentukan resptor fas ini kana memicu apoptosis sel. Efek kedua, IFN-gamma dan TNF-
alfa akan menghambat mitosis dari sel hematopoetik. Efek ini terjadi melalui rangsangan dari
factor IFN regulator factor 1 yang menghambat transkripsi selelur gen, disamping bekerja
dengan cara masuk dan mengganggu siklus sel. Sel T sitotoksik juga akan menyebabkan
pemebentukan interleukin-2 yang akan menyebabkan ekspansi dari sel T. efek dari imun
sebagai media penghambat hematopoiesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hamper
sebagian besar pasien dengan anemia aplastic didapati memiliki respon terhadap terapi
imunosupresif. 1,3,4,9

22
Gambar 2 : Patomekanisme Anemia aplastic
Sumber : Widjanarko Abidin, Sudoyo AW, Salonder H. Anemia Aplastik. In: Setiiati Siti, Alwi Idrus,dkk.
Buku ajar ilmu penyakit dalam.6th ed. Jakarta: Internal publishing;2019.P 116-1126

4. Diagnosis Anemia aplastik


A. Gejala dan pemeriksaan fisik

Anemia aplastik umumnya sebagai proses berbahaya, yang selanjutnya menyebabkan


penurunan berkala dari produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit sumsum tulang. Keluhan
dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoetik akan
menimbulkan anemia dimana gejala-gejala anemia antara lain lemas, dispneu, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan lekopoesis menyebabkan
granulositopenia yang kana menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi naik local maupun bersifat sistemik.
Tromositopenia tentu dapat mengakibatkan perdarahan di kulit, selaput lendir atau
perdarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastk yang
sering dikeluhkan adalah anemia atau perdarahan, walaupun demam dan infeksi kadang-
kadang juga dikeluhkan.1,3,4,7, 9

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin.keluhan


yang dapat ditemukan sangat bervariasi (tabel 6). Pada tabel 6 terlihat bahwa pendarahan,
lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.1

23
TABEL 6. Keluahan pasien anemia aplastic (n=70)1,

Jenis keluhan %

Pendarahan 83

Lemah badan 80

Pusing 69

Jantung berdebar 36

Demam 33

Napsu makan berkurang 29

Pucat 26

Sesak napas 23

Penglihatan kabur 19

Telinga berdengung 13

Pada pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
pemeriksaa fisik menunjukan pucat sebagai hasil dari anemia, atau tanda-tanda
trombositopenia (seperti petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan mukosa). Tanda-tanda
infeksi, sebagai hasil dari penurunan leukosit adalah demam namun, biasanya tampil sebagai
manifestasi lanjut dari penyakit ini. Penemuan pada pemeriksaan fisik lainnya minimal.
Pengambilan riwayat seperti konsumsi obat-obatan, pajanan toksik, atau infeksi, juga
riwayat keluarga dengan masalah hematologik yang serupa merupakan hal yang penting.
Hepatomegali, spelnomegali dan linfadenopati limfadenopati tidak ditemuakan. Keadaan
tersebut dapat muncul karena sebab lain dan adanya keadaan tersebut justru meragukan
diagnosis.1,2,7

TABEL 7. Pemriksaan fisik anemia aplastic (n=70)1,

Jenis pemeriksaan fisik %

24
Pucat 100

Perdarahan 63

 Kulit 34
 Gusi
26
 Retina
20
 Hidung
 Saluran cerna 7
 Vagian
6
Demam
3
Hepatomegali
16
Splenomegali
7

B. Pemeriksaan penunjang

Untuk mengevaluasi pasien dengan anemia aplastik bertujuan untuk menentukan derajat
dari disfungsi sumsum tulang dan mengeksklusikan kemungkinan penyebab sitopenia
lainnya dengan terapi yang lebih tersedia. Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup
pemeriksaan darah lengkap dan hitung retikulosit, apusan darah tepi, dan pemeriksaan
sumsum tulang. Pemeriksaan biokimia tambahan lainnya untuk menilai fungsi ginjal dan
hati, sekaligus pemeriksaan kultur dan serologis untuk mencari tahu ada tidaknya agen
infeksi juga diperlukan (Tabel 5). Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan pansitopenia
pada berbagai tahapan, biasanya yang paling tampak adalah anemia (Tabel 6). Konsentrasi
hemoglobin biasanya kurang atau sama dengan 70 g/L, dan anemia biasanya normokrom
normositik, sekalipun sel-sel kadang makrositik dengan anisositosis sedang dan
poikilositosis. Nilai hitung retikulosit terkoreksi rendah (<1% atau < 25x 10 9/L nilai
absolut), yang menggambarkan kurangnya aktivitas regenerasi sumsum tulang. Sel darah
putih, terutama sel mieloid dan monositik, serta trombosit juga mengalami penurunan.
Limfosit dapat normal ataupun menurun.7

25
Tabel 8
EVALUASI LABORATORIS PADA ANEMIA APLASTIK
Pemeriksaan Tujuan
Hitung darah lengkap dan hitung jenis Menentukan keparahan sitopenia
Apusan darah tepi Mengekslusikan keganasan dan penyebab sitopenia lain
Hitung retikulosit Menetapkan penurunan regenerasi sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang Mengeksklusikan leukemia, penyebab lain sitopenia
(misal, mielodisplasia, gangguan penyimpanan, penyakit
metastasis, granuloma, fibrosis); menetapkan adanya
hipoplasia sumsum tulang.
Pemeriksaan biokimia Fungsi hati dan fungsi ginjal
Kultur Mengetahui ada tidaknya infeksi
Pemeriksaan serologi Mengetahui ada tidaknya infeksi

1. Pemeiksaan darah
Menurut Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan International Agranulocytosis
and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:1,2,3
a. Satu dari tiga sebagai berikut :
- Hb <10 g/dl atau Hct < 30%
- Trombosit < 50x109/L
- Leukosit < 3,5x109 /L
b. Retikulosit <30x109/L

Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan pansitopenia pada berbagai tahapan, biasanya


yang paling tampak adalah anemia (Tabel 6). Konsentrasi hemoglobin biasanya kurang atau
sama dengan 70 g/L, dan anemia biasanya normokrom normositik, sekalipun sel-sel kadang
makrositik dengan anisositosis sedang dan poikilositosis. Nilai hitung retikulosit terkoreksi
rendah (<1% atau < 25x 109/L nilai absolut), yang menggambarkan kurangnya aktivitas
regenerasi sumsum tulang. Sel darah putih, terutama sel mieloid dan monositik, serta
trombosit juga mengalami penurunan. Limfosit dapat normal ataupun menurun. 1,7

Tabel 9
KARAKTERISTIK ABNORMAL NILAI SEL DARAH YANG TERLIHAT PADA
ANEMIA APLASTIK BERAT

26
Eritrosit
Hematokrit ≤ 0,20-0,25 (L/L) atau 20%-25%
Konsentrasi hemoglobin ≤ 70 g/L
Hitung retikulosit absolut ≤ 25x109/L
Hitung retikulosit terkoreksi <1%
Sel darah putih
Hitung leukosit total ≤ 1,5x106/L
Hitung neutrofil absolut ≤ 0,5x109/L
Trombosit
Hitung trombosit ≤ 20-60x109/L

Tidak ditemukan abnormalitas morfologik yang spesifik pada pemeriksaan apusan


darah tepi dalam menunjang diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan apusan darah tepi
mengkonfirmasi jenis anemia normokrom normositik disertai sedikitnya atau bahkan
tidak ditemukan bukti regenerasi seperti sel polikromatofilik, basophilic stippling, atau
sel eritrosit berinti. Sel darah putih biasanya menunjukkan limfositosis relatif hingga 70%
hingga 90%, menggambarkan penurunan sel mieloid dan monositik. Jika hitung sel darah
putih menurun hingga dibawah 1,5x109/L, limfopenia absolut dapat pula ditemukan. Sel
mieloid imatur seperti mielosit dan metamielosit dapat terlihat namun jarang terjadi,
namun bila ditemukan dalam jumlah besar diagnosis anemia aplastik menjadi lebih
meragukan. Trombosit biasanya mengalami penurunan, dan jarang dijumpai dalam
bentuk abnormal. Saat trombositopenia ditemukan, waktu perdarahan akan menjadi lebih
panjang dan retraksi pembekuaan menjadi lebih buruk.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat
pada leblh dai 75% kasus.
Oleh karena rendahnya gambaran-gambaran khas yang dapat dijumpai pada
pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah tepi, diagnosis banding penyebab
pansitopenia yang perlu dipertimbangkan sangatlah banyak dan pemeriksaan sumsum
tulang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis.7
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya menunjukkan hiposelular yang nyata atau “dry tap”
(Gbr 3). Sejumlah kecil limfosit, sel plasma, dan terkadang sel prekusor hematopoietik dapat
ditemukan. Spesimen biopsi sumsum tulang menunjukkan sumsum tulang yang sangat
hiposelular dengan reduksi garis keturunan mieloid, eritroid, dan megakariositik yang nyata.

