Anda di halaman 1dari 14

Laporan kasus

IMMUNE THROMBOCYTOPENIC PURPURA/ITP SEBAGAI


MANIFESTASI AWAL INFEKSI HIV

Pendahuluan
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah
AIDS, memperkirakan jumlah ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di seluruh dunia
pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal (1).
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi
HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya
amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (1).
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host
akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus
akut, keadaan asimtomatik berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat (Stadium
Klinis IV WHO) (9). ITP didiagnosis pada stadium III WHO, tetapi kadang ITP tanpa
disertai infeksi oportunistik sehingga kemudian memilih infeksi HIV sebagai
penyebab ITP.
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada HIV pertama kali dijelaskan
pada tahun 1982 oleh Morris et al., dengan ditemukannya 11 kasus ITP pada laki-laki
homoseksual di New York (2,3). Prevalensinya kurang lebih 40%, dimana 3% pasien
dengan HIV CD4 > 400 memiliki jumlah trombosit < 150.000/µl (2,4,5). ITP
dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, percepatan kerusakan pada
jumlah CD4 dan percepatan perkembangan untuk AIDS yang jelas. Pada meta-
analisis dari 5 percobaan yang melibatkan > 3000 pasien, baik pasien yang baru

1
2

menerima pengobatan maupun yang telah biasa menerima pengobatan, ITP ditemukan
menjadi 1 dari 8 faktor yang berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk dan
progresi yang lebih cepat untuk terjadinya AIDS yang jelas terlepas dari pengobatan
antiretroviral (2).
Dari studi yang lain, frekuensi ITP sebesar 16% diantara 103 homoseksual
laki, dan 37% diantara 182 pemakai narkotika jarum suntik dengan diagnosis baru
infeksi HIV (6). HIV-1 individu seropositif (homosexual, narkotika intravena,
hemophilia dan heterosexual) berkembang menjadi ITP kronik. ITP merupakan suatu
kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan
trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit dan megakariosit secara
dini akibat adanya autoantibodi yang mengenali antigen pada trombosit dan
megakariosit menghasilkan peningkatan destruksi trombosit dan menurunkan angka
produksi trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G (8).
Berikut kami laporkan sebuah kasus sebagai berikut.

Kasus
Seorang laki-laki berinisial N, berusia 44 tahun, berasal dari Jimbaran Kuta
Bali, datang ke UGD Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 25
Agustus 2013 dengan keluhan utama lemas.
Pasien mengeluh lemas sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas
terjadi terus menerus sepanjang hari, sampai sebelum masuk rumah sakit saat ini,
pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Sepanjang kondisi lemas tersebut,
pasien masih bisa makan sedikit dan minum. Pasien juga mengaku terjadi penurunan
berat badan sebanyak kurang lebih 5 kg dalam waktu 2 bulan belakangan ini. Pasien
mengaku tidak ada riwayat demam, batuk lama, sakit berkemih, mual muntah,
mencret, maupun perdarahan. Pasien mengaku buang air kecil dan besar lancar.
Pada riwayat penyakit dahulu yaitu tanggal 20 Juli 2013, pasien dilarikan di
rumah sakit swasta dengan keluhan sakit perut dan mendadak pingsan. Pada
pemeriksaan didapat hasil pemeriksaan fisik, rekam jantung, laboratorium dan USG
perut, semuanya baik kecuali jumlah trombositnya 12000/µl. Istri pasien melapor
bahwa sebelumnya pasien ada riwayat gusi berdarah, namun riwayat muntah darah,
buang air besar darah atau perdarahan di hidung maupun di tempat lain, disangkal.
Riwayat demam, batuk lama, sakit berkemih, sakit kepala dan kelumpuhan disangkal.
Istri pasien juga menambahkan bahwa riwayat kencing manis, darah tinggi dan
3

mengkonsumsi obat-obatan juga disangkal. Pada awalnya, pasien didiagnosis sebagai


