TATALAKSANA ANEMIA
Disusun oleh:
Faradila Niaoctaviani
(1102015071)
Tabel 1. Kriteria Anemia Menurut WHO sesuai dengan kelompok umur dan jenis
kelamin tahun 2014
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakopsular
- Gangguan membran eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : defisiensi G6PD
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll.
2. Anemia hemolitik ekstrakopsular
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopati
- lain – lain
D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat dengan berdasarkan gambaran
morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi
ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dala
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12; termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non – megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
Gejala umum anemia (sindrom anemia) terdiri atas rasa lemah, lesu, cepat
lelah, telinga berdenging (tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin,
sesak napas dan dispepsia. Gejala ini timbul hampir pada setiap kasus anemia, apapun
penyebabnya dikarenakan 1). Anoksia organ ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun di
bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada a).Derajat
penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c).Usia; d). Adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibaawah kuku. Adapun gejala khas pada
masing masing anemia sebagai contoh :
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (Koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, hepatomegali.
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda – tanda infeksi.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada
kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia tetap memerlukan pemeriksaan laboratorium.
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik. Pada kasus anemia dengan payah jantung atau
ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi
sel darah merah yang dimampatkan (packed red cell) untuk mencegah perburukan
payah jantung tersebut. Dalam keadaan demikian, spesimen untuk pemeriksaan yang
dipengaruhi oleh transfusi harus diambil terlebih dahulu, seperti apusan darah tepi,
bahan pemerikssan besi serum, dan lain-lain.
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya, preparat besi untuk
anemia defisiensi besi. Pengobatan untuk anemia defisiensi besi: 1) besi per-oral:
sediaan terbaik adalah sulfas ferofus yang murah, mengandung 67 mg besi dalam
setiap tablet 200 mg dan diberikan pada keadaan perut kosong dalam dosis yang
berjarak sedikitnya 6 jam. Terapi ini diberikan cukup lama biasanya sekitar 6 bulan.
Kadar hemoglobin harus meningkat dengan kecepatan 2g/dL tiap 3 minggu. 2) besi
parenteral: ferri hidroksida-sukrosa diberikan melalui injeksi intravena lambat atau
infus, biasanya 200 mg besi dalam tiap infusan. Besi dekstran dapat diberikan sebagai
injeksi intravena lambat atau infus baik dalam dosis-dosis tunggal kecil atau sebagai
infus dosis total yang diberikan dalam satu hari. Pada anemia defisiensi asam folat
diberikan asam folat per-oral dengan dosis 5 mg/hari selama 4 bulan.
4. Terapi ex juvantivus
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya dilakukan jika tidak
tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini penderita
harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respon yang baik terapi diteruskan, tetapi
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat.
Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin
dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan
pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali
dan masa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan
darah lewat menstruasi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung
dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan
besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya ADB.
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1
ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2
mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat
anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari
pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-rata
1,8 – 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang.
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte
porphrin (FEP) meningkat.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada
ADB yang lebih lanjut.
Tabel 3. Tahapan kekurangan besi
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Hb <100 0 0
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP
harus dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%
3. FEP meningkat
4. Feritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
7. Sumsum tulang
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai
adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous
fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat
besi berupa tetes (drop).
Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Indikasi pemberian besi
parenteral adalah :
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml.
Dosis dihitung berdasarkan :
Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
Transfusi darah
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dari adanya anemia dengan MCV >
100 fL. Untuk mendiagnosis anemia megaloblastik hipovitaminosis vitamin B12,
dilakukan uji Schilling atau dimodifikasi dengan mengukur kadar vitamin B12 serum/
plasma secara serial sebelum dan setelah pemberian vitamin B12 per oral.
