Anda di halaman 1dari 37

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

KISTA ENDOMETRIOSIS

OLEH :

NOVIARSIH MUSLIMAH

K1A1 13 117

PEMBIMBING :

dr. LIANAWATI, M.Kes, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Noviarsih Muslimah

NIM : K1A1 13 117

Judul : Kista Endometriosis

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kebidanan dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Juli 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Lianawati, M.Kes, Sp.OG

2
Kista Endometriosis
Noviarsih Muslimah, Lianawati

A. Pendahuluan
Kista endometriosis secara klasik didefinisikan sebagai adanya kelanjar
endometrial dan kelenjar stroma pada lokasi ektopik, secara umum berada dalam
peritoneum pelvis, ovarium dan septum retrovaginal.1 Kista endometriosis dapat
menyebabkan reaksi inflamasi kronik, luka pada jaringan dan adhesi yang dapat
menyebabkan gangguan anatomi panggul wanita.2 Kista endometriosis terjadi
pada 6-10 % wanita pada usia produktif dengan gejala tersering antara lain
dismenore, dispareunia, nyeri panggul kronik, perdarahan uterus irregular dan
atau infertilitas.1
Kista endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena gejala yang
asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sensitifitasnya rendah. Perempuan dengan kista endometriosis bisa dengan tanpa
gejala, subfertil atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu
mensturasi (dismenorea). Pada perempuan dengan kista endometriosis yang
asimtomatis prevalensinya sekitar 2-22% tergantung pada populasinya. Oleh
karena berkaitan dengan infertilitas dan rasa sakit di rongga panggul,
prevalensinya bisa meningkat 20-50%.3

B. Definisi
Kista endometriosis adalah kelainan ginekologik jinak yang sering
diderita oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula
dan stroma endometrium di luar letak yang normal.2 Kista endometriosis sering
didapatkan pada peritoneum pelvis tetapi juga didapatkan pada ovarium, septum
rektovaginalis, ureter tetapi jarang pada vesika urinaria, pericardium dan pleura.
Pertumbuhan kista endometriosis tergantung pada hormone estrogen.3 Kista
endometriosis uteri adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang

3
masih berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-
kelenjar dan stroma yang terdapat di dalam miometrium ataupun diluar uterus,
bila jaringan endometrium terdapat miometrium disebut adenomiosis.3

C. Fisiologi Endometrium
Lapisan dalam uterus atau endometrium merupakan lapisan yang kaya
akan pembuluh darah memiliki 3 komponen, yaitu epitel kolumner simpleks
bersilia dan bergoblet, kelenjar uterina yang merupakan invaginasi dari epitel
luminal yang kemudian meluas hampir ke miometrium, dan stroma
endometrium. Endometrium terbagi menjadi 2 lapisan yaitu, stratum fungsional
dan stratum basal. Stratum fungsional merupakan lapisan melapisi rongga uterus
dan luruh ketika menstruasi. Sedangkan stratum basalis merupakan lapisan
permanen yang fungsinya akan membentuk sebuah lapisan fungsional yang baru
setelah menstruasi.3

Gambar 1. Siklus Endometrium

4
Durasi siklus mentruasi wanita biasanya berkisar antara 24-36 hari dengan
rata-rata 28 hari. Siklus ini terbagi jadi 4 fase yaitu fase mentruasi, fase
preovulasi, fase ovulasi dan fase post-ovulasi.3
1. Fase Menstruasi
Fase menstruasi, juga disebut haid atau menstruasi, berlangsung selama
kira-kira 5 hari pertama siklus (dengan konvensi, hari pertama menstruasi
adalah hari 1 dari siklus baru). Didalam uterus akan terjadi aliran mentruasi
50-150 ml darah, cairan jaringan, lendir dan epitel sel yang berasal dari
endometrium. Fase ini berawal dari oosit yang telah diovulasi tidak dibuahi
dan tidak terjadi implantasi di uterus. Hal tersebut terjadi karena adanya
penurunan hormon progesteron dan estrogen yang merangsang pelepasan
prostaglandin yang menyebabkan arteri spiralis pada stratum fungsional
endometrium mengalami vasokontriksi. Kontriksi pada pembuluh darah
tersebut mengakibatkan terganggunya aliran darah ke stratum fungsional
sehingga stratum fungsional mengalami iskemia sementara dan akhirnya
menyebabkan nekrosis (kematian) sel dinding pembuluh darah. Setelah
vasokontriksi terjadi, arteri spiralis akan kembali vasodilatasi yang
menyebabkan luruhnya bagian stratum fungsional yang telah nekrosis dari
bagian endometrium yang tersisa. Akhirnya, seluruh stratum fungsional akan
luruh. Pada keadaan ini endometrium menjadi sangat tipis, yakni sekitar 2-5
mm karena hanya stratum basalis yang bersifat permanen. Lalu aliran
menstruasi akan melewati uterus, serviks dan kemudian vagina untuk keluar.
2. Fase Proliferasi
Fase pre-ovulasi disebut juga dengan fase proliferatif. Fase preovulasi
merupakan waktu antara akhir mentruasi dan ovulasi. Fase preovulasi dari
siklus ini lebih panjang dan bervariasi dari fase lainnya, yakni berkisar antara
6-13 hari untuk siklus 28 hari. Didalam uterus, estrogen akan dilepaskan
kedalam darah oleh folikel ovarium yang sedang tumbuh dalam merangsang
perbaikan endometrium. Dimana sel-sel dari stratum basalis mengalami

5
mitosis dan menghasilkan stratum fungsional yang baru. Setelah itu,
endometrium akan menebal, kelenjar uterina yang lurus akan mengembang
dan arteri spiralis akan memanjang dan akan menembus stratum fungsional
karena pengaruh hormon estrogen. Ketebalan endometrium menjadi sekitar 2
kali lipat, yakni sekitar 4-10 mm.
3. Fase Ovulasi
Pada fase ovulasi ini, terjadi ruptur dari folikel de graff dan terjadi
pelepasan oosit sekunder dari ovarium ke uterus melewati tuba uterina.
Biasanya terjadi pada hari ke-14 dalam siklus menstruasi 28 hari. Selama
ovulasi, oosit sekunder tetap dikelilingi zona pelusida dan corona radiata.
Tingginya tingkat hormon estrogen selama akhir fase pre-ovulasi memberikan
umpan balik positif pada sel-sel yang mensekresikan LH (Luteinizing
Hormone) dan GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) dan menyebabkan
fase ovulasi sebagai berikut :
a. Konsentrasi estrogen yang tinggi sering merangsang pelepasan GnRH dari
hipotalamus. Hal ini juga langsung merangsang gonadotropin di hipofisis
anterior untuk mensekresikan LH.
b. GnRH membantu pelepasan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
tambahan dari hipofisis anterior.
c. LH menyebabkan pecahnya folikel de graff dan pelepasan dari oosit
sekunder sekitar 9 jam setelah puncak lonjakan LH, ovulasi oosit sekunder
tetap dikelilingi zona pelusida dan corona radiata menuju uterus melalui
tuba uterina.
4. Fase Sekresi
Fase post-ovulasi dari siklus mentruasi adalah waktu antara fase ovulasi
dan mentruasi berikutnya. Dimana waktu tersbut merupakan bagian konstan
selama siklus mentruasi yang berlangsung selama 14 hari dari hari ke-15
sampai hari ke-28 dalam siklus 28 hari. Di uterus, progesteron dan estrogen
akan diproduksi oleh sel lutein dari korpus luteum yang membantu

6
pertumbuhan kelenjar endometrium, peningkatan vaskularisasi endometrium,
dan penebalan endometrium sekitar 12-18 mm. Karena aktivitas sekresi dari
kelenjar endometrium, yang mulai mensekresikan glikogen, periode ini disebut
juga fase sekresi dari siklus uterus. Persiapan ini terjadi pada saat perubahan
puncak sekitar 1 minggu setelah ovulasi, pada saat ovum dibuahi berjalan
menuju uterus. Jika tidak terjadi fertilisasi, akan terjadi penurunan hormon
progesteron dan estrogen karena degenerasi korpus luteum. Penurunan
menyebabkan menstruasi.

D. Klasifikasi
Sistem klasifikasi telah dikembangkan oleh American Society of
Reproduction Medicine (ASRM) untuk mengelompokkan endometriosis dan
perlengketan dikarenakan endometriosis. Klasifikasi ini seringkali digunakan
oleh ginekologis untuk mendokumentasikan adanya endometriosis dan
perlengketan yang terlihat saat operasi. Sistem klasifikasi endometriosis tidak
dapat memperkirakan tingkat nyeri ataupun kompleksitas operasi. Namun, kelas
endometriosis yang lebih tinggi biasanya dikategorikan sebagai bentuk
endometriosis yang lebih berat.4
Sistem klasifikasi awalnya dikembangkan untuk memperkirakan
penurunan fertilitas dan untuk alasan itulah maka klasifikasi difokuskan pada
penyakit ovarium dan perlengketan. Pasien dengan “kelas” penyakit yang sama
mungkin saja memiliki manifestasi penyakit dan jenis yang berbeda. Terdapat
beberapa bentuk penyakit berat yang tidak diikut sertakan, seperti: penyakit
saluran pencernaan, kantung kemih, dan diafragma yang invasif. Berikut ini
adalah sistem klasifikasi yang ditetapkan oleh ASRM untuk endometriosis,
yaitu:4,5

7
Gambar 2. Klasifikasi Endometriosis oleh ASMR

8
Gambar 3. Klasifikasi Endometriosis

1. Kelas 1 & 2 (endometriosis tingkat minimum sampai ringan )


Endometiosis peritoneum superfisial. Memungkinkan adanya lesi
endometriosis kecil yang dalam. Tidak ada endometrioma. Pelekatan tipis dan
ringan, jika ada.4
2. Kelas 3 & 4 (endometriosis tingkat sedang sampai berat)
Adanya endometriosis peritoneum superfisial, endometriosis yang sangat
invasif dengan perlengketan moderat sampai ekstensif di antara uterus dan

9
saluran pencernaan dan/atau kista endometrioma dengan perlengketan
moderat sampai ekstensif yang meliputi ovarium dan tuba.4
Berdasarkan letaknya, endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 subtipe,
yaitu: 4,5

1. Endometriosis peritoneum superficial


Merupakan jenis endometriosis yang paling umum ditemukan. Lesi
endometriosis yang meliputi bagian peritoneum, yaitu selaput tipis yang
menyelubungi permukaan rongga panggul bagian dalam. Lesi biasanya
datar dan tidak dalam, serta tidak menyusup ke rongga di bagian bawah
peritoneum.
2. Endometriosis kista ovarium (endometrioma atau kista coklat)
Endometriosis yang berkembang menjadi endometrioma pada ovarium
jarang dialami penderita endometriosis. Endometrioma merupakan suatu
kista yang dinding kistanya memiliki area endometriosis. Kista terisi
dengan darah yang sudah tua (darah lama). Karena cairan dalam kista
yang berwarna coklat maka disebut dengan kista coklat. Kebanyakan
wanita dengan kista endometrioma juga akan memiliki endometriosis
superfisial dan/atau endometriosis dalam yang terletak di manapun dalam
panggul.
3. Endometriosis susukan dalam (endometriosis yang menyusup dengan
dalam)
Lesi endometriosis pada kategori ini didefinisikan sebagai lesi dalam
ketika lesi telah menginvasi sedikitnya 5 mm di bawah permukaan
peritoneum. Karena peritoneum sangat tipis, lesi dalam selalu melibatkan
jaringan di bawah peritoneum (rongga rertroperitoneum).

10
E. Epidemiologi
Kista endometriosis merupakan penyakit yang sangat umum dimana
terjadi pada 6 sampai 10 % populasi umum wanita; wanita dengan nyeri,
infertilitas atau keduanya, dengan frekuensi 35-50%. Sekitar 25 sampai 50%
pada wanita infertile mengalami kista endometriosis dan 30 sampai 50% wanita
dengan kista endometriosis mengalami infertilitas.2
Kista endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena sering gejalanya
asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sensitifitasnya rendah. Perempuan dengan kista endometriosis bisa dengan tanpa
gejala, subfertil atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu
mensturasi (dismenorea). Pada perempuan dengan kista endometriosis yang
asimtomatis prevalensinya sekitar 2-22% tergantung pada populasinya. Oleh
karena berkaitan dengan infertilitas dan rasa sakit di rongga panggul,
prevalensinya bisa meningkat 20-50%.3
Kista endometriosis paling sering ditemukan pada perempuan melahirkan
di atas usia 30 tahun disertai dengan gejala menoragia dan dismenorea yang
progresif. Kejadian adenomiosis bervariasi antara 8-40% dijumpai pada
pemeriksaan dari semua specimen histerektomi. Dari 30% pasien ini
diketemukan adanya kista endometriosis dalam rongga peritoneum secara
bersamaan.3,4
Kejadian kista endometriosis 10-20% pada usia reproduksi perempuan.
Jarang sekali pada perempuan pramenarke ataupun menopause. Faktor resiko
terutamanya terjadi pada perempuan yang haidnya banyak dan lama, yang
menarkenya pada usia dini, perempuan dengan kelainan saluran Mulleri dan
lebih sering dijumpai pada ras Asia daripada Kaukasia.2,3

11
F. Etiologi dan Faktor Risiko
Beberapa faktor reproduksi telah secara konsisten berhubungan dengan
risiko terjadinya Kista endometriosis dimana variasi hormonal mungkin telah
memberikan dampak yang signifikan pada risiko perkembangan Kista
endometriosis.3
1. Faktor keturunan
Terdapat bukti kista endometriosis dapat diturunkan di dalam keluarga.
Walaupun tidak ada pola genetik Mendel yang jelas,terdapat peningkatan
insiden dalam kerabat keluarga tingkat pertama. Misalnya, dalam studi genetic
wanita dengan kista endometriosis, Simpson dan rekan-rekan (1980) mencatat
bahwa 5.9% dari saudara perempuan dan 8.1% ibu dari wanita dengan kista
endometriosis dibandingkan dengan 1% dari keluarga suami perempuan
kerabat tingkat pertama.4
2. Mutasi genetic dan polimorfisme
Kadar berlakunya kista endometriosis disebabkan oleh factor keturunan ada
kaitannya dengan mutasi genetic. Telah diidentifikasi terdapat mutasi pada
region kromosom 10q26 membuktikan terdapat hubungan yang signifikan
pada 2 saudara kandung dengan kista endometriosis. Terdapat gen EMX2
yang merupakan factor transkripsi untuk pembentukan saluran reproduksi.
Gen yang kedua adalah PTEN, merupakan tumor suppressor yang
menghalangi transformasi maligna kista endometriosis ovary.3
3. Defek anatomi
Obstruksi pada saluran reproduksi dapat menyebabkan predisposisi
pengembangan kista endometriosis, seperti pada eksaserbasi refluks siklus
haid. Dengan demikian, kista endometriosis telah diidentifikasi pada wanita
dengan noncommunicating uterine horn, selaput dara imperforata, dan septum
vagina transversal. Oleh karena itu, laparoskopi diagnostik dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mengobati kista endometriosis disarankan pada saat

12
operasi korektif bagi perbaiki anomali ini. Perbaikan defek anatomi tersebut
diperkirakan mengurangi risiko pengembangan kista endometriosis.3
4. Racun dari lingkungan
Terdapat berbagai kajian menunjukkan terpapar kepada keracunan lingkungan
memainkan peranan dalam pembentukan kista endometriosis. Toxin yang
paling banyak adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) dan racun
seperti komponen dioxin. Apabila berikatan, TCDD mengaktivasi reseptor
aryl hydrocarbon. Reseptor ini adalah asas factor transkripsi dan sama dengan
golongan reseptor hormone steroid, yang menghasilkan transkripsi pelbagai
gen. Akibatnya, TCDD dan komponen dioxin akan menstimulasi kista
endometriosis dengan meningkatkan kadar interleukin, mengaktivasi sitokrom
enzim P450 seperti aromatase dan mengakibatkan perubahan pada remodeling
jaringan.4
Selain itu, TCDD dalam hubungannya dengan estrogen muncul untuk
merangsang pembentukan kista endometriosis, dan TCDD muncul untuk
memblokir progesterone-induced pada regresi kista endometriosis. Di
lingkungan, TCDD dan komponen dioxin adalah hasil libah dari industry
pengolahan. Paparan paling banyak kepada manusia adalah akibat menelan
makanan terkontaminasi atau kontak tidak disengajakan. Terdapat prevelensi
yang tinggi pada ibu dengan kista endometriosis mempunyai kandungan
konsentrasi dioxin yang tinggi di dalam ASI. Selain itu, penelitian selanjutnya
telah menunjukkan tingkat dioxin serum lebih tinggi pada wanita fertile
dengan Kista endometriosis dibandingkan dengan mereka yang infertile.3

13
G. Lokasi
Kista endometriosis dapat muncul di berbagai lokasi dalam pelvic dan
juga pada luar rongga pelvik seperi di permukaan peritoneum. Kista
endometriosis terdapat paling banyak di dalam rongga panggul seperti ovari,
kavum Douglasi, dan jarang sekali dapat tumbuh sampai ke rectum dan kandung
kemih. Ada juga dapat timbul di luar rongga panggul (ekstrapelvik) sampai ke
rongga paru, pleura, umbilicus.2,3

Gambar 4. Lokasi Endometriosis


H. Patofisiologi
Beberapa teori terkait terjadinya endometriosis antara lain:4,5,6
1. Penyusukan sel endometrium dari haid berbalik (Sampson)
2. Metaplasia epitel selomik (Meyer-iwanoff)
3. Penyebaran limfatik (Halban-Javert) dan Vaskuler (Navatril)
4. Penyebaran iatrogenik atau pencangkokan mekanik (Dewhurst)
5. Imunodefisiensi lokal
Darah haid yang berbalik ke rongga peritoneum diketahui mampu
berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang metaplasia
peritoneum. Kemudian merangsang angiogenesis. Hal ini dibuktikan dengan lesi
endometriosis sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya.
Pentingnya selaput mesotelium yang utuh dapat dibuktikan pada penelusuran

14
dengan mikroskop elektron, terlihat bahwa serpih haid atau endometrium hanya
menempel pada sisi epitel yang selaputnya hilang atau rusak. Lesi endometriosis
terbentuk jika endometrium menempel pada selaput peritoneum. Hal ini terjadi
karena pada lesi endometriosis, sel, dan jaringan terdapat protein intergin dan
kadherin yang berpotensi terlibat dalam perkembangan endometriosis.
Molekul perekat haid seperti (cell-adhesion molecules, CAMs) hanya
ada di endometrium, dan tidak berfungsi pada lesi endometriosis. Teori
pencangkokan Sampson merupakan teori yang paling banyak diterima untuk
endometriosis peritoneal. Semua wanita usia reproduksi diperkirakan memiliki
endometriosis peritoneal, didasarkan pada fakta bahwa hampir semua wanita
dengan tuba falopi yang paten melabuhkan endometrium hidup ke rongga
peritoneum semasa haid dan hampir semua wanita mengalami endometriosis
minimal sampai ringan ketika dilakukan laparoskopi. Begitu juga ditemukannya
jaringan endometriosis pada irisan serial jaringan pelvik pada wanita 40 tahunan
dengan tuba falopi paten dan siklus haid normal.
Walaupun demikian tidak setiap wanita yang mengalami retrograde
menstruasi akan menderita endometriosis. Baliknya darah haid ke peritoneum,
menyebabkan kerusakan selaput mesotel sehingga memajankan matriks
extraseluler dan menciptakan sisi perlekatan bagi jaringan endometrium. Jumlah
haid dan komposisinya, yaitu nisbah antara jaringan kelenjar dan stroma serta
sifat-sifat biologis bawaan dari endometrium sangat memegang peranan penting
pada kecenderungan perkembangan endometriosis. Setelah perekatan matriks
ekstraseluler, metaloperoksidasenya sendiri secara aktif memulai pembentukan
ulang matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan invasi endometrium ke dalam
rongga submesotel peritoneum. Dalam biakan telah ditemukan bahwa penyebab
kerusakan sel-sel mesotel adalah endometrium haid, bukan endometrium fase
proliperatif, kerusakan endometrium ditemukan sepanjang metastase.
Kemungkinan pengaruh buruk isi darah haid telah dipelajari pada biakan
gabungan dengan lapisan tunggal sel mesotel, terlihat bahwa endometrium haid

15
yang luruh, endometrium haid yang tersisip, serum haid dan medium dari
jaringan biakan haid, menyebabkan kerusakan hebat sel-sel mesotel,
kemungkinan berhubungan dengan apoptosis dan nekrosis.
Endometriosis merupakan penyakit yang bergantung dengan kadar
estrogen akibat P450 aromatase dan defisiensi 17 beta-hidrohidroksisteroid
dehidrogenase. Aromatase mengkatalisis sintesis estron dan estradiol dari
androstenedion dan testosteron, dan berada pada sel retikulum endoplasma. Pada
sel granulosa 17 beta-hidrohidroksisteroid dehidrogenase mengubah estrogen
kuat (estradiol) menjadi estrogen lemah (estron).
Endometrioma dan invasi endometriosis ekstraovarium
mengandung aromatase kadar tinggi., faktor pertumbuhan, sitokin dan
beberapa faktor lain berperan sebagai pemacu aktivitas aromatase melalui
jalur cAMP. 17 beta-hidrohidroksisteroid dehidrogenase mengubah estrogen
kuat (estradiol) menjadi estrogen lemah (estron) yang kurang aktif, yang tidak
ditemukan pada fase luteal jaringan endometriosis.10 Hal ini menunjukkan
adanya resistensi selektif gen sasaran tertentu terhadap kerja progesteron.7
Resistensi juga terjadi dilihat dari gagalnya endometriosis untuk beregresi
dengan pemberian progestin.
Yang paling dapat diterima yakni teori hