SKRIPSI
2.1 Virologi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-260 nm. Virus
ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan
unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illnes
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV) (Riedel S, dkk. 2019). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-
19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenik menunjukkan
bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada tahun 2002-
2004 silam, yaitu Sarbecovirus (Zhu N, dkk. 2020). Atas dasar ini, Internasional
Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV. (Gorbalenya
AE, dkk. 2020).
2.2 Transmisi
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-
CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau
bersin (Han Y dan Yang H. 2020). Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2
dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama stidaknya 3 jam
(Van Doramalen, dkk. 2020). WHO memperkirakan reproductive number (R0)
COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R 0 sebesar
3,28 (Liu Y, dkk. 2020). Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan
dari karier asimptomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-
kasus terkait transmisi dari karier asimptomatis umumnya memiliki riwayat
kontak erat dengan pasien COVID-19 (Han Y dan Yang H. 2020 dalam Bai Y,
dkk. 2021). Beberapa peneliti melaporkan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus.
Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti
dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi data menunjukkan peluang transmisi
vertikal tergolong kecil (Han Y dan Yang H. 2020).
2.3.1. Patogenesis
Coronavirus atau Covid-19 termasuk dalam genus betacoronavirus, hasil
anasilis menunjukkan adanya kemiripan dengan SARS (Susilo A, dkk. 2019).
Pada kasus Covid-19, trenggiling diduga sebagai perantaranya karena genomnya
mirip dengan coronavirus pada kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV2 (91%)
(Susilo A, dkk. 2019). Coronavirus disease 2019 Covid-19 atau yang sebelumnya
disebut SARS-CoV2. Covid-19 pada manusia menyerang saluran pernapasan
khususnya pada sel yang melapisi alveoli (Zhang T., dkk. 2020). Covid-19
mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S (Zhang T., dkk.
2020). Untuk dapat meninfeksi “manusia” protein S virus akan berikatan dengan
reseptor ACE2 pada plasma membrane sel tubuh manusia (Zhang T., dkk. 2020).
Di dalam sel, virus ini akan menduplikasi materi genetik dan protein yang
dibutuhkan dan akan membentuk virion baru di permukaan sel (Zhang T., dkk.
2020). Sama halnya SARS-CoV setelah masuk ke dalam sel selanjutnya virus ini
akan mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel kemudian
akan ditranslasikan membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk dapat
bereplikasi.(De Wit E., dkk. 2016). Faktor virus dengan respon imun menentukan
keparahan dari infeksi Covid-19 ini. Efek sitopatik virus dan kemampuannya
dalam mengalahkan respon imun merupakan faktor keparahan infeksi virus.
Sistem imun yang tidak adekuat dalam merespon infeksi juga menentukan tingkat
keparahan, di sisi lain respon imun yang berlebihan juga ikut andil dalam
kerusakan jaringan (Li G., dkk. 2020). Saat virus masuk ke dalam sel selanjutnya
antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation Cell (APC).
Presentasi sel ke APC akan merespon sistem imun humoral dan seluler yang
dimediasi oleh sel T dan sel B (Li G., dkk. 2020). IgM dan IgG terbentuk dari
sistem imun humoral. Pada SARS-CoV IgM akan hilang pada hari ke 12 dan IgG
akan bertahan lebih lama (Li G., dkk. 2020). Virus dapat menghindar dari sistem
imun dengan cara menginduksi vesikel membran ganda yang tidak mempunyai
pattern recognition receptors (PRRs) dan dapat bereplikasi di dalam vesikel
tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh sel imun (Li X., dkk. 2020).
Pasien konfirmasi potitif Covid-19 dengan gejala klinis ringan
menunjukkan respon imun didapatkan peningkatan sel T terutama CD8 pada hari
ke 7-9, selain itu ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells
(ASCs) (Wang C., dkk. 2020). Pada hari ke 7 hingga hari ke 20, ditemukan
peningkatan IgM/IgG secara progresif (Li G., dkk. 2020). Jika dibandingkan
dengan kontrol sehat, jumlah monosit CD14+ dan CD16+ mengalami penurunan)
(Wang C., dkk. 2020). Namun pada orang konfirmasi positif Covid-19 dengan
tanda dan gejala yang ringan tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin
proinflamasi. (Wang C., dkk. 2020).
Pada pasien konfirmasi positif Covid19 dengan gejala klinis berat
memberikan hasil profil imunologi yang berbeda dengan klinis ringan. Pada kasus
klinis berat ditemukan hitung limfosit yang rendah, serta hasil monosit, basofil,
dan eosinofil lebih rendah pada pasien Covid-19 dengan klinis berat. (Zumla A.,
dkk. 2020) Teradapat pula peningkatan mediator proinflamasi (TNF-α, IL 1, IL6
dan IL 8) namun pada sel T helper, T supresor dan T regulator mengalami
penurunan pada kasus Covid-19 klinis berat (Zumla A., dkk. 2020). Pasien
Covid-19 yang mengalami Acute Distress Respiratory Syndrome (ADRS) juga
ditemukan sel T CD4 dan CD 8 mengalami penurunan, limfosit CD 4 dan CD8
mengalami hiperaktivasi (Zumla A., dkk. 2020). ARDS merupakan salah satu
penyebab kematian pada kasus Covid-19 yang diakibatkan oleh peningkatan
mediator proinflamasi (badai sitokin) yang tidak terkontrol. Hal itu akan
mengakibatkan kerusakan paru terbentuknya jaringan fibrosis sehingga dapat
terjadinya kegagalan fungsi (Zumla A., dkk. 2020).
2.3.2. Gejala Klinis
Rata-rata masa inkubasi adalah 4 hari dengan rentang waktu 2 sampai 7
hari (Guan W., dkk. 2020). Masa inkubasi dengan menggunakan distribusi
lognoral yaitu berkisar antara 2,4 sampai 15,5 hari. (Backer JA., dkk. 2020)
Periode bergantung pada usia dan status imunitas pasien (Guan W., dkk. 2020).
Rerata usia pasien adalah 47 tahun dengan rentang umur 35 sampai 58 tahun serta
0,9% adalah pasien yang lebih muda dari umur 15 tahun (Guan W., dkk. 2020).
Gejala umum di awal penyakit adalah demam, kelelahan atau myalgia, batuk
kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas,
sakit tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal
(diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala) (Huang C., dkk.
2020). Namun tanda dan gejala yang sering dijumpai adalah demam (83-98%),
batuk (76-82%), dan sesak napas atau dyspnea (31-55%) (Wu YC., dkk. 2020).
Pasien dengan gejala yang ringan akan sembuh dalam watu kurang lebih 1
minggu, sementara pasien dengan gejala yang parah akan mengalami gagal napas
progresif karena virus telah merusak alveolar dan akan menyebabkan kematian
(Hamid S., dkk. 2020).
Kasus kematian terbanyak adalah pasien usia lanjut dengan penyakit
bawaan seperti kardiovaskular, hipertensi, diabetes mellitus, dan parkinson
(Adhikari SP., 2020). Seperempat pasien yang dirawat di rumah sakit Wuhan
memiliki komplikasi serius berupa aritmia, syok, cedera ginjal akut dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) (Wang D., dkk. 2020) Pasien yang
menjalani pemeriksaan penunjang CT Scan, menunjukkan tanda pneumonia
bilateral dengan opasitas bilateral ground glass (Meng L., dkk. 2020). Perlu
diingat, terdapat kesamaan gejala antara betacoronavirus dengan Covid-19 yaitu
batuk, sesak napas, dan opasitas bilateral ground glass pada CT Scan dada (Huang
C., dkk. 2020).
2.4 Pemeriksaan SARS-CoV-2
3. 1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah perencanaan, pola dan strategi penelitian sehingga
dapat menjawab pertanyaan penelitian atau masalah. Desain penelitian merupakan
prosedur perencanaan dimana peneliti dapat menjawab pertanyaan penelitian secara
valid, objektif, akurat dan hemat ekonomis (Cholik Harun et al, 2017). Desain dalam
penelitian ini yaitu dengan studi kasus yaitu mengeksplorasi suatu kasus, secara
terperinci, melewati data yang dalam, melibatkan berbagai sumber informasi
(misalnya, observasi, wawancara, dokumen dan laporan) (Ilhamsyah, 2015).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian secara kualitatif dengan studi
kasus. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara
gejala klinis pasien Covid-19 dengan nilai Ct pemeriksaan PCR.
3. 2 Kerangka Penelitian
Suhu preparasi
specimen: Nilai Ct Value
a. 550C Pemeriksaan PCR
b. 800C
c. 900C
3. 4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi Hasil
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala
Operasional Ukur
Nilai hasil Ct
Nilai Ct
Value
Value pada
pemeriksaan
specimen Nilai
1 covid 19 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu Ct
dengan suhu
preparasi
preparasi
550C
550C
Nilai hasil Ct
Nilai Ct Value
Value pada pemeriksaan
specimen covid 19 Nilai
2 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu dengan suhu Ct
preparasi preparasi
800C 800C
Nilai hasil Ct
Nilai Ct
Value
Value pada
pemeriksaan
specimen Nilai
3 covid 19 Observasi data PCR Nominal
dengan suhu Ct
dengan suhu
preparasi
preparasi
900C
900C