Anda di halaman 1dari 29

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN

TATALAKSANA ANEMIA

Disusun oleh:
Faradila Niaoctaviani
(1102015071)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD ARJAWINANGUN – KABUPATEN CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 2 SEPTEMBER – 9 NOVEMBER 2019
ANEMIA

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai terutama di daerah


berkembang. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup. Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan
hitung eritrosit.

Tabel 1. Kriteria Anemia Menurut WHO sesuai dengan kelompok umur dan jenis
kelamin tahun 2014

Kelompok Batas Normal Hb


Anak 6 bulan – 59 bulan < 11 g/dl
Anak 5 tahun – 11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12 tahun – 14 tahun < 12 g/dl
Laki – laki dewasa (15 tahun keatas) <13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil (15 tahun keatas) < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam


penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena 1). Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3).
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis :

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoetik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal
kronik

B. Anemia akibat hemoragi


1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakopsular
- Gangguan membran eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : defisiensi G6PD
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll.
2. Anemia hemolitik ekstrakopsular
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopati
- lain – lain

D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat dengan berdasarkan gambaran
morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi
ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:

Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit


Golongan Indeks MCV Indeks MCH
Anemia hipokromik mikrositer < 80 fl < 27 pg
Anemia normokromik normositer 80 – 95 fl 27 – 34 pg
Anemia makrositer > 95 fl

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dala
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.

1. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia mayor
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik

2. Anemia Anemia normokromik normositer


a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia pada gagal ginjal kronik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
f. Anemia hemolitik didapat
g. Anemia pada keganasan hematologi

3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12; termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non – megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik

Gejala umum anemia (sindrom anemia) terdiri atas rasa lemah, lesu, cepat
lelah, telinga berdenging (tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin,
sesak napas dan dispepsia. Gejala ini timbul hampir pada setiap kasus anemia, apapun
penyebabnya dikarenakan 1). Anoksia organ ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun di
bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada a).Derajat
penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c).Usia; d). Adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibaawah kuku. Adapun gejala khas pada
masing masing anemia sebagai contoh :

- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (Koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, hepatomegali.
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda – tanda infeksi.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada
kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia tetap memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan untuk diagnosis anemia

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis


anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari :
a. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut

b. Pemeriksaan darah seri anemia


Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic
hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

c. Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelaianan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid, seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
d. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus misalnya :
o Anemia defisiensi besi: Serum iron, TIBC (total iron binding
capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s
stain).
o Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling
o Anemiahemolitik: bilirubin serum, tes coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain – lain.
o Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang

Pendekatan diagnosis dengan cara menggabungkan hasil penilaian klinis dan


laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan keterampilan
klinis yang cukup.
Algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan penilaian klinis dan laboratorik

Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis anemia


Gambar 2. Algoritma pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik
mikrositer
Gambar 3. Algoritma pendekatan pasien dengan anemia normokromik normositer
Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositer
PRINSIP TERAPI

Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan 


2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien 


Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah: 


1. Terapi untuk mengatasi keadaan gawat darurat.


Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik. Pada kasus anemia dengan payah jantung atau
ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi
sel darah merah yang dimampatkan (packed red cell) untuk mencegah perburukan
payah jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, spesimen untuk pemeriksaan yang
dipengaruhi oleh transfusi harus diambil terlebih dahulu, seperti apusan darah tepi,
bahan pemerikssan besi serum, dan lain-lain.


2. Terapi khas untuk masing-masing anemia.


Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya, preparat besi untuk
anemia defisiensi besi. Pengobatan untuk anemia defisiensi besi: 1) besi per-oral:
sediaan terbaik adalah sulfas ferofus yang murah, mengandung 67 mg besi dalam
setiap tablet 200 mg dan diberikan pada keadaan perut kosong dalam dosis yang
berjarak sedikitnya 6 jam. Terapi ini diberikan cukup lama biasanya sekitar 6 bulan.
Kadar hemoglobin harus meningkat dengan kecepatan 2g/dL tiap 3 minggu. 2) besi
parenteral: ferri hidroksida-sukrosa diberikan melalui injeksi intravena lambat atau
infus, biasanya 200 mg besi dalam tiap infusan. Besi dekstran dapat diberikan sebagai
injeksi intravena lambat atau infus baik dalam dosis-dosis tunggal kecil atau sebagai
infus dosis total yang diberikan dalam satu hari. Pada anemia defisiensi asam folat
diberikan asam folat per-oral dengan dosis 5 mg/hari selama 4 bulan.

