Anda di halaman 1dari 19

1

Laporan Kasus

ANEMIA HEMOLITIK IMUN AKIBAT OBAT PADA PASIEN MORBUS


HANSEN YANG MENDAPAT TERAPI DAPSON
Desak Nyoman Desy Lestari, Losen Adnyana, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Morbus hansen merupakan penyakit kronikyang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Infeksi ini menimbulkan manifestasi kerusakan neuro kutaneus.
Pada tahun 1981, WHO merekomendasikan multi drug therapy (MDT) dengan regimen
yang salah satunya adalah obat dapson. Terapi ini diberikan selama 12 bulan untuk
multibasilar dan 6 bulan untuk yang pausibasilar (1).
Dapson atau sulfon merupakan anti bakterial yang menghambat sintesis asam
dihidrofolat. Sesuai rekomendasi WHO dosis yang digunakan sebagai MDT sangat
aman, namun dapat terjadi beberapa efek samping. Efek samping dapson yang cukup
fatal adalah anemia hemolitik dan dapat terjadi melalui mekanisme imun maupun non
imun (2).
Anemia hemolitik autoimun yang dipicu oleh obat merupakan komplikasi yang
jarang terjadi saat ini. Insiden diperkirakan sekitar satu hingga empat kasus per satu juta
individu dalam setahun. Namun diperkirakan banyak kasus yang tidak dilaporkan oleh
karena kesalahan diagnosis. Anemia hemolitik yang dipicu obat ini ditandai dengan
terjadinya anemia hemolisis yang mendadak yang terjadi setelah pemberian obat. Gejala
klinis yang sangat bervariasi dan bukti mengenai jenis obat-obatan yang dapat memicu
hemolisis belum sering dibahas sehingga kondisi ini sering salah diagnosis dengan
anemia hemolitik yang lain (3).
Karena jarangnya kasus anemia hemolitik yang dipicu obat ini serta potensi
berkembang menjadi fatal menjadi dasar diangkatnya laporan kasus ini. Kami
mengangkat sebuah kasus pada seorang wanita usia tua, dengan anemia hemolitik imun
yang terjadi setelah pemberian terapi morbus hansen yang mengandung dapson. Kasus
ini berhasil diterapi dengan menghentikan obat yang dicurigai dan terapi suportif.
Dengan diangkatnya laporan kasus ini, diharapkan lebih waspada dalam menghadapi

1
2

kasus-kasus anemia hemolitik terutama yang mengancam nyawa sehingga dapat dibuat
diagnosis lebih awal untuk mencegah semakin memburuknya kondisi pasien.

Kasus

Seorang wanita umur 71 tahun, suku bali, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat
Sukawati, Gianyar, dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tanggal
7 april 2015, dengan diagnosis suspek anemia hemolitik dan morbus hansen. Pasien
mengeluh badan lemas sejak satu minggu yang lalu. Lemas dirasakan seluruh tubuh
seperti tidak bertenaga dan cukup berat sehingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari. Badan lemas awalnya ringan namun semakin lama memberat, hingga
akhirnya pasien dibawa ke rumah sakit.
Pasien juga mengeluh mata kuning dan buang air kecil berwarna seperti teh
sejak satu minggu yang lalu bersamaan dengan badan lemas. Mata kuning pada kedua
mata, tidak terlalu berat. Buang air kecil berwarna seperti teh terjadi mendadak, tanpa
disertai rasa nyeri. Pasien juga mengeluh sesak sejak kemarin, namun dikatakan tidak
berat. Selain itu pasien juga mengeluh sakit kepala sejak enam bulan yang lalu, hilang
timbul. Keluhan sakit kepala membaik setelah mendapat transfusi.
Pasien mengeluh terdapat bercak-bercak kecoklatan di kaki sejak tujuh bulan
yang lalu. Bercak tidak disertai nyeri, gatal ataupun mati rasa. Keluhan dada berdebar,
nyeri dada, buang air besar hitam, muntah hitam ataupun demam disangkal oleh pasien.
Sejak tujuh bulan sebelum masuk rumah sakit pasien didiagnosis morbus hansen
dan mendapat terapi Multi Drug TherapyMulti Basiler (MDT MB) yang terdiri atas
dapson, rifampisin, dan klofazimin. Satu bulan sesudah terapi pasien dirawat di rumah
sakit swasta oleh karena badan lemas dan mata kuning. Saat itu dikatakan anemia dan
diberikan tranfusi sebanyak tiga kantong.Keluhan mata kuning dan buang air kecil
seperti teh ini dikatakan membaik setelah dirawat dan mendapat transfusi. Keluhan yang
sama muncul kembali sekitar dua bulan setelahnya, setelah dilakukan pemeriksaan
darah lengkap juga ditemukan kondisi anemia dan mendapat transfusi dua kantong.
Setelah keluhan membaik, obat MDTMB tetap dilanjutkan. Dua bulan kemudian pasien
mengalami keluhan yang sama dan kembali mendapat transfusi setelah itu dikatakan
keluhan membaik dan obat MDT MB kembali dilanjutkan. Sejak satu minggu sebelum
3

masuk rumah sakit pasien kembali mengeluh keluhan yang sama, kemudian dirujuk ke
RSUP sanglah dengan anemia hemolitik dan morbus hansen. Buang air besar dikatakan
biasa, keluhan buang air besar berwarna putih ataupun kehitaman disangkal.Riwayat
keluhan yang sama sebelum mengkonsumsi obat MDT MB disangkal, dan keluhan
yang sama di keluarga juga disangkal. Riwayat bepergian ke luar daerah sebelumnya
disangkal oleh pasien. Pasien adalah ibu rumah tangga, saat ini aktivitas sebagian besar
di rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum tampak lemah, kesadaran
komposmentis, dengan tekanan darah 100/60 mmhg, frekuensi nadi 96 kali per menit,
kuat dan teratur, suhu aksila 36,5°c, frekuensi pernafasan 18 kali per menit, berat badan
50 kg, tinggi badan 155 cm. Pada pemeriksaan mata tampak konjungtiva pucat, sklera
ikterik ringan. Tidak ditemukan butterfly rash ataupun ulkus di mulut. Tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening di leher ataupun ketiak.
Pada pemeriksaan dada ditemukan batas jantung kiri 3 cm lateral mid klavikular
line sinistra, suara jantung satu dan dua reguler, murmur tidak terdengar. Suara nafas
vesikuler kanan dan kiri, tidak terdapat rhonki dan wheezing. Pada abdomen tidak ada
distensi, bising usus normal, hepar tidak teraba namun pada pemeriksaan lien, traube
space ditemukan redup. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan edema dan akral
teraba hangat.
Dari pemeriksaan laboratorium saat masuk RSUP Sanglah didapatkan anemia
normokromik normositer (Hb 5,1g/dl, MCV 98,2 fl, MCH 30,4 pg), hematokrit 16,6%,
leukosit 6,23x103µl dan trombosit 376x103µl. Retikulosit meningkat yaitu 16,75% dan
reticulocyte production index (RPI) 3,01%. Pemeriksaan darah tepi didapatkan
gambaran eritrosit normokromik anisopoikilositosis, terdapat fragmentasi eritrosit dan
gambaran bite cell. Sedangkan gambaran leukosit dan trombosit dalam batas normal,
dengan kesan jumlah cukup, diferensiasi normal. Pemeriksaan kimia darah didapatkan
peningkatan bilirubin total yaitu 2,99 mg/dl, dominan bilirubin indirek sebesar 1,59
mg/dl. Transaminase dalam batas normal dengan AST 29 U/l dan ALT 35 U/l. Terdapat
peningkatan sedikit serum kreatinin yaitu 1,3 mg/dl, BUN 22 mg/dl dan laktat
dehidrogenase 769 U/l. Dari pemeriksaan elektrolit darah didapatkan hiponatremia,
dengan natrium 127 mmol/l dan kalium 4,07 mmol/l. Dari pemeriksaan serologi
4

imunohematologi ditemukan auto imun antibodi positif yang menempel pada sel darah
penderita (tes coomb direk positif), sedangkan ireguler allo antibodi yang bebas di
dalam serum penderita tidak ditemukan (tes coomb indirek negatif

Gambar 1.Gambaran hapusan darah tepi dengan pewarnaan giemza, tampak


gambaran sel darah merah yang terfragmentasi dan degmacyte (bite cell)

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap

Parameter 31/12/14 14/1/15 20/2/15 6/4/15 6/4/15 8/4/15 15/4/15


WBC (103/uL) 3,3 3,3 3,7 8,9 6,2 4,8 4,4
Hb (g/dL) 7,8 7,9 7,5 6,8 5,1 7,8 9
Hct (%) 22,1 24,6 24,6 20,2 16,6 25,8 30,5
MCV (fL) 108 116,5 116,5 97,5 98,2 100 100
MCH (Pg) 37,9 37,6 37,6 33,2 30,4 30,5 29,8
PLT (103/uL) 182 164 164 336 376 338 281

Tabel 2. Hasil PemeriksaanKimia Darah


Parameter 6/4/15 15/4
Bilirubin total (mg/dL) 2,99 1,01
Bilirubin direk (mg/dL) 1,4 0,07
Bilirubin indirek (mg/dL) 1,59 0,94
Retikulosit 16,75% 6,28%
LDH 769 U/l
5

Tabel 3. Hasil pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT)

Anti human globulin


Poly spesifik IgG C3
Lokal (+) (+) (-)

Berdasarkan data di atas penderita didiagnosis sebagai anemia imun hemolitik et


causa suspek diinduksi obat (dapson) dan morbus hansen tipe multibasiler.
Penatalaksanaan awal yang diberikan antara lain IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per
menit dan tranfusi washed red cell (WRC) hingga hemoglobin ≥ 9 gr/dl. Pasien juga
dikonsulkan ke bagian penyakit kulit dan kelamin dan direncanakan pemeriksaan batang
tahan asam (BTA). Hasil pemeriksaan BTA pada saat itu negatif dan selanjutnya pada
hari keempat perawatan, pasien mendapatregimen terapi MDT dengan regimen tanpa
dapson, hanya clofazimin dan rifampisin saja.
Pada perawatan hari keenam terjadi perbaikan pada kondisi penderita setelah
regimen MDT diganti dan mendapat transfusi 3 kantong. Kondisi anemia dan ikterik
juga sudah membaik. Dari pemeriksaan laboratorium memperlihatkan perbaikan kondisi
anemia dengan hemoglobin 7,8 gr/dl, MCV 100 fl, MCH 30,5 pg, hematokrit 25,8%,
leukosit 4,89x103µl, dan trombosit 338x103µl. Dari pemeriksaan kimia darah juga
mengalami perbaikan. Kadar bilirubin total menurun menjadi 1,05 mg/dl, bilirubin direk
0,6 mg/dl dan bilirubin indirek 0,45 mg/dl. Serum kreatinin juga membaik menjadi 1,01
mg/dl dan BUN 16 mg/dl.
Setelah mendapat perawatan selama satu minggu kondisi pasien semakin
membaik dan pasien dipulangkan. Hasil laboratorium saat pulang dengan hemoglobin
9,06 gr/dl, MCV 100 fl, MCH 29,8 pg, hematokrit 30,5%, leukosit 6,48x103µl,
trombosit 281x103µl, dan retikulosit menurun menjadi 2,28%. Pasien dipulangkan
dengan terapi prednison 3x20 mg selama tiga hari. Regimen terapi untuk morbus hansen
dengan MDT tanpa dapson terus dilanjutkan sampai 12 bulan.
Sepuluh hari setelah lepas perawatan, pasien kontrol ke poliklinik hemato
onkologi medik dalam kondisi baik dan pasien mengatakan tidak ada keluhan. Saat
dilakukan pengulangan pemeriksaan hematologi rutin didapatkan hemoglobin 12,3
6

gr/dl, MCV 103,8 fl, MCH 31,5 pg, hematokrit 40,5%, leukosit 6,11x103µl, dan
trombosit 202x103µl.

Pembahasan
Hemolisis adalah kerusakan atau hilangnya sel darah merah sebelum masa hidup
normal yaitu 120 hari. Kadang-kadang hemolisis bisa terjadi dalam waktu lama tanpa
gejala, namun biasanya diikuti dengan kondisi anemia apabila kecepatan produksi tidak
mampu mengimbangi kecepatan destruksi. Selain itu hemolisis diikuti gejala jaundice
atau hanya retikulositosis. Terdapat dua mekanisme hemolisis, yaitu hemolisis
intravaskular dimana destruksi sel darah merah terjadi di sirkulasi akibat kerusakan
endotel, aktivasi komplemen atau agen infeksi yang langsung menyebabkan degradasi
membran dan destruksi sel. Hemolisis yang lebih sering yaitu extravaskular dimana
proses degradasi dan destruksi sel darah merah terjadi di lien dan hati. Darah yang di
sirkulasi disaring melalui dinding tipis pada tali lien menuju sinusoid lien.Sel darah
merah yang normal dapat memasuki lien tetapi sel darah merah yang sudah mengalami
perubahan pada membran oleh antibodi tidak dapat memasuki jaringan ini dan
difagositosit oleh makrofag(4,5).
Anemia merupakan gejala yang paling utama yang diperoleh dari pemeriksaan
laboratorium, tetapi dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dapat diperoleh kata
kunci yang penting tentang adanya hemolisis dan kemungkinan penyebabnya. Pasien
juga mengeluh gejala berupa sesak nafas dan lemas yang disebabkan oleh anemia. Urine
yang gelap dan nyeri pinggang bisa ditemui pada pasien dengan hemolisis intravaskular.
Kulit tampak ikterik atau pucat. Takikardia saat istirahat dan murmur bisa terjadi pada
anemia yang berat. Limfadenopati disertai hepatosplenomegali menggambarkan adanya
kondisi keganasan atau gangguan limfoproliferatif yang mendasarinya. Splenomegali
disebabkan oleh hiperslenisme akibat proses hemolisis. Ulkus pada kaki sering terjadi
pada sickle cell anemia (6).
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya retikulositosis yang
merupakan respon normal susmsum tulang terhadap kehilangan sel darah merah di
perifer. Jika tidak terdapat gangguan sumsum tulang, retikulositosis bisa terjadi sekitar
tiga hingga lima hari setelah penurunan hemoglobin. Pada sebagian kecil pasien,
7

sumsum tulang dapat berkompensasi kronik sehingga konsentrasi hemoglobin dan tetap
normal dan stabil. Anemia hemolitik biasanya dengan morfologi normositer, walaupun
retikulosit sering menyebabkan peningkatan mean corpuscular volume. Gambaran
morfologi sel darah merah di perifer merupakan langkah penting dalam mengevaluasi
anemia bersama dengan mencari tanda patognomis dari morfologi sel darah merah
seperti sferosit, skistosit pemeriksaan sel darah putih dan trombosit untuk
menyingkirkan kelainan hematologi yang lain. Destruksi sel darah merah ditandai
dengan peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi peningkatan laktat dehidrogenase
dan hemoglobin dilepaskan ke sirkulasi setelah eritrosit dihancurkan. Hemoglobin
bebas di sirkulasi akan diubah menjadi bilirubin yang tidak terkonjugasi di lien atau
beringkatan pada plasma dengan haptoglobin. Ikatan hemoglobin haptoglobin kompleks
akan dibersihkansecara cepat oleh hati, hal ini menyebabkan penurunan haptoglobin
menjadi tidak terdeteksi. Pada kasus hemolisis intravaskular yang berat, kapasitas ikatan
dengan haptoglobin tidak cukup sehingga banyak hemoglobin bebas masuk ke
glomerulus. Sel tubulus ginjal akan menyerap hemoglobin dan menyimpan besi dalam
bentuk hemosiderin. Hemosiderinuria terdeteksi dengan pemeriksaan prussian blue pada
sedimen urin. Hemoglobinuria memberikan warna coklat gelap, dan reaksi pemeriksaan
dengan dipstik positif untuk heme tanpa adanya eritrosit (6).
Pada kasus, pasien datang dengan keluhan badan lemas disertai dengan mata
kuning dan buang air kecil yang berwarna seperti teh. Badan lemas merupakan salah
satu gejala umum anemia yang sering terjadi jika kadar hemoglobin turun hingga
kurang dari 7-8 gr/dl, dan makin berat penurunan hemoglobin maka gejala akan
semakin berat. Hal ini sesuai dengan kasus dimana saat datang dengan anemia berat,
normokromik makrositer dengan kadar hemoglobin 5,1 gr/dl disertai respon normal
sumsum tulang yaitu retikulositosis yaitu 16,75% dan reticulocyte production index
(RPI) 3,01%. Sedangkan keluhan mata kuning atau ikterus timbul oleh karena
peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Pada kasus terjadi peningkatan bilirubin
indirek yang tidak terlalu tinggi yaitu 1,59 mg/dl serta peningkatan laktat dehidrogenase
yaitu 769 Unit/L, dimana keduanya menggambarkan terjadi kondisi destruksi eritrosit.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium dapat disimpulkan pasien dengan
kecurigaan anemia hemolitik yang terjadi ekstravaskular.
8