27
Dibandingkan dengan spesimen biopsi sumsum tulang normoselular (Gbr 4a), spesimen
biopsi sumsum tulang hiposelular hanya menunjukkan stroma residual dan lemak (Gbr 4b).
Limfosit yang tersebar dan sel plasma (Gbr 5) atau agregasi limfoid yang kadang ditemukan
juga dapat terlihat. Perlu menjadi catatan, bahwa pasien dengan anemia aplastik biasnya
memiliki gambaran pulau residual dari sumsum tulang normal atau area fokal dari sumsum
tulang hiperplasia berdampingan dengan area hipoplasia yang menyerupai gambaran pada
mielodisplasia atau proses lainnya, yang dapat membingungkan dalam penegakkan diagnosis
anemia aplastik (Gbr 8-7). Perlu diingat bahwa mungkin ada variasi dari tiap biopsi sumsum
tulang dan antara tempat pengambilan spesimen biopsi pada anemia aplastik, sehingga
mungkin perlu dilakukannya beberapa biopsi berurutan untuk penegakkan diagnosis. 7

Gambar 3: Pada pemeriksaan aspirasi sumsum ditemuakn hiposelular sumsum tulang atau “dry tap”.
(Perwarnaan Giemsa pembesaran 500)
Sumber : Perkins Sherrie. Aplastic Anemia Ancluding Pure Red Cell Aplasia,
Congenital Anemua. In: Harmening Denisa. Clinical Hematology and Fundamentals if
Hematostatis.. 5th ed. Philadeplhia: F.A Davis Company;2009.P 156-167

28
Gambar 4: Spesimen biopsi sumsum tulang normoselular (Gbr 4a), spesimen biopsi
sumsum tulang hiposelular hanya menunjukkan stroma residual dan lemak (Gbr 4b).
Sumber : Perkins Sherrie. Aplastic Anemia Ancluding Pure Red Cell Aplasia, Congenital Anemua. In:
Harmening Denisa. Clinical Hematology and Fundamentals if Hematostatis.. 5th ed. Philadeplhia: F.A
Davis Company;2009.P 156-167

Gambar 5: Pulau residual atau area fokal


Sumber : Perkins Sherrie. Aplastic Anemia Ancluding Pure Red Cell Aplasia, Congenital Anemua. In:
Harmening Denisa. Clinical Hematology and Fundamentals if Hematostatis.. 5th ed. Philadeplhia: F.A
Davis Company;2009.P 156-167

29
3. Pemeriksaan kromosom
Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan
imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding,
seperti myelodisplasia hiposelular.1
Secara kuantitatif, set-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow
cytomelry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut CD34+.
Pada pemeriksaan .flow cytometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara fluoresens satu
persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik,
sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni
eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel
hematopoietik yang sangat primitif dan "tenang" (quiescent), yang sangat mirip jika tidak
dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang
mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penunrnan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif,
yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.1

4. Diagnosis Banding
A. Myelodisplasia Hiposelular

Myelodisplasia Hiposelular merupakan salah satu dari Sindrom dismielopoetik (SDM)


atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai oleh
displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis)
baik tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan diferensiasi yang
penyebab belum diketahui. Jika penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin 812 atau defisiensi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-laki
sedikit lebih sering dari pada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak diketahui.1

Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik hipoplastik dapat menjadi


tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak terjadi.
SDM sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada sebagian
kasus pada umur <50 tahun ; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dan

30
gejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya datang dengan
keluhan cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena trombositopenia dan
infeksi atau panas yang dikaitkan dengan leukopenia./ neutropeni juga dapat menjadi
keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari
pasien terjadi splenomegali atau hepatomegali.

Diagnosis dilihat berdasarkan adanya Anemia dan perdarahan-perdarahan dan febris yang
tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan. Pemeriksaan darah tepi
menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari sistem darah. Adanya sel-sel muda
blast dalam jumlah sedikit (<30%) dengan tanpa monositosis di darah tepi. Sumsung tulang
dapat hiponormolular atau hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali
Pelger-Huet, perubahan megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya).1

Proporsi sel-sel CD34+ di sumsum tulang mungkin membantu pada beberapa kasus.
CD34+ diekspresikan pada sel-sel asal/ induk hemopoietik dan bersifat fundamental untuk
patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari
sel asal CD34+.; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34+ merupakan target
serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel CD34+ adalah 0,3% atau kurang
pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal (0,5- I,0%) atau lebih tinggi
pada sindrom myelodisplatik hipoplastik.1

Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi
interpretasi hasil dapat kontroversial. Kromosom umumnya normal pada anemia aplastik,
tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik.
Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik,
maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun, mungkin pada sekitar
20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu, perubahan morfologinya mungkin
ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil.
Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati
menjadi myelodisplasia.1