3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar



Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika tidak,
anemia akan kambuh kembali. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
infeksi cacing tambang harus diberikan obat cacing tambang.

4. Terapi ex juvantivus


Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini penderita
harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik terapi diteruskan, tetapi

jika tidak terdapat respon maka harus dilakukan evaluasi kembali.


ANEMIA DEFISIENSI BESI

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat


berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial
berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastik
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang
menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis
anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolisme besi.

Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :


1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat.
Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin
dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan
pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali
dan masa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.

b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan
darah lewat menstruasi.

2. Kurangnya besi yang diserap


a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat


Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi
selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekurangan
besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih
mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula. Diperkirakan
sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi
yang dapat diabsropsi.Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada
ASI lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.

b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung
dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan
besi heme dan non heme.


3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya ADB.
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1
ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2
mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat
anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari
pembuluh darah submukosa usus.


4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.


5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-rata
1,8 – 7,8 mg/hari.

6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB


7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis


Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat
dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.


Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang.

a. Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.

b. Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte
porphrin (FEP) meningkat.

c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada
ADB yang lebih lanjut.
Tabel 3. Tahapan kekurangan besi
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Hb <100 0 0

Fe Serum Normal <60 <40

TIBC 360 – 390 >390 >410

Saturasi transferin 20 – 30 <15 <!0

Feritin serum <20 <12 <12

Sideroblas 40 – 60 <10 <10

FEP >30 >100 >200

MCV Normal Normal Menurun

Gejala khas defisiensi besi :


- Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris – garis
vertical dan menjadi cekung
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilat karena papil
lidah menghilang
- Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya peradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
- Pica: keinginan makan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dll.
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala
klinis yang sering tidak khas.Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk
menentukan ADBKriteria diagnosis ADB menurut WHO:

5. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia 



6. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%) 

7. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl) 

8. Saturasi transferin <15 % (N ; 20 – 50%) 


Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

1. Anemia hipokrom mikrositik 



2. Saturasi transferin <16% 

3. Nilai FEP >100 ug/dl 

4. Kadar feritin serum <12 ug/dl 


Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP
harus dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:

1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun. 

2. Red cell distribution width (RDW) > 17% 

3. FEP meningkat 

4. Feritin serum menurun 

5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10% 

6. Respon terhadap pemberian preparat besi 


a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian besi


b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV mengkat
1% / hari.

7. Sumsum tulang

a. Tertundanya maturasi sitoplasma 



b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang 

Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan
melihat respons hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat
mudah, praktis, sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi
menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3
– 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 mg/dl maka dapat dipastikan bahwa
yang bersangkutan menderita ADB.

Untuk pasien dewasa focus utama adalah mencari sumber perdarahan.


Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Jika tidak ditemukan
perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada fese
dan jika terdapat indikasi, dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi


terhadap anemi defisiensi besi adalh :

a. Terapi kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan, Misalnya pengobatan


cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorrhagia. Terapi
kausal harus dilakukan agar anemia tidak kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.

Pemberian preparat besi oral

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai
adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous
fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat
besi berupa tetes (drop).

Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg besi


elemental/kgBB/hari. Dosis anjuran adalah 3x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus
mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg memberikan
absorpsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga
kali normal. Dosis obat yang terlalu besar akan meninmbulkan efek samping pada
saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.
Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu
makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk
mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera
setelah makan meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50% dengan
dosis 3 x 100mg. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih
penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita.
Preparat besi ini harus terus diberikan selama 3 - 6 bulan setelah anemia pada
penderita teratasi.
Setelah kadar hemoglobin normal dosis pemeliharaan yang
diberikan adalah 100 sampai 200 mg.

Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C 3 x


100 mg, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet
yang banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.

Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Indikasi pemberian besi
parenteral adalah :

1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral


2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3. Gangguan pencernaan seperti colitis ulseratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi
4. Penyerapan besi terganggu, seperti pada gastrektomi
5. Keadaan dimana kehilangan darah banyak sehingga tidak dapat terkompensasi
oleh pemberian besi oral seperti pada hereditary hemorrhagic teleangiektasia
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan
trimester tiga atau sebelum operasi
7. Defisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik

Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml.
Dosis dihitung berdasarkan :

Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada


keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat
mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu
secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan
dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup
untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi.
Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi
PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik
seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.