Dalam penanganan anemia hemolitik, mencari etiologi merupakan hal yang


penting. Secara umum penyebab anemia hemolitik dapat diklasifikasikan menjadi
anemia hemolitik imun termasuk diantaranya autoimun, alloimun dan yang diinduksi
obat. Sedangkan anemia hemolitik non imun termasuk anemia hemolitik yang dipicu
oleh infeksi, obat, trauma mekanik, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) dan
penyebab lain (6).
Drug induce immune hemolytic anemia (DIIHA) merupakan kondisi yang jarang
dilaporkan jika dibandingkan dengan trombositopenia ataupun neutropenia yang
disebabkan oleh obat. DIIHA juga lebih jarang jika dibandingkan dengan Autoimmune
hemolytic anemia (AIHA). Belum ada data yang baik, diperkirakan prevalensi DIIHA
hanya 1 per 1 juta populasi dibandingkan dengan AIHA sekitar 1 per 80.000 populasi.
Selama 40 tahun penelitian yang dilakukan di San Fransisco dan California,
menemukan lebih dari 100 obat dapat memicu terjadinya DIIHA, antara lain golongan
antibiotika cefalosporin, penisilin, metildopa, fludarabin, quinidin, dapson, nsaid dan
lain lain (7).
Pada laporan kasus ini, pasien adalah wanita usia tua, didapatkan adanya riwayat
minum obat MDT untuk pengobatan multibasilar morbus hansen. Regimen ini
mengandung dapson, clofazimin dan rifampisin, dan diantara ketiga regimen tersebut
dapson merupakan salah satu obat yang sering menyebabkan efek samping berupa
anemia hemolitik (8,9).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah hapusan darah tepi, hitung
retikulosit, bilirubin, haptoglobin, hemoglobinemia, methemalbumin dan hemopexin,
hemoblobinuria dan hemosiderinuria, laktat dehidrogenase, aspartat aminotransferase
(AST), pemeriksaan sumsum tulang, direct antiglobulin test(DAT)atau coomb test dan
red cell life span (10).
Dalam mencari penyebab anemia hemolitik harus dimulai dengan anamnesis
mengenai riwayat paparan sebelumnya, adakah pemaparan terhadap infeksi, obat, bahan
kimia dan bahan fisik lain. Kemudian dilakukan pemeriksaan pemeriksaan DAT, dan
dilanjutkan dengan tes serologi untuk menentukan sifat antibodi sehingga dapat
diketahui penyakit dasarnya. Pemeriksaan hapusan darah tepi untuk mengevaluasi
morfologi eritrosit. Morfologi sferosit biasanya terdapat pada gangguan herediter,
9

imunohemolitik, luka bakar atau bahan kimia. Morfologi sel sabit biasanya merupakan
kelainan herediter, sedangkan sel target banyak ditemui pada thalassemia.
Pada kasus ditemukan dengan hasil tes DAT yang positif, dan positifpoly
spesifik dan IgG, sedangkan pemeriksaan komplemen negatif. Dari pemeriksaan
hapusan darah tepi, ditemukan gambaran eritrosit normokromik anisopoikilositosis,
terdapat gambaran sel eritrosit yang terfragmentasi dan bite cell. Sesuai algoritma yang
dikeluarkan oleh American Family Physician, anemia hemolitik dengan DAT yang
positifkemungkinan adalah imun hemolisis, penyakit limfoproliferatif, gangguan
autoimun, obat, infeksi, dan reaksi transfusi. Pada kasus terdapat riwayat paparan obat
MDT yang mengandung dapson yang sering menimbulkan efek samping berupa anemia
hemolitik.

