Anda di halaman 1dari 15

PERBEDAAN NILAI CT VALUE PASIEN COVID-19

BERDASARKAN SUHU PREPARASI SPESIMEN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Terapan Kesehatan

MOCH. IRWAN FITRIANA RACHMAN


5220032

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang`


Pengumuman WHO pada tanggal 11 Februari 2020 mengenai Coronavirus
Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory
Syndrome COronavirus-2 (SARS-Cov-2). (WHO, 2020). Virus ini dapat ditularkan
dari manusia ke manuasia dan telah menyebar luas di lebih dari 190 negara dan
teritori lainnya. (WHO, 2019). Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan Covid-19
sebagai pandemic. (WHO, 2020).
Sebagian besar pasien yang terinfeksi Covid-19 menunjukan gejala-gejala pada
system pernafasan seperti demam,batuk, bersin dan sesak nafas. (Rothan HA dan
Byrareddy SN, 2020). Sebanyak 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk
kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak
napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah,
kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptitis , dan kongesti konjungtiva. (WHO,
2020). Lebih dari 40% demam pada pasien Covid-19 memiliki suhu puncak antara
38,1 – 39ºC, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39ºC. (Huang C.,
dkk, 2020). Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedan, berat dan kritis. Kasus tanpa gejala merupakan kondisi paling ringan
dimana pasien tidak mengalami gejala sama sekali. Sedangkan, kasus ringan adalah
kondisi dimana pasien mengalami gejala seperti demam, batuk, dll. (PDPI, dkk.,
2020).
Pemeriksaan molekuler dengan metode real time reverse transcription
polymerase chain reaction atau selanjutnya disebut sebagai real time RT-PCR, pada
saat ini masih digunakan sebagai metode untuk mendeteksi SARS-CoV2 penyebab
COVID-19. Gen spesifik SARS-CoV2 yang di detekasi adalah ORF 1a/b, E, RdRP,
dan Gen N. Primers yang digunakan dalam reaksi PCR pada umumnya mendeteksi 2
diantara 4 gen tersebut dengan tujuan untuk mencegah adanya potensi reaksi silang
dengan virus Corina lainnya dan genetic drift SARS-CoV2. Pemeriksaan PCR pada
swab nasofaring dan orofaring memiliki spesifisitas yang tinggi dan sensitifitas yang
tergantuk pada beberapa hal, yaitu viral load yaitu metode isolasi atau ekstraksi RNA
yang digunakan dan waktu pengambilan swab yang tergantung pada fase penyakit
yang dialami pasien. (Touma dan Marlin, 2020).
Interpretasi dari pemeriksaan real time PCR yaitu bila terdapat akumulasi sinyal
floresens atau disebut dengan Ct (cycle threshoid) dimana jumlah siklus yang
dibutuhkan sampai sinyal flouresent melewati ambang (threshoid). Bullard, J et al
(2020) melakukan penelitian tentang infektivitas SARS-CoV2 pada pasien
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dengan membandingkan antara kultur
virus dan real time RT-PCR menggunakan specimen nasofaring atau secret saluran
nafas bawah. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan bahwa pasien tidak
infeksius lagi pada hasil Ct gen E di nilai >24 dan symptoms to tes (STT) atau jumlah
hari sejak timbulnya gejala sampai saat pengambulan specimen adalah >8 hari. La
Scola (2020) melakukan evaluasi pada 129 sampel dengan nilai Ct 13 – 17
menunjukkan 100% positif pada kultur laboratorium dan menurun sampai angka
tidak terdeteksi pada kultur virus pada saat nilai Ct > 34 dan terdapat 12% dengan Ct
33 yan menunjukkan kultur virus positif. Menurut Bordon et al (2020) bahwa pada
hari ke-29 sejak hasil PCR positif, dengan nilai Ct 38, dinyatakan sudah tidak
menular lagi.
Pada 17 Juni 2020, WHO memplubilkasi scientific brief tentang criteria
pengakhiran masa isolasi seseorang dengan status konfirmasi COVID-19 yang
merupakan revisi dari scientific brief sebelumnya yang telah dipublikasi pada 12
Januari 2020. Pada awalnya dijelaskan bahwa seseorang dengan status konfirmasi
COVID-19 boleh dikeluarkan dari isolasi bila tidak lagi menandung virus yan
dinyatakan dengan hasil negative pada 2x pemeriksaan PCR swab yang diambil
berjarak minimal 24 jam. Pernyataan tersebut berdasarkan pengalaman dalam
menangani kasus infeksi virus Corona sebelumnya (SARS dan MERS). (WHO,
2020).
Tahapan penting yang dilakukan dalam proses PCR diantaranya adalah
denaturasi, annealing dan ekstensi. Annealing merupakan tahap terjadinya
penempelan primer pada DNA template. Primer dapat menempel pada DNA template
apabila suhu yang digunakan merupakan suhu optimum, sehingga suhu yang
digunakan dalam tahap annealing merupakan faktor penting keberhasilan amplifikasi
DNA dengan metode PCR. Suhu annealing yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
ketidakberhasilan amplifikasi DNA, sedangkan suhu annealing yang terlalu rendah
dapat menyebabkan primer menempel pada tempat yang tidak spesifik (Coyne VE,
dkk. 1996). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ada atau
tidaknya perbedaan nilai CT Value pada pemeriksaan RT-PCR Covid-19 berdasarkan
suhu preparasi spesimen.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat mengidentifikasi masalah yang
terjadi karena suhu pada proses annealing yang kurang tepat dapat menyebabkan
proses deteksi menjadi tidak akurat.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan pada
penelitian ini yaitu “Apakah ada perbedaan nilai CT Value berdasarkan suhu
preparasi spesimen?”