observasi trombositopenia et causa infeksi dengue dd demam typhoid dd malaria dd
hepatitis viral dan sudah diperiksakan darah untuk dengue, typhoid, malaria maupun
viral hepatitis B dan C namun semua hasilnya negatif. Keesokan harinya pasien
diperiksakan darah lengkapnya dan didapatkan hasil semuanya normal kecuali
trombositnya 9000/µl. Pasien dikonsulkan ke hematologi dan didapatkan diagnosis
suspek ITP primer dd sekunder dan sudah diperiksakan antibodi anti trombosit serum
namun hasilnya negatif. Pasien sempat menjalani perawatan di ruang intensif selama
3 hari dan diberikan transfusi trombosit sebanyak 10 kantong. Setelah kondisi pasien
membaik dan gusinya tidak berdarah lagi maka dipindahkan ke ruang biasa dan
diperiksa ulang darahnya didapatkan jumlah trombositnya sudah 47000/µl. Pada
waktu hari ke-8 perawatan, pasien mengeluh kedua kakinya sakit seperti ditusuk-
tusuk lalu diberi obat dan diperiksa lagi darahnya. Pasien merasa sakit kakinya sudah
berkurang dan dilaporkan hasil tombositnya 7000/µl. Pasien ditransfusi 10 kantong
trombosit lagi. Besoknya diperiksa lagi darah lengkap dan hasilnya trombositnya
16000/µl. Dari hasil tersebut, kami merencanakan untuk memberikan transfusi
trombosit 10 kantong lagi. Jadi total trombosit yang diberikan sebanyak 30 kantong.
Pada waktu hari ke-14 perawatan, pasien dipulangkan dengan kondisi baik dan jumlah
trombosit 101000/µl. Selama perawatan, kami sudah berusaha mencari penyebab
rendahnya trombosit pasien namun semuanya belum ditemukan, kecuali status hiv
pasien tersebut. Kami menjelaskan tentang pemeriksaan HIV kepada pasien untuk
mencari penyebab rendahnya trombositnya. Pasien menyetujui pemeriksaan status
HIVnya dan didapatkan hasil reaktif dengan jumlah CD4 436. Pasien dan istri
mengaku tidak ada riwayat multipartner seksual. Riwayat keluarga dengan penyakit
yang sama tidak ada. Pasien bekerja sebagai pemuka agama dan juga seorang
wiraswasta.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesan umum sakit sedang, kesadaran
komposmentis, tekanan darah 110/70mmHg, frekuensi nadi 90 kali permenit regular
dengan isi cukup, frekuensi nafas 20 kali permenit, suhu aksila 36,0 oC. Pemeriksaan
mata didapatkan kesan anemis. Pemeriksaan Telinga Hidung dan Tenggorok (THT)
dalam batas normal. Pemeriksaan thorak didapatkan kesan normal. Pemeriksaan
abdomen didapatkan kesan normal. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat
dan tidak ada edema.
4

Pemeriksaan Elektrokardiografi didapatkan dengan irama sinus 99 kali


permenit, normal aksis, ST-T change (-), dengan kesimpulan irama sinus normal.
Pemeriksaan Radiologi Thorak AP didapatkan kesan cor dan pulmo tak tampak
kelainan. Pemeriksaan Radiologi BOF didapatkan kesan normal. Pemeriksaan
Laboratorium didapatkan pemeriksaan Darah Lengkap dengan WBC 8,6x103 dengan
neutrofil 2,28, limfosit 3,06, monosit 3,07, eosinofil 0,01, basofil 0,01. Hb 6,9g/dl,
HCT 21,2, MCV 80,9, MCH 26,6, dan platelet 45,9x10 3/µl. Pemeriksaan Kimia
Darah didapatkan dengan SGOT 89, SGPT 20, Bun 21, Creatinin 2,74, BS 86, CD4
400. Pemeriksaan Analisis Urin didapatkan PH 5, Lekosit (-), Nitrit (-), Protein (+4),
Bilirubin (-), Urobilinogen (-), Eritrosit (-), Keton (-), Sedimen Lekosit 1-2/LPK,
Sedimen Granula (+), Sedimen Silinder Amorf.
Pasien membawa hasil USG Abdomen dari rumah sakit swasta didapatkan
hasil Colecystitis non calculus, Liver,Pancreas,Lien,Ginjal kiri dan Buli-buli, tak
tampak kelainan, Small cyst di cortex pole atas Ginjal Kanan, Tak Tampak cairan
bebas di cavum abdomen-pelvis. Pasien juga membawa hasil Gambaran Darah Tepi
didapatkan hasil Eritrosit : Normokromik normositer, polikromasia (-), normoblas (-),
Leukosit : Kesan jumlah normal, diff. normal, tampak hipolobulasi segmen netrofil
menyerupai pseudo pelger huet anomaly, atipikal limfosit (+), toxic granule (-),
vakuolisasi (-), sel muda (-), Trombosit : Kesan jumlah menurun, giant trombosit (-),
trombosit clumping (-), Kesan : Gambaran Darah Tepi menunjukkan adanya anemia
normokromik ringan dan trombositopenia kecurigaan akibat : DD/ Myelodysplastic
syndrome (MDS), Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP), Proses Infeksi.
Berdasarkan data tersebut pasien didiagnosis dengan Infeksi HIV Stadium III
WHO dengan HIV-ITP, CKD Stadium IV ec suspek GNC dd HIVAN dengan Kista
Ginjal Kanan, dan Anemia Sedang Normokromik Normositer on CKD. Pasien
diberikan terapi infus NS 12 tetes permenit, Diet 2000 kcal, protein 48 gram, asam
folat 2 x 2 mg po, Transfusi PRC 1 kolf/hari sampai Hb > 10 gr/dl.
Perawatan hari ke-2 pasien masih mengalami lemas dan tidak ada panas.
Tanda Vital dalam batas normal. Pemeriksaan Fisik pada mata didapatkan kesan
anemis. Pasien direncanakan terapi ARV setelah Hb meningkat atau penyebab anemia
terdiagnosis. Pasien juga direncanakan periksa Coombs Test Direk dan Indirek.
Perawatan hari ke-3 pasien masih lemas. Tanda Vital dalam batas normal.
Pemeriksaan Fisik pada mata didapatkan kesan anemis. Hasil Coombs Test Direc dan
Indirec didapatkan negatif maka pasien disarankan untuk transfusi PRC.
5