Gambar 2.Algoritma penegakan diagnosis anemia hemolitik


10

Dalam menegakkan diagnosis anemia hemolitik yang diinduksi obat, perlu


dievaluasi mekanisme yang mana yang terlibat. Pada kasus terdapat riwayat paparan
obat MDT yang mengandung dapson. Beberapa literatur menyebutkan dapson memiliki
efek samping berupa anemia hemolitik, namun sebagian besar pasien yang
mengalaminya memiliki gangguan enzim, yaitu defisiensi aktivitas enzim Glucose 6
Phosphate Dehydrogenase (G6PD). Pada studi yang dilakukan di brazil tahun 2012
pada penderita morbus hansen yang mendapat MDT dengan dapson, terjadi penurunan
hemoglobin setelah terapi, dengan rata-rata penurunan dari 12,8 menjadi 10,3 dan
penurunan hematokrit dari 38,5 menjadi 31,5. Onset anemia hemolitik yang terjadi
paling sering dalam 3 bulan pertama sebesar 51%, 4-6 bulan sebesar 26,7% , 7-9 bulan
sebesar 13,3% dan setelah 10 bulan sebesar 9%. Dilaporkan juga beberapa kasus dengan
glioblastoma multiforme yang mengalami anemia hemolitik yang berat dan terjadi
secara cepat setelah terapi profilaksis dengan menggunakan dapson. Bahkan dikatakan
anemia hemolitik yang diinduksi dapson in terjadi pada kadar enzim G6PD yang normal
(11,12,13).
Mekanisme terjadinya hemolisis pada defisiensi G6PD dipicu oleh berbagai obat
diantaranya anti malaria, sulfonamid, nitrofurantoin, penisilin, streptomisin, vitamin k,
probenesid, quinidin, dapson dan analgetika seperti fenasetin, salisilat. Hal ini
disebabkan defisiensi G6PD menyebabkan NADPH menurun sehingga gluthation yang
teroksidasi tinggi, dan glutathion yang tereduksi juga menurun. Hal ini menyebabkan
eritrosit mudah terkena bahan oksidan yang kemudian mengakibatkan kerusakan
membran dan pembentukan Heinz’s bodies jika eritrosit mendapat pemaparan obat
tertentu atau bahan toksik. Eritrosit yang mengalami kerusakan ini akan difagosit oleh
RES dan jika berat dapat menimbulkan hemolisis intravaskuler. Dalam mendiagnosis
anemia defisiensi ini, berdasarkan adanya riwayat pemaparan obat atau infeksi, tanda-
tanda hemolisis, adanya heinz’s body dan aktivitas enzim G6PD yang menurun (14).
Obat dapson sebagian besar dapat menyebabkan anemia hemolitik pada kondisi
defisiensi enzim G6PD. Namun walaupun demikian sekitar 5% hingga 25% dapat
terjadi anemia hemolitik tanpa defisiensi G6PD.Mekanisme oksidasi dari dapson
dikatakan sangat kuat sehingga dapat menyebabkan kerusakan eritrosit pada kadar
enzim G6PD yang normal, namun seringkali gejala yang lebih berat ditemukan bila
11

kondisi ini terjadi bersama-sama. Prinsip mekanisme kerja dari dapson ini, yang
pertama adalah terbentuknya molekul aktif diaminodiphenylsulfone (DDS) yang
kemudian diinaktivasi menjadi monoasetil dapson. Sedangkan sebagian DDS diubah
menjadi derivat hidroxilamin (DDS-NHOH) oleh enzim P450. DDS-NHOH ini
merupakan metabolit utama yang bertanggungjawab terhadap toksisitas hematologi.
Toksisitas ini tergantung pada reaksi DDS-NHOH dan hemoglobin, ketersediaan
oksigen dan produksi methemoglobin dan nitroso dapson.

Gambar 3. Mekanisme terjadinya anemia hemolitik pada defisiensi enzim


G6PD. Enzim G6PD berperan menghasilkan NADPH yang berperan dalam
detoksifikasi radikal bebas superoksida dan hidrogen peroksida. NADPH yang rendah
akan memicu terjadinya anemia hemolisis (14).
Spesies oksigen reaktif terbentuk saat perubahan hemoglobin menjadi
methemoglobin, jika terbentuk DDS-NHOH yang banyak. Spesies oksigen reaktif ini
12

biasanya didetoksifikasi oleh glutathion yang pembentukannya tergantung pada enzim


G6PD. Sehingga pada defisensi enzim ini gejala anemia hemolitik menjadi lebih
berat.Kondisi methemoglobinemia ini bahkan dilaporkan pada penggunaan dapson
topikal pada anak (15,16,17).
Pada kasus terdapat riwayat paparan dengan obat dapson yang dapat memicu
terjadinya oksidan hemolisis pada penderita defisiensi G6PD. Namun pada hapusan
darah tepi tidak ditemukan adanya heinz’s body dan tidak dilakukan pemeriksaan enzim
G6PD. Pada kasus juga diperoleh hasil pemeriksaan DAT positif. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa mekanisme anemia hemolitik yang dipicu obat ini tidak
disebabkan oleh jalur reaksi oksidasi ataupun defisiensi G6PD melainkan melalui
proses yang terkait imun.
Hingga saat ini diagnosis anemia hemolitik yang terkait proses imun yang
diinduksi obat atau yang dikenal DIIHA masih belum banyak dilaporkan, hal ini dapat
disebabkan oleh kasusnya yang memang jarang atau kesalahan penegakan diagnosis
yang memang sulit dibedakan dengan anemia hemolitik autoimun atau reaksi transfusi
hemolitik.DIIHA ini ditandai oleh hemolisis yang terjadi mendadak setelah pemberian
obat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh antibodi yang tergantung pada obat atau
autoantibodi. Hingga saat ini terdapat lebih dari 130 jenis obat yang dilaporkan
menyebabkan DIIHA. Namun sebagian besar yang dilaporkan sebagai penyebab
hemolisis adalah generasi kedua dan ketiga cefalosporin,dan kemoterapi berbasis
platinum (18).
Patogenesis terjadinya drug induce immune hemolytic anemia dapat melalui tiga
jalur dengan mekanisme yang berbeda. Yang pertama adalah melalui terbentuknya
hapten yang akan berikatan dengan membran eritrosit dan menstimulasi terbentuknya
antibodi yang spesifik untuk obat tersebut. Antibodi kemudian berikatan dengan
eritrosit dan dapat menghasilkan DAT positif. Namun DAT yang positif sering terjadi
secara kebetulan dan jarang menyebabkan anemia hemolitik yang jelas. Anemia
hemolitik melalui jalur ini sering terjadi pada pada pasien yang mendapat terapi
penisilin dosis tinggi intravena dalam waktu yang cukup lama atau pasien dengan gagal
ginjal. Hemolisis biasanya akan segera berhenti jika obat yang memicu segera
dihentikan (19).
13

Jalur yang kedua terjadi melalui ikatan obat dengan protein plasma dan komplek
protein obat ini memicu terjadinya respon imun. Komplek protein obat ini kemudian
berikatan pada permukaan eritrosit dan distabilisasi oleh antibodi yang memiliki
spesifitas terhadap alloantigen pada membran eritrosit. Antibodi dapat berupa IgM, IgG
atau keduanya. Komplek protein obat dan antibodi mengaktifkan komplemen dan
memicu penghancuran eritrosit. Contoh obat yang sering menimbulkan respon ini
adalah golongan quinin, quinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan thiazid (19).
Jalur yang ketiga terjadi terbentuknya autoantibodi yang sama dengan proses
anemia hemolitik autoimun tipe panas. Obat-obatan yang sering memicu terbentuknya
autoantibodi ini adalah golongan α-metildopa, levodopa, procainamide, NSAIDs, dan
autoantibodi yang sering terbentuk adalah IgG. Antibodi tidak mengaktifkan
komplemen, sehingga hasil pemeriksaan Coomb test adalah DAT positif dengan
terdeteksi IgG di sel. Selain DAT yang positif, pasien dapat memiliki tes ANA yang
positif, sel lupus eritematosus, reumatoid faktor dan faktor III inhibitor yang positif.
Patogenesis yang mendasarinya masih belum diketahui. Hal ini mungkin disebabkan
oleh penyimpangan proliferasi limfosit dengan meningkatkan limfosit c- amp, yang
menghambat supresi sel T (3,20).
Tabel 4. Mekanisme hemolisis pada Drug induced immune hemolytic anemia

Mekanisme DAT Reaksi pada serum Obat pemicu

Autoantibodi IgG (jarang C3) Bereaksi dengan Golongan α-metil


(WAIHA) eritrosit normal, dopa, levodopa,
walaupun sudah tidak procainamide,
ada obat pemicu NSAIDs
Adsorpsi obat IgG (kadang-kadang Hanya bereaksi pada Golongan pensilin
Terbentuknya C3) eritrosit yang cephalosporin
hapten yang terbungkus obat
berikatan pada
eritrosit
Ikatan kompleks Complemen (C3) Hanya bereaksi jika Quinin, quinidin,
obat dan Hanya kadang- ada obat sulfonamid,
eritrosit kadang bisa juga sulfonilurea, dan
menaktifkan IgG thiazid.
14

Gambar 4. Mekanisme terjadinya drug induced imunne hemolytic anemia. 1.


Jalur melalui terbentuknya hapten yang akan berikatan dengan membran eritrosit dan
merangsang terbentuk antibodi spesifik. 2. Jalur terbentuknya ikatan obat dengan
protein plasma dan ikatan ini akan mengaktifkan komplemen dan memicu
penghancuran eritrosit. 3. Terbentuknya autoantibodi seperti proses warm type
autoimun dan penghancuran terjadi melalui mekanisme fagositosis.
Diantara ketiga jalur tersebut memiliki perbedaan hasil DAT. Pada kasus, hasil
DAT positif dengan IgG dan poly spesifik positif sedangkan complemen negatif. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan kemungkinan jalur yang terjadi mungkin melalui
mekanisme pembentukan autoantibodi atau melalui pembentukan hapten.
Penanganan anemia hemolitik baik imun ataupun non imun saat ini masih belum
ada yang berdasarkan pada penelitian besar atau randomized control trial. Manajemen
saat ini yang digunakan lebih banyak menggunakan dasar eksperimen dan paling
penting dari anemia hemolitik yang dipicu oleh obat terdiri atas terapi suportif dan
terapi terhadap etiologi. Oleh karena pembentukan antibodi yang dipicu obat adalah
mengidentifikasi obat-obatan yang berpotensi menimbulkan reaksi hemolisis, kemudian
dilanjutkan dengan menghentikan obat itu sendiri. Dengan mengidentifikasi secara dini
obat-obat yang potensial sebagai pemicu hemolisis maka perburukan kondisi dapat
dicegah sedini mungkin (6).
15

