Pendahuluan
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah
AIDS, memperkirakan jumlah ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di seluruh dunia
pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal (1).
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi
HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya
amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (1).
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host
akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus
akut, keadaan asimtomatik berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat (Stadium
Klinis IV WHO) (9). ITP didiagnosis pada stadium III WHO, tetapi kadang ITP tanpa
disertai infeksi oportunistik sehingga kemudian memilih infeksi HIV sebagai
penyebab ITP.
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada HIV pertama kali dijelaskan
pada tahun 1982 oleh Morris et al., dengan ditemukannya 11 kasus ITP pada laki-laki
homoseksual di New York (2,3). Prevalensinya kurang lebih 40%, dimana 3% pasien
dengan HIV CD4 > 400 memiliki jumlah trombosit < 150.000/µl (2,4,5). ITP
dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, percepatan kerusakan pada
jumlah CD4 dan percepatan perkembangan untuk AIDS yang jelas. Pada meta-
analisis dari 5 percobaan yang melibatkan > 3000 pasien, baik pasien yang baru
1
2
menerima pengobatan maupun yang telah biasa menerima pengobatan, ITP ditemukan
menjadi 1 dari 8 faktor yang berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk dan
progresi yang lebih cepat untuk terjadinya AIDS yang jelas terlepas dari pengobatan
antiretroviral (2).
Dari studi yang lain, frekuensi ITP sebesar 16% diantara 103 homoseksual
laki, dan 37% diantara 182 pemakai narkotika jarum suntik dengan diagnosis baru
infeksi HIV (6). HIV-1 individu seropositif (homosexual, narkotika intravena,
hemophilia dan heterosexual) berkembang menjadi ITP kronik. ITP merupakan suatu
kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan
trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit dan megakariosit secara
dini akibat adanya autoantibodi yang mengenali antigen pada trombosit dan
megakariosit menghasilkan peningkatan destruksi trombosit dan menurunkan angka
produksi trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G (8).
Berikut kami laporkan sebuah kasus sebagai berikut.
Kasus
Seorang laki-laki berinisial N, berusia 44 tahun, berasal dari Jimbaran Kuta
Bali, datang ke UGD Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 25
Agustus 2013 dengan keluhan utama lemas.
Pasien mengeluh lemas sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas
terjadi terus menerus sepanjang hari, sampai sebelum masuk rumah sakit saat ini,
pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Sepanjang kondisi lemas tersebut,
pasien masih bisa makan sedikit dan minum. Pasien juga mengaku terjadi penurunan
berat badan sebanyak kurang lebih 5 kg dalam waktu 2 bulan belakangan ini. Pasien
mengaku tidak ada riwayat demam, batuk lama, sakit berkemih, mual muntah,
mencret, maupun perdarahan. Pasien mengaku buang air kecil dan besar lancar.
Pada riwayat penyakit dahulu yaitu tanggal 20 Juli 2013, pasien dilarikan di
rumah sakit swasta dengan keluhan sakit perut dan mendadak pingsan. Pada
pemeriksaan didapat hasil pemeriksaan fisik, rekam jantung, laboratorium dan USG
perut, semuanya baik kecuali jumlah trombositnya 12000/µl. Istri pasien melapor
bahwa sebelumnya pasien ada riwayat gusi berdarah, namun riwayat muntah darah,
buang air besar darah atau perdarahan di hidung maupun di tempat lain, disangkal.
Riwayat demam, batuk lama, sakit berkemih, sakit kepala dan kelumpuhan disangkal.
Istri pasien juga menambahkan bahwa riwayat kencing manis, darah tinggi dan
3
Perawatan hari ke-6 pasien sudah tidak lemas. Tanda Vital dalam batas
normal. Pemeriksaan Fisik pada mata didapatkan kesan normal. Hasil Darah Lengkap
didapatkan dengan WBC 12,2x103 dengan neutrofil 2,84, limfosit 3,1, monosit 5,91,
eosinofil 0,053, basofil 0,300. Hb 11,2g/dl, HCT 34,3, MCV 85,2, MCH 27,7, dan
platelet 32,7x103/µl maka pasien disarankan untuk rawat poliklinis dan direncanakan
pemberian ARV lewat rawat poliklinis.