Perawatan hari ke-6 pasien sudah tidak lemas. Tanda Vital dalam batas
normal. Pemeriksaan Fisik pada mata didapatkan kesan normal. Hasil Darah Lengkap
didapatkan dengan WBC 12,2x103 dengan neutrofil 2,84, limfosit 3,1, monosit 5,91,
eosinofil 0,053, basofil 0,300. Hb 11,2g/dl, HCT 34,3, MCV 85,2, MCH 27,7, dan
platelet 32,7x103/µl maka pasien disarankan untuk rawat poliklinis dan direncanakan
pemberian ARV lewat rawat poliklinis.

Pembahasan
Gejala klinis ITP biasanya perlahan-lahan dengan riwayat mudah berdarah
dengan trauma maupun tanpa trauma. Pada umumnya bentuk perdarahan pada ITP
adalah purpura pada kulit atau mukosa. Tempat-tempat yang sering menimbulkan
perdarahan mukosa antara lain di hidung, gusi, saluran makanan, serta traktus
urogenital. Dapat dijumpai perdarahan pada retina atau konjungtiva tetapi sangat
jarang dijumpai, sedangkan perdarahan sendi hampir tidak pernah dijumpai.
Perdarahan spontan, baru terjadi bila jumlah trombosit di bawah 50.000/µl. Bila
terjadi perdarahan intrakranial merupakan kondisi yang fatal, risiko terjadinya
perdarahan intrakranial sangat besar pada penderita dengan trombositopenia berat,
yaitu jumlah trombosit < 10.000/ µl (9). Pada pasien didapatkan riwayat gusi berdarah
spontan yang dirasakan baru pertama kali dan hasil pemeriksaan darah didapatkan
jumlah trombosit 12.000/ µl (di bawah 50.000/ µl).
ITP akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, onset
penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan
berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan
penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus
pediatrik trombositopenia imunologik. Pada ITP dewasa, bentuk akut jarang terjadi,
namun dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP
kronik biasanya terdapat pada umur dewasa, onset ITP kronik biasanya tidak
menentu, banyak terjadi pada wanita di umur pertengahan riwayat perdarahan sering
dari ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, dan memiliki
perjalanan klinis yang fluktuatif (8). Pada kasus, pasien seorang laki-laki, umur
pertengahan dengan riwayat perdarahan spontan di gusi sebulan lalu dan dikatakan
tidak ada riwayat perdarahan berulang lagi dan pada pemeriksaan fisik tidak ada
organomegali.
6

Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan faktor- faktor sekunder yang