Pada hemolisis akut dimana terjadi kondisi syok, maka terapi gawat darurat
untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah terjadinya kegagalan multi
organ terutama ginjal harus dilakukan. Pada anemia hemolitik oleh proses imun,
transfusi merupakan sesuatu yang sulit dan membutuhkan banyak pertimbangan. Jika
terjadi kondisi anemia berat, transfusi dapat dilakukan namun harus dengan hati-hati.
Jika transfusi harus dilakukan maka diperlukan cross matching yang sesuai tipe
golongan darah baik sistem ABO atau sistem Rh, hasil yang paling cocok baru dapat
diberikan. Pada kondisi hemolisis berat karena proses autoimun, dapat diberikan
WRCuntuk mengurangi beban antibodi. Pemberian transfusi sering diikuti dengan
pemberian steroid (6).
Selain penanganan utama tadi, masih belum ada studi yang melaporkan terapi
khusus pada kasus anemia hemolitik yang dipicu obat. Penanganan lain dikatakan
hampir sama dengan anemia hemolitik autoimun yaitu bersifat suportif dan simtomatik.
Pemberian kortikosteroid, asam folat, rituximab dan imunoglobulin intravena.
Pemberian kortikosteroid dan imunoglobulin diindikasikan pada anemia hemolitik
autoimun dan anemia hemolitik imun yang dipicu oleh obat terutama yang melalui jalur
antibodi. Pemberian asam folat juga diindikasikan sebagai profilaksis pada hemolisis
yang terus menerus untuk mencegah terjadinya anemia megaloblastik oleh karena
defisiensi asam folat. Terapi dengan menggunakan rituximab umumnya dipakai jika
terapi lini pertama yaitu kortikosteroid tidak berhasil. Namun saat ini sudah terdapat
beberapa bukti yang mendukung pemberian rituximab sebagai terapi awal pada anemia
hemolitik autoimun terutama yang tipe hangat. Birgen dkk melaporkan bahwa setelah
12 bulan terapi, 75% pasien yang mendapat rituximab dan prednisolon menunjukkan
respon yang memuaskan tetapi pada pasien yang mendapat prednisolone saja hanya
sebesar 36%. Setelah 36 bulan terapi, 70% pasien yang mendapat terapi kombinasi
mengalami remisi, sedangkan hanya 40% saja dari kelompok yang mendapat
prednisolone tunggal. Penelitian mengenai penggunaan rituximab pada anemia
hemolitik imun yang dipicu obat hingga saat ini belum ada. Penggunaan imunoglobulin
masih belum banyak dilakukan, hanya pada beberapa kasus atoimun anemia hemolitik
tipe panas. Hasilnya juga dikatakan masih belum memuaskan dan perbaikan kondisi
yang terjadi sering bersifat transien saja (6).
16

Terapi dengan eritropoetin sering digunakan untuk mengurangi kebutuhan


transfusi. Terapi eritropoetin sering menjadi pilihan pada kondisi anak-anak dengan
gagal ginjal kronik, anemia hemolitik autoimun dengan retikulositopenia, pasien dengan
sickle cell anemia yang menjalani hemodialisis, bayi dengan sferositosis herediter.
Namun masih diperlukan studi lebih lanjut, mengenai peranan dan indikasi eritropoetin
pada anemia hemolitik. Adanya komplikasi kardiovaskular oleh karena eritropoetin
memerlukan pertimbangan yang matang dalam pemberian eritropoetin (6).
Terapi besi merupakan kontraindikasi pada sebagian besar kasus anemia
hemolitik. Hal ini oleh karena besi yang dilepas saat terjadi destruksi eritrosit akan
digunakan kembali dan tidak mengurangi cadangan besi. Namun pada kasus hemolisis
intravaskular berat dimana terjadi persisten hemoglobinuria maka dipertimbangkan
untuk memberikan terapi besi. Namun harus dipastikan terdapat kondisi defisiensi
besi(6).
Terapi selanjutnya adalah splenektomi, yang merupakan terapi pilihan pertama
pada beberapa kasus seperti sferosis herediter. Pada kasus lain seperti autoimun anemia
hemolitik splenektomi direkomendasikan jika tidak berhasil dengan modalitas terapi
lain. Splenektomi tidak direkomendasikan pada autoimun hemolitik anemia tipe dingin
oleh karena hemolisis bersifat intravaskular (6).
Pada kasus, terdapat kondisi anemia berat saat datang dengan kadar hemoglobin
5,1 gr/dl. Kondisi hemodinamik masih stabil namun terdapat tanda penurunan fungsi
ginjal yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin 1,3 mg/dl, BUN 22 mg/dl.
Oleh karena itu dipertimbangkan untuk pemberian transfusi dengan WRC pada pasien
ini. Cross matching juga sudah dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi hemolisis
semakin berat. Pada kasus dilakukan transfusi sebanyak tiga kantong dan saat pulang
hemoglobin sudah mencapai 9,06 gr/dl. Terapi kausal dengan menghentikan
penggunaan obat dapson juga dilakukan. Dengan penghentian obat dapson ini kadar
hemoglobin terus meningkat, sehingga hal ini juga menguatkan dugaan bahwa proses
hemolisis memang dipicu oleh obat tersebut. Pada pasien ini juga dicurigai jalur
mekanisme terjadinya anemia hemolitik imun yang dipicu obat adalah jalur
terbentuknya hapten dan autoantibodi maka penghentian obat saja belum cukup.
Berbeda dengan jalur hapten, pada autoantibodi, terdapat antibodi yang masih tetap ada
17

setelah obat dihentikan, sehingga terapi dengan steroid dapat diberikan. Kortikosteroid
yang diberikan awal dengan dosis setara prednison 1 mg/kgbb/hari dan dilakukan
penurunan dosis setelah hemoglobin lebih dari 10 gr/dl. Terapi imunosupresan pada
pasien inisudah sesuai yaitu diberikan dengan prednison 3x20 mg selama tiga hari.

Setelah semua terapi tersebut dilakukan terjadi peningkatan kadar hemoglobin


saat pasien kembali kontrol ke poliklinik, dimana kadar hemoglobin meningkat menjadi
12,3 g/dl tanpa pemberian transfusi.

Ringkasan

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan, geriatri berusia 71 tahun, suku Bali
yang menderita morbus hansen dengan anemia hemolitik yang dipicu oleh obat
(DIIHA). Obat yang dicurigai adalah dapson yang digunakan dalam terapi morbus
hansen. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya tanda anemia berulang setelah
pemberian terapi dapson, disertai tanda destruksi eritrosit yaitu jaundice, dengan
peningkatan bilirubin, dan splenomegali ringan. Dari pemeriksaan DAT yang positif
yaitu Ig G dan poly kemungkinan mekanisme anemia hemolitik yang terjadi terkait
sistem imun yaitu melalui autoantibodi atau melalui pembentukan hapten. Dapson
sendiri memiliki kemampuan menyebabkan anemia hemolitik melalui proses oksidasi,
yang biasanya terjadi pada pasien dengan defisiensi G6PD. Penatalaksanaan paling
penting dari DIIHA ini adalah mengenali dan mendiagnosis lebih awal sehingga obat
penyebab dapat segeera dihentikan sebelum kondisi pasien semakin berat. Selain
menghentikan obat penyebab, diberikan terapi suportif yaitu transfusi WRC disertai
pemberian immunosupresan. Dengan terapi ini pasien membaik terjadi peningkatan
hemoglobin menjadi normal, dan setelah pemantauan dalam tiga bulan kondisi
hemoglobin tetap stabil.

Daftar Pustaka
1. Malathi M, Thappa MD. Fixed-Duration Therapy in Leprosy: Limitations and
Opportunities. Indian J Dermatol. 2013; 58(2): 93–100.
18

2. Albuquerque V, Malcher SN, Amado LL, Coleman MD, Santos R, Valente S. In


Vitro Protective Effect and AntioxidantMechanism of Resveratrol Induced
byDapsone Hydroxylamine in Human Cells. Journal Pone. 2015; 10 (8): 1-24.

3. Arndt PA. Drug-induced immune hemolytic anemia:the last 30 years of changes.


Immunohematology.2014; 30: 44–54.

4. Bakta IM. Anemia Hemolitik in: Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006;
39-41.

5. Dhaliwal G, Cornett PA, Lawrence MT. Hemolytic Anemia. American Family


Physician. 2004; 69(11):2599-2606.

6. Kelton JG, Chan H, Heddle N, Whittaker S. Acquired hemolytic anemia. In: Porwit
A, Cullough J and Erber NW (eds). Blood and Bone Marrow Pathology. 2nded.
England: Elsevier Ltd, 2011: p.185-202.

7. Deps P, Guerra P, Nasser S, Simon M. Hemolytic anemia in patients receiving daily


dapsone for the treatment of leprosy. Lepr Rev. 2012; 83: 305–7.

8. Olteanu H, Harrington AM, George B, Hari P, Bredeson C, High K. Prevalence of


Dapsone-induced oxidant hemolysis in North American SCT recipients without
glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Bone Marrow Transplantation.
2012; 47: 399–403.

9. Garratty G. Drug-induced immune hemolytic anemia. ASH Education. 2009; 1: 73-


79.

10. Schalcher TR, Borges RS, Coleman MD, Junior JB, Salgado CG, Vieira JL. Clinical
Oxidative Stress during Leprosy Multidrug Therapy: Impact of Dapsone Oxidation.
Journal Pone. 2014; 9 (1): 1-4.

11. Lewis JA, Petty JW, Harmon M, Peacock J, Valente K, Owen J. Hemolytic anemia
in two patients with glioblastoma multiforme: A possible interaction between
vorinostat and dapsone. J Oncol Pharm Pract. 2015; 21: 220-223.

12. Rogers L, Oppelt P, Sloan JB. Hemolytic Anemia Associated with Dapsone PCP
Prophylaxis in GBM Patients with Normal G6PD Activity. Neurology. 2016; 86
(16): 244-254.

13. Aster J.The Hematopoetic and Lymphoid Systems. In: Kumar V, Cotran RS, Robbin
LS (eds). Robbin Basic pathology.7th ed. Philapelphia: Saunders, 2003: 395-452.
19

14. Pamba AD, Richardson ND,Carter N, Duparc S, Premji Z,Tiono AB, et al. Clinical
spectrum and severity of hemolytic anemia in glucose 6-phosphate dehydrogenase–
deficient children receiving. Blood. 2012; 120 (20): 4123-33.

15. Graff DM, MD, Bosse MG, Sullivan B, MD. Case Report of Methemoglobinemia in
a Toddler Secondary to Topical Dapsone Exposure. Pediatrics. 2016; 138(2): 2015-
3186.

16. Alungal J, Abdulla MC, Kunnummal NK, Sivadasan A. Dapsone-induced


hypersensitivity syndrome, hemolytic anemia, and severe agranulocytosis. Int J Nutr
Pharmacol Neurol Dis. 2015;5: 113-6.

17. Mayer B, Bartolmäs T, Yürek S, Salama A.Variability of Findings in Drug-Induced


Immune Haemolytic Anaemia: Experience over 20 Years in a Single
Centre.Transfus Med Hemother. 2015;42: 333–39.

18. Pierce A, Nester T.Pathology Consultation on Drug-Induced Hemolytic Anemia.


Am J Clin Pathol. 2011;136:7-12.

Anda mungkin juga menyukai