ANEMIA MEGALOBLASTIK

Anemia megaloblastik merupakan kelainan sel darah merah (SDM) dimana


dijumpai anemia dengan volume SDM lebih besar daripada noral dan ditandai oleh
banyaknya sel imatur besar dan SDM disfungsional (megaloblas) di sumsum tulang
akibat adanya hambatan sintesis DNA dan/atau sintesis RNA dalam produksi sel
darah merah. Penghambatan sintesis DNA dan/atau RNA paling sering diakibatkan
oleh hipovitaminosis, khususnya defisiensi sianokobalamin (B12) dan/ atau asam
folat.

Gejala khusus yang berkaitan dengan penyebab antara lain:

- Akibat defisiensi asam folat, B12


a. Hipertrofi gingiva, papilla
- Akibat defisiensi B12
a. Neuropati perifer (Stock & gloves pattern)
b. Gangguan kognitif
c. Gangguan memori
d. Gangguan tidur
e. Depresi
f. Mania
g. Psikosis

Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dari adanya anemia dengan MCV >
100 fL. Untuk mendiagnosis anemia megaloblastik hipovitaminosis vitamin B12,
dilakukan uji Schilling atau dimodifikasi dengan mengukur kadar vitamin B12 serum/
plasma secara serial sebelum dan setelah pemberian vitamin B12 per oral.

Tabel 4. Hasil interpretasi uji schilling

Uji Tahap Pertama Uji Tahap Kedua Diagnosis

Normal - Normal atau defisiensi B12

<5% Normal Anemia Perniciosa

<5% <5% Malabsorpsi

Pemeriksaan kadar asam folat dapat dinilai dari asam folat intrasel SDM dan
serum. Saat ini rentang normal yag diusulkan untuk kadar folat serum sekitar 2,7 –
17,0 ng/mL untuk kedua jenis kelamin dan semua umur. Nilai lebih rendah dapat
didapatkan pada perempuan daripada laki – laki. Kadar folat serum hanya
mencerminkan asupan makanan terakhir sedangkan kadar folat SDM lebih
menggambarkan simpanan dalam jaringan tubuh. Pemeriksaan kadar folat SDM
dilakukan dengan cara radioassay kompetitif mengikat protein dengan kadar normal:
- Anak – anak, 2 sampai 16 tahun : > 160 ng/mL (>362 nmol/L)
- Remaja, >16 tahun : 140 – 628 ng/mL (317 – 1422 nmol / L)
- Dewasa : 150 – 450 ng/mL (340 – 1020 nmol/L)

Kadar folat SDM <140 ng/mL menunjukkan defisiensi asam folat.

Setelah kajian laboratorium diperoleh, jika suatu obat diperkirakan menjadi


penyebab anemia makrositik (metotrexat, siklofosfamid, trimetopim dll), terutama
jika hemolisis yang terjadi, hentikan pemberian obat tersebut. Pasien kekurangan
vitamin B12 atau folat harus diberikan terapi pengganti, asam folat 1 mg/hari dapat
diresepkan pada pasien defisiensi asam folat. Injeksi intra – muskular vitamin B12
(100 – 1000 mcg perbulan), berlangsung terus menerus, dapat diberikan.
ANEMIA HEMOLITIK IMUN

Anemia yang terjadi akibat proses hemolitik yang terjadi secara sekunder
adanya destruksi sel darah merah oleh karena proses autoantibodi. Secara klinis
AIHA dapat dibagi menjadi 2 yaitu tipe warm dan tipe cold. AIHA tipe warm
umumnya menunjukkan gejala pucat, ikterus, splenomegali dan anemia berat. Pada
60% kasus AIHA tipe warm , IgG lebih berperan dan antibodi ini optimal pada suhu
370C yang secara langsung akan bertemu antigen pada sel eritrosit dan prosesnya
terjadi ekstravaskuler. Pada AIHA tipe cold antibodi yang berperan ialah IgM yang
optimal berikatan dengan antigen eritrosit pada suhu 4oC dan umumnya juga
berikatan dengan komplemen. Klasifikasi anemia terbagi atas :

- Warm-reactive autoantibodies

- Primer (idiopatik)
Sekunder : Kelainan limfoproliferatif

Penyakit autoimun (SLE)

- Infeksi Mononukleosis Sindrom Evans’

- HIV

- Cold-reactive autoantibodies

I - diopatik

- Sekunder : Pneumonia atipikal atau mikoplasma

Infeksi Mononukleosis

Kelainan limfoproliferatif

- Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)

- Sifilis

- Post-viral infection

- Drug-induced hemolytic anemia

Pasien AIHA umumnya datang dengan keluhan pucat, lemah, perubahan


warna urin menjadi gelap dan disertai demam. Bila lebih berat dapat ditemukan tidak
hanya hiperbilirubinemia, tapi juga nyeri perut dan gejala gagal jantung.
Splenomegali dan hepatomegali sering ditemukan. Gejala AIHA pada anak
tergantung pada beratnya anemia dan kecepatan proses hemolitik yang terjadi.
Disamping itu, proses hemolitik dapat terjadi sekunder terhadap penyakit primernya.