Pemeriksaan kadar asam folat dapat dinilai dari asam folat intrasel SDM dan
serum. Saat ini rentang normal yag diusulkan untuk kadar folat serum sekitar 2,7 –
17,0 ng/mL untuk kedua jenis kelamin dan semua umur. Nilai lebih rendah dapat
didapatkan pada perempuan daripada laki – laki. Kadar folat serum hanya
mencerminkan asupan makanan terakhir sedangkan kadar folat SDM lebih
menggambarkan simpanan dalam jaringan tubuh. Pemeriksaan kadar folat SDM
dilakukan dengan cara radioassay kompetitif mengikat protein dengan kadar normal:
- Anak – anak, 2 sampai 16 tahun : > 160 ng/mL (>362 nmol/L)
- Remaja, >16 tahun : 140 – 628 ng/mL (317 – 1422 nmol / L)
- Dewasa : 150 – 450 ng/mL (340 – 1020 nmol/L)
Anemia yang terjadi akibat proses hemolitik yang terjadi secara sekunder
adanya destruksi sel darah merah oleh karena proses autoantibodi. Secara klinis
AIHA dapat dibagi menjadi 2 yaitu tipe warm dan tipe cold. AIHA tipe warm
umumnya menunjukkan gejala pucat, ikterus, splenomegali dan anemia berat. Pada
60% kasus AIHA tipe warm , IgG lebih berperan dan antibodi ini optimal pada suhu
370C yang secara langsung akan bertemu antigen pada sel eritrosit dan prosesnya
terjadi ekstravaskuler. Pada AIHA tipe cold antibodi yang berperan ialah IgM yang
optimal berikatan dengan antigen eritrosit pada suhu 4oC dan umumnya juga
berikatan dengan komplemen. Klasifikasi anemia terbagi atas :
- Warm-reactive autoantibodies
- HIV
- Cold-reactive autoantibodies
I - diopatik
Infeksi Mononukleosis
Kelainan limfoproliferatif
- Sifilis
- Post-viral infection
o Steroid
Steroid dosis tinggi memberi hasil sekitar 75% pada anak2 dengan AIHA, namun
pada jenis AIHA dengan mediator IgM tidak menunjukkan respons dengan terapi
steroid. Cara kerja steroid pertama yaitu dengan menekan Fc makrofag dan reseptor
C3b sehingga fagositosis terhadap eritrosit menurun. Cara kerja steroid yang lain
adalah penekanan produksi antibodi sehingga kadar autoantibodi akan menurun.
Steroid kadang memberi efek yang lambat yaitu sekitar 4-5 minggu, setelah proses
hemolitik menurun maka steroid harus diturunkan dosisnya. Pemberian steroid jangka
panjang pada seorang anak memberikan efek samping yang banyak, sehingga
pemebriannya harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya.
Pada beberapa anak dengan AIHA, pemberian ivIG memberikan hasil yang baik
terutama bila diberikan bersamaan dengan steroid.
o Transfusi darah
o Splenektomi
Sebelum melakukan tindakan ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara
lain : usia anak sebaiknya > 5 tahun, respons terhadap pengobatan sebelumnya (6-12
bulan tidak respons), tipe AIHA (warm / cold) dan beratnya penyakit. Indikasi
splenektomi sangat selektif dan ditujukan kepada anak dengan AIHA kronik dan
refrakter.
ANEMIA APLASTIK
Meskipun anemia aplastik paling banyak bersifat idiopatik, namun faktor herediter
juga diketahui dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik yang diturunkan.
Beberapa etiologi anemia aplastik yang diturunkan antara lain pansitopenia
konstitusional Fanconi, difisiensi pankreas pada anak, serta gangguan herediter
pemasukan asam folat ke dalam sel.
Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat
dikoreksi.
Terapi suportif
b. Untuk mengatasi anemia
Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7 g/dl atau ada
tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10
g/dl, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.
Tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit <
20.000/mm. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas trombosit
karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan
kulit.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam Subbab
Pendekatan terhadap Pasien Anemia, ed. 4., hal: 2575-2579. Jakarta: Interna
Publishing.
Effendy, Shufrie. 2014. Anemia Megaloblastik; ; dalam Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI
Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 2602 - 2607
Hoffbrand, A, V dan Moss P, A, H. 2013. Kapita Selekta Hematologi, ed. 6., hal: 21-
41, 63. Jakarta: EGC.
Parjono elias, Kartika widyanti. 2014. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal:
2610 - 2615
Sudoyo, A. W., Rinaldi, Ikhwan. 2014. Anemia Hemolitik Non Imun; dalam Ilmu
Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 2617 - 2624
Bakta I, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Bab Hematologi dalam Subbab
Anemia Defisiensi Besi, ed. 4., hal: 2575-2579. Jakarta: Interna Publishing.