Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS

ASMA BRONKIAL

Pembimbing:
dr. Yahya, Sp.P

Disusun oleh:
Daniah Khairunnisa 1102015052
Fannani Nur Sya’bani 1102015070
Irviana Adyada 1102015103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO
PERIODE 2 SEPTEMBER – 9 NOVEMBER 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................1


DAFTAR ISI ..........................................................................................................2
BAB I STATUS PASIEN ......................................................................................3
Identitas ....................................................................................................................3
Anamnesis ................................................................................................................3
Pemeriksaan Fisik ....................................................................................................4
Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................................7
Resume ...................................................................................................................10
Diagnosis Kerja ......................................................................................................10
Tata Laksana ..........................................................................................................10
Follow-up ...............................................................................................................11
Prognosis ................................................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................13
2.1 Definisi ............................................................................................................13
2.3 Epidemiologi ...................................................................................................13
2.4 Klasifikasi .......................................................................................................14
2.5 Etiologi ............................................................................................................16
2.5 Faktor Risiko ..................................................................................................17
2.6 Patogenesis ..................................................................................................... 22
2.7 Manifestasi Klinis .......................................................................................... 29
2.8 Diagnosis .........................................................................................................30
Diagnosis Banding .................................................................................................36
2.10 Tata Laksana .................................................................................................38
2.11 Komplikasi ....................................................................................................48
2.12 Pencegahan ...................................................................................................48
2.13 Prognosis .......................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................49

2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 39 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Raya Tengah 8/8
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk RS : 3-10-2019 pukul 23.55
Ruangan : Parkit I
Tanggal pemeriksaan : 7 Oktober 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
Keluhan Tambahan
Demam (+), mual (+), muntah (+), batuk berdarah (+), sesak nafas (+), mengi (+),
berat badan menurun (-), nyeri perut (-), nyeri kepala (-)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 3 oktober 2019 pukul 23.55 WIB
dengan keluhan sesak nafas. Keluhan mulai dirasakan 1 minggu SMRS disertai
dengan suara mengi dan terus memberat hingga pasien pingsan saat bekerja.
Keluhan disertai dengan nyeri dada apabila pasien menarik nafas. Pasien juga
mengalami keringat dingin dan batuk berdahak berupa darah 1x, selanjutnya dahak
berwarna bening, batuk muncul apabila pasien meminum minuman es/dingin.
Pasien juga merasakan mual dan sempat mengalami muntah 2 hari sebelumnya.
Pasien mengaku nafsu makannya menurun karena mual. Tidak ada penurunan berat
badan. BAB dan BAK dalam batas normal. Terdapat keluhan serupa pada putra
pasien yaitu sesak. Pasien mengaku memiliki riwayat alergi dingin, dan sering
bersin-bersin pada pagi hari. Pasien memiliki riwayat merokok sejak SMP, namun

3
sekarang sudah dikurangi menjadi 1 bungkus per hari. Pasien bekerja sebagai supir
ojek online yang sering terpapar debu, pasien mengaku selalu menggunakan masker
saat berkendara.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Asma (+)
 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Kolesterol (-)
 Riwayat Jantung (-)
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
 Riwayat Trauma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Putra pasien memiliki keluhan serupa, yaitu sesak nafas yang kambuh-kambuhan.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mempunyai riwayat pengobatan.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien bekerja sebagai supir ojek online yang sering terpapar debu. Pasien mengaku
selalu menggunakan masker saat berkendara. Pasien merupakan perokok sejak
SMP, kurang lebih 1 bungkus per hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran / GCS : Compos mentis / E4V5M6
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 90 kali per menit
Pernapasan : 22 kali per menit
Suhu : 37,3℃
Tinggi badan : 165 cm
Berat Badan : 54 kg
Status Gizi (IMT) : 19,8 kg/m2 (Normal weight)

4
STATUS GENERALIS
Kepala
 Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
 Kulit : Tidak ada kelainan
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Bentuk normal, simetris
 Hidung : Bentuk normal, tidak deviasi, tidak ada pernapasan cuping
hidung

Thorax Depan
Bentuk normal, tidak ada retraksi, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis.

Thorax Belakang
 Inspeksi : Ekspansi dada seimbang bilateral
 Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil N/N, fremitus vokal N/N
 Perkusi : Batas bawah kanan Th XI, batas bawah kiri Th IX
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonkhi -/-

Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra.
Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada dan bentuk dada simetris kanan
dan kiri.
 Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri simetris, nyeri

5
tekan (-), edema (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
 Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Nyeri tekan (+) pada epigastrium, defans muscular (-),
ascites (-), massa (-)
 Perkusi : Shifting dullness (-)

Ekstremitas
 Superior : Edema (-/-), sianosis (-), akral hangat, deformitas (-), capillary
refill time < 2 detik
 Inferior : Edema (-/-), sianosis (-), akral hangat, deformitas (-), capillary
refill time < 2 detik

6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi (Tanggal 04-10-2019)


00:14:17
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 14,7 13-16 g/dl
Leukosit 9.000 5.000-10.000 /ul
Hematokrit 43 40-48 %
Trombosit 231.000 150.000-400.000 /ul
HEMATOLOGI (Tanggal 04-10-2019)
06:06:52
Hemoglobin 13,8 13-16 g/dl
Leukosit 9.100 5.000-10.000 /ul
Laju Endap Darah 18* <15 mm/jam
(LED)
Hitung Jenis
Leukosit
 Basofil 0 0-1 %
 Eosinophil 7* 1-3 %
 Batang 0 2-6 %
 Segmen 62 50-70 %
 Limfosit 25 20-40 %
 Monosit 6 2-8 %
KIMIA KLINIK (Tanggal 04-10-2019)
06:06:52
SGOT 12,1 <37 U/L
SGPT 8,7 <40 U/L
Ureum 25 10-50 mg/dl
Creatinine 1,0 0,5-1,5 mg/dl
Estimasi GFR 94 ≥94 ml/min/1,73m2

7
Glukosa Darah 75 <200 mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
 Natrium 141 135-145 mmol/l
 Kalium 4,2 3,5-5,0 mmol/l
 Chlorida 109* 98-108 mmol/l

8
Pemeriksaan Rontgen Toraks

Kesimpulan :
 Jantung ukuran tidak membesar
 Kedua sinus costophrenicus tampak lancip
 Diafragma tampak licin, melengkung
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Infiltrat di perihiler kanan

9
 Kesan: Bronkopneumonia

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 3 oktober 2019 pukul
23.55 WIB dengan keluhan sesak nafas. Keluhan mulai dirasakan 1 minggu
SMRS disertai dengan suara mengi dan terus memberat hingga pasien pingsan
saat bekerja. Keluhan disertai dengan nyeri dada. Pasien juga mengalami
keringat dingin dan batuk berdahak berupa darah 1x, selanjutnya dahak
berwarna bening. Pasien juga merasakan mual dan sempat mengalami muntah
2 hari sebelumnya. Pasien mengaku nafsu makannya menurun. Terdapat
keluhan serupa pada putra pasien yaitu sesak yang kambuhan. Pasien mengaku
memiliki riwayat alergi dan sering bersin-bersin pada pagi hari. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak SMP 1 bungkus per hari. Pasien bekerja sebagai supir
ojek online yang sering terpapar debu, pasien mengaku selalu menggunakan
masker saat berkendara. Pemeriksaan fisik yang dilakukan di hari ke-3 dalam
batas normal. Pada pemeriksaan rontgen tampak infiltrat di perihiler dekstra.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis kerja : Asma bronkial

VII. PENATALAKSANAAN

Tata Laksana dari IGD RS POLRI Tanggal 03/10/2019

 IVFD RL 20 tpm
 O2 nasal 3 liter/menit
 Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
 NAC tab 3x200 mg
 Paracetamol tab 3x500 mg
 Transamin tab 3x500 mg
 Combivent inhalasi/6 jam
 Pulmicort inhalasi/8 jam

10
VIII. FOLLOW-UP
Senin, 07-10-2019
S Keluhan (-)
O KU : sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Nadi : 81 x/m
RR : 19 x/m
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Suhu : 36,2 0C
A Asma bronkial
P  IVFD RL 20 tpm
 Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
 Inj. Transamin 3x500 mg
 NAC cap 3x200 mg
 Paracetamol tab 3x500 mg
 Combivent inhalasi/6 jam
 Pulmicort inhalasi/8 jam
 Cefixime cap 2x200 mg

Selasa, 08-10-2019
S Keluhan (-)
O KU : sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Nadi : 87 x/m
RR : 21 x/m
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Suhu : 36,7 0C
A Asma bronkial

11
P  IVFD RL 20 tpm
 Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
 Inj. Transamin 3x500 mg
 NAC cap 3x200 mg
 Paracetamol tab 3x500 mg
 Combivent inhalasi/6 jam
 Pulmicort inhalasi/8 jam
 Cefixime cap 2x200 mg

IX. PROGNOSIS
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Asma menyebabkan gejala seperti mengi, sesak napas, nyeri dada dan
batuk yang bervariasi frekuensi dan intensitasnya. Gejala ini dihubungkan dengan
gangguan aliran udara saat ekspirasi, akibat bronkokonstriksi, pembengkakan dan
timbulnya mukus. 2
Asma adalah penyakit kronis yang ditandai dengan serangan berulang
sesak napas dan mengi, yang bervariasi dalam tingkat keparahan dan frekuensi dari
orang ke orang. Gejala dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau seminggu pada
individu yang terkena, dan bagi sebagian orang menjadi lebih buruk selama
aktivitas fisik atau di malam hari.2
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disabilitas
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan
kualitas hidup.1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Asma adalah salah satu penyakit non-communicable utama. Asma adalah
penyakit kronis dimana terjadinya penyempitan pada saluran udara paru-paru.
Sekitar 235 juta orang saat ini menderita asma. Asma merupakan penyakit umum

13
di kalangan anak-anak. Sebagian besar kematian terkait asma terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Menurut perkiraan WHO terbaru,
yang dirilis pada Desember 2016, ada 383.000 kematian akibat asma pada 2015.
Faktor risiko terkuat pada asma adalah zat dan partikel yang dihirup yang dapat
memicu reaksi alergi atau mengiritasi saluran nafas. Asma dapat dikendalikan
dengan obat. Menghindari pemicu asma juga dapat mengurangi keparahan asma.
Penatalaksanaan asma yang tepat memungkinkan seseorang memiliki kualitas
hidup yang baik.3
Berdasarkan Riskesdas pada tahun 2018, didapatkan prevalensi asma yang
meningkat berdasarkan usia. Pada usia <1 tahun sebanyak 0,4%, pada usia 35-44
tahun sebanyak 2,3%, hingga pada usia >75 tahun sebanyak 5,1%. Dengan
prevalensi perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki dan prevalensi di
perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan.4
2.3 KLASIFIKASI 1
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (Tabel 1). Pada
umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat.
Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena
itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2 menunjukkan bagaimana
melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila
pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka
derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan
asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka
sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian
pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten
berat dan asma intermiten (lihat tabel 2). Penderita yang gambaran klinis

14
menunjukkan asma persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang
dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain penderita
tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula penderita dengan gambaran
klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermiten,
maka derajat asma adalah intermiten.

Tabel 1. Klasifikasi asma sebelum pengobatan

15
Tabel 2. Klasifikasi asma saat pengobatan
2.4 ETIOLOGI 5
Eksaserbasi asma biasanya dapat terjadi karena satu penyebab tetapi lebih
sering disebabkan oleh karena penyebab campuran yang membawa ke jalur
inflamasi kompleks dan menginduksi obstruksi saluran napas. Eksaserbasi asma
biasanya terkait dengan infeksi virus, paparan alergen, dan peran infeksi bakteri
atipikal. Eksaserbasi ditandai oleh peradangan saluran napas, yang dapat berbeda
jenisnya tergantung apakah penyebabnya alergi atau infeksi.
Diperkirakan 80% eksaserbasi berkaitan dengan infeksi virus, terutama
infeksi rhinovirus. Pada pasien dengan eksaserbasi karena infeksi virus, akan
didapatkan peningkatan gejala saluran napas bawah, penurunan fungsi paru dan
peningkatan bronchial hyperresponsiveness. Peran infeksi bakteri pada eksaserbasi

16
asma belum begitu jelas jika dibandingkan dengan infeksi virus. Studi terbaru
memperkirakan penderita asma memiliki kerentanan terhadap infeksi bakteri.
Paparan terhadap alergen telah dikatikan dengan kematian mendadak
akibat asma. Paparan kepada jamur Alternaria memiliki risiko 200 kali lipat gagal
napas pada penderita asma. Tungau debu rumah, kucing dan kecoa merupakan
faktor risiko pengobatan gawat darurat. Sensitisasi terhadap serbuk sari juga terkait
dengan eksaserbasi asma yang epidemis. Eksaserbasi yang dipicu oleh alergen
ditandai dengan inflamasi saluran napas oleh eosinofil5.