dapat menimbulkan trombositopenia misalnya SLE, obat-obatan, trombositopenia
post transfusi, leukemia. Adapun kriteria diagnosis adalah sebagai berikut (9) :
1. Perdarahan atau purpura pada lebih dari satu lokasi
2. Tidak ada pembesaran limpa
3. Terdapat trombositopenia di bawah 150.000/ µl pada pemeriksaan darah tepi
4. Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, jumlah megakariosit normal atau
meningkat, eritropoiesis serta leukopoiesis normal
5. Mungkin ditemukan antitrombosit antibodi positip
6. Tidak ada penyakit lain yang menyebabkan trombositopenia misalnya obat-
obatan, sepsis, koagulasi intravaskuler diseminata, SLE, leukemia, post
transfusi dan infeksi virus ( hepatitis B, hepatitis C, dan HIV )
Pada kasus, pasien dengan riwayat perdarahan hanya di gusi dengan jumlah
trombosit 12.000/ µl, tidak ada organomegali, saat masuk rumah sakit, pasien
menolak pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan pasien mengaku tidak ada
konsumsi obat-obatan dan tidak ada riwayat sakit demam berkepanjangan, tidak ada
riwayat diare lama, tidak ada riwayat batuk lama, tidak ada riwayat berat badan
menurun dengan sebab tidak jelas dan tidak ada riwayat transfusi darah.
Diagnosis infeksi HIV ditegakkan berdasarkan klinis dan dipastikan melalui
pemeriksaan laboratoris. Diagnosis HIV/AIDS seyogyanya ditetapkan meliputi
diagnosis klinis, definitif, disertai diagnosis status imunologis, diagnosis infeksi
sekunder dan atau malignansi (10).
Pada kasus, pasien hanya menunjukkan klinis riwayat perdarahan spontan di
gusi dengan jumlah trombosit 12.000/ µl tanpa ditemukan tanda dan gejala dari.
infeksi oportunistik seperti infeksi jamur, penyakit paru baik pneumonia atau TB paru
ataupun ekstra paru, infeksi di kulit atau kelamin, infeksi di otak maupun infeksi
bakteri berat lainnya. Akhirnya pasien mau diperiksakan status HIV-nya dan
didapatkan hasil reaktif dengan CD 436.
Mekanisme yang tepat dari trombopoiesis bahwa 30.000-45.000 trombosit/μl/
hari diproduksi dalam sumsum tulang yang normal. Hal ini telah menjadi jelas bahwa
morfologi megakariosit memainkan peran penting dalam trombopoiesis dan bahwa
megakariosit yang besar menghasilkan trombosit lebih banyak daripada yang lebih
kecil. Semakin banyak ploidi (lobulasi inti), semakin banyak produksi trombosit
(terutama ploidi >8). Mekanisme yang mengontrol ukuran trombosit kurang dipahami
7

tetapi tampaknya bahwa tubuh mencoba untuk mempertahankan total massa trombosit
dan bukan total jumlah trombosit. Total massa trombosit adalah konstan yang
diperoleh ketika mengalikan total jumlah trombosit dengan volume trombosit rata-
rata. Ketika jumlah trombosit menurun, berarti volume trombosit meningkat. Ketika
megatrombosit (trombosit raksasa) terlihat pada hapusan darah tepi biasanya
menunjukkan pemakaian perifer dari trombosit. Terdapat bukti bahwa trombosit yang
besar dapat diproduksi oleh megakariosit yang besar dan kecil dan bahwa trombosit
yang besar lebih aktif daripada yang lebih kecil (2). Pada kasus, dari gambaran darah
tepi didapatkan pada trombosit, kesan jumlah menurun, giant trombosit tidak ada,
trombosit clumping tidak ada. Karena tidak adanya trombosit raksasa maka dapat
dijelaskan tidak terjadi pemakaian perifer dari trombosit.
Masa hidup trombosit 7-10 hari dengan jumlah trombosit 150-450.000/ul.
Produksi berkurang dari trombosit karena supresi atau gagal sumsum tulang ialah
penyebab tersering dari trombositopenia. Infeksi viral adalah penyebab terbanyak
trombositopenia. Autoantibodi produksi Ig G, secara langsung menyerang antigen
pada membran trombosit. Antibodi berselimutkan trombosit di hilangkan oleh sistem
retikuloendotelial, mengurangi waktu hidup dari trombosit dalam beberapa jam (11).
Trombopoietin adalah molekul yang diproduksi di hati dalam jumlah yang
konstan. Ligannya, C-Mpl, ditemukan pada trombosit, megakariosit, sel induk dan sel
imatur lainnya dalam sumsum tulang. Trombopoietin merangsang sel induk untuk
mendiferensiasi menjadi megakariosit, mencegah apoptosis pada megakariosit dan
merangsang megakariosit untuk berproliferasi dalam jumlah, ukuran dan ploidi. Hal
ini juga akan merangsang trombosit perifer dan membuat mereka lengket (2).
Setelah trombopoietin berikatan dengan ligan itu maka akan diinternalisasi
dan kemudian akan melalui sistem sekunder messenger, JCK dan STAT, dan
kemudian memberikan efek. Jika terdapat jumlah trombosit di perifer yang normal
atau meningkat, sebagian besar trombopoietin akan berikatan dengan trombosit di
perifer, meninggalkan sedikit untuk berikatan dengan sel dalam sumsum tulang.
Bagaimanapun, jika jumlah trombosit di perifer rendah, trombopoietin dalam jumlah
yang lebih banyak akan masuk sumsum tulang dan berikatan dengan sel-sel sumsum
tulang, sehingga merangsang sumsum tulang untuk meningkatkan output dan ini
dapat ditingkatkan sampai maksimal 6 kali lipat. Insiden penyakit seperti hepatitis B
dan C meningkat pada masyarakat yang terinfeksi HIV dapat sangat menghambat
produksi trombopoietin, karena adanya kerusakan hati (2). Pada kasus, pasien
8

didapatkan status hepatitis B dan C dengan hasil non reaktif dan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik abdomen dan laboratorium darah dan urin serta pemeriksaan USG
abdomen, tidak ditemukan adanya penyakit hati.
HIV memasuki megakariosit dan trombosit melalui reseptor CXCR4. Pada
saat virus tersebut berada dalam megakariosit maka mulai menyebabkan kerusakan,
seperti yang ditunjukkan oleh perubahan morfologi megakariosit. Hal berikut ini
merupakan tanda-tanda umum dari HIV di sumsum tulang (2) :
• displasia di sumsum tulang
• inti telanjang (bare nuclei atau naked nuclei) – apoptotic megakaryocytes
• inti hypolobation
• kecenderungan untuk membentuk bentukan lobules inti yang terpisah
• megakariosit yang berkelompok.
Trombositopenia pada awal HIV terutama karena kerusakan perifer,
sementara di stadium lanjut (AIDS) itu lebih mungkin karena penurunan produksi.
Secara kenyataan, jumlah CD4 di atas 200 berhubungan dengan peningkatan
kerusakan perifer, sementara trombositopenia dengan jumlah CD4 < 200 dikaitkan
dengan penurunan produksi platelet (2,12). Studi retrospektif dari 85 pasien dengan
HIV dan trombositopenia terdapat pada stadium awal infeksi yang dikarenakan
predominan destruksi trombosit, sedangkan pasien dengan full-blown AIDS,
trombositopenia dikarenakan defek produksi. Trombositopenia karena abnormal
produksi trombosit berhubungan langsung dengan suatu infeksi HIV, karena efek
samping terapi obat, atau karena mielodisplasia. Dari studi kinetik trombosit, pasien
yang terinfeksi HIV mengalami pengurangan derajat sedang masa hidup trombosit.
Penemuan dasar HIV mRNA dan antigen P24 pada sitoplasma megakariosit, HIV
menginfeksi secara langsung megakariosit. HIV mRNA masuk melalui permukaan
CXCR4 megakariositik. Pemeriksaan aspirasi dan biopsi sumsum tulang diperlukan
untuk menilai infiltrasi infeksi granulomatous atau suatu malignansi yang
berkontribusi pada pasien HIV dengan trombositopenia (13). Pada kasus, pasien tidak
diperiksakan aspirasi dan biopsi sumsum tulang karena penolakan. Pada pasien
didapatkan CD 4 diatas 200 dengan trombositopenia. Jadi ITP pada pasien ini
merupakan awal infeksi HIV.
Pada satu penelitian ditemukan peningkatan megakariosit 3 kali lipat pada
pasien dengan HIV. Bagaimanapun, tidak ada peningkatan dalam massa trombosit
9

rata-rata, menunjukkan adanya dismegakariopoiesis. Hal ini menunjukkan bahwa


trombositopenia pada HIV adalah multifaktorial karena (2) :
•Infeksi HIV langsung dari megakariosit, menyebabkan apoptosis
•dismegakariopoiesis, produksi abnormal dan disfungsional dari megakariosit dan
trombosit
•kerusakan perifer trombosit karena reaktivitas silang antibodi HIV.
Harus diingat bahwa trombositopenia berkorelasi dengan hasil yang lebih
buruk dan akselerasi HIV dan setidaknya mortalitas meningkat 2 kali lipat. Pada
oposisi ini, pengobatan trombositopenia adalah imunosupresif dan oleh karena itu
harus diberikan ARV. Jika hal ini terjadi di awal penyakit, maka dapat menyebabkan
masalah dengan kepatuhan jangka panjang atau dengan pusat lokal menyediakan
ARV. Jumlah trombosit sebesar 50.000/µl pasca perawatan cukup sebagai
perlindungan terhadap perdarahan, tetapi tetap memprediksikan hasil yang lebih
buruk yang berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas. Trombositopenia terjadi
sebagai hasil dari (2) :
• kerusakan perifer meningkat atau
• peningkatan penyerapan perifer atau
• penurunan produksi atau
• suatu kombinasi di atas.
Obat-obatan yang secara langsung mempengaruhi trombopoiesis adalah
kotrimoksazol, pentamidin, pirimetamin, ganciclovir, fluconazole, rifabutin,
interferon alfa, clarithromycin, didanosine, amphotericin B, indinavir, dan ritonavir
(2,13). Penyebab trombositopenia tercantum dalam Tabel 1 (2).
Tabel 1. Penyebab Trombositopenia
Produksi yang berkurang Defisiensi hematinik, seperti folat vitamin B12
Dismegakariopoiesis (infeksi HIV langsung, obat-
obatan, sitokin dari infeksi atau keganasan lain, dan
sebagainya)
Infeksi langsung ke sumsum tulang
Keganasan yang infiltrasi ke sumsum tulang
Amegakariopoiesis, penyebab herediter (May-Hegglin,
dan sebagainya)
Obat-obatan: delavirdine dan nelfinavir
Konsumsi perifer Idiophatic thrombocytopenic purpura
Koagulopati intravascular yang difus
Trombotik trombositopenik purpura
10

Sekuestrasi Infeksi
perifer/hipersplenisme
Hemofagositosis
Sirosis

Pada kasus, pasien ini mengaku sebelum sakit ini tidak ada konsumsi obat-obatan dan
pasien dalam keadaan sehat.
Setelah dibuat keputusan untuk mengobati, maka kesulitan yang lain timbul
yaitu memutuskan bagaimana mengobati. Dosis prednison sebesar 1 mg / kg / hari
harus dimulai sebagai terapi lini pertama. Memonitor jumlah trombosit secara teratur
dan mewaspadai adanya infeksi oportunistik. Jika tidak terlihat adanya respon dalam
jangka waktu 2 minggu, bisa dicoba dosis yang lebih tinggi yaitu 2 mg / kg / hari. Ini
adalah dosis yang digunakan dalam kelompok pasien HIV-negatif. Pasien-pasien ini
harus dimonitor secara hati-hati dan diberikan ARV. Pasien tidak boleh tetap pada
terapi dosis tinggi selama lebih dari sebulan. Jika tidak ada respon atau respon
nominal terlihat, harus dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan pengobatan
alternatif yang diberikan. Ditemukan resiko yang paling besar untuk menjaga pasien
dengan steroid dosis rendah untuk periode waktu yang berkepanjangan, karena efek
samping dan imunosupresi tersebut. Prednison tidak merangsang replikasi virus
namun mempercepat terjadinya sarkoma kaposi (2,11). Pada kasus, pasien sudah
diberikan metilprednisolon dan akan diberikan ARV dari poliklinik.
Imunoglobulin intravena (IVIG) efektif dalam meningkatkan jumlah trombosit
pasien. Bagaimanapun, hal itu tidak murah dan hasilnya berlangsung singkat. Cara ini
bukanlah cara yang efektif untuk mempertahankan jumlah trombosit dan hanya boleh
digunakan dalam kasus kronis sebagai upaya terakhir. Dalam keadaan akut, cara ini
baik untuk meningkatkan jumlah sebelum splenektomi atau jika pasien mengalami
perdarahan berat atau perdarahan yang tak terkendali. Hal ini kemudian akan
digunakan dalam hubungannya dengan transfusi trombosit. Mekanisme yang tepat
dari tindakan ini tidak sepenuhnya dipahami, cukup mengatakan bahwa
imunoglobulin yang berlebihan (Ig) akan membanjiri sistem kekebalan tubuh dan
menstimulasi suppressor sel B untuk menekan produksi Ig endogen. Imunoglobulin
intravena juga menghambat reseptor Fc di limpa dan makrofag, sehingga membatasi
fungsinya untuk menghancurkan trombosit. Dosis IVIG dari 0,5 g / kg sampai 2 g / kg
baik sebagai bolus, tapi kebanyakan diberikan selama 2-5 hari. Biaya dan
ketersediaan IVIG adalah faktor yang paling membatasi (2,13).
11

Globulin anti - rhesus juga dapat digunakan dengan berbagai tingkat


keberhasilan. Hal ini seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan Rh + karena
dapat menyebabkan hemolisis, namun dapat digunakan jika pasien memiliki
hemoglobin yang normal. Efeknya, jika terdapat respon, maka respon tersebut akan
lebih tahan lama dibandingkan IVIG (2).
Splenektomi adalah terapi lini kedua dengan kelompok pasien HIV-negatif.
Ada kekhawatiran pada awalnya bahwa itu akan mempercepat kejadian HIV. Hal ini
terjadi sebelum ARV tersedia secara umum. Saat ini, selain kekhawatiran adanya
infeksi dari organisme berkapsul dan malaria, splenektomi dapat menjadi alternatif
yang baik. Sebuah literatur menunjukkan bahwa splenektomi dapat melemahkan
sindrom pemulihan kekebalan tubuh dan telah menunjukkan dapat menyebabkan CD4
dan CD8 yang lebih tinggi bersamaan dengan lambatnya perkembangannya menjadi
AIDS. Iradiasi limpa tidak ada gunanya dalam situasi ini (2).
Obat Megestrol Asetat (MA) awalnya digunakan untuk mengobati kakeksia
dan anoreksia pada HIV. Obat ini dikenal untuk memblokir reseptor Fc di makrofag.
Percobaan telah menunjukkan bahwa Megestrol Asetat (MA) dapat meningkatkan
jumlah trombosit di perifer dan meningkatkan kelangsungan hidup trombosit. Tidak
ada perbaikan dalam indeks massa tubuh (BMI), jumlah CD4 perifer atau viral load
(2,13).
Transfusi memiliki efek sementara. Transfusi ini mahal dan harus dibatasi
pada keadaan darurat. Biasanya transfusi harus diberikan dengan IVIG sehingga
mendapatkan efek yang lebih lama. Transfusi memiliki efek samping lainnya,
misalnya reaksi transfusi, infeksi dan transfusi - terkait cedera paru akut (TRALI).
Multipel transfusi diketahui untuk mengurangi imunitas dan merangsang ekspresi
HIV – 1 (2). Pada kasus, pasien mempunyai riwayat diberikan transfusi trombosit 30
kantong dan pada saat ini diberikan transfusi PRC sampai dengan Hb > 10 g/dl untuk
inisiasi ARV. Selama transfusi tidak didapatkan penyulit yang bermakna.
Terapi ini masih dalam tahap eksperimental tetapi termasuk entitas seperti
rekombinan trombopoietin, interferon alfa dan Il-6 , Il-3 , dan Il-11. Vincristine
sangat jarang digunakan (2,13).
Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) adalah gangguan hemolitik
parah ditandai dengan fragmentasi sel darah merah, jumlah trombosit yang rendah dan
purpura. Pada kasus yang parah dan diabaikan, gangguan ginjal dan tanda-tanda
serebrovaskular terlihat. Dasar patofisiologinya disebabkan oleh kekurangan atau
12

disfungsional ADAMTS-13 protease. Protease ini membelah molekul von Willebrand


yang besar menjadi molekul yang lebih kecil, yang menyebabkan dapat terjadi
hemostasis. Penyakit ini terlihat pada kelompok pasien HIV-positif dan HIV-negatif.
Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah serokonversi penyakit tetapi sebagian
besar terlihat pada tahap selanjutnya dari HIV dengan jumlah CD4 yang rendah.
Penyakit ini sangat umum di Afrika Selatan dan sayangnya masih memiliki angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi, mungkin karena underdiagnosis, diagnosis
yang salah dan pengobatan yang salah (2,5).
Terdapat berbagai pilihan pengobatan untuk kondisi ini, mulai dari pertukaran
plasma, vincristine dan fresh frozen plasma (FFP) yang mengandung cryoglobulin
yang rendah dengan prednison 1 mg / kg / hari. Efektivitas penggunaan FFP yang
mengandung cryoglobulin yang rendah dan prednison mirip dengan pertukaran
plasma dan merupakan pilihan alternatif dan pilihan praktis terhadap pengobatan yang
layak pada daerah pedalaman. Setidaknya pengobatan dapat dimulai secara lokal dan
pasien distabilkan sebelum dirujuk rumah sakit pusat (2).
Penyebab mungkin trombositopenia pada pasien HIV ialah kerusakkan
mediasi imun, TTP, gangguan hematopoeisis dan efek toksik pada pengobatan dan
infeksi. Dua komponen major patofisiologi trombositopenia pada HIV (7) :
1. Kerusakan trombosit yang dimediasi imun, yang sama terlihat pada ITP
2. Suatu defek pada produksi sumsum tulang sebagai interaksi antara HIV dan
megakariosit melalui beberapa langkah, yang menyebabkan supresi dari
produksi trombosit.
Diagnosis ITP pada pasien HIV-ITP bila tidak ada kondisi atau pengobatan
yang menyebabkan trombositopenia. HIV-ITP sangat sering sebagai manifestasi dini
dari infeksi HIV, yang terjadi sebelum berkembang menjadi AIDS secara definisi dari
CDC. Satu teori menyatakan kompleks imun bersikulasi secara spesifik terdeposit
pada membran trombosit menghasilkan bersihan dari RES. Kompleks imun ini
mengandung anti-HIV gp 120 dan antibodi anti idiotipe yang secara langsung
melawan antibodi HIV (7).
Pada pasien dengan refrakter, splenektomi memiliki 60-70% peluang pada
pengobatan jangka panjang dan azathioprine, danazol, vinca alkaloids dan dosis tinggi
dexamethasone telah dicoba keberhasilannya. Pada resiko perdarahan, atau terjadi
perdarahan akibat gangguan fungsi trombosit, transfusi trombosit menyediakan fungsi
trombosit yang normal (11).
13

Zidovudin dapat meningkatkan produksi trombosit namun tidak


mempengaruhi waktu hidup trombosit. Pengobatan Zidovudine dan kombinasinya
menaikkan jumlah trombosit seperti menaikkan jumlah CD4 dan menurunkan HIV
viral load (6,12). Pada suatu studi, Zidovudin diberikan 2 gram perhari selama 2
minggu diikuti Zidovudin 1 gram perhari selama 6 minggu dan dari studi ini, dapat
meningkatkan jumlah trombosit 1,1 - 3,8 kali dalam 8 minggu pemberian Zidovudin
(3).
Pada pasien ini direncanakan diberikan ARV, namun pasien tidak kontrol
kembali setelah dirawat dan diberitakan telah meninggal dunia 1 bulan kemudian,
setelah pulang dari perawatan di rumah sakit Sanglah.

Ringkasan
Telah dilaporkan satu kasus laki-laki usia 44 tahun dengan keluhan utama
lemas. Pasien mengaku ada riwayat gusi berdarah dengan jumlah trombosit rendah
dan mendapat transfusi trombosit 30 kantong selama perawatan. Akhirnya pasien
didiagnosis dengan Infeksi HIV Stadium III WHO dengan ITP sekunder. Pengobatan
pasien diberikan tranfusi darah PRC sampai Hb lebih dari 10 g/dl dan akan
direncanakan diberikan ARV namun pasien tidak kontrol kembali dan sebulan setelah
dirawat pasien meninggal dunia. Dari kasus pasien ini, dapat diambil kesimpulan
bahwa manifestasi awal infeksi HIV bisa beragam munculnya. Kewaspadaan tentang
munculnya ITP pada pasien bisa menjadi salah satu yang penting yang harus
dipikirkan sebagai manifestasi awal infeksi HIV setelah beberapa penyebab yang lain
dapat disingkirkan.

Daftar Pustaka

1. Djoerban Z., Djauzi S. HIV/AIDS Di Indonesia. Dalam: Setiati S., Alwi I.,
Sudoyo A.W., Simadibrata M., Setiyohadi B., Syam A.F., penyunting. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam;2014.h.887-89.
2. Littleton N. Thrombocytopenia in HIV. CME. June 2007;25(6):272-75.
14

3. Donald W. Hematologic Manifestations of HIV. HIV InSite Knowledge


Base Chapter February 1998.
4. Chandra N., Bhavnadhar P., Raju S., Shanthveer U. HIV associated
thrombocytopenia. J Clin Sci Res 2012;1:187-91.
5. Lim P.L. HIV-related haematological conditions. Is it HIV.2009. h.52-6.
6. Hoffman. Hematologi:Basic Principles and Practice.Churchill Living Stone
2008;32.
7. Mehta S.,Jutur S.,Gautam D. Hematologic Manifestations of HIV/AIDS.
Medicine Update 2011:483-5.
8. Purwanto I. Purpura Trombositopenia Imun. Dalam: Setiati S., Alwi I.,
Sudoyo A.W., Simadibrata M., Setiyohadi B., Syam A.F., penyunting. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam;2014.h.2778-82.
9. Bintoro U. Purpura Trombositopenik Imunologik. Dalam: Tjokroprawiro A.,
Setiawan P.B., Effendi C., Santoso D., Soegiarto G., penyunting. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kedua. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR;2015.h.419-22.
10. Nasronudin. Infeksi HIV. Dalam: Tjokroprawiro A., Setiawan P.B., Effendi
C., Santoso D., Soegiarto G., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi-2. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR;2015.h.676.
11. Liesner R.J., Machin S.J. Platelet Disoreder. ABC of Clinical Haematology
2 nd Ed 2003;7:28-32.
12. Sloand E.M., Groopman J.E. Acquired Immunodeficiency Syndrome.
Wintrobe’s Clinical Hematology, 11 th Ed 2003;69:3786-7.
13. HIV & AIDS information. Thrombocytopenia – Treatment. Diunduh dari
http://www.aidsmap.com/print/page/1732061.

Anda mungkin juga menyukai