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan nilai CT
Value Pasien Covid-19 berdasarkan suhu preparasi spesimen.
1.4.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui nilai CT Value pada suhu preparasi spesimen 550C
2. Mengetahui nilai CT Value pada suhu preparasi spesimen 800C
3. Mengetahui nilai CT Value pada suhu preparasi spesimen 900C
4. Mengetahui perbedaan nilai CT Value dan optimasi suhu preparasi
pemeriksaan RT-PCR

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi kepada ahli virologi
dan masyarakat pada umumnya terhadap nilai CT Value Covid-19.

1.5.2 Manfaat Praktis


1.5.2.1 Bagi Profesi
Menambah pengetahuan tentang interpretasi hasil pemeriksaan swab PCR
metode RTq-PCR
1.5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai informasi dan acuan untuk peneliti selanjutnya dan dapat
menambahkan kekurangan pada penelitian ini.
1.5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan berguna sebagai masukan menambah bahan bacaan di Institut
Kesehatan Rajawali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virologi

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-260 nm. Virus
ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan
unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illnes
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV) (Riedel S, dkk. 2019). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-
19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenik menunjukkan
bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada tahun 2002-
2004 silam, yaitu Sarbecovirus (Zhu N, dkk. 2020). Atas dasar ini, Internasional
Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV. (Gorbalenya
AE, dkk. 2020).

Sekuens SARS-CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang


diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal
dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia (Zhou P, dkk.
2020). Mamalia dan burung diduga sebagai reservoir perantara (Rothan HA dan
Byrareddy SN. 2020). Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai
reservoir perantara. Strain coronavirus pada trenggilinh adalah yang mirip
genomnya dengan coronavirus kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%)
(Zhang T, dkk. 2020)). Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki homologi 89%
terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-CoV-2 (Chan
JF-W, dkk. 2020).
Hasil pemodelan melalui kompuer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2
memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain reseptor-binding yang
hampir identik dengan SARS-CoV-2. Pada SARS-CoV-2, protein ini memiliki
afinitas yang kuat terhadap angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) (Zhang H,
dkk. 2020). Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung kemungkinan virus
mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor ACE2 (Zhou P, dkk. 2020).
Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak menggunakan reseptor
coronavirus lainnya seperti Aminopepidase N (APN) dan Dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4) (Zhou P, dkk. 2020).

2.2 Transmisi
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-
CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau
bersin (Han Y dan Yang H. 2020). Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2
dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama stidaknya 3 jam
(Van Doramalen, dkk. 2020). WHO memperkirakan reproductive number (R0)
COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R 0 sebesar
3,28 (Liu Y, dkk. 2020). Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan
dari karier asimptomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-
kasus terkait transmisi dari karier asimptomatis umumnya memiliki riwayat
kontak erat dengan pasien COVID-19 (Han Y dan Yang H. 2020 dalam Bai Y,
dkk. 2021). Beberapa peneliti melaporkan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus.
Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti
dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi data menunjukkan peluang transmisi
vertikal tergolong kecil (Han Y dan Yang H. 2020).

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil


biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di
feses, bahkan ada 23% pasien dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses
walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran nafas. Kedua fakta ini
menguatkan kemungkinan transmisi secara fekal-oral (Xiao F, dkk. 2020).
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak jauh berbeda dibandingkan SARS-
CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk 2020. Menunjukkan
SARS-CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura
menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien
COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan
toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak ada
sampel udara (Ong SWX, dkk. 2020).

2.3 Patogenesis dan Gejala Klinis

2.3.1. Patogenesis
Coronavirus atau Covid-19 termasuk dalam genus betacoronavirus, hasil
anasilis menunjukkan adanya kemiripan dengan SARS (Susilo A, dkk. 2019).
Pada kasus Covid-19, trenggiling diduga sebagai perantaranya karena genomnya
mirip dengan coronavirus pada kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV2 (91%)
(Susilo A, dkk. 2019). Coronavirus disease 2019 Covid-19 atau yang sebelumnya
disebut SARS-CoV2. Covid-19 pada manusia menyerang saluran pernapasan
khususnya pada sel yang melapisi alveoli (Zhang T., dkk. 2020). Covid-19
mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S (Zhang T., dkk.
2020). Untuk dapat meninfeksi “manusia” protein S virus akan berikatan dengan
reseptor ACE2 pada plasma membrane sel tubuh manusia (Zhang T., dkk. 2020).
Di dalam sel, virus ini akan menduplikasi materi genetik dan protein yang
dibutuhkan dan akan membentuk virion baru di permukaan sel (Zhang T., dkk.
2020). Sama halnya SARS-CoV setelah masuk ke dalam sel selanjutnya virus ini
akan mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel kemudian
akan ditranslasikan membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk dapat
bereplikasi.(De Wit E., dkk. 2016). Faktor virus dengan respon imun menentukan
keparahan dari infeksi Covid-19 ini. Efek sitopatik virus dan kemampuannya
dalam mengalahkan respon imun merupakan faktor keparahan infeksi virus.
Sistem imun yang tidak adekuat dalam merespon infeksi juga menentukan tingkat
keparahan, di sisi lain respon imun yang berlebihan juga ikut andil dalam
kerusakan jaringan (Li G., dkk. 2020). Saat virus masuk ke dalam sel selanjutnya
antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation Cell (APC).
Presentasi sel ke APC akan merespon sistem imun humoral dan seluler yang
dimediasi oleh sel T dan sel B (Li G., dkk. 2020). IgM dan IgG terbentuk dari
sistem imun humoral. Pada SARS-CoV IgM akan hilang pada hari ke 12 dan IgG
akan bertahan lebih lama (Li G., dkk. 2020). Virus dapat menghindar dari sistem
imun dengan cara menginduksi vesikel membran ganda yang tidak mempunyai
pattern recognition receptors (PRRs) dan dapat bereplikasi di dalam vesikel
tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh sel imun (Li X., dkk. 2020).
Pasien konfirmasi potitif Covid-19 dengan gejala klinis ringan
menunjukkan respon imun didapatkan peningkatan sel T terutama CD8 pada hari
ke 7-9, selain itu ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells
(ASCs) (Wang C., dkk. 2020). Pada hari ke 7 hingga hari ke 20, ditemukan
peningkatan IgM/IgG secara progresif (Li G., dkk. 2020). Jika dibandingkan
dengan kontrol sehat, jumlah monosit CD14+ dan CD16+ mengalami penurunan)
(Wang C., dkk. 2020). Namun pada orang konfirmasi positif Covid-19 dengan
tanda dan gejala yang ringan tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin
proinflamasi. (Wang C., dkk. 2020).
Pada pasien konfirmasi positif Covid19 dengan gejala klinis berat
memberikan hasil profil imunologi yang berbeda dengan klinis ringan. Pada kasus
klinis berat ditemukan hitung limfosit yang rendah, serta hasil monosit, basofil,
dan eosinofil lebih rendah pada pasien Covid-19 dengan klinis berat. (Zumla A.,
dkk. 2020) Teradapat pula peningkatan mediator proinflamasi (TNF-α, IL 1, IL6
dan IL 8) namun pada sel T helper, T supresor dan T regulator mengalami
penurunan pada kasus Covid-19 klinis berat (Zumla A., dkk. 2020). Pasien
Covid-19 yang mengalami Acute Distress Respiratory Syndrome (ADRS) juga
ditemukan sel T CD4 dan CD 8 mengalami penurunan, limfosit CD 4 dan CD8
mengalami hiperaktivasi (Zumla A., dkk. 2020). ARDS merupakan salah satu
penyebab kematian pada kasus Covid-19 yang diakibatkan oleh peningkatan
mediator proinflamasi (badai sitokin) yang tidak terkontrol. Hal itu akan
mengakibatkan kerusakan paru terbentuknya jaringan fibrosis sehingga dapat
terjadinya kegagalan fungsi (Zumla A., dkk. 2020).
2.3.2. Gejala Klinis
Rata-rata masa inkubasi adalah 4 hari dengan rentang waktu 2 sampai 7
hari (Guan W., dkk. 2020). Masa inkubasi dengan menggunakan distribusi
lognoral yaitu berkisar antara 2,4 sampai 15,5 hari. (Backer JA., dkk. 2020)
Periode bergantung pada usia dan status imunitas pasien (Guan W., dkk. 2020).
Rerata usia pasien adalah 47 tahun dengan rentang umur 35 sampai 58 tahun serta
0,9% adalah pasien yang lebih muda dari umur 15 tahun (Guan W., dkk. 2020).
Gejala umum di awal penyakit adalah demam, kelelahan atau myalgia, batuk
kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas,
sakit tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal
(diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala) (Huang C., dkk.
2020). Namun tanda dan gejala yang sering dijumpai adalah demam (83-98%),
batuk (76-82%), dan sesak napas atau dyspnea (31-55%) (Wu YC., dkk. 2020).
Pasien dengan gejala yang ringan akan sembuh dalam watu kurang lebih 1
minggu, sementara pasien dengan gejala yang parah akan mengalami gagal napas
progresif karena virus telah merusak alveolar dan akan menyebabkan kematian
(Hamid S., dkk. 2020).
Kasus kematian terbanyak adalah pasien usia lanjut dengan penyakit
bawaan seperti kardiovaskular, hipertensi, diabetes mellitus, dan parkinson
(Adhikari SP., 2020). Seperempat pasien yang dirawat di rumah sakit Wuhan
memiliki komplikasi serius berupa aritmia, syok, cedera ginjal akut dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) (Wang D., dkk. 2020) Pasien yang
menjalani pemeriksaan penunjang CT Scan, menunjukkan tanda pneumonia
bilateral dengan opasitas bilateral ground glass (Meng L., dkk. 2020). Perlu
diingat, terdapat kesamaan gejala antara betacoronavirus dengan Covid-19 yaitu
batuk, sesak napas, dan opasitas bilateral ground glass pada CT Scan dada (Huang
C., dkk. 2020).
2.4 Pemeriksaan SARS-CoV-2