2.5 FAKTOR RISIKO 1


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
 baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.

17
Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktivitas bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktivitas bronkus, alergik/ atopi,
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam
patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor
agonis beta2, GSTP1, dan gen-gen yang terlibat.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi, Kromosom 11,12,13 memiliki
berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik

18
dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode
IFN-γ, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide
synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-
petanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Tabel 3. Faktor Risiko pada asma
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen di dalam ruangan
 mite domestik
 alergen binatang
 alergen kecoa
 jamur (fungim molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
 tepung sari bunga
 jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
 perokok aktif
 perokok pasif
Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas

19
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan
sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan
dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang
mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF. Interleukin-4
sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel
Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang
mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma
dan atopi.
Faktor Lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah
penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya
mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan
mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.

2.6 PATOGENESIS1
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi

20
dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik,
asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi
sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin
dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL- 3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-
4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13
menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan
pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul
adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.

21
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya
masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara
lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,
aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang
mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic
protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin
(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-
5 dan GM-CSF.

22
Gambar 2. Inflamasi dan remodelling pada asma

23
Gambar 3. Mekanisme inflamasi akut dan kronis pada asma, dan proses
remodelling

Gambar 4. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronis dan airway


remodelling

24
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain
leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi,
makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui
a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.

AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan
yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan
yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar.
Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway
remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit
jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan
struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan
kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel- sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

25
• Penebalan membran reticular basal
• Pembuluh darah meningkat
• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
• Perubahan struktur parenkim
• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 5. Perubahan struktur pada airway remodelling dan konsekuensi


klinis
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena
sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan
napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari
proses tersebut.
Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya
Airway remodeling
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun
perburukan asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan

26
lingkungan yang beraksi pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya
asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami
terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti
lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti
akibat pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi
dari epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan
remodeling.
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel
menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan
profibrogenic growth factors terutama TGF-β dan familinya (fibroblast growth
factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet- derived growth factor, dan
sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator tersebut,
TGF-β adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial,
sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel
endotel. TGF-β dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel
dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel
mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas
mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang
tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan
remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan
remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan
kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.
Teori TH-2 dan EMTU
Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada
asma serta tidak cukupnya sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling
tersebut dan percobaan binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan
pemikiran baru pada patogenesis asma
Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme
Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-
13, Il-4) yang dianggap berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi
dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin

27
proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi
.interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat
menjelaskan terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu
postulat bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama
dalam menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi
miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik
asma kronik.

Gambar 6. Interaksi TH-2 dan EMTU pada patogenesis asma


2.7 MANIFESTASI KLINIS6

Gejala
Batuk Batuk yang meningkat dapat menjadi gejala
utama dari serangan asma
Mengi/wheezing Perburukan yang progresif dapat terlihat pada
eksaserbasi asm

28
Shortness of breath Perburukam progresif, pasien asma tanpa
wheezing merupakan tanda akan terjadinya gagal
napas
Sesak di dada Disebabkan karena terdapat aliran udara yang
tidak lancar
Gangguan tidur Bangun di malam hari merupakan tanda asma
yang tidak terkontrol
Penggunaan otot Penggunaan otot tambaham termasuk skalene,
tambahan parasternal dan sternokleidomastoideus saat
bernapas merupakan tanda dari distress
pernapasan
Takipneu Merupakan tanda dari obstruksi aliran udara
Takikardi Nadi < 100x /menit menandakan eksaserbasi
ringan, 100-120 x/menit menandakan eksaserbasi
sedang dan >120 x/menit menandakan
eksaserbasi berat
Wheezing terdengar pada lapang paru, wheezing merupakan
tanda dari obstruksi aliran udara, pada kasus berat
wheezing mungkin tidak terdengar.
Sulit berbicara Merupakan akibat dari dispneu, menunjukkan
terdapatnya obstruksi aliran udara yang berat dan
merupakan salah satu resiko terjadinya gagal
napas.

2.8 DIAGNOSIS
a. Anamnesis1
Untuk mendiagnosa asma, riwayat yang harus ditanyakan antara lain:
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

29
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.1
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya, sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
- Obstruksi jalan napas
- Reversibilitas kelainan faal paru
- Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas.
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur

30
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1 <80%
nilai prediksi1. 60-80% menandakan asma sedang, < 60% menandakan asma berat3.
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh dengan pemeriksaan spirometri atau yang lebih
sederhana dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia diberbagai tingkat
layanan kesehatan.
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
- Reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabilitas APE
harian selama 1-2 minggu.Variabilitas juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan
nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai
terbaik pasien yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabilitas APE harian :
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
• Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai
APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam − APE pagi
Variabilitas harian = 1 𝑥 100%
(APE malam + APE pagi)
2

31
• Metode lain untuk menetapkan variabilitas APE adalah nilai terendah APE
pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :

Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan
didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka
persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%.
Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai
variabilitas.1
Pada pasien dengan gejala respirasi yang biasa, pengumpulan bukti dari
varibilitas pada ekspirasi fungsi paru adalah penting untuk komponen diagnosis
asma. Contoh spesifiknya adalah:4
• Peningkatan pada fungsi paru setelah pemakaian bronkodilator atau setelah
melakukan percobaan terapi controller
• Penurunan dari fungsi paru setelah beraktivitas atau saat pemeriksaan
provokasi bronchial.\
• Variasi dari fungsi paru melebih batas normal saat dilakukan pemeriksaan
ulang, saat kunjungan maupun observasi di rumah, untuk paling tidak selama
1-2 minggu.

32
DIAGNOSTIC FEATURE CRITERIA FOR MAKING THE DIAGNOSIS OF
ASTHMA

1. Riwayat variabel dari gejala sistem respirasi


• Secara keseluruhan muncul satu
atau lebih gejala sistem respirasi
• Gejalanya bervariasi dari waktu dan
intesistasnya
Wheezing/mengi, nafas pendek, rasa sesak di
• Gejala lebih parah saat malam hari
dada, dan batuk. Deskripsi bisa bermacam-
atau berjalan
macam tergantung dari suku, usia, misal pada
• Gejala biasanya dicetuskan oleh
anak biasanya terjadi sesak nafas.
aktivitas, tertawa, alergen dan udara
dingin
• Gejala biasnaya timbul atau lebih
parah dengan adanya infeksi virus
2. Confirmed variable expiratory airflow limitation
Didokumentasikan macam-macam variable Semakin banyak variasinya, semakin pasti
pada fungsi paru DAN pada pembatasan udara diagnosisnya
ekspirasi (satu atau lebih pemeriksaan Saat FEV1 dikurangi, artinya FEV1/FVC
dibawah ini): berkurang (biasanya >0.75–0.80 ppada
- Positive bronchodilator (BD) reversibility dewasa, >0.90 pada anak)
test (tes akan positif apabila pengobatan Dewasa: Peningkatanan FEV1 >12% dan
bronkodilator tidak diberikan sebelum >200 mL dari batas, 10–15 menit setelah
pemeriksaan: SABA ≥4 jam, LABA ≥15 pemberian 200–400 mcg albuterol atau
- Variabel dalam twice-daily PEF selama 2 sama dengan (lebih baik apabila kenaikan
minggu: >15% dan >400 mL).Anak: diprediksikan
Peningkatan yang signifikan pada fungsi paru kenaikan FEV1 >12%
setelah 4 minggu penggunaan terapi anti- Dewasa: rerata variabilitas harian diurnal
inflamasi PEF >10%, Anak: rerata variabilitas harian
Hasil positif pada pemeriksaan: diurnal PEF >13%**

33
-- Hasil positif pada bronchial challenge test Dewasa: Kenaikan pada FEV1 >12% dan
(hanya dilakukan pada orang dewasa) >200 mL (atau kenaikan PEF† >20%) dari
Perubahan variabel pada fungsi paru pada batas setelah 4 minggu pengobatan, diluar
setiap kunjungan (kurang dapat diandalkan) pengobatan untuk infeksi saluran nafas
Dewasa: penurunan pada FEV1 >10% dan
>200 mL dari batas, Anak: diprediksikan
penurunan pada FEV1 >12% atau
penurunan PEF >15%
Penurunan FEV1 dari batas ≥20% dengan
standar dosis dari atau histamine, or ≥15%
dengan hiperventilasi yang distandarkan, ca
iran hipertonik, atau pemberian mannitol
Dewasa: variasi pada FEV1 >12% dan
>200 mL diantara kunjungan, diluar infeksi
saluran, Anak: variasi pada FEV1>12%
atau >15% pada PEF saat diantara
kunjungan (bisa mencakup infeksi saluran
nafas)
2. Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen diukur dengan oksimetri, SaO2 > 95% menandakan asma
ringan, 91-95% menandakan asma sedang, <90% menandakan asma berat5.
3. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang
tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut
asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.
4. Pengukuran Status Alergi

34
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus
sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-
lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/
atopi.

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Dewasa
1. Disfungsi pita suara atau obstruksi laring yang diinduksi (ILO)
2. Lesi trakea dan bronkial
3. Benda asing
4. Migrain paru
5. Gagal jantung kongestif
6. Panbronchiolitis difus
7. Anomali arcus orta
8. Penyakit sinus
9. Refluks gastroesofagus6
Anak
1. Rhinosinusitis
2. Refluks gastroesofageal
3. Infeksi respiratorik bawah iral berulang
4. Dysplasia bronkopulmoner
5. Tuberculosis

35
6. Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respratorik
intratorakal
7. Aspirasi benda asing
8. Sindrom dyskinesia silier primer
9. Defisiensi imun
10. Penyakit jantung bawaan8

2.10 TATALAKASANA
Tujuan manajemen asma:
1. Mencapai dan pertahankan kontrol gejala asma
2. Pertahankan tingkat aktivitas normal, termasuk olahraga
3. Pertahankan fungsi paru sedekat mungkin dengan normal
4. Cegah eksaserbasi asma
5. Hindari efek buruk dari obat asma
6. Mencegah kematian yang disebabkan oleh asma

Menilai Kontrol Gejala Asma


Gejala-gejala asma seperti mengi, sesak dada, sesak napas dan batuk
biasanya bervariasi dalam frekuensi dan intensitas, dan berkontribusi pada beban
asma bagi pasien. Kontrol gejala yang buruk juga sangat terkait dengan peningkatan
risiko eksaserbasi asma. Kontrol gejala asma harus dinilai pada setiap kesempatan,
termasuk selama peresepan atau pengeluaran rutin. Pertanyaan langsung adalah
penting, karena frekuensi atau keparahan gejala yang dianggap tidak dapat diterima
pasien atau mengganggu dapat berbeda dari rekomendasi saat ini tentang tujuan
pengobatan asma, dan berbeda dari pasien ke pasien. Sebagai contoh, meskipun
memiliki fungsi paru-paru rendah, seseorang dengan gaya hidup yang tidak
bergerak mungkin tidak mengalami gejala yang mengganggu dan mungkin
memiliki kontrol gejala yang baik. Untuk menilai pengendalian gejala tanyakan hal-
hal berikut dalam empat minggu terakhir: frekuensi gejala asma (hari per minggu),
setiap malam terbangun karena asma atau keterbatasan aktivitas, dan frekuensi b2-
agonis kerja pendek (SABA) pereda penggunaan untuk menghilangkan gejala.

36
Secara umum, jangan menyertakan pereda yang diminum sebelum berolahraga,
karena ini seringkali rutin.2

Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten.

1. Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
2. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks
terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada
steroid oral jangka panjang.

3. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

37
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
4. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
5. Beta 2 agonis kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat Salmeterol
6. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

38
B. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan
napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:
1. Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan
terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asthma
2. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
3. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
4. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau
dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring). 8

Cara pemberian pengobatan

39
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
pengobatan langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah.
 Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
 Efek sistemik minimal atau dihindarkan
 Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.8

Tatalaksana berdasarkan derajat keparahan asma


1. Langkah 1 untuk asma intermiten adalah sebagai berikut:
 Obat pengontrol tidak diindikasikan
 Obat pereda adalah beta-agonis kerja pendek (SABA) yang diperlukan
untuk gejala
2. Langkah 2 untuk asma persisten ringan adalah sebagai berikut:
 Obat pengendali yang disukai adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah
 Alternatif lainnya termasuk kromolin, antagonis reseptor leukotrien
(LTRA), atau teofilin lepas lambat
3. Langkah 3 untuk asma persisten sedang adalah sebagai berikut:
 Obat pengendali yang diutamakan adalah kortikosteroid inhalasi dosis
rendah (ICS) ditambah beta-agonis kerja lama (LABA) (obat kombinasi
pilihan pilihan untuk meningkatkan kepatuhan)
 Alternatif lain termasuk ICS dosis rendah ditambah LTRA atau teofilin
4. Langkah 4 untuk asma persisten yang parah adalah sebagai berikut:
 Obat pengendali yang disukai adalah kortikosteroid dosis tinggi yang
dihirup plus LABA
 Alternative lain yaitu kortikosteroid oral, LABA, serta teofilin8

Pedoman GINA 2019 mencakup rekomendasi bertahap berikut untuk


pengobatan dan pengendalian gejala:

40
 Langkah 1: SABA sesuai kebutuhan tanpa pengontrol; pilihan lain adalah
mempertimbangkan ICS dosis rendah untuk pasien dengan risiko eksaserbasi
 Langkah 2: ICS dosis rendah reguler ditambah SABA sesuai kebutuhan;
Pilihan lain adalah LTRA atau theophilin
 Langkah 3: ICS / LABA dosis rendah ditambah SABA atau ICS / perawatan
formoterol dan terapi pereda yang diperlukan; pilihan lain adalah ICS dosis
menengah atau ICS / LABA dosis rendah
 Langkah 4: Perawatan ICS / formoterol dosis rendah dan terapi pereda atau ICS
/ LABA dosis menengah sebagai perawatan ditambah SABA sesuai kebutuhan;
tiotropium tambahan untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi; pilihan lain
adalah ICS / LTRA dosis tinggi atau teofilin pelepasan lambat; lihat untuk
penilaian ahli dan saran
 Langkah 5: Rujuk untuk penyelidikan ahli dan perawatan tambahan; perawatan
tambahan termasuk tiotropium dengan inhaler kabut untuk pasien dengan
riwayat eksaserbasi, omalizumab untuk asma alergi parah, dan mepolizumab
untuk asma eosinofilik berat; pilihan lain adalah bahwa beberapa pasien dapat
mengambil manfaat dari kortikosteroid oral dosis rendah tetapi efek samping
sistemik jangka panjang terjadi2

Tatalaksana saat serangan di rumah

41
Penatalaksanaan di Rumah sakit
Serangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan bantuan
medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/
gawat darurat.
1. Penilaian
Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam
pengobatan/ tindakan. Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang

42
telah digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/
pencetus serangan saat itu, danada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan
keadaan fatal/ kematian yaitu:
 Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis
 Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu
tahun terakhir
 Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol atau ekivalennya
 Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk
penggunaan sedasi
 Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.
2. Pemeriksaan fisis dan penilaian fungsi paru
Dinilai berdasarkan gambaran klinis penderita (lihat klasifikasi berat
serangan). Pada fasiliti layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan sumber
daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada posisi penderita, cara
bicara, frekuensi napas, nadi, ada tidak mengi dan bila dianjurkan penilaian fungsi
paru yaitu APE. Pada serangan asma, VEP1atau APE sebaiknya diperiksa sebelum
pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemantauan saturasi oksigen
sebaiknya dilakukan terutama pada penderita anak, karena sulitnya melakukan
pemeriksaan APE/ VEP1pada anak dan saturasi O292 % adalah prediktor yang baik
yang menunjukkan kebutuhan perawatan di rumah sakit. Pemeriksaan analisis gas
darah, tidak rutin dilakukan, tetapi sebaiknya dilakukan pada penderita dengan APE
30-50% prediksi/ nilai terbaik, atau tidak respons dengan pengobatan awal, dan
penderita yang membutuhkan perawatan. Demikian pula dengan pemeriksaan foto
toraks, tidak rutin dlakukan, kecuali pada keadaan penderita dengan komplikasi
proses kardiopulmoner (pneumonia, pneumomediastinum, pneumotoraks, gagal
jantung, dan sebagainya), penderita yang membutuhkan perawatan dan penderita
yang tidak respons dengan pengobatan.
3. Pengobatan
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan
akut.

43
a. Oksigen:Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar
saturasi oksigen 90% dan dipantau dengan oksimetri.
b. Agonis beta-2:Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan
IDT dan spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara
nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan
waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat
c. Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan
d. Antibiotik. Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum
purulen dan demam.
e. Lain-lain. Mukolitik tidak menunjukkan manfaat berarti pada serangan asma,
bahkan memperburuk batuk dan obstruksi jalan napas pada serangan asma
berat. Sedasi sebaiknya dihindarkan karena berpotensi menimbulkan depresi
napas. Antihistamin dan terapi fisis dada (fisioterapi) tidak berperan banyak
pada serangan asma. 8

Kriteria pulang atau rawat inap


Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat
inap) pada penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons
pengobatan baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian
fungsi,pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah:
 Penderita dirawat inap bila VEP1atau APE sebelum pengobatan awal < 25%
nilai terbaik/ prediksi; atau VEP1/APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah
pengobatan awal diberikan
 Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai
terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut
adekuat dan kepatuhan berobat.
 Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60%
nilai terbaik/ prediksi, umumnya dapat dipulangkan8

44
Kriteria perawatan intensif/ ICU :
 Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuat
 Penurunan kesadaran, gelisah
 Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2< 60 mmHg dan atau
PaCO2> 45 mmHg, saturasi O290% pada penderita anak. Gagal napas dapat
terjadi dengan PaCO2rendah atau meningkat.Intubasi dan Ventilasi
mekanisIntubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan
pengobatan optimal, penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2meningkat
terus. Tidak ada kriteria absolut untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai
pengalaman dan ketrampilan dokter dalam penanganan masalah pernapasan.
Penanganan umum penderita dalam ventilasi mekanis secara umum adalah
sama dengan penderita tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian adekuat
oksigenasi, bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik.8

45
46
2.11 KOMPLIKASI
1. Pneumonia (infeksi paru-paru)
2. Kolaps paru (sebagian atau seluruh)
3. Gagal pernafasan, disebabkan oleh kadar oksigen dalam darah menjadi sangat
rendah, atau kadar karbon dioksida dalam darah menjadi sangat tinggi
4. Status asmatikus (serangan asma berat yang tidak respon dalam pengobatan)6

47
2.12 PENCEGAHAN7
1. Identifikasi pemicu
2. Hindari alelergen
3. Hindari asap dan asap rokok
4. Cegah flu
5. Lingkungan bebas allergen
6. Vaksinasi
7. Terapi adekuat
2.13 PROGNOSIS
Kematian asma di dunia dilaporkan mencapai 0,86 kematian per 100.000
orang di beberapa negara. Angka kematian asma di AS pada tahun 2009 dilaporkan
1 kematian per 100.000 orang. Kematian terutama terkait dengan fungsi paru-paru,
dengan peningkatan 8 kali lipat pada pasien di kuartil terendah, tetapi kematian juga
dikaitkan dengan kegagalan manajemen asma, terutama pada orang muda. Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kematian termasuk usia lebih tua dari 40 tahun,
merokok lebih dari 20 bungkus-tahun, eosinofilia darah, volume ekspirasi paksa
dalam satu detik (FEV1) diprediksi 40-69%, dan reversibilitas yang lebih besar.
Hampir setengah dari anak-anak yang didiagnosis menderita asma akan
mengalami penurunan gejala dan membutuhkan perawatan yang lebih sedikit pada
akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Dalam sebuah penelitian terhadap 900
anak-anak dengan asma, 6% tidak memerlukan pengobatan setelah 1 tahun, dan
39% hanya membutuhkan perawatan intermiten.
Pasien dengan asma yang tidak terkontrol mengembangkan perubahan
jangka panjang dari waktu ke waktu (yaitu, dengan renovasi saluran napas). Ini
dapat menyebabkan gejala kronis dan komponen ireversibel yang signifikan
terhadap penyakit mereka. Banyak pasien yang menderita asma pada usia yang
lebih tua juga cenderung memiliki gejala kronis.6

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia
2. GINA. 2019. Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2019
update). http://ginasthma.org [cited Ocober 8th , 2019]
3. World Health Organization (WHO). 2017. Asthma.
https://www.who.int/respiratory/asthma/en/ [cited October 8th, 2019]
4. Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
5. Marjumdar, Sourav. 2019. Acute asthma exacerbation in adults.
(https://online.epocrates.com/diseases/4511/Acute-asthma-exacerbation-in-
adults/Key-Highlights diakses: 8 Oktober 2019)
6. Lommatzsch, M dan J Christian Virchow. 2014. Severe Asthma: Definition,
Diagnosis and Treatment. Deutsches Ärzteblatt International.
7. Morris MJ, 2019. Asthma. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#a7
8. Brennan D. 2019. Prevention of Asthma.
https://www.webmd.com/asthma/guide/asthma-prevention#3
9. PDPI. 2006. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

49

Anda mungkin juga menyukai