31
Tabel 10. Perbedaan Anemia aplastic dengan MDS

Pebedaan Anemia aplastik MDS

ETIOLOGI Idiopatik Idiopatik


Sekunder Sekunder
Bahan kimia, obat- vitamin 812 atau defisiensi
obatan, infeksi, asam folat, pengobatan
sitostatik, dan sebagainya
Usia 15 sampai 25 tahun 60-75 tahun

Jenis kelamin Laki-laki lebih banyak Perempuan lebih banyak

Gejala subjektif Pansitopenia Pansitopenia

Pemeriksaan Fisik
 Hepatomegali (+)  Jarang (+)
 Spenomegali (-) (+)

Pemeriksaan
penunjang
 Tidak  Sel-sel muda blast,
 Pemeriksaan ditemukan sel- monositosis di darah
Darah sel blast tepi
 Hiposelular  Hiper/Hiposelular
 Pemeriksaan  CD34+  CD34+ meningkat
sumsum tulang menurun

 Tidak ada  Ada kelainan


 Sitogenik Kelainan pada komosom
kromosom

32
B. Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH)

Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH. Pada PNH,
sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan
trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar
genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan
sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan
hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk
menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi
dengan flow cytometta eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah
ketinggalan jaman (obsolete). Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan
mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai
"peristiwa klonal lanjut" bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan
flow cytomelry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum
tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat datang. 1

a. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas:

33
A. Terapi edukasi dan perubahan gaya hidup

Edukasi diberikan mencakup semua tindakan untuk membantu pasien (termasuk keluarga
dan teman-teman) untuk memahami masalah dan penatalaksanaannya, berkontribusi pada
perawatan pasien, bertanggung jawab atas kondisi kesehatannya untuk dapat kembali ke
aktifitas normal. Hal-hal yang perlu diedukasi :1,10

1. Produk obat yang diresepkan untuk jangka panjang harus diminum secara teratur.
2. Hygenis diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi
3. Konsultasi rutin dengan dokter terkait gejala sekecil apapun yang menunjang
infeksi (Demam, Diare dan lain-lain). 10
B. Manajemen awal anemia apalstik
1. Terapi kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering hal
ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat
dikoreksi. Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah
penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan yang
mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu
ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk mengeluarkannya
walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.3

2. Terapi suportif

Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan pansitopenia yang
ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan transfusi pocked red cells
sampai kadar hemoglobin 7-8 g/dl atau lebih pada orang tua dan pasien penyakit
kardiovaskular. Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang sehingga perlu
diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti reaksi transfusi, hemolitik dan
nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan zat besi.1

Resiko perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah


perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan jumlah
trombosit di atas 20.000/uL. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau
kadar trombosit kurang dari 20.000. Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi suspensi

34
trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit dapat menyebabkan
keadaan isoimunisasi atau pemebentukan zat anti terhadap trombosit donor apabila
dilakukan lebih dari 10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Isoimunisasi dapat dicegah dengan pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel
dengan pasien. Bila perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis.1

Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat diberikan
pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan perawatan
gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering
menjadi penyebab kematian. Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan
pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi
secara intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai
10-14 hari atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah
diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan anti jamur.3

Manajemen awal anemia aplastic10,11

 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga


menjadi penyebab anemia aplastik
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan
 Perdarahan hebat akhibat trombositopenia : transfuse trombosit sesuai yang
dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan infeksi bila terdapat neutropenia berat.
 Infeksi: kultur mikroorganisme, antibiotic spectrum luas bila organisme
spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang berat, bila berat
badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakter gram negative dan jamur)
pertimbangkan transfuse granulosit dari donor yang belum dapat terapi G-
CSF.
 Assement untuk transpalnatasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompabilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien

35
C. Terapi spesifik

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri terapi imnusupresif dan transplantasi
sumsum tulang.

a. Terapi imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin


(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan sikloporin A (CSA).

- Antitymocyt Globulin (ATG)


ATG adalah terapi imunosupresan pertama yang digunakan dalam
penatalaksanaan Anemia aplastik. Antitymocyt Globulin menghambat
mediasi respons imun dengan mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel
reaktif antigen.3 Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat
terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga sealu diberikan bersama-
sama dengan kortikosteroid. 4
ATG atau ALG diindikasikan pada: 1). Anemia aplastik bukan berat, 2).
Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok, 3). Anemia
aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/
mm.1
Respon hematologis diukur dengan adanya peningkatan neutrofil polinuklear
dalam waktu 3 bulan. Respon terapi umumnya tidak dapat dievaluasi dalam
waktu kurang dari 3 bulan. 10
Protokol pemberian ATG pada anemia aplastik11

Dosis test ATG:

 ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan
saline kontrol 0,1 cc disuntukan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi
anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG 9diberikan 30 menit sebelum ATG:

 Asetaminofen 650 mg peroral


 Difenhidramin 50 mg p.o atau intravena perbolus

36
 Hidrokortison 60 mg intravena perbolus
Terapi ATG:

 ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG;

 Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanutkan
selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
 Siklosporin 5 mg/kg.hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian
diturunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis
siklosporin 4 mg/kg. dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau
peningkatan enzim hati.

- Metilprednisolon
Metiprednisolon Juga dapt digunakan sebagai ganti prednisone. Kombinasi
ATG, sikloporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70%
pada anemia aplastic berat. ATG dan metiprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.1
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-4
mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/
berat badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering
dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering
selama 15-29 hari. Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan
antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara
lain ulkus peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonecrosis.3
- Siklosporin A (Cs A)
Siklosporin adalah molekul yang spesifik memblokir aktivasi dan proliferasi
limfosit T. Merupakan calcineurin ihibitors yang menghambat produksi
interleukin-2 (IL-2) oleh sel T serta mnghambat proliferasi sel t dari respon
oleh IL-2. Tingkat respon untuk siklosporin saja 50%. Seperti dengan ATG,
semakin ringan gangguna, semakin baik respon terhadap pengobatan (60%

37
tidak berta, 34% berat dan 25% sangat berat). Dosis awal pada hari pertama
5-10 mg/kgbb/hari. Pengobatan siklosporin diberikan 3 sampai 6 bulan
setalah itu di evaluasi keberhasilan tercapainya. Jika berhasil pengobatan
siklosporin dilanjutkan selama 1 tahun. Penggunaan obat ini membutuhkan
pemantauan ketet akan fungsi gijanl dan tekanan darah. Bila ditemukan efek
toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis
yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya sekitar
25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi
sistem hematopoetik sekitar 70%.2,3 Efek samping yang paling banyaj
ditemukan adalah hyperplasia gingiva.10
Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka keberhasilan setara
dengan ATG. Pada 50% pasien yang gagal dengan ATG dapat berhasil dengan
siklosporin. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka
remisi sebasar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan
metilprednisolon angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang diberikan 6
mg/kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis metilprednisolon 5 mg/kgBB per oral setiap
hari selama seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama 3 minggu.1

Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau


kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping itu,
tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya
patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan
penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien sering masih tergantung CsA.
Terapi induksi dengan regimen AIG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula
tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun.1

b. Terapi penyelamatan (salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosuprei berulang, pemberian factor-
faktor pertumbuhan hematopoetik dan pemberian steroid anabolik.
- Faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik (growth factors)
Penggunaan granwlocyte-colony stimulating factor (G-CSF, Filgrastim dosis
5 mg/kg/hari) atau GM-CSF (Sargramostim dosis 250 mg/kg/hari)

38
bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama.
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-
satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa pasien akan
memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan G-CSF, tetapi neutropenia
berat karena anemia aplastik biasanya refrakter. Jika dikombinasi den gan
regimen ATG/ CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons
terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di
masa depan. Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat.
Kombinasi G-CSF dengan obat lain telah digunakan untuk terapi
penyelamatan pada kasus-kasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah
dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Namun,
beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang lama sebagai penyebab
evolusi klonal, khususnya monosomi-7.1
Penelitian yang mempelajari efek GMCSF, IL-3, IL-6, dan G-CSF didapatkan
G-CSF mempunyai efek yang paling baik dalam memperbaiki respons
hematopoesis.3,4,5
- Steroid anabolik Androgen
Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia apalstik sebelum
penemuan terapi imunosuresif. Androgen merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan sebagai
terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
Androgen yang tersedia saat ini antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-
obat ini terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik ringan.
Pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Komplikasi utama
adalah virilisasi dan hepatotoksitas.1
c. Siklofosfamid (CPA)
Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai terapi lini pertama yang
efektif untuk anemia aplastik. Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan
pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia yang
berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi
neutropenik menyebabkan penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada

39
pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit
klonal dapat terjadi setelah terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid
hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian dari uji terkontrol dengan
spektrum indikasi yang sempit. Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang
berkaitan dengan nitrogen mustard. Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-
link DNA yang mungkin berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan
neoplasma. Sejumlah peneliti menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah
50mg/kg berat badan / hari selama 4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis
tinggi yang diberikan akan meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi
yang ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi.1,3,4
D. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang memberikan harapan


kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan yang canggih, serta
adanya kesulitan tersendiri dalam mencari donor yang kompatibel. 3

Saat ini, pilihan penatalaksanaan anemia aplastik pada pasien usia kurang dari 50
tahun adalan transplantasi sumsum tulang allogeneic atau sel induk perifer. Terapi ini
merupakan terapi yang optimal jika sumsum tulang berasal dari saudara kandung dengan
HLA yang cocok, sekalipun donor yang tidak memiliki hubungan lebih tersedia.
Regimen yang dikondisikan dengan pengurangan intesitas mungkin dapat digunakan
karena adanya gangguan sistem imun penerima akibat anemia aplastik yang dialami.
Angka kelangsungan hidup jangka panjang setelah mengikuti transplantasi sumsum
tulang berkisar dari 65% hingga 85% telah dilaporkan, biasanya disertai dengan
pemulihan sempurna dari fungsi sumsum tulang. Perlu dicatat pula bahwa peluang angka
keberhasilan dari transplantasi menurun pada pasien yang telah menerima transfusi
multipel (lebih dari 20), mungkin akibat dari autoimunisasi, yang meningkatkan
terjadinya reaksi penolakan graft. Oleh karena itu, untuk meminimalisir angka kebutuhan
transfusi suportif, banyak pasien menerima transplantasi sumsum tulang pada awal
penyakit.7

Bagi pasien yang tidak dapat menerima transplantasi sumsum tulang oleh karena usia
tua atau kurangnya donor yang cocok, terapi imunomodulatori dapat dipakai. Jenis terapi

40
ini menggunakan globulin antitimosit atau antilimfosit, siklosporin, atau siklofosfamid
dengan tujuan untuk menghambat serangan imun yang mungkin terjadi pada sel induk
sumsum tulang. Angka kelangsungan hidup setelah 5 tahun hingga 75% telah ditemukan
dengan menggunakan terapi ini, meskipun kejadian relaps dapat terjadi. Pendekatan
alternatif lainnya adalah stimulasi jangka panjang dengan faktor pertumbuhan
hematopoietik, biasanya disertai dengan terapi imunosupresif. Terdapat peningkatan pada
jumlah neutrofil, biasanya bergantung pada keparahan aplasia sumsum tulang. Biasanya
efektifitas stimulasi tersebut terhadap produksi eritrosit atau trombosit kurang
memuaskan.7

Regimen conditioning yarrg paling sering adalah siklofosfamid dan ATG dan telah
terbukti lebih unggul dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus total
thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada perawatan pasien dan terapi graft-versus-
host disease telah membuat TST menjadi prosedur yang jauh lebih aman dan menjadikan
TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien anemia aplastik. TST menyediakan alternatif
terapi yang benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka panjang terapi IS
konservatif, termasuk perkembangan MDS dan angka relaps yang tinggi. TST allogenik
tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 307o yang mempunyai saudara
dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan
kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 947o (dengandonor saudara yang cocok).
Hasil yang lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya
pada pasien yang lebih tua. Dengan demikian, TST harus ditawarkan sebagai pilihan
kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok. Batas usia untuk TST
sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 30-35
tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama.
Transplantasi sumsum tulang alogenik dengan saudara kandung HLA-A,B,-DR-matched,
mencapai angka keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80% pada kelompok
pasien terpilih yang berumur k-urang dari 40 tahun dan bisa hidup lama. Makin
meningkat umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum
tulang donor yang disebut grafi-versus-host disease (GVHD). Transplantasi sumsum
tulang antara umur 40-50 tahun mengandung risiko meningkatnya GVHD dan morlalitas.
Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan Pada umumnya, bila pasien berumur

41
kurang dari 50 tahun yang gagal dengan ATG dan mempunyai saudara kandung sebagai
donor yang cocok maka pemberian transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan.
Akan tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Bila transfusi komponen darah sangat diperlukan, sedapat mungkin
diambil dari mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang untuk
membatasi reaksi penolakan cangkokan (gray' rejection) yang kelak dapat mengurangi
keberhasilan transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang terbentuk akibat
transfusi. Pada pasien yang belum ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum
tulang, yang hidup mencapai 81%, sedangkan bagi yang telah mendapat transfusi
sebelumnya yang hidup hanya 46%.1

E. Kriteria respons
Kelompok European Bone Marrow Transplantation (EBMT) mendefinisikan respons
terapi sebagai berikut:1
1. Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan
trombosit sekurang kurangnya 1 00.000/mm3
2. Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit di bawah 2000/mm3,
dan trombosit di bawah 100.000/rnm3.
3. Refrakter: tidak ada perbaikan

b. Prognosis dan perjalanan penyakit

Anemia aplastic memiliki rata-rata mortalitas lebih dari 70% dengan hanya penanganan
suportif saja. Pengobatan spesifik diberikan bergantung pada pilihan terapi, apakah hanya
penanganan suportif, terpai imnusupretif atau transplantasi sumsum tulang. Dengan terapi
imunosupretif, pada sepertiga pasien Anemia aplastic tidak memberikan respon yang baik. Bagi
yang memberikan respons, adanya relaps penyakit serupa muncul kemudai hari. 4

Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi sempuma. Hal ini
jarang terjadi kecuali bila iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya
terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3).
Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama namun
kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.1

42
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara
anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan
prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik.1

Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di luar


negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah
menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini
mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang
ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.1

43
BAB III

DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien


didiagnosis dengan pansitopenia ec suspek anemia aplastic dengan DD MDS. Keluhan dan
gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoetik akan
menimbulkan anemia dimana gejala-gejala anemia antara lain lemas, dispneu, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Didapatkan pada pasien ini dengan keluhan lemas, demam, BAB
warna hitam, takikardia, pucat
TABEL 6. Keluahan pasien anemia aplastic (n=70)1,

Jenis keluhan %

Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Napsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

TABEL 7. Pemriksaan fisik anemia aplastic (n=70)1,

Jenis pemeriksaan fisik %

Pucat 100
Perdarahan 63

 Kulit 34
 Gusi
26
 Retina
 Hidung 20
 Saluran cerna
 Vagian 7

44
Demam 6
Hepatomegali 3
Splenomegali 16
7
0

Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan darah lengkap dan hitung


retikulosit, apusan darah tepi, dan pemeriksaan sumsum tulang. Pemeriksaan biokimia
tambahan lainnya untuk menilai fungsi ginjal dan hati, sekaligus pemeriksaan kultur dan
serologis untuk mencari tahu ada tidaknya agen infeksi juga diperlukan. Konsentrasi
hemoglobin biasanya kurang atau sama dengan 70 g/L, dan anemia biasanya normokrom
normositik, sekalipun sel-sel kadang makrositik dengan anisositosis sedang dan
poikilositosis. Nilai hitung retikulosit terkoreksi rendah (<1% atau < 25x 10 9/L nilai
absolut), yang menggambarkan kurangnya aktivitas regenerasi sumsum tulang. Sel darah
putih, terutama sel mieloid dan monositik, serta trombosit juga mengalami penurunan.
Limfosit dapat normal ataupun menurun.7 Didapatkan dari pasien Eritrosit 1,26 106/mm3,
Hemoglobin = 4,1 g/dL, Hematokrit 12,0%, trombosit 3 10 3/mm3 , Leukosit 4,7 03/mm3 ,
netrofil 17,0%, Linfosit 66,4%, Monosit 11,8%.

KARAKTERISTIK ABNORMAL NILAI SEL DARAH YANG TERLIHAT PADA


ANEMIA APLASTIK BERAT
Eritrosit
Hematokrit ≤ 0,20-0,25 (L/L) atau 20%-25%
Konsentrasi hemoglobin ≤ 70 g/L
Hitung retikulosit absolut ≤ 25x109/L
Hitung retikulosit terkoreksi <1%
Sel darah putih
Hitung leukosit total ≤ 1,5x106/L
Hitung neutrofil absolut ≤ 0,5x109/L
Trombosit
Hitung trombosit ≤ 20-60x109/L
Tidak ditemukan abnormalitas morfologik yang spesifik pada pemeriksaan apusan
darah tepi dalam menunjang diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan apusan darah tepi
mengkonfirmasi jenis anemia normokrom normositik disertai sedikitnya atau bahkan
tidak ditemukan bukti regenerasi seperti sel polikromatofilik, basophilic stippling, atau
sel eritrosit berinti. Sel darah putih biasanya menunjukkan limfositosis relatif hingga 70%
hingga 90%, menggambarkan penurunan sel mieloid dan monositik. Jika hitung sel darah

45
putih menurun hingga dibawah 1,5x109/L, limfopenia absolut dapat pula ditemukan. Sel
mieloid imatur seperti mielosit dan metamielosit dapat terlihat namun jarang terjadi,
namun bila ditemukan dalam jumlah besar diagnosis anemia aplastik menjadi lebih
meragukan. Trombosit biasanya mengalami penurunan, dan jarang dijumpai dalam
bentuk abnormal. Saat trombositopenia ditemukan, waktu perdarahan akan menjadi lebih
panjang dan retraksi pembekuaan menjadi lebih buruk.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat
pada leblh dai 75% kasus.
Oleh karena rendahnya gambaran-gambaran khas yang dapat dijumpai pada
pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah tepi, diagnosis banding penyebab
pansitopenia yang perlu dipertimbangkan sangatlah banyak dan pemeriksaan sumsum
tulang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis.7
Manajemen awal anemia aplastic10,11

 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga


menjadi penyebab anemia aplastik
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan
 Perdarahan hebat akhibat trombositopenia : transfuse trombosit sesuai yang
dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan infeksi bila terdapat neutropenia berat.
 Infeksi: kultur mikroorganisme, antibiotic spectrum luas bila organisme
spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang berat, bila berat
badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakter gram negative dan
jamur) pertimbangkan transfuse granulosit dari donor yang belum dapat
terapi G-CSF.
 Assement untuk transpalnatasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompabilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien

46
Protokol pemberian ATG pada anemia aplastik11

Dosis test ATG:

 ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan
saline kontrol 0,1 cc disuntukan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi
anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG 9diberikan 30 menit sebelum ATG:

 Asetaminofen 650 mg peroral


 Difenhidramin 50 mg p.o atau intravena perbolus
 Hidrokortison 60 mg intravena perbolus
Terapi ATG:

 ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG;

 Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanutkan
selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
 Siklosporin 5 mg/kg.hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian
diturunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis
siklosporin 4 mg/kg. dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau
peningkatan enzim hati.

Metiprednisolon Juga dapt digunakan sebagai ganti prednisone. Kombinasi ATG,


sikloporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastic
berat. ATG dan metiprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.1

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini


didiagnosis Dispepsia. kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri
yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu perasaan
panas di dada dan perut, regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa,
anoreksia, mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut. Sindroma dispepsia ini
biasanya diderita selama beberapa minggu atau bulan yang sifatnya hilang timbul atau terus-
menerus.
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas,

47
misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara
mudah. Dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan
pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukan adanya kerusakan
organik dan penyakit-penyakit sistemik. Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni
postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distresssyndrome
mewakili kelompok dengan “perasaan begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang,
sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan
tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome

Penanganan gangguan dispepsia fungsional atau dispepsia organik dapat diberikan secara
farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi

48
farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2
receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective
agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain:
antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stabilizerPsikoterapi merupakan proses
interpersonal yang dirancang untuk membawa perubahan pada perasaan, kognisi, sikap, dan
perilaku yang telah terbukti menyulitkan pasien sehingga mencari bantuan seorang professional
terlatih. Jenis intervensi yang dapat digambarkan sebagai psikoterapi termasuk cognitive
behavioral therapy (CBT), psikoterapi psikodinamik, dan terapi kelompok.Penatalaksanaan yang
sudah dilakukan seperti; psikologikal support, antidepressants, anxiolytics, antacids,
antisecretory, prokinetics, sucralfate dan perubahan gaya hidup

49
Daftar pustaka

1. Widjanarko Abidin, Sudoyo AW, Salonder H. Anemia Aplastik. In: Setiiati Siti, Alwi

Idrus,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam.6 th ed. Jakarta: Internal publishing;2019.P 116-

1126

2. Putra MA. Anjadi Hery. Anemia aplastic berat dengan komplikaso fenril neutropenia dan

perdarahan. J Agromedicine. 2019 6(1);26-23

3. Isyanto, Abdulsalam. Masalah pada tatalaksana Anemia aplastic didapat. Seri Pediatri.

2005 7(1); 36-26

4. Salonder H. Anemia Aplastik. In:Suyono S, Waspadji S.,dkk. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit buku FKUI.2009;P 501-8

5. Price A.Sylvia, Wlson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4 th ed.

Jakarta:EGC;2000.P 234-236

6. Niazi M, Rafiq F. The incidence of underlying pathology in pancytopenia. JPMI.2010

18(1);85-76

7. Perkins Sherrie. Aplastic Anemia Ancluding Pure Red Cell Aplasia, Congenital Anemua.

In: Harmening Denisa. Clinical Hematology and Fundamentals if Hematostatis.. 5 th ed.

Philadeplhia: F.A Davis Company;2009.P 156-167

8. Young NS. Aplastic anemia, myelodisplasi, and rekated bone marrow failure syndrmes.

In: Kasper DI, Fauci AS, dkk. Harrison’s Principle of interna medicine. 16 th ed. New

york:McGraw Hill, 2015.P 617-27

9. Price A.Sylvia, Wlson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4 th ed.

Jakarta:EGC;2000.P 234-236

50
10. National Diagnostic and treatment protocol. France: HAS Jurnal.2009.P19-30

11. Paquette R, Munker R. Aplastic anemia. In: Muker R, Hiller E, et al. Modern hematology

Biology and clinical management. 2nd ed. New jersey: humana Press;2012.P 207-16

51

Anda mungkin juga menyukai