Gambaran sediaan apus darah tepi menunjukkan poikilositosis, pembentukan


sferosit dan polikromasia, namun kadang2 gambaran darah tepi normal. Produksi
eritrosit meningkat ditandai dengan adanya makrosit polikromatofilik, hitung
retikulosit meningkat dan dapat ditemukan sel eritrosit berinti pada apusan darah tepi.
Pada keadaan hemolitik akut umumnya awalnya ditemukan retikulositopenia sebelum
akhirnya terjadi peningkatan retikulosit. Leukosit umumnya normal, sedang trombosit
dapat meningkat mengingat adanya homologi antara eritropoietin dan trombopoietin,
kecuali pada sindrom Evans ditemukan trombositopenia.

Tes Coombs penting dilakukan pada AIHA karena mampu mendeteksi


autoantibodi dan menentukan jumlah antibodi yang ada. Tes ini disebut juga sebagai
tes antiglobulin dan menghasilkan aglutinasi pada sel eritrosit yang tersensitisasi. Ada
2 jenis tes Coombs yaitu langsung (direct Coombs test) dan tidak langsung (indirect
Coombs test). Direct Coombs test digunakan untuk mendeteksi sel eritrosit yang
dilapisi globulin yang umunya terdiri dari IgG atau C3, tes ini berguna untuk
mendiagnosis AIHA, hemolytic disease of the newborn, dan reaksi aloimun sekunder
terhadap transfusi PRC yang inkompatibel. Indirect Commbs test digunakan untuk
mengetahui adanya antibodi yang bebas (unbound) didalam serum. Tes ini digunakan
untuk tes cross-match pada tindakan transfusi darah.

Pengobatan AIHA ditujukan untuk mengembalikan nilai hematologi (Hb) ke


nilai normal. AIHA ringan tidak memerlukan terapi, tetapi pada keadaan yang sangat
akut penanganan kedaruratan menjadi prioritas karena telah terjadi gangguan sirkulasi
dan kardiovaskuler. Beberapa pengobatan AIHA antara lain :

o Steroid


Steroid dosis tinggi memberi hasil sekitar 75% pada anak2 dengan AIHA, namun
pada jenis AIHA dengan mediator IgM tidak menunjukkan respons dengan terapi
steroid. Cara kerja steroid pertama yaitu dengan menekan Fc makrofag dan reseptor
C3b sehingga fagositosis terhadap eritrosit menurun. Cara kerja steroid yang lain
adalah penekanan produksi antibodi sehingga kadar autoantibodi akan menurun.
Steroid kadang memberi efek yang lambat yaitu sekitar 4-5 minggu, setelah proses
hemolitik menurun maka steroid harus diturunkan dosisnya. Pemberian steroid jangka
panjang pada seorang anak memberikan efek samping yang banyak, sehingga
pemebriannya harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya.

o Imunoglobulin intravena (ivIG)

Pada beberapa anak dengan AIHA, pemberian ivIG memberikan hasil yang baik
terutama bila diberikan bersamaan dengan steroid.

o Transfusi darah

Pemberian transfusi PRC sedapat mungkin dihindari, karena hanya meningkatkan Hb


sementara, dan selanjutnya proses hemolitik akan terjadi lebih cepat. Indikasi
transfusi lebih mengutamakan keadaan klinis seperti adanya gagal jantung dan adanya
kegagalan sirkulasi, dan dalam hal ini PMI harus menyediakan darah yang paling
kompatibel.

o Splenektomi


Sebelum melakukan tindakan ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara
lain : usia anak sebaiknya > 5 tahun, respons terhadap pengobatan sebelumnya (6-12
bulan tidak respons), tipe AIHA (warm / cold) dan beratnya penyakit. Indikasi
splenektomi sangat selektif dan ditujukan kepada anak dengan AIHA kronik dan
refrakter.

Sindrom Evans adalah penyakit imunoregulasi yang ditandai dengan AIHA


dan trombositopenia imun. Kedua sitopenia terjadi tidak secara bersamaan,
autoantibodi yang timbul mempunyai target sel yaitu sel eritrosit dan trombosit.
Sindrom Evans dihubungkan dengan keadaan autoimun yang diserta proses hemolitik
seperti pada SLE.
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN

Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena :

1). Defek molecular : hemoglobinopati atau enzimopati

2). Abnormalitas struktur dan fungsi membrane – membrane

3). Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi

Pada anemia hemolitik non imun hemolisis terjadi tanpa keterlibatan


immunoglobulin tetapi karena faktor defek molekuler, abnormalitas struktur
membran, factor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme,
,kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eritrosittanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria,
babesiosis, dan klostridium

Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung


pada patologi yang mendasari suatupenyakit. Pada hemolisis intravaskular , destruksi
eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik , fiksasi
komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan
mendestruksi membrane sel eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang terjadi.

Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisisi


ektravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog.

ANEMIA APLASTIK

Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada


darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk
aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum
tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang
sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia
dan trombositopenia.

Berdasarkan etiologinya, anemia aplastik dapat dibedakan menjadi:


Anemia Aplastik Didapat

Anemia aplastik didapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia seperti senyawa


benzena, ataupun hipersensitivitas terhadap obat atau dosis obat yang berlebihan
seperti kloramfenikol, fenilbutazon, sulfue, mileran, atau nitroseurea. Selain itu,
anemia aplastik didapat juga disebabkan oleh infeksi seperti Epstein-Bar, influenza A,
dengue, tuberkulosis, Hepatitis, HIV, infeksi mikobakterial, kehamilan ataupun
sklerosis tiroid (anemia aplastik/hipoplastik).

Anemia Aplastik Familial


Meskipun anemia aplastik paling banyak bersifat idiopatik, namun faktor herediter
juga diketahui dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik yang diturunkan.
Beberapa etiologi anemia aplastik yang diturunkan antara lain pansitopenia
konstitusional Fanconi, difisiensi pankreas pada anak, serta gangguan herediter
pemasukan asam folat ke dalam sel.

Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah:

1. Anemia normokromik normositer disertai retikusitopenia



2. Anemia sering berat dengan kadar Hb<7 g/dl
3. Leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai sel muda dalam darah tepi

4. Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat 

9. Sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia. Aplasia tidak menyebar secara merata
pada seluruh sumsum tulang, sehingga sumsum tulang yang normal dalam satu
kali pemeriksaan tidak dapat menyingkirkan 
diagnosis anemia aplastik, harus
diulangi pada tempat-tempat yang lain. 

10. Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF meningkat. 

11. Darah Lengkap: Jumlah masing-masing sel darah (eritrosit, leukosit, 
trombosit)

12. Hapusan Darah Tepi: Ditemukan normokromik normositer 



13. Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung
sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel
hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan
hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan
peningkatan elemen- elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang
ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa
spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi
megakariosit rendah. International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia
aplastik berat bila selularitas sumsum tulang 

14. Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ Hybridization)

Sel darah akan diambil dari sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah
dan jenis sel-sel yang terdapat di sumsum tulang. Serta untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan genetik atau tidak. 

15. Tes Fungsi Hati dan Virus
Anemia aplastik dapat terjadi pada 2-3 bulan
setelah episode akut hepatitis. Tes ini juga dinilai jika mempertimbangkan
dilakukannya bone marrow transplantasion 

16. Level Vitamin B-12 dan Folatmenyingkirkan anemia megaloblastik 

17. Pemeriksaan Radiologis 
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna
untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak. 


Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas:

Terapi kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat
dikoreksi. 


Terapi suportif


Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia. 


a. Untuk mengatasi infeksi antara lain :


- Higiene mulut 

- Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat

dan adekuat. Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik yang biasa
diberikan adalah ampisilin, gentamisin, atau sefalosporin generasi
ketiga. 

- Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon
pada antibiotika adekuat. 


b. Untuk mengatasi anemia
Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7 g/dl atau ada
tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10
g/dl, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.

c. Untuk mengatasi perdarahan

Tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit <
20.000/mm. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas trombosit
karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan
kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam Subbab
Pendekatan terhadap Pasien Anemia, ed. 4., hal: 2575-2579. Jakarta: Interna
Publishing.

Bakta I, M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas., hal: 11-25. Jakarta: EGC.

Effendy, Shufrie. 2014. Anemia Megaloblastik; ; dalam Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI
Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 2602 - 2607

Hoffbrand, A, V dan Moss P, A, H. 2013. Kapita Selekta Hematologi, ed. 6., hal: 21-
41, 63. Jakarta: EGC.

Parjono elias, Kartika widyanti. 2014. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 
2610 - 2615

Sudoyo, A. W., Rinaldi, Ikhwan. 2014. Anemia Hemolitik Non Imun; dalam Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 2617 - 2624 


Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam Subbab
Anemia Defisiensi Besi, ed. 4., hal: 2575-2579. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai