Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PERSALINAN PADA COVID-19

Oleh:

Rafael Bisma Bratajaya Tanjoto, S. Ked 1830912310094

Pembimbing:

dr. Samuel Tobing, M.Kes Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN


BANJARMASIN

Agustus, 2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 5
A. Corona Virus (Covid-19).................................................................... 5
a. Epidemiologi.......................................................................... 5
b. Virologi.................................................................................. 6
c. Transmisi................................................................................ 7
d. Patogenesis............................................................................. 8
e. Faktor Resiko......................................................................... 11
f. Manifestasi Klinis................................................................... 12
g. Diagnosis................................................................................ 16
h. Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 21
i. Tatalaksana............................................................................. 21
B. Persalinan pada COVID-19................................................................ 21

BAB III PENUTUP....................................................................................... 29


DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 30

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pada Desember 2019, pertama kali dilaporkan kasus pneumonia misterius di

Wuhan, Tiongkok. Sampel yang diteliti menunjukan etiologi coronavirus baru. Penyakit

ini diberi nama sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCov), kemudian WHO

mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus disease 2019

(COVID-19). COVID-19 adalah penyakit yang sedang mewabah hampir di seluruh dunia

saat ini, dengan nama virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-

COV2).1

Sejak 31 Desember 2019 hingga 31 Juli 2020 kasus ini meningkat pesat, dengan

dilaporkan 44 kasus pada awalnya dan sudah tersebar ke berbagai provinsi di Tiongkok

dalam waktu kurang dari satu bulan. Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia

dan sudah menyebar luas di seluruh dunia. Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan

COVID-19 sebagai pandemik. Hingga tanggal 31 Juli 2020, terdapat 17.297.296 kasus

dan 673.223 jumlah kematian di seluruh dunia. Sementara di Indonesia sudah ditetapkan

106.336 kasus dengan positif COVID-19 dan 5.058 kasus kematian. Dengan kondisi baru

ini, ahli kandungan dan badan kebidanan internasional berusaha untuk menentukan dalam

waktu singkat dampak penyakit ini pada wanita hamil, jika ibu melahirkan memiliki

risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi, dan dampaknya terhadap janin yang

dikandung.2,3,4

Karena infeksi ini adalah infeksi baru, maka sedikit diketahui tentang COVID-19,

terutama yang terkait dengan efeknya pada wanita hamil dan bayi, dan saat ini belum ada

panduan dengan evidence-base yang spesifik untuk wanita hamil mengenai evaluasi

maupun manajemen COVID-19. Berdasarkan pernyataan dari US Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) bahwa wanita hamil tampaknya memiliki risiko yang

sama dengan orang dewasa yang tidak hamil.4

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi COVID-19

4
Sejak kasus pertama di Wuhan, kasus COVID-19 di Tiongkok meningkat

dengan pesat hingga menyebar ke berbagai provinsi di Tiongkok. Tanggal 30

Januari 2020, terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di Tiongkok, dan 86

kasus lain dilaporkan dari berbagai negara lain seperti Taiwan, Thailand, Vietnam,

Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea

Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman.2

Pada tanggal 2 Maret 2020, dilaporkan kasus COVID-19 pertama di

Indonesia sebanyak dua kasus. Hingga tanggal 31 Juli 2020 sudah ditetapkan

106.336 kasus dengan positif COVID-19, 65.907 kasus sembuh dan 5.058 kasus

kematian di Indonesia. Berdasarkan data pada tanggal 31 Maret 2020 tingkat

mortalitas COVID-19 di Indonesia sempat menjadi yang tertinggi di Asia dengan

angka 8,9%. Hingga tanggal 31 Juli 2020, terdapat 17.297.296 kasus dan 673.223

jumlah kematian di seluruh dunia. Peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak

adalah Amerika Serikat dengan 4.594.006 kasus per tanggal 31 Juli 2020, disusul oleh

Brazil dengan 2.625.612 kasus. Tingkat mortalitas tertinggi di dunia dimiliki oleh Italia

dengan 11,3%. Berdasarkan sebaran kasus dan case fatality rate (CFD) COVID-19

berdasarkan usia dan jenis kelamin pada negara Tiongkok, Korea Selatan, dan Italia

didapat CFR tertinggi pada tiga negara tersebut ada pada rentan usia 60-69 tahun. CFR

pada jenis kelamin laki-laki juga didapat lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

dibanding jenis kelamin perempuan.2,3,5,6,7

B. Etiologi COVID-19

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus

ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan

unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat

5
menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,

betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness

Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus

(MERS-CoV).9

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus

betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk

dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe

Acute Respiratory Illness(SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.15

Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Virusesmengajukan

nama SARS-CoV-2.9

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya

(Gambar 1). Sekuens SARS-CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang

diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal

dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi manusia. Mamalia dan

burung diduga sebagai reservoir perantara.9

Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara.

Strain coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan

coronavirus kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-2

sendiri memiliki homologi 89% terhadap coronaviruskelelawar ZXC21 dan 82%

terhadap SARS-CoV.9

Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2

memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang

hampir identik dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki

afinitas yang kuat terhadap angiotensin-converting-enzyme 2 (ACE2). Pada

6
SARS-CoV-2, data in vitro mendukung kemungkinan virus mampu masuk ke

dalam sel menggunakan reseptor ACE2. Studi tersebut juga menemukan bahwa

SARS-CoV-2 tidak menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti

Aminopeptidase N(APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).9

C. Transmisi COVID-19

Penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber

transmisi utama saat ini, sehingga penyebaran terjadi dengan lebih agresif.

Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang

keluar saat batuk atau bersin. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat

viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam.23

WHO memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga

2,5. Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28.10

Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier

asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait

transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan

pasien COVID-19. Beberapa peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada

neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum

terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang

transmisi vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali

pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif.11

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil

biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di

feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam

7
feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini

menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral.12

Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan

SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk.23 menunjukkan

SARS-CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel(>72 jam)

dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura

menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien

COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan

toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada

sampel udara.13,14

D. Patogenesis COVID-19

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui Pada manusia,

SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi

alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan

masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan

berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel,

SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein

yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan

sel.8

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk

ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan

ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom

virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru

terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi

8
pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein

nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan

Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan

bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang

baru.8

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang

signifikan dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa

masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus

dengan plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein S2’ berperan penting

dalam proses pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi

membran. Selain fusi membran, terdapat juga clathrin-dependent dan clathrin-

independent endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel

pejamu.8

Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek

sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan

keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan

jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat

menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun

yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.8

Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum

sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang

ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus masuk ke dalam sel,

antigen virus akan dipresentasikan ke antigen presentation cells(APC).

Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul major

9
histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut

berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas

humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik

terhadap virus. Pada respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap

SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG

dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang telah

sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan

CD8+ memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun

secara bertahap tanpa adanya antigen.8

Virus memiliki mekanisme untuk menghindari respons imun

pejamu. SARS-CoV dapat menginduksi produksi vesikel membran ganda

yang tidak memiliki pattern recognition receptors (PRRs) dan bereplikasi

dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh pejamu. Jalur IFN-I

juga diinhibisi oleh SARS-CoV dan MERS-CoV. Presentasi antigen juga

terhambat pada infeksi akibat MERS-CoV.8

E. Faktor Risiko Covid-19

10
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan

diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor

risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada

laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada

perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi

reseptor ACE2.8

Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi

SARS-CoV-2. Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang

berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel

dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami

penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat

mengalami luaran yang lebih buruk.8

Diaz JH menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin

receptor blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat.

Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa

belum ada bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif

obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini

sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.15,16

Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya

memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV.

Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi

SARS-CoV-2. Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan

penyakit autoimun juga belum dilaporkan.8

11
Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma

dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, studi meta-analisis yang

dilakukan oleh Yang, dkk.52 menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan

riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang

lebih parah.8

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah

dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit.

Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter)

dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah satu populasi

yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga

medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan

mortalitas sebesar 0,6%.17

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai

dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat,

ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau

sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam

keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Gejala

ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa

komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa

sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala.

12
Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien

juga mengeluhkan diare dan muntah.8

Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-

gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.

Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan

fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas,

sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah,

kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.

Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak

antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C.8

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya

sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih

normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya

(gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan

yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala

pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh

hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai

sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai

meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya

inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS,

sepsis, dan komplikasi lainnya.8

13
Secara umum, wanita hamil memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami

morbiditas dan mortalitas yang parah akibat penyakit infeksi saluran pernapasan

tertentu seperti H1N1, varicella pneumonia. Dalam hal ini risiko tinggi terhadap

penyakit yang berat juga ditemui pada infeksi virus seperti keluarga yang sama

dengan COVID-19 dan virus yang menginfeksi pernapasan lainnya seperti

influenza. Pada COVID-19, data yang tersedia saat ini tidak menunjukkan

terjadinya peningkatan risiko infeksi maupun morbiditas yang parah (indikasi

ICU, kematian) terhadap individu hamil dibanding individu tidak hamil dalam

populasi umum. Respon inflamasi yang intens telah dilaporkan sebagai salah satu

kunci dari COVID-19 yang parah, sedangkan pada wanita hamil dijumpai

imunosupresi relatif. Hal ini dapat sebagian menjelaskan mengapa sebagian besar

wanita hamil tidak mengalami gejala respirasi yang berat. Namun, pasien hamil

dengan komorbid mungkin memiliki risiko tinggi untuk terjadinya morbiditas

yang lebih parah sama seperti populasi umum dengan komorbid yang serupa.8

Gejala COVID-19 pada kehamilan sama dengan pasien tidak hamil yaitu

demam, batuk, dispneu, limfopenia. Sesak napas ditemukan pada 18% pasien

COVID-19. Dalam beberapa kasus, sulit untuk membedakan dispneu fisiologis

14
karena meningkatnya kebutuhan oksigen ibu hamil dari metabolisme yang

meningkat, anemia gestasional dan konsumsi oksigen janin yang sering dijumpai

pada kehamilan. Berdasarkan laporan dari tujuh wanita hamil dengan COVID-19

di Tiongkok didapatkan manifestasi klinis demam (86%), batuk (14%), sesak

napas (14%), dan diare (14%). Tinjauan yang lebih rinci terhadap 118 wanita

hamil terkonfirmasi COVID-19 di Wuhan disajikan oleh Chen et al dengan hasil

yang serupa, yaitu gejala yang paling umum pada 112 wanita dengan data yang

tersedia adalah demam (75%), batuk (73%), dan limfopenia (44%). Hasil tersebut

juga sesuai dengan studi lainnya. Ditemukan juga laporan mengenai manifestasi

klinis atipikal dari pasien hamil dengan COVID-19 seperti suhu tubuh normal

(56%), leukositosis, dan gejala lainnya seperti hidung tersumbat, ruam pada kulit,

produksi dahak, nyeri kepala, lemas, kehilangan nafsu makan (<5% kasus).8

Seperti disinggung diatas bahwa gejala yang muncul dapat bervariasi, dan

wanita memiliki spektrum manifestasi klinis dari gejala ringan hingga parah

seperti pneumonia dengan atau tanpa ARDS, gagal ginjal, dan mungkin terjadi

disfungsi multiorgan. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Breslin N et al

menunjukan bahwa presentasi pada populasi hamil dengan COVID-19 hampir

sama dengan orang dewasa yang tidak hamil dengan infeksi COVID-19 (80%

ringan, 15% parah, 5% kritis). Sebuah studi di New York menerapkan

karakteristik keparahan penyakit COVID-19 sebagaimana dijelaskan oleh Wu et

al, didapat bahwa 37 (86%) pasien wanita dengan COVID-19 memiliki penyakit

ringan, 4 (9,3%) penyakit parah, dan 2(4,7%) kritis. Penelitian di Amerika Serikat

juga menemukan bahwa adanya miokarditis viral dan kardiomiopati pada 33%

kasus pasien dewasa tidak hamil yang kritis. Sampai saat ini, ada satu makalah

15
yang menyebutkan ada dua kasus kardiomiopati pada wanita hamil dengan

COVID-19.8

Wanita hamil mengembangkan adaptasi imunologis khusus, yang

diperlukan untuk menjaga toleransi semi-allograft janin. Keadaan imunitas yang

ditekan sementara ini dimodulasi dengan menekan aktivitas sel T, dan karenanya

menjadi predisposisi ibu hamil terhadap infeksi virus. Selain itu, perubahan

fisiologis yang terjadi pada sistem pernapasan dan peredaran darah dapat

memperburuk hasil klinis ketika terinfeksi dengan virus selama kehamilan.18

G. Diagnosis COVID-19

Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu pada

Keputusan Menteri Kesehatan RI HK. 01.07-MENKES-413-2020 Tentang

Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Covid-19 di Indonesia yang dikeluarkan

tanggal 17 Juli 2020. Ada 9 Istilah operasional atau terminologi,yaitu19 :

1. Kasus Suspek

Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut :

a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)* DAN pada 14

hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau

tinggal di negara/ wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi

lokal**.

b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari

terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus

konfirmasi/probable COVID-19.

16
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan

perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan

gambaran klinis yang meyakinkan

2. Kasus Probable

Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan gambaran

klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan

laboratorium RT-PCR.

3. Kasus Konfirmasi

Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang

dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:

a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)

b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

4. Kontak Erat

Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau

konfirmasi COVID-19.Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus

konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit

atau lebih.

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi

(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable

atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.

17
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan

penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan

epidemiologi setempat

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala

(simptomatik),untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari

2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul

gejala.

Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk

menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan

14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

5. Pelaku Perjalanan

Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)

maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

6. Discarded

Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-

PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu

>24 jam.

b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa

karantina selama 14 hari.

7. Selesai Isolasi

Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

18
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan

pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi

mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.

b. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang

tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak

tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi

menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

c. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang

mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif,

dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala

demam dan gangguan pernapasan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria selesai isolasi pada kasus

probable/kasus konfirmasi dapat dilihat dalam Bab Manajemen Klinis.

8. Kematian

Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus

konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.

a. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi

ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat

dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai,

sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.

2. Pencitraan

19
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan

Computed Tomography Scan (CT-scan) toraks. Pada foto toraks dapat

ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan

peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelektasis. Berdasarkan

telaah sistematis oleh Salehi, dkk. temuan utama pada CT scan toraks

adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa konsolidasi, sesuai

dengan pneumonia viral. Keterlibatan paru cenderung bilateral (87,5%),

multilobular (78,8%), lebih sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih

perifer (76%). Penebalan septum, penebalan pleura, bronkiektasis, dan

keterlibatan pada subpleural tidak banyak ditemukan.

3. Pemeriksaan Antigen-Antibodi

IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6 setelah onset gejala,

sementara IgG mulai hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini

tidak direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama. Pasien negatif

serologi masih perlu observasi dan diperiksa ulang bila dianggap ada faktor

risiko tertular.

4. Pemeriksaan Virologi

Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah amplifikasi asam nukleat

dengan real-time reversetranscription polymerase chain reaction (rRT-PCR)

dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif (konfirmasi SARS-CoV-2)

bila rRT-PCR positif pada minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP)

yang spesifik SARS-CoV-2; ATAU rRT-PCR positif betacoronavirus,

ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau seluruh genom virus yang

sesuai dengan SARS-CoV-2.

20
H. Tatalaksana COVID-19

Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-

19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah

terapi simtomatik dan oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi

mekanik. National Health Commission (NHC) China telah meneliti beberapa obat

yang berpotensi mengatasi infeksi SARS-CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-

α), lopinavir/ritonavir (LPV/r), ribavirin (RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ),

remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga terdapat beberapa obat

antivirus lainnya yang sedang dalam uji coba di tempat lain.8

I. Persalinan pada COVID-19

Wanita hamil yang diduga atau sudah dikonfirmasi positif COVID-19

harus mendapatkan perawatan yang tepat pada persalinannya. Sebuah penelitian

di Amerika Serikat dari 43 wanita melahirkan tidak didapat temuan kasus

COVID-19 pada neonatus setelah pengujian pada hari pertama kehidupan.20

Demikian pula sebuah systematic review dari 41 kehamilan di mana

mayoritas melalui persalinan SC tidak ditemukan tanda-tanda transmisi vertikal.

Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Khan et al menilai jika ada peningkatan

risiko transmisi vertikal dari COVID-19 yang terkait dengan persalinan

pervaginam.21

Dalam serangkaian tiga kasus pervaginam di Wuhan, darah dalam

plasenta dan sampel swab tenggorokan neonatus dikumpulkan dalam waktu 12

jam setelah dilahirkan untuk menentukan apakah ada infeksi COVID-19 pada

neonatal, dan tidak ditemukan bukti penularan intrapartum ibu-janin.22

21
Baru-baru ini sebuah penelitian di Italia pada 42 wanita didapat 24

diantaranya melahirkan pervaginam dan didapat dua kasus COVID-19 pada

neonatal. Namun, disimpulkan bahwa kemungkinan salah satu disebabkan oleh

kontaminasi silang dan yang lainnya karena infeksi dini neonatal, tetapi

kemungkinan penularan intrapartum juga masih mungkin terjadi. Sebagai

kesimpulan, persalinan pervaginam dianggap dengan risiko penularan intrapartum

yang rendah. Ada satu laporan kasus COVID-19 parah pada pasien diabetes dan

neonatus dengan hasil positif swab (16 jam) melalui persalinan SC yang

menambah kemungkinan terjadinya transmisi. Saat ini, jumlah data dan kasus

yang terjadi masih terlalu kecil untuk merekomendasikan persalinan SC maupun

pervaginam untuk mengurangi risiko penularan ke neonatus.23,24

Seperti yang disebutkan oleh data-data tersebut bahwa persalinan SC

maupun pervaginam tidak memberikan risiko tambahan pada ibu maupun janin,

dan cara persalinan pada wanita hamil dengan COVID-19 harus ditentukan

berdasarkan individual, sebagai berikut25:

a. Persalinan pada wanita hamil dengan COVID-19 asimptomatik

Saat ini belum ada bukti yang jelas tentang peningkatan tingkat

gawat janin pada populasi yang asimtomatik. Sementara itu beberapa seri

kasus melaporkan adanya gawat janin pada wanita dengan COVID-19

simptomatik, perlunya continous electronic fetal monitoring (CEFM) pada

wanita dengan COVID-19 asimptomatik dan persalinan risiko rendah

lainnya, membuat ketidakpastian karena kurangnya bukti yang kuat.

Adapun rekomendasi dari Royal College of Obstetrics and Gynecologists

(RCOG) persalinan untuk wanita dengan COVID-19 asimptomatik adalah;

22
untuk wanita dengan risiko rendah yang positif COVID-19 (dalam 7 hari

sebelum kelahiran) asimptomatik dan ingin melahirkan dan ingin

melahirkan di rumah atau unit yang dipimpin oleh bidan,

direkomendasikan untuk dilakukan informed consent terkait tempat

dilakukan persalinan sesuai dengan kebijakan lokal. CEFM selama

persalinan menggunakan cardiotocography (CTG) tidak direkomendasikan

hanya karena alasan ini dan hanya digunakan jika diperlukan karena alasan

lain (kelahiran sesar sebelumnya). Opsi pemantauan janin harus tersebut

harus didiskusikan dengan pasien, terkait ketidakpastian tentang keperluan

pemantauan janin pada persalinan wanita dengan COVID-19

asimptomatik.

b. Persalinan pada wanita hamil dengan COVID-19 simptomatik

Pada wanita dengan COVID-19 simptomatik mungkin ada

peningkatan risiko gawat janin dalam persalinan. Meskipun data yang ada

sekarang masih kurang, namun lebih baik melakukan monitoring janin

pada ibu yang mengalami infeksi sistemik termasuk COVID-19. Wanita

dengan gejala COVID-19 ringan dapat dihimbau untuk tetap dirumah

(isolasi diri) pada awal (fase laten) persalinan. Jika tidak ada indikasi

risiko mengenai kondisi wanita atau janin maka disarankan untuk pulang

ke rumah sampai tahap persalinan lebih matang, kecuali jika tidak tersedia

transportasi pribadi. Pasien harus diberitahu mengenai tanda dan gejala

persalinan, tetapi disamping itu juga diberitahu tentang gejala terkait

COVID-19. Wanita dengan COVID-19 simptomatik direkomendasikan

untuk melahirkan di unit obstetrik. Pada saat pasien masuk, harus

23
dilakukan penilaian ibu dan janin secara lengkap yaitu: Penilaian tingkat

keparahan gejala COVID-19 oleh dokter, observasi tanda vital ibu,

konfirmasi onset persalinan sesuai perawatan standar, dan dilakukan

CEFM menggunakan CTG. Anggota tim multidisiplin berikut harus

diberitahu tentang pasien: Dokter konsultan kandungan, konsultan

anestesi, bidan yang bertugas, konsultan neonatologis, dan perawat

neonatal yang bertanggung jawab. Dilakukan penilaian dan pengamatan

ibu sesuai rekomendasi dalam pedoman NICE pada perawatan

intrapartum, ditambah dengan pemantauan saturasi oksigen per jam.

Terapi oksigen harus dititrasi untuk mencapai saturasi di atas 94%. Harus

dilakukan upaya untuk meminimalisir jumlah orang yang memasuki

ruangan.

Waterbirth mungkin dapat memberi keuntungan pada wanita yaitu risiko

rendah terjadinya komplikasi pada persalinan. Sampai sekarang masih kurang

bukti tentang transmisi virus dalam air. Ada bukti bahwa COVID-19 RNA

mungkin didapat dalam feses, namun belum ada bukti bahwa hal tersebut dapat

menyebabkan transmisi fekal-oral. Secara teoritis terdapat risiko kecil bahwa air

yang terkontaminasi dengan tinja atau sekresi cairan ibu lainnya dapat

menimbulkan risiko infeksi pada bayi dan petugas yang menolong persalinan.

Oleh karena itu tidak ada bukti yang cukup untuk menentang maupun mendukung

dilakukannya waterbirth untuk wanita tanpa gejala.

24
Rekomendasi persalinan (POGI)1

1. Jika seorang wanita dengan COVID-19 dirawat di ruang isolasi di ruang

bersalin, dilakukan penanganan tim multi-disiplin yang terkait yang meliputi

dokter paru/penyakit dalam, dokter kandungan, anestesi, bidan, dokter

neonatologis dan perawat neonatal.

2. Upaya harus dilakukan untuk meminimalkan jumlah anggota staf yang

memasuki ruangan dan unit harus mengembangkan kebijakan lokal yang

menetapkan personil yang ikut dalam perawatan. Hanya satu orang

(pasangan/anggota keluarga) yang dapat menemani pasien. Orang yang

menemani harus diinformasikan mengenai risiko penularan dan mereka harus

memakai APD yang sesuai saat menemani pasien.

3. Pengamatan dan penilaian ibu harus dilanjutkan sesuai praktik standar,

denganpenambahan saturasi oksigen yang bertujuan untuk menjaga saturasi

oksigen > 94%, titrasi terapi oksigen sesuai kondisi.

4. Menimbang kejadian penurunan kondisijanin pada beberapa laporankasus

di Cina, apabila sarana memungkinkan dilakukan pemantauan janin secara

kontinyu selama persalinan.

5. Sampai saat ini belum ada bukti klinis kuat merekomendasikan salah satu

cara persalinan, jadi persalinan berdasarkan indikasi obstetri dengan

memperhatikan keinginan ibu dan keluarga, terkecuali ibu dengan masalah

gagguan respirasi yang memerlukan persalinan segera berupa SC maupun

tindakan operatif pervaginam.

6. Bila ada indikasi induksi persalinan pada ibu hamil dengan PDP atau

konfirmasi COVID-19, dilakukan evaluasi urgency-nya, dan apabila

25
memungkinkan untuk ditunda samapai infeksi terkonfirmasi atau keadaan akut

sudah teratasi. Bila menunda dianggap tidak aman, induksi persalinan

dilakukan di ruang isolasi termasuk perawatan pasca persalinannya.

7. Bila ada indikasi operasi terencana pada ibu hamil dengan PDP atau

konfirmasi COVID-19, dilakukan evaluasi urgency-nya, dan apabila

memungkinkan untuk ditunda untuk mengurangi risiko penularan sampai

infeksi terkonfirmasi atau keadaan akut sudah teratasi. Apabila operasi tidak

dapat ditunda maka operasi sesuai prosedur standar dengan pencegahan infeksi

sesuai standar APD lengkap.

8. Persiapan operasi terencana dilakukan sesuai standar

9. Apabila ibu dalam persalinan terjadi perburukan gejala,

dipertimbangkan keadaan secara individual untuk melanjutkan observasi

persalinan ataudilakukan seksio sesaria darurat apabila hal ini akan memperbaiki

usaha resusitasi ibu.

10. Pada ibu dengan persalinan kala II dipertimbangkan tindakan

operatif pervaginam untuk mempercepat kala IIpada ibu dengan gejala kelelahan

ibu atau ada tanda hipoksia

11. Perimortem cesarian section dilakukan sesuai standar dilakukan apabila

ibu dengan kegagalan resusitasi tetapi janin masih viable.

12. Ruang operasi kebidanan Operasi elektif pada pasien COVID-19 harus

dijadwalkan terakhir. Pasca operasi ruang operasi harus dilakukan pembersihan

penuh ruang operasi sesuai standar. oJumlah petugas di kamar operasi

seminimal mungkin dan menggunakan alat perlindungan diri sesuai standar

26
13. Penjepitan tali pusat tunda/ beberapa saat setelah persalinan masih bisa

dilakukanasalkan tidak ada kontraindikasi lainnya. Bayi dapat dibersihkan dan

dikeringkan seperti biasa, sementara tali pusat masih belum dipotong.

14. Staf layanan kesehatan di ruang persalinan harus mematuhi Standar

Contactdan Droplet Precautions termasuk menggunakan APD yang sesuai

dengan panduan PPI.

15. Antibiotik intrapartum harus diberikan sesuai protokol.

16. Plasenta harus dilakukan penanganan sesuai praktik normal. Jika

diperlukan histologi, jaringan harus diserahkan ke laboratorium dan

laboratorium harus diberitahu bahwa sampel berasal dari pasien suspek atau

terkonfirmasi COVID-19.

17. Anestesi. Berikan anestesi epidural atau spinal sesuai indikasi dan

menghindari anestesi umum kecuali benar-benar diperlukan.

18. Tim neonatal harus diberitahu tentang rencana untuk melahirkan bayi

dari ibu yang terkena COVID-19 jauh sebelumnya.

27
BAB III

28
PENUTUP

Berdasarkan data yang telah dilaporkan hingga sekarang menyebutkan bahwa

wanita hamil tidak lebih berisiko mengalami gejala yang berat dari COVID-19 dan masih

kurangnya bukti yang menunjukan terjadinya risiko persalinan pada COVID-19. Oleh

karena itu dibutuhkan protokol persalinan pada masa pandemi COVID-19 untuk

meminimalisir risiko pada pasien dan tenaga kesehatan yang menolong pasien selama

persalinan, terkait adanya beberapa teori seperti risiko transmisi ibu-janin pasca

persalinan, penularan terhadap pendamping dan penolong persalinan, dll.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rekomendasi Penanganan Infeksi Virus Corona (COVID-19) Pada Maternal (Hamil,


Bersalin, dan Nifas). Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri Dan
Ginekologi Indonesia, 2020.

29
2. World Health Organization. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report
– 70 [Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 July 31; cited 2020 July 31]. Available
from: https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200330-sitrep-70-covid19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_2.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging Kementerian


Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 July 31; cited 2020 July 31]. Available
from: https://infeksiemerging.kemkes.go.id/.

4. FIGO. Safe motherhood and COVID. 2020. Available from URL:


https://www.figo.org/safe-motherhood-and-covid-19

5. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the


Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of
72314 Cases From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA.
2020; published online February 24. DOI: 10.1001/jama.2020.2648

6. Istituto Superiore di Sanità. Epidemia COVID-19 aggiornamento nazionale 19 marzo


2020 – ore 16:00. Roma: Istituto Superiore di Sanità; 2020

7. Korea Centers for Disease Control and Prevention. Updates on COVID-19 in


Republic of Korea, 18 March 2020 [Internet]. 2020 [updated 2020 March 18; cited
2020 March 21].
Available from: https://www.cdc.go.kr/board/board.s?
mid=a30402000000&bid=0030&act=view&list_no=366586&tag=&nPage=1

8. Susilo A, Rumenda C.M, Pitoyo C.W, et all. Coronavirus Disease 2019: Review of
Current Literatures. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia.2020; 7 (1): 45-67.

9. Riedel S, Morse S, Mietzner T, et all. Medical Microbiology. 28th ed. New York:
McGraw-Hill Education/Medical; 2019. p.617-22.

10. Liu Y, Gayle AA, Wilder-Smith A, et all. The reproductive number of COVID-
19 is higher compared to SARS coronavirus. J Travel Med. 2020;27(2).

11. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics


and intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine
pregnant women: a retrospective review of medical records. Lancet.
2020;395(10226):809-15

12. Xiao F, Tang M, Zheng X, Liu Y, Li X, Shan H. Evidence for gastrointestinal


infection of SARS-CoV-2. Gastroenterology. 2020; published online March 3. DOI:
10.1053/j.gastro.2020.02.055

30
13. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A,
Williamson BN, et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared
with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020; published online March 17. DOI:
10.1056/NEJMc2004973

14. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface
Environmental, and Personal Protective Equipment Contamination by Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) From a Symptomatic Patient.
JAMA. 2020; published online March 4. DOI: 10.1001/jama.2020.3227

15. Diaz JH. Hypothesis: angiotensin-converting enzyme inhibitors and angiotensin


receptor blockers may increase the risk of severe COVID-19. J Travel Med. 2020;
published online March 18. DOI: 10.1093/jtm/taaa041

16. European Society of Cardiology. Position Statement of the ESC Council on


Hypertension on ACEInhibitors and Angiotensin Receptor Blockers [Internet]. 2020
[updated 2020 March 13; cited 2020 March 22].
Available from: https://www.escardio.org/Councils/Council-on-Hypertension-
(CHT)/News/position-statement-of-the-esc-council-on-hypertension-on-ace-
inhibitors-and-ang

17. Wang J, Zhou M, Liu F. Exploring the reasons for healthcare workers infected
with novel coronavirus disease 2019 (COVID-19) in China. J Hosp Infect. 2020;
published online March 5. DOI: 10.1016/j.jhin.2020.03.002.

18. Fang L, Karakiulakis G, Roth M. Are patients with hypertension and diabetes
mellitus at increased risk for COVID-19 infection?. Lancet Respir Med. 2020;
10(20): 30116-8.

19. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman


Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) Maret 2020. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.

20. Breslin N, Baptiste C, Gyamfi‐Bannerman C et al . COVID‐19 infection among


asymptomatic and symptomatic pregnant women: Two weeks of confirmed
presentations to an affiliated pair of New York City hospitals. Am J Obstet Gynecol
MFM. 2020; 100118. https://doi.org/10.1016/j.ajogmf.2020.100118.

21. Di Mascio D, Khalil A, Saccone G et al . Outcome of Coronavirus spectrum


infections (SARS, MERS, COVID 1 ‐19) during pregnancy: a systematic review and
meta‐analysis. Am J Obstet Gynecol MFM. 2020; 100107.
https://doi.org/10.1016/j.ajogmf.2020.100107.

31
22. Khan S, Peng L, Siddique R et al . Impact of COVID‐19 infection on pregnancy
outcomes and the risk of maternal‐to‐neonatal intrapartum transmission of COVID ‐
19 during natural birth. Infect Control Hosp Epidemiol. 2020; 41 (6): 748–750.
https://doi.org/10.1017/ice.2020.84.

23. Ferrazzi E, Frigerio L, Savasi V et al . Vaginal delivery in SARS‐CoV‐2 infected


pregnant women in Northern Italy: a retrospective analysis. BJOG. 2020a.

24. Ashokka B, Loh MH, Tan CH et al . Care of the pregnant woman with COVID‐
19 in labor and delivery: anesthesia, emergency cesarean delivery, differential
diagnosis in the acutely ill parturient, care of the newborn, and protection of the
healthcare personnel. Am J Obstet Gynecol. 2020: S0002‐9378(20)30430‐0.
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2020.04.005.

25. RCOG. Coronavirus (COVID‐19) infection in pregnancy information for


healthcare professionals Version 8 2020.
Available from URL:
https://www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/2020-07-24-coronavirus-
covid-19-infection-in-pregnancy.pdf

32

Anda mungkin juga menyukai