Pemeriksaan molekuler dengan metode real time reverse transcription


polumerase chain reaction atau selanjurnya disebut sebagai real time RT-PCR,
pada saat ini masih digunakan sebagai metode untuk mendeteksi SARS-CoV-2
penyebab COVID-19. Gen spesifik SARS-CoV-2 yang di deteksi adalah ORF
1a/b, E, RdRP, dan Gen N. Primers yang digunakan dalam reaksi PCR pada
umumnya mendeteksi 2 di antara 4 gen tersebut dengan tujuan untuk mencegah
adanya potensi reaksi silang dengan virus corona lainnya dan genetic drift SARS-
CoV-2. Pemeriksaan PCR pada swab nasofaring dan atau orofaring memiliki
spesifisitas yang tinggi dan sensitifitas yang tergantung pada beberapa hal, yaitu
viral load adalah metode isolasi atau ekstraksi RNA yang digunakan dan waktu
pengambilan swab yang tergantung pada fase penyakit yang dialami pasien
(Touma dan Marlin. 2020). Interpretasi dari pemeriksaan real time PCR yaitu bila
terdapat akumulasi sinyal flourescent atau disebut deng CT (Cycle Threshoid)
dimana jumlah siklus yang dibutuhkan sampai sinyal flourescent melewati
ambang (Threshoid) (Bullard, dkk. 2020).

2.5 Kerangka Teori

Suhu Preparasi Spesimen Nilai Ct Value


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3. 1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah perencanaan, pola dan strategi penelitian sehingga
dapat menjawab pertanyaan penelitian atau masalah. Desain penelitian merupakan
prosedur perencanaan dimana peneliti dapat menjawab pertanyaan penelitian secara
valid, objektif, akurat dan hemat ekonomis (Cholik Harun et al, 2017). Desain dalam
penelitian ini yaitu dengan studi kasus yaitu mengeksplorasi suatu kasus, secara
terperinci, melewati data yang dalam, melibatkan berbagai sumber informasi
(misalnya, observasi, wawancara, dokumen dan laporan) (Ilhamsyah, 2015).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian secara kualitatif dengan studi
kasus. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara
gejala klinis pasien Covid-19 dengan nilai Ct pemeriksaan PCR.

3. 2 Kerangka Penelitian

Suhu preparasi
specimen: Nilai Ct Value
a. 550C Pemeriksaan PCR

b. 800C

c. 900C

Gambar 3.1 Kerangka Penelitian


3. 3 Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau aturan yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep penelitian
tertentu (Notoatmojo, 2012).
3.3.1. Variabel Independen (Bebas)
Variabel Independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi atau mempunyai hubungan dengan variabel dependen. Variabel
independen pada penelitian ini adalah suhu preparasi specimen.

3.3.2. Variabel Dependen (Terikat)


Variabel dependen atau variabel terikat adalah objek dari variabel lain yang
sering juga disebut sebagai variabel yang mendapatkan perlakuan. Dengan demikian,
nilai variabel dependen ditentukan oleh nilai variabel independen, pada umumnya
hanya terdapat satu variabel dependen. Variabel dependen pada penelitian ini adalah
hasil nilai Ct Value pemeriksaan PCR pasien Covid-19.

3. 4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi Hasil
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala
Operasional Ukur
Nilai hasil Ct
Nilai Ct
Value
Value pada
pemeriksaan
specimen Nilai
1 covid 19 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu Ct
dengan suhu
preparasi
preparasi
550C
550C
Nilai hasil Ct
Nilai Ct Value
Value pada pemeriksaan
specimen covid 19 Nilai
2 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu dengan suhu Ct
preparasi preparasi
800C 800C
Nilai hasil Ct
Nilai Ct
Value
Value pada
pemeriksaan
specimen Nilai
3 covid 19 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu Ct
dengan suhu
preparasi
preparasi
900C
900C

3. 5 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1. Populasi
Populasi penelitian merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Chantika, 2015). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel
swab nasofaring/orofaring di Labkesda Kab. Sukabumi.
3.5.2. Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Chantika, 2015).

2.5.2.1. Besar Sampel


Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30 sampel swab
nasofaring/orofaring di Labkesda Kab. Sukabumi.

2.5.2.2. Teknik Pengambilan Sampel


Pemilihan sampel penelitian ditetapkan dengan teknik Random Sampling.
Random sampling adalah Teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan
secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono,
2017).
3. 6 Teknik Pengumpulan Data
3.6. 1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah berupa data yang
berasal dari CT Value hasil pemeriksaan PCR dengan suhu preparasi specimen 50 0C,
800C dan 900C yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten
Sukabumi.
3.7 Pengolahan Data dan Analisa Data
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian
dianalisis secara statistik menggunakan SPSS. Setelah data terkumpul, maka
dilakukan uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk dan dilanjutkan dengan uji chi-
square dengan taraf signifikansi α = 5% (p>0,05).

3.8 Lokasi Dan Waktu Penelitian


3.8.1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Laboratorium Kesehatan
Daerah Kabupaten Sukabumi.

3.8.2. Waktu Penelitian


Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tahun 2021.

Anda mungkin juga menyukai