Pembahasan
Gejala klinis ITP biasanya perlahan-lahan dengan riwayat mudah berdarah
dengan trauma maupun tanpa trauma. Pada umumnya bentuk perdarahan pada ITP
adalah purpura pada kulit atau mukosa. Tempat-tempat yang sering menimbulkan
perdarahan mukosa antara lain di hidung, gusi, saluran makanan, serta traktus
urogenital. Dapat dijumpai perdarahan pada retina atau konjungtiva tetapi sangat
jarang dijumpai, sedangkan perdarahan sendi hampir tidak pernah dijumpai.
Perdarahan spontan, baru terjadi bila jumlah trombosit di bawah 50.000/µl. Bila
terjadi perdarahan intrakranial merupakan kondisi yang fatal, risiko terjadinya
perdarahan intrakranial sangat besar pada penderita dengan trombositopenia berat,
yaitu jumlah trombosit < 10.000/ µl (9). Pada pasien didapatkan riwayat gusi berdarah
spontan yang dirasakan baru pertama kali dan hasil pemeriksaan darah didapatkan
jumlah trombosit 12.000/ µl (di bawah 50.000/ µl).
ITP akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, onset
penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan
berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan
penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus
pediatrik trombositopenia imunologik. Pada ITP dewasa, bentuk akut jarang terjadi,
namun dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP
kronik biasanya terdapat pada umur dewasa, onset ITP kronik biasanya tidak
menentu, banyak terjadi pada wanita di umur pertengahan riwayat perdarahan sering
dari ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki
perjalanan klinis yang fluktuatif (8). Pada kasus, pasien seorang laki-laki, umur
pertengahan dengan riwayat perdarahan spontan di gusi sebulan lalu dan dikatakan
tidak ada riwayat perdarahan berulang lagi dan pada pemeriksaan fisik tidak ada
organomegali.
6
tetapi tampaknya bahwa tubuh mencoba untuk mempertahankan total massa trombosit
dan bukan total jumlah trombosit. Total massa trombosit adalah konstan yang
diperoleh ketika mengalikan total jumlah trombosit dengan volume trombosit rata-
rata. Ketika jumlah trombosit menurun, berarti volume trombosit meningkat. Ketika
megatrombosit (trombosit raksasa) terlihat pada hapusan darah tepi biasanya
menunjukkan pemakaian perifer dari trombosit. Terdapat bukti bahwa trombosit yang
besar dapat diproduksi oleh megakariosit yang besar dan kecil dan bahwa trombosit
yang besar lebih aktif daripada yang lebih kecil (2). Pada kasus, dari gambaran darah
tepi didapatkan pada trombosit, kesan jumlah menurun, giant trombosit tidak ada,
trombosit clumping tidak ada. Karena tidak adanya trombosit raksasa maka dapat
dijelaskan tidak terjadi pemakaian perifer dari trombosit.
Masa hidup trombosit 7-10 hari dengan jumlah trombosit 150-450.000/ul.
Produksi berkurang dari trombosit karena supresi atau gagal sumsum tulang ialah
penyebab tersering dari trombositopenia. Infeksi viral adalah penyebab terbanyak
trombositopenia. Autoantibodi produksi Ig G, secara langsung menyerang antigen
pada membran trombosit. Antibodi berselimutkan trombosit di hilangkan oleh sistem
retikuloendotelial, mengurangi waktu hidup dari trombosit dalam beberapa jam (11).
Trombopoietin adalah molekul yang diproduksi di hati dalam jumlah yang
konstan. Ligannya, C-Mpl, ditemukan pada trombosit, megakariosit, sel induk dan sel
imatur lainnya dalam sumsum tulang. Trombopoietin merangsang sel induk untuk
mendiferensiasi menjadi megakariosit, mencegah apoptosis pada megakariosit dan
merangsang megakariosit untuk berproliferasi dalam jumlah, ukuran dan ploidi. Hal
ini juga akan merangsang trombosit perifer dan membuat mereka lengket (2).
Setelah trombopoietin berikatan dengan ligan itu maka akan diinternalisasi
dan kemudian akan melalui sistem sekunder messenger, JCK dan STAT, dan
kemudian memberikan efek. Jika terdapat jumlah trombosit di perifer yang normal
atau meningkat, sebagian besar trombopoietin akan berikatan dengan trombosit di
perifer, meninggalkan sedikit untuk berikatan dengan sel dalam sumsum tulang.
Bagaimanapun, jika jumlah trombosit di perifer rendah, trombopoietin dalam jumlah
yang lebih banyak akan masuk sumsum tulang dan berikatan dengan sel-sel sumsum
tulang, sehingga merangsang sumsum tulang untuk meningkatkan output dan ini
dapat ditingkatkan sampai maksimal 6 kali lipat. Insiden penyakit seperti hepatitis B
dan C meningkat pada masyarakat yang terinfeksi HIV dapat sangat menghambat
produksi trombopoietin, karena adanya kerusakan hati (2). Pada kasus, pasien
8
didapatkan status hepatitis B dan C dengan hasil non reaktif dan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik abdomen dan laboratorium darah dan urin serta pemeriksaan USG
abdomen, tidak ditemukan adanya penyakit hati.
HIV memasuki megakariosit dan trombosit melalui reseptor CXCR4. Pada
saat virus tersebut berada dalam megakariosit maka mulai menyebabkan kerusakan,
seperti yang ditunjukkan oleh perubahan morfologi megakariosit. Hal berikut ini
merupakan tanda-tanda umum dari HIV di sumsum tulang (2) :
• displasia di sumsum tulang
• inti telanjang (bare nuclei atau naked nuclei) – apoptotic megakaryocytes
• inti hypolobation
• kecenderungan untuk membentuk bentukan lobules inti yang terpisah
• megakariosit yang berkelompok.
Trombositopenia pada awal HIV terutama karena kerusakan perifer,
sementara di stadium lanjut (AIDS) itu lebih mungkin karena penurunan produksi.
Secara kenyataan, jumlah CD4 di atas 200 berhubungan dengan peningkatan
kerusakan perifer, sementara trombositopenia dengan jumlah CD4 < 200 dikaitkan
dengan penurunan produksi platelet (2,12). Studi retrospektif dari 85 pasien dengan
HIV dan trombositopenia terdapat pada stadium awal infeksi yang dikarenakan
predominan destruksi trombosit, sedangkan pasien dengan full-blown AIDS,
trombositopenia dikarenakan defek produksi. Trombositopenia karena abnormal
produksi trombosit berhubungan langsung dengan suatu infeksi HIV, karena efek
samping terapi obat, atau karena mielodisplasia. Dari studi kinetik trombosit, pasien
yang terinfeksi HIV mengalami pengurangan derajat sedang masa hidup trombosit.
Penemuan dasar HIV mRNA dan antigen P24 pada sitoplasma megakariosit, HIV
menginfeksi secara langsung megakariosit. HIV mRNA masuk melalui permukaan
CXCR4 megakariositik. Pemeriksaan aspirasi dan biopsi sumsum tulang diperlukan
untuk menilai infiltrasi infeksi granulomatous atau suatu malignansi yang
berkontribusi pada pasien HIV dengan trombositopenia (13). Pada kasus, pasien tidak
diperiksakan aspirasi dan biopsi sumsum tulang karena penolakan. Pada pasien
didapatkan CD 4 diatas 200 dengan trombositopenia. Jadi ITP pada pasien ini
merupakan awal infeksi HIV.
Pada satu penelitian ditemukan peningkatan megakariosit 3 kali lipat pada
pasien dengan HIV. Bagaimanapun, tidak ada peningkatan dalam massa trombosit
9
Sekuestrasi Infeksi
perifer/hipersplenisme
Hemofagositosis
Sirosis
Pada kasus, pasien ini mengaku sebelum sakit ini tidak ada konsumsi obat-obatan dan
pasien dalam keadaan sehat.
Setelah dibuat keputusan untuk mengobati, maka kesulitan yang lain timbul
yaitu memutuskan bagaimana mengobati. Dosis prednison sebesar 1 mg / kg / hari
harus dimulai sebagai terapi lini pertama. Memonitor jumlah trombosit secara teratur
dan mewaspadai adanya infeksi oportunistik. Jika tidak terlihat adanya respon dalam
jangka waktu 2 minggu, bisa dicoba dosis yang lebih tinggi yaitu 2 mg / kg / hari. Ini
adalah dosis yang digunakan dalam kelompok pasien HIV-negatif. Pasien-pasien ini
harus dimonitor secara hati-hati dan diberikan ARV. Pasien tidak boleh tetap pada
terapi dosis tinggi selama lebih dari sebulan. Jika tidak ada respon atau respon
nominal terlihat, harus dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan pengobatan
alternatif yang diberikan. Ditemukan resiko yang paling besar untuk menjaga pasien
dengan steroid dosis rendah untuk periode waktu yang berkepanjangan, karena efek
samping dan imunosupresi tersebut. Prednison tidak merangsang replikasi virus
namun mempercepat terjadinya sarkoma kaposi (2,11). Pada kasus, pasien sudah
diberikan metilprednisolon dan akan diberikan ARV dari poliklinik.
Imunoglobulin intravena (IVIG) efektif dalam meningkatkan jumlah trombosit
pasien. Bagaimanapun, hal itu tidak murah dan hasilnya berlangsung singkat. Cara ini
bukanlah cara yang efektif untuk mempertahankan jumlah trombosit dan hanya boleh
digunakan dalam kasus kronis sebagai upaya terakhir. Dalam keadaan akut, cara ini
baik untuk meningkatkan jumlah sebelum splenektomi atau jika pasien mengalami
perdarahan berat atau perdarahan yang tak terkendali. Hal ini kemudian akan
digunakan dalam hubungannya dengan transfusi trombosit. Mekanisme yang tepat
dari tindakan ini tidak sepenuhnya dipahami, cukup mengatakan bahwa
imunoglobulin yang berlebihan (Ig) akan membanjiri sistem kekebalan tubuh dan
menstimulasi suppressor sel B untuk menekan produksi Ig endogen. Imunoglobulin
intravena juga menghambat reseptor Fc di limpa dan makrofag, sehingga membatasi
fungsinya untuk menghancurkan trombosit. Dosis IVIG dari 0,5 g / kg sampai 2 g / kg
baik sebagai bolus, tapi kebanyakan diberikan selama 2-5 hari. Biaya dan
ketersediaan IVIG adalah faktor yang paling membatasi (2,13).
11
Ringkasan
Telah dilaporkan satu kasus laki-laki usia 44 tahun dengan keluhan utama
lemas. Pasien mengaku ada riwayat gusi berdarah dengan jumlah trombosit rendah
dan mendapat transfusi trombosit 30 kantong selama perawatan. Akhirnya pasien
didiagnosis dengan Infeksi HIV Stadium III WHO dengan ITP sekunder. Pengobatan
pasien diberikan tranfusi darah PRC sampai Hb lebih dari 10 g/dl dan akan
direncanakan diberikan ARV namun pasien tidak kontrol kembali dan sebulan setelah
dirawat pasien meninggal dunia. Dari kasus pasien ini, dapat diambil kesimpulan
bahwa manifestasi awal infeksi HIV bisa beragam munculnya. Kewaspadaan tentang
munculnya ITP pada pasien bisa menjadi salah satu yang penting yang harus
dipikirkan sebagai manifestasi awal infeksi HIV setelah beberapa penyebab yang lain
dapat disingkirkan.
Daftar Pustaka
1. Djoerban Z., Djauzi S. HIV/AIDS Di Indonesia. Dalam: Setiati S., Alwi I.,
Sudoyo A.W., Simadibrata M., Setiyohadi B., Syam A.F., penyunting. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam;2014.h.887-89.
2. Littleton N. Thrombocytopenia in HIV. CME. June 2007;25(6):272-75.
14