Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik adalah suatu keadaan di mana kantung gestasi berada di


luar kavum uteri, yang merupakan keadaaan gawat darurat yang paling sering
mengancam hidup pada kehamilan awal. Penelitian di Amerika Serikat
menyatakan kematian akibat kehamilan ektopik sebanyak 9% dari seluruh
kematian pada kehamilan. Frekuensi kehamilan ektopik adalah 1% dari seluruh
kehamilan dan 90% kasus terjadi pada tuba Fallopi. Selain di tuba Fallopi,
kehamilan ektopik dapat juga terjadi di ovarium, serviks, atau rongga abdomen
(Sepilian, 2008).
Penyebab terjadinya kehamilan ektopik melibatkan banyak faktor. Teoritis,
semua faktor yang mengganggu migrasi embrio ke dalam rongga endometrium
dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Obstruksi merupakan penyebab separuh
kasus kehamilan ektopik. Obstruksi dapat terjadi karena inflamasi kronik, tumor
intrauterin, dan endometriosis (Sepilian, 2008).
Meskipun terdapat frekuensi yang relatif tinggi dari kondisi serius ini,
deteksi dini masih menjadi tantangan. Hingga pada separuh dari semua
perempuan dengan kehamilan ektopik yang datang ke instalasi gawat darurat,
kondisinya tidak teridentifikasi pada penilaian awal. Meskipun insidens dari
kehamilan ektopik pada populasi umum sekitar 2%, prevalensinya di antara
pasien-pasien hamil yang datang ke instalasi gawat darurat dengan perdarahan
atau nyeri trimester pertama, atau keduanya, adalah 6% hingga 16% (Hadisaputra,
2008).
Tidak semua pusat kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas pencitraan,
dan dalam menghadapi pasien yang datang dengan keluhan maupun tanda KET,
tidak semua dokter segera memikirkan KET sebagai salah satu diagnosis banding.
Hal ini mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan terapi yang adekuat. Dengan
diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat ditingkatkan
(Prawihardjo, 2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik berasal dari bahasa Yunani, ektopos, yang artinya di luar
tempatnya. Blastokista, dalam keadaan normal, tertanam di dalam lapisan
endometrium rongga uterus. Implantasi di tempat lain dianggap sebagai
kehamilan ektopik (Cunningham, 2012).

2.2 Faktor Resiko


Bila nidasi terjadi diluar kavum uteri atau di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium
menjadi penyebab kehamilan ektopik. Faktor-faktor tersebut adalah
(Prawirohardjo, 2010):
a. Faktor tuba
- Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit dan buntu.
- Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak
berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba
dapat merupakan predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
- Faktor tuba yang lain adalah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital.
- Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga
dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
b. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot
akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti
dan tumbuh di saluran tuba.

2
c. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang
kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus dan waktu yang lebih
panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
d. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan pergerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
e. Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses
peradangan yang dapat timbul pada endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan
faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan
ektopik.
Tabel 1. Faktor resiko kehamilan ektopik ((Decherney &Nathan, 2003).
Faktor Resiko Resiko
Resiko Tinggi
Riwayat kehamilan ektopik 8,3
Bedah korektif tuba 21,0
Sterilisasi tuba 9,3
Paparan Diethylstilbestrol pada uterus 5,6
Pengguanaan IUD 4,2-45,0
Faktor Sedang
Infertilitas 2,5-21
Riwayat infeksi genital 2,5-3,7
Pasangan seksual yang lebih dari satu 2,1
Faktor ringan
Merokok 2,3-2,5
Douching vaginal 1,1-3,1
Berhubungan pertama kali <18 tahun 1,6

3
2.3. Lokasi Kehamilan Ektopik

Gambar 1. Lokasi dari kehamilan ektopik (Decherney &Nathan, 2003).

Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat terjadi di:


a. Tuba (>95%).
Ovum yang telah dibuahi dapat tersangkut di bagian mana saja dari
tuba uterina. Kehamilan tuba terdiri atas pars ampularis(55%), pars ismika
(25%), pars fimbriae (17%), dan pars interstisial (2%) (Decherney &Nathan,
2003).
b. Kehamilan ektopik lain (<5%) yang antara lain terjadi di:
- ovarium (0,5%)
- abdominal (<0,1%)
- Servikal (0,1%)
c. Heterotropik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di
kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian
sekitar satu per 15.000-40.000 kehamilan.

4
d. Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun
sangat jarang terjadi.

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Kehamilan Tuba
Tuba tidak memiliki lapisan submukosa maka ovum yang telah dibuahi
segera menembus epitel, dan zigot akhirnya berada di dekat atau di dalam otot.
Trofoblas yang cepat berproliferasi dapat menginvasi muskularis sekitar, tetapi
separuh dari kehamilan ektopik ampula tetap berada di lumen tuba dengan lapisan
otot tidak terkena pada 85 persen kasus. Mudigah atau janin pada kehamilan
ektopik sering tidak ada atau tidak berkembang (Cunningham, 2012).
Walaupun kehamilan terjadi di luar rahim, rahim membesar juga karena
hipertropi dari otot-ototnya disebabkan pengaruh hormon-hormon yang dihasilkan
trofoblas, begitu pula endometriumnya berubah menyadi desidua vera (Decherney
&Nathan, 2003).
Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan
embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan
bentuk berikut ini:
 Hasil konsepsi mati dini dan direasorbsi
Pada implantasi secara kolumnar, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa
hari (Prawihardjo, 2010).
 Abortus ke dalam lumen tuba
Frekuensi abortus tuba sebagian bergantung pada tempat implantasi.
Abortus sering terjadi pada kehamilan ampula, sementara ruptur merupakan
hasil akhir yang bisanya terjadi pada kehamilan ismus. Akibat perdarahaa,
hubungan plasenta dan membran dan dinding tuba semakin terganggu. Jika
pemisahan plasenta lengkap maka semua produk konsepsi dapat dikeluarkan
melalui ujung berfimbria ke dalam rongga peritoneum. Pada tahap ini,
perdarahan mungkin berhenti dan gejala akhirnya mereda. Perdarahan biasanya

5
tetap terjadi selama produk berada di tuba uterina. Darah secara perlahan
menetes dari fimbria tuba ke dalam rongga peritoneum dan biasanya
berkumpul di cul-de-sac rektouterus. Jika ujung tuba yang berfimbria tersebut
tersumbat, tuba uterine dapat secara perlahan teregang oleh darah, membentuk
hematosalpings (Cunningham, 2012).

Gambar 2. Abortus tuba (Widjanarko, 2009)


 Ruptur Tuba
Produk konsepsi yang menginvasi dan membesar dapat menyebabkan
ruptur tuba uterina atau tempat lain. Sebagai patokan, jika terjadi ruptur tuba
pada beberapa minggu pertama yakni 6-8 minggu, biasanya kehamilan terletak
di bagian ismus tuba. Apabila ruptur tuba pada minggu ke 8-12, kehamilan
baisanya terletak di bagian pars ampularis, dan 12-16 minggu biasanya pada
ruptur kehamilan interstisial. Jika ovum yang telah dibuahi tertanam jauh ke
dalam bagian interstisium, maka ruptur biasanya spontan, tetapi kadang terjadi
setelah koitus atau pemeriksaan bimanual. Biasanya timbul gejala dan sering
dijumpai tanda-tanda hipovolemia (Cunningham, 2012; Decherney &Nathan,
2003).

6
Gambar 2. Ruptur kehamilan tuba ampula dini (Cunningham, 2012).
Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan vili korialis
ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang
banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut
pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir
ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal (Prawihardjo, 2010).

7
Gambar 3. Perjalanan lanjut ruptur tuba (Widjanarko, 2009)

Bila pada abortus dalam tuba ostium tersumbat, ruptur sekunder dapat
terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas
pecah, karena tekanan dara dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah
ligamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter
(Prawihardjo, 2010).
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi
bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan
dari tuba. Perdarahan dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat
jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh karena hemoragia. Darah
tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavut douglasi yang makin
lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila
penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin
mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya, bila besar, dapat diubah
menjadi litopedion (Prawihardjo, 2010).

8
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan pasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk
mencukupi kebutuhan makanan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum
latum, dasar panggul, dan usus (Prawihardjo, 2010).
Kehamilan tuba dapat berupa kehamila tubo-uterina yaitu kehamilan yang
asalnya dari interstisial tetapi kemudian tumbuh ke dalam cavum uteri. Dapat juga
berupa tubo-abdominal, yaitu kehamilan yang asalnya dari ujung tuba dan
kemudian tumbuh ke dalam cavum peritoneal. Kemudian kehamilan tuboovarial
yaitu kehamilan yang asalnya dari ovarium atau tuba, tetapi kemudian kantongnya
terdiri dari jaringan tuba maupun ovarium (Cunningham, 2005).
2.4.2 Kehamilan Abdomen
Kehamilan abdominal merupakan salah satu varian dari kehamilan ektopik
yang jarang dijumpai tetapi mengancam jiwa. Hal tersebut terjadi bila kantong
kehamilan berimplantasi di luar uterus, ovarium dan tuba Fallopi. Kehamilan
abdominal dapat dibagi menjadi dua, yaitu kehamilan abdominal primer dan
kehamilan abdominal sekunder. Kehamilan abdominal primer lebih jarang terjadi
dibanding yang sekunder, diagnosisnya harus memenuhi kriteria, yaitu: tuba
Fallopi dan ovarium dalam keadaan normal, tidak adanya fistula dari uterus yang
ruptur, perlekatan hasil konsepsi hanya pada peritoneum. Kehamilan abdominal
sekunder terjadi bila plasenta dari kehamilan di tuba, kornu dan uterus meluas dan
melekat pada jaringan serosa sekitarnya (Kun, et al, 2007)
Secara khas kehamilan abdominal berawal dari kehamilan ektopik lainnya,
yang menyebar keluar dari tuba dan melekat pada jaringan di sekitarnya, tetapi
dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio Caesaria (Sepilian, 2007).
Untuk mendiagnosis kehamilan abdominal bukanlah hal yang mudah.
Langkah pertama untuk mendiagnosis adalah dengan anamnesa, pada kehamilan
abdominal primer bila ditemukan gejala nyeri atau kram pada abdomen dan
perdarahan vagina kita harus curiga, sayangnya tidak semua perempuan
menunjukkan gejala yang khas seperti itu.6 Pada kasus ini, penderita datang

9
karena rasa nyeri pada abdomen, tetapi tidak mengalami perdarahan pervaginam.
Pada kehamilan abdominal sekunder tanda yang harus kita curigai adalah nyeri
perut yang berulang, mual muntah yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga,
gerakan janin yang menimbulkan rasa sakit pada ibu, bagian janin mudah diraba
dan presentasi janin yang tidak normal (Kun, et al, 2007).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum
dan urin HCG. Pemeriksaan kadar HCG serial dapat membedakan kehamilan
ektopik dengan kehamilan intrauterin normal. Pada usia kehamilan 6-7 minggu,
kadar HCG serum meningkat dua kali lipat pada kehamilan intrauterin normal.
Peningkatan ≤ 66% dijumpai pada 85% kehamilan yang non viable. Bila pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kavum uteri yang kosong, haltersebut
menandakan adanya kehamilan ektopik. Tetapi pemeriksaan serial tersebut tidak
memberi keuntungan klinis karena memperlambat penegakkan diagnosis,
berakibat tingginya komplikasi yang dapat terjadi. Pemeriksaan kadar serum
progesteron juga dapat membedakan kehamilan intrauterin normal dan kehamilan
yang abnormal, kadar serum progesteron yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
curiga adanya kehamilan ektopik. Dari sebuah studi yang besar, kadar
progesterone >25ng/ml menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik dengan
sensitifitas 97,4%. Kadar progesteron ≤ 5ng/ml menyingkirkan kehamilan
intrauterin normal dengan sensitivitas 100%. Progesteron juga bermanfaat untuk
menentukan prognosis, bila kadarnya <10ng/ml dan kadar HCG <1500 IU/ml
menandakan resolusi spontan dari kehamilan ektopik. Bila dikombinasi dengan
pemeriksaan HCG, untuk konfirmasi adanya kantong kehamilan intrauterine,
kelemahan USG abdomen pada kehamilan awal sulit untuk memvisualisasi
adanya kantong kehamilan, tetapi dengan adanya USG pervaginam, yang
memiliki resolusi yang lebih tinggi sehingga kehamilan intrauterine sudah dapat
terlihat 24 hari pascaovulasi atau 38 hari setelah menstruasi terakhir, dimana satu
minggu lebih awal dari USG abdominal (Kun, et al, 2007).
Prosedur diagnostik lain yang dapat menyingkirkan diagnosa kehamilan
ektopik adalah dilatasi dan kuretase, prosedur ini hanya dapat dilakukan bila
kehamilan tidak lagi diinginkan. Setelah pemeriksaan kadar HCG dan progesteron

10
ditemukan hasil yang abnormal, dilakukan kuretase, bila terdapat villi pada
jaringan yang diambil menandakan adanya kehamilan intrauterine yang tidak
viable, bila tidak terdapat villi menandakan adanya kehamilan ektopik (Kun, et al,
2007).
2.4.3 Kehamilan Ovarium
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan
tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni (Prawihardjo,
2010):
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal
b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
c. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary proprium
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh
jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan
ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan
dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya sehingga
tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran yang terdiri atas
ovarium yang mengandung darah, vili korialis dan mungkin juga selaput mudigah
(Prawihardjo, 2010)
2.4.4 Kehamilan Serviks
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan
muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu
dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil
konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk
menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis (Prawihardjo, 2010)
Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut
(Prawihardo, 2010):
1. Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta

11
2. Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterine atau di bawah
peritoneum visceral uterus.
3. Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus
4. Implantasi plasenta di serviks harus kuat
Paalman dan Mc ellin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut
(Prawihardjo, 2010):
1. Ostium uteri internum tertutup
2. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
3. Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik
4. Perdarahan uterus setelah fase amenore tanpa disertai rasa nyeri
5. Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga
terbentuk hour-glass uterus

2.5 Gejala dan Tanda


Sebagian besar wanita datang untuk berobat pada awal perkembangan
kehamilan ektopik. Pada sebagian, diagnosis ditegakkan bahkan sebelum gejala
muncul. Temuan yang umum dijumpai mencakup berikut:
a. Nyeri.
Nyeri panggul dan abdomen dilaporkan oleh 95% wanita dengan
kehamilan tuba. Pada gestasi tahap lanjut, sering timbul gejala salauran cerna
(80%) dan dizziness (58%) (Cunningham, 2012).
Pada ruptur, nyeri dapat timbul di mana saja di abdomen. Nyeri perut
terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang
menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada
abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa nyeri
mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi, setalah darah masuk ke dalam rongga
perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah
dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri
bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri
(Prawihardjo, 2010).

12
b. Perdarahan abnormal.
Amenorea dengan spotting atau perdarahan per vagina dilaporkan oleh
60 sampai 80 persen wanita dengan kehamilan tuba. Sekitar seperempat
menyangka perdarahan ini sebagai haid sejati. Meskipun perdarahan per vagina
yang berlebihan menandakan abortus inkomplet namun hal ini kadang juga
dijumpai pada gestasi tuba (Cunningham, 2012).
Penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenore, karena gejala
dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat
setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian disusul dengan
ruptur tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah selanjutnya.
Lamanya amenorea bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian
janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi
amenorea yang dikemukanakan berbagai penulis berkisar dari 23 hingga 97%
(Prawihardjo, 2010).
c. Nyeri tekan abdomen dan panggul
Pada kehamilan ektopik dini yang belum ruptur, nyeri tekan jarang
dijumpai. Namun, dengan ruptur, nyeri tekan hebat sewaktu pemeriksaan
abdomen dan vagina, terutama ketika serviks digerakkan, terdapat pada lebih
dari tiga perempat wanita (Cunningham, 2012).
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan vaginal bahwa
usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut
dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn. Demikian pula kavum douglasi
menonjol nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada abortus tuba
biasanya teraba jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran
dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai
tumor di kavum douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak tekanan
darah dapat menurun dan nadi meningkat, perdarahan yang banyak lagi dapat
menimbulkan syok (Prawihardjo, 2010).

13
d. Perubahan uterus
Meskipun minimal pada awalnya, uterus kemudian dapat terdorong ke
salah satu sisi oleh massa ektopik. Uterus juga mungkin membesar akibat
rangsangan hormon. Derajat perubahan endometrium menjadi desidua
bervariasi. Temuan desidua uterus tanpa trofoblas menandakan kehamilan
ektopik, tetapi ketiadaan jaringan desidua tidak menyingkirkannya
(Cunningham, 2012).
e. Tanda-tanda vital
Meskipun umumnya normal sebelum ruptur, respons terhadap
perdarahan derajat sedang dapat berupa tidak adanya perubahan tanda vital,
peningkatan ringan tekanan darah, atau respons vasovagus disertai bradikardi
dan hipotensi. Tekanan darah akan turun dan nadi meningkat hanya jika
perdarahan berlanjut dan hipovolemianya menjadi signifikan (Cunningham,
2012).
2.6 Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat bantu
diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG), laparoskopi atau
kuldoskopi (Prawihardjo, 2010).
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak
mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali.
Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi
dengan keluhan nyeri peru bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan
kehamilan ektopik harus difikirkan. Dari hasil anamnesis didapatkan haid
biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala
subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, perdarahan pervaginam
terjadi setelah nyeri perut bagian bawah (Prawihardjo, 2010).
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan baik difus
maupun lokal serta adanya nyeri goyang. Pada palpasi di temukan adanya massa

14
adneksa unilateral, dan perubahan uterus dimana uterus teraba lembut dan
ukurannya meningkat (Decherney &Nathan, 2003).
Dalam penegakkan diagnosis kehamilan ektopik, diperlukan pula
pemeriksaan penunjang, yaitu:
a. Laboratorium
- Hemogram
Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-
tanda perdarahan dalam rongga perut. Bila ada penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa
penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit secara
berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis)
dengan derajat bervariasi hingga 30.000/µl. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit
yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvic (Prawihardjo, 2010).
- Human Chorionic Gonadotropin (β-hCG)
β-hCG penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang
paling mudah ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β human
chorionic gonadotropin (β-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat
dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya.
Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin
ialah 20–50 IU/L. Tes kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi
trofoblas menyebabkan human chorionic gonadotropin menurun dan
menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan positif juga tidak dapat mengidentifikasi
lokasi kantung gestasional. Meskipun demikian, wanita dengan kehamilan ektopik
cenderung memiliki level β-hCG yang rendah dibandingkan kehamilan
intrauterine

15
b. Kuldosintesis
Kuldosentesis ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu (Prawihardjo,
2010):
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan
- Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan semprit
10 ml dilakukan pengisapan.

Gambar 4. Teknik kuldosintesis ((Decherney &Nathan, 2003)

Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil.
Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa :
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah.

16
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
c. Pemeriksaan USG
Dari beberapa penelitian melaporkan transvaginalsonografi lebih superior
dibandingkan dengan transabdominalsonografi. Transvaginalsonografi
seharusnya dilakukan pada semua pasien dengan kecurigaan kehamilan ektopik,
khususnya jika dengan transabdominalsonografi tidak dapat mendiagnosis. Dari
satu penelitian, melaporkan sensitivitas dan spesifitas transabdomina lsonografi
dalam mendiagnosis adanya kehamilan ektopik adalah 82 % dan 92 %. Sedangkan
penelitian lain yang mencari akurasi dari transvaginal sonografi dalam mendeteksi
kehamilan ektopik, mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifitas adalah 90, 9 %
dan 99 % (Condous et al, 2005).
Gambaran USG kehamilan ektopik sangat bervariasi, tergantung pada usia
kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus), serta banyak dan
lamanya perdarahan intra abdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara
USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah atau janin
yang letaknya di luar kavum uteri, namun sayangnya gambaran ini hanya bisa
dijumpai pada 5-10 % kasus (Rachimhadhi, 2005).
Morfologi kehamilan ektopik dapat diklasifikasikan kedalam 5 kategori:
kantong gestasional dengan embrio hidup, kantong dengan embrio namun tidak
ada denyut jantung janin, kantong berisi yolk sac, kantong gestasional kosong dan
pembengkakan tuba padat. Tiga tipe morfologi yang pertama sangat spesifik
untuk mendiagnosis kehamilan ektopik
Gambaran lain dari USG yang mengarah ke kehamilan ektopik adalah
(Rachimhadhi, 2005):
1. Pseudogestational sac
Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang
spesifik. Uterus mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran
yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal echogenik

17
sebagai akibat reaksi desidua. Cavum uteri sering berisi cairan eksudat yang
diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pemeriksaan terlihat sebagai cincin
anechoic yang disebut kantong gestasi palsu ( pseudogestational sac ). Berbeda
dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris
di cavum uteri dan tidak menunjukkan struktur ganda.
2. Massa adnexa
Seringkali dijumpai massa di daerah adnexa, yang gambarannya sangat
bervariasi. Bisa terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah,
mungkin hanya berupa massa echogenik dengan batas ireguler, atau pun massa
kompleks yang terdiri dari bagian echogenik dan anechoic. Gambaran massa yang
tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari gambaran yang disebabkan oleh
peradangan adneksa, tumor ovarium atau pun massa endometrium.
3. Cairan bebas intraabdominal
Adanya cairan bebas intraabdominal adalah salah satu karakter yang
meningkatkan kemungkinan terjadiny akehamilan ektopik. Cairanbebas echogenik
harus menjadi perhatian karena ini mengindikasikan adanya hemoperitoneum,
berbeda dengan cairan fisiologis pelvis yang anechoic karena ovulasi.
Deteksi cairan bebas echogenik dilaporka ndalam 28 % sampai 56 %
pasien dengan kehamilan ektopik. Kadang-kadang hemoperitoneum bisa terlihat
seperti kumpulan cairan anechoic. Tidak ada ketentuan berapa jumlah cairan yang
harus dipenuhi dalam menegakkan diagnosis, tetapi semakin banyak jumlah
cairan, kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik semakin besar. Walaupun,
kadang-kadang cairan peritoneal dalam jumlah kecil bisa terjadi pada kehamilan
normal yang berasal dari corpus luteum yang normal.
4. Tubal ring
Ini adalah struktur kistik berdinding tebal di adneksa, tidak tergantung
pada ovarium dan uterus, dan ini menunjukkan prediksi yang tinggi untuk
terjadinya kehamilan ektopik. Ini kadang-kadang mirip dengan kista korpus
luteum jika ovarium tidak tervisualisasi dengan baik. Kista korpus luteum
dindingnya lebih tipis dan kurang echogenik dibandingkan dengan endometrium,

18
dan kista berisi cairan lebih jernih. Jika dikelilingi oleh cairan bebas, ini kadang-
kadang mirip dengan kista ovarium hemoragik.
Pada banyak kasus, sonografi bersifat tidak diagnostic dan penatalaksanaan
selanjutnya didasarkan pada pemeriksaan kadar β-hCG. β -hCG dan ultrasonografi
saling melengkapi dalam mendeteksi kehamilan ektopik dan sebagai deteksi awal.
Kantong intaruterus harus terlihat dengan USG Transvaginal ketika β -hCG
hampir 1000 mlU/ml dan dengan USG Transabdominal mendekati 1 minggu
kemudian, ketika β -hCG 1800-3600 mlU/ml. Ketika rongga uterus kosong dan
titer β -hCG diatas ambang ini, kehamilan ektopik mungkin sekali terjadi. Adanya
massa adneksa dengan uterus kosong meningkatkan kecurigaan terhadap
kehamilan ektopik (Decherney &Nathan, 2003).
d. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat
dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas
dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit
visualisasi alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan
laparotomi (Prawihadjo, 2010).

19
Gambar 5. Salah satu alogaritma yang dianjurkan untuk evaluasi seorang wanita
yang dicurigai mengalami kehamilan ektopik (Cunningham, 2012).

2.7 Diagnosis Banding


Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding dari KET adalah (Wibowo &
Rachimhadhi, 2002):
1. Infeksi pelvis : Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu
haid dan jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan
yang dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada
infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C, selain itu
leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan
menunjukkan hasil negatif.
2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit : Dibandingkan dengan kehamilan
ektopik terganggu perdarahan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang
sering berlokasi di daerah median dan adanya perasaan subjektif penderita yang
merasakan rasa tidak enak di perut lebih menunjukkan ke arah abortus imminens
atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di
samping atau di belakang uterus, dan gerakan servik uteri tidak menimbulkan rasa
nyeri.
3. Tumor/ Kista ovarium: Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan
perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar
dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.
4. Appendisitis : Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada
gerakan cervix uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu.
Nyeri perut bagian bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney.

20
Tabel 2. Diagnosis banding KET (Anthonius, 2001)

21
2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara


lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan
kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu,
perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu
dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan
kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien
dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi
(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah
(2005).
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien pada kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG.
Penurunan kadar β-hCG diobservasi ketat dengan penatalaksanaan ekspektasi,
kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun. Oleh sebab itu,

22
tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan
seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1)
kehamilan ektopik dengan kadar β-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3)
tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik
tidak melebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus
kurang dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan
tuba (Lozeau, 2005).
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana
medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil,
bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas
dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus
menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak
memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang
normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate.
Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara
medis (Lozeau, 2005).
1. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi
keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik,
methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien
dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya
dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya,
kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula
bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka
kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di

23
atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien
harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan
terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani
pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani
pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya
methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara
lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.
Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan
dalam literatur antara lain kadar -hCG, progesteron, aktivitas jantung janin,
ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga
peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah
yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan
-hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelahdimulainya pemberian
methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomenyang diakibatkan
pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan
hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan
analgetik nonsteroidal. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan
tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma,
sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Kadar -hCG umumnya tidak
berhasil terdeteksi lagi dalam 14-21 hari setelah pemberian methotrexate. Setelah
terapi β-hCG masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya dibawah 5
mIU/mL (Bader, 2005).
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel.
Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis
multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari
pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin
ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg
(intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate
dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba
dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat

24
pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil
konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling
ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu (Lozeau, 2005).
2. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena
selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan
kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Lozeau, 2005).
3. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan
alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-
kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam
menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap
lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa
tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan (Lozeau, 2005).

Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja
pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat
mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi
kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai
salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut
di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila
pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi
pembedahan per laparoskopi (Lozeau, 2005).
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi
yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii.
Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas

25
hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian
dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur
ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per
laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum
terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per
laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih
singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah.
Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna (Lozeau, 2005).
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa
pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba
pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi (Lozeau, 2005).
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum
maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1)
kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan
fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan
rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan
sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang,
8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan
pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih
daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut

26
dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba
antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya
(stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping (Lozeau, 2005).
4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi
dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di
bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat
terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil
konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan
bertekanan (Lozeau, 2005).
2.9 Prognosis
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya
bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan)
setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami
kehamilan ektopik terganggu lagi pada sisitusi yang lain (Wibowo &
Rachimhadhi, 2002).
Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian diantara 826 kasus, Wilson
dkk., (1971) melaporkan 1 kematian diantara 591 kasus. Akan tetapi bila
pertolongan terlambat angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo
(1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Sedangkan Tardjiman
dkk., (1973) mendapatkan angka kematian 4 dari 138 kehamilan ektopik
(Prawihardjo, 2010).
Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai
resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang
sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat

27
kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang (Schwart&
Shires, 2000).
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Untuk perempuan dengan jumlah anak yang sudah
cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis dan
sebelumnya perlu mendapat persetujuan suami dan isteri (Prawihardho, 2010).

28
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : NWF
Usia : 23 tahun
Alamat : Br. Glogor Pikat, Kec Dewan, Klungkung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Hindu
Suku bangsa : Bali
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 19 September 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut bagian bawah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD Klungkung dengan keluhan nyeri hebat yang pada
awalnya diperut bagian kanan bawah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, kemudian rasa sakit menjadi menyeluruh di seluruh bagian bawah
perut. Sakit seperti ditusuk-tusuk, muncul secara tiba-tiba tanpa pencetus dan
semakin lama dirasakan semakin berat sehingga pasien merasa kesakitan saat
perutnya dipegang. Pada awalnya, pasien sudah merasakan nyeri pada
bagaian perut bawah setiap berhubungan, sejak 1 bulan yang lalu. Selain
nyeri pasien juga mengeluhkan adanya keluar darah dari kemaluan berwarna
agak kehitaman dan jumlahnya sedikit-sedikit sejak 1 hari yang lalu. Darah
keluar setelah rasa sakit muncul. Pasien mengaku tidak ada gumpalan darah
yang keluar. Keluhan lain seperti nyeri kepala, mual, muntal dan demam
disangkal oleh pasien,

29
Riwayat Obstetri
Pasien mengalami menstruasi pertama kali pada usia 12 tahun. Pasien
mengatakan bahwa siklus menstruasi teratur setiap bulan, siklus 25-28 hari,
lama menstruasi 4-5 hari, volume sekitar 60ml (2-3 pembalut/hari). Saat
mengalami menstruasi pasien mengatakan tidak memiliki keluhan seperti
nyeri perut, perdarahan yang banyak, dan sebagainya. Hari Pertama Haid
Terakhir (HPHT) adalah 14/07/2018.

Riwayat Perkawinan
Pasien baru menikah pertama kali sejak tahun 2014 sekitar 4 tahun. Usia saat
awal menikah adalah 19 tahun.

Riwayat Kehamilan
1. Perempuan/3 tahun/aterm/2900 gram/lahir spontan ditolong oleh bidan
2. kehamilan ini

Riwayat penyakit dahulu dan operasi


Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mengeluhkan perdarahan secara
terus menerus sebelumnya. Ia juga tidak pernah mengeluhkan nyeri perut
bagian bawah hingga ke pinggang dalam waktu yang lama. Ia tidak pernah
menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim. Pasien menggunakan
kontrasepsi berupa suntikan 3 bulan selama 3 tahun. Pasien sebelumnya
pernah mengalami operasi apendik di RS Klungkung. Pasien menyangkal
adanya riwayat kencing manis, darah tinggi dan perdarahan yang sulit
berhenti.

Riwayat Sosial dan Keluarga


Penyakit sistemik lainnya di keluarga seperti hipertensi, diabetes melitus,
asma, penyakit disangkal. Pasien mengaku tidak pernah merokok dan
mengkonsumsi minum beralkohol.

30
Riwayat Sosio Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja swasta, pasien
berobat menggunakan BPJS kelas 3.
.

3.3 Pemeriksaan Fisik


1. Status Present
Keadaan umum : Baik Kesadaran : E4V5M6(CM)
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20 x/menit Suhu tubuh : 36,5°C
Tinggi badan : 159 cm Berat badan : 50 kg

2. Status General
Kepala : Mata : anemia -/-, ikterus -/-, isokor
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : ~ status ginekologi
Ekstremitas : edema tidak ada pada keempat ekstremitas, akral hangat

3. Status Kebidanan

Mammae
Inspeksi
Bentuk simetris
Hiperpigmentasi aerola mammae
Penonjolan glandula Montgomery (+)
Abdomen
Inspeksi
Tampak perut datar, adanya striae gravidarum, tidak tampak bekas luka
sayatan.
Palpasi

31
Pada kuadran kanan bawah dan kiri bawah didapatkan nyeri tekan dan nyeri
lepas. Tidak dapat dinialai adanya massa. Tinggi fundus uteri tidak teraba.
Perkusi
Nyeri ketok (+).
Genitalia eksterna
perdarahan pervaginam (+)

Vagina Toucher (Pk. 10.00 WITA tanggal 14 September 2018)


Vulva : kelenjar Bartholin tidak teraba
Vagina : introitus vagina luas, tidak teraba polip maupun massa,
forniks posterior menonjol dan nyeri pada penekanan.
Serviks : ukuran  2 cm, bentuk bulat, konsistensi kenyal, kanalis
servikalis tertutup, nyeri pada pergerakan (+), Cavum
Douglas menonjol (+)
Uterus : sulit dinilai (pasien mengeluh nyeri ketika dilakukan
palpasi)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


I. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi rutin (Pk.18.42 WITA, 14-09-2018)
Hb : 10.6 g/dl (11.5 - 18 g/dl)
WBC : 8.51 K/uL (4 - 12 K/uL)
PLT : 336 K/uL (150 – 400 K/uL)
Hct : 36 % (37,0-54,0)

Hematologi rutin (Pk.23.57 WITA, 14-09-2018)


Hb : 10.6 g/dl (11.5 - 18 g/dl)
WBC : 7,26 K/uL (4 - 12 K/uL)
PLT : 336 K/uL (150 – 400 K/uL)
Hct : 32.3 % (37,0-54,0)
BT : 2’00” menit (1-6)

32
CT : 10’00” Menit (4-15)

Hematologi rutin (15-09-2018)


Hb : 11.8 g/dl (11 - 17 g/dl)
WBC : 7,26 K/uL (4 - 12 K/uL)
PLT : 336 K/uL (150 – 400 K/uL)
Hct : 36,7 % (35,0-55,0)

Kimia Klinik (03-03-2015)


HbsAg : Non-reaktif
Anti-HIV : Non-raktif

PP test (dilakukan di RSUD Klungkung)


Dilakukan pemeriksaan kehamilan melalui pemeriksaan kadar hCG
dalam urin. Hasil positif.

Ultrasonografi abdomen (dilakukan di RSUD Klungkung):


- Terdapat hematocele di cavum douglas

3.5 Diagnosis
G2P1001 hamil 9-10 minggu dengan Kehamilan Ektopik ec Hematocele

3.6 Tatalaksana
 IVFD RL
 Cefoperazone 1 gr
 Pro cito laparatomi a/i Kehamilan ektopik ec hematocele
 Persiapan WBC 2 labu

3.7 Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad malam

33
 Ad sanactionam : dubia ad malam

3.8 Follow UP
15 September 2018, pukul 09.35 WIB, dilakukan tindakan operasi
 Diagnosis pre operasi : G2P1001 hamil 9-10 minggu dengan
Kehamilan Ektopik ec hematocele
 Laporan Operasi :
- Telah dilakukan salfingektomi Dextra
 Diagnosis Post operasi :
- Post salfingektomi dextra e.c kehamilan ektopik ec hematocele
 Terapi post operasi :
- Observasi tanda vital
- Infus RL 500cc 20 tpm
- Drip petidin 75mg + Tramadol 100mg di RL 500cc 20 tpm
- Injeksi ketorolak 3 x 30 mg (iv)
- Injeksi ondansentron (iv) k/p

16 September 2018
S : Nyeri luka operasi (+), pusing (-), Sudah buang angin.
O : keadaan umum : baik
tekanan darah : 100/60 mmHg
nadi : 78 x/menit, teratur, kuat angkat
pernapasan : 18 x/menit, teratur
suhu : 36,00C
bising usus positif normal

A : Post salfingektomi dextra atas indikasi kehamilan ektopik ec


hematocele hari pertama
P :- Infus RL 20 tpm
- Injeksi ketorolak 3 x 30 mg (iv)
- Injeksi cefotaxim 2 x 1gr (iv)

34
- Injeksi ondansentron (iv) k/p
- Terapi oral setelah obat injeksi selesai :
 Tab Ciprofloxacim 500 mg (3x1)
 Tab Asam Mefenamat 500 mg (3x1)
 Tab supplement Fe (1x1)
- Mobilisasi miring kanan dan kiri serta belajar duduk dan jalan

17 September 2018
S : nyeri luka operasi (+), pusing (-)
O : keadaan umum : baik
tekanan darah : 110/70 mmHg
nadi : 80 x/menit, teratur, kuat angkat
pernapasan : 20 x/menit, teratur
suhu : 36,50C
Luka : kering
A : Post salfingektomi dextra atas indikasi kehamilan ektopik ec
hematocele hari kedua
P :- Tab Ciprofloxacim 500 mg (3x1)
- Tab Asam Mefenamat 500 mg (3x1)
- Tab Suplement Fe (1x1)
- Pasien boleh pulang

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan sesorang beresiko mengalami


kehamilan ektopik terganggu (KET) baik itu dari faktor tuba, abnormalitas dari
zigot, faktor ovarium, faktor hormonal dan faktor lain seperti penggunaan
kontrasepsi IUD. Pada pasien ini faktor resiko pasien adalah faktor hormonal.
Faktor hormonal berkaitan dengan pengguanaan kontrasepsi hormonal. Pasien
pada kasus ini menggunakan kontrasepsi hormonal berupa suntikan 3 bulan
selama 3 tahun. Kontrasepsi jenis ini merupakan kontrasepsi yang hanya
mengandung hormone progesteron dimana kontrasepsi yang hanya mengandung
progesteron dapat mengakibatkan pergerakan tuba melambat. Apabila terjadi
pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET) ditegakkan dengan melihat
tanda dan gejala pada pasien serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan.
Pertama-tama pada tanda dan gejala yang ada pada pasien. Pasien mengeluhkan
nyeri hebat yang pada awalnya diperut bagian kanan, kemudian rasa sakit menjadi
menyeluruh di seluruh perut bagian bawah. Sakit seperti ditusuk-tusuk, muncul
secara tiba-tiba tanpa pencetus dan semakin lama dirasakan semakin berat
sehingga pasien merasa kesakitan saat perutnya dipegang. Pada ruptur, nyeri dapat
timbul di mana saja di abdomen. Nyeri perut terjadi secara tiba-tiba dan
intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan
dan masuk ke dalam syok. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi,
setalah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah
atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang
diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu.
Pada anamnesis, informasi lain yang yang mendukung terjadinya KET
antara lain perdarahan pervaginam berwarna merah kehitaman disertai nyeri perut
bagian bawah. Pada pemeriksaan fisik, informasi yang mendukung antara lain
tanda rangsangan peritoneum seperti nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok pada
abdomen yang positif, forniks posterior yang menonjol dan nyeri pada penekanan

36
serta nyeri pada pergerakan serviks uterus. Hasil pemeriksaan kehamilan positif
membuktikan adanya kehamilan pada pasien.

Gejala KET Abortus Kista Ovarium Infesi Pelvis


Amenorrhea + + - +
Perdarahan
+ banyak - +
vaginal sedikit
Perdarahan
abdominal + - - -
banyak
Demam - + + -
Massa pelvis - + - -
Uterus sedikit
+ membesar - -
membesar
Nyeri hebat + - + +/-
Anemia + +/- - -
Leukositosis
+ - - -
<20.000
PP test (+) + + - -
Sifting Dulnes + - - -

Dari hasil beberapa gejala dan pemriksaan fisik didapatkan hasil yang
mengarah ke kehamilan ektopik terganggu. Untuk memastikan diagnosis KET,
maka pada pasien dilakukan pemeriksaan USG. Temuan ultrasonografi pada
kehamilan ektopik mencakup adanya komplek massa (campuran padat dan kista),
terutama di adneksa, cairan bebas di kavum Douglasi, dan tidak adanya kantung
kehamilan di dalam uterus pada ultrasonografi transvaginal, khususnya jika kadar
-hCG lebih dari 1000 hingga 2000 mU/mL. Diagnosis pasti kehamilan ektopik
secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi
mudigah/janin hidup yang terletak di luar kavum uteri. Namun, gambaran ini
hanya dijumpai pada 3-10% kasus. Diagnosis juga dapat ditegakkan apabila pada

37
ultrasonografi memberi gambaran tidak adanya kantung kehamilan di dalam
uterus dengan syarat kadar hCG lebih dari 2.500 IU. Hasil pemeriksaan
ultrasonografi pada kasus ini memberi gambaran adanya hematocele di caum
douglas. Hasil ini, ditambah hasil pemeriksaan kehamilan melalui pemeriksaan
hCG di dalam urin mendukung untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik.
Adanya cairan bebas di dalam kavum Douglasi merupakan petunjuk adanya
perdarahan di dalam kavum Douglasi yang berasal dari ruptur tuba tempat nidasi
kehamilan. Hal ini menjelaskan terjadinya KET pada kasus.
Dalam penanganan kasus ini, untuk menghindari kondisi pasien yang akan
jatuh pada kondisi syok, dilakukan tindakan operasi laparatomi segera. Pada saat
operasi, didapatkan adanya robekan di tuba fallopi dekstra yang ruptur, dan
mengingat pasien sudah memiliki seorang anak, maka maka dilakukan tindakan
salpingektomi dekstra. Salpingektomi merupakan tindakan untuk mengangkat
tuba pada sisi yang mengalami KET. Indikasi dari salpingektomi antara lain
sebagai berikut:
1. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3. terjadi kegagalan sterilisasi,
4. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
5. pasien meminta dilakukan sterilisasi,
6. perdarahan berlanjut pasca salpingotomi,
7. kehamilan tuba berulang,
8. kehamilan heterotopik, dan
9. massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Mengingat telah terjadinya KET pada pasien ditambah faktor penggunaan
suntikan KB, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya KET pada kehamilan
selanjutnya. Untuk itu disarankan kepada pasien agar menggunakan kontrasepsi
pil, dimana kontrasepsi pil tidak hanya mengandung hormone progesterone, tetapi
juga mengandung hormone estrogen.
Setelah selesai operasi, pasien di observasi 2 jam pasca operasi sebelum
dipindahkan ke ruangan Belimbing.

38
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada pasien didasarkan pada gejala


dan tanda pada pasien yakni perdarahan pervaginam serta nyeri abdomen
akibat rangsangan peritoneum dan didukung dari hasil tes kehamilan, dan
pemeriksaan ultrasonografi abdomen.
2. Hanya faktor hormonal yang dapat menjelaskan terjadinya KET pada pasien.
3. Penanganan KET pada pasien meliputi pertahanan hemodinamik, dan
salpingektomi dekstra. Penanganan tersebut sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan KET.

39

Anda mungkin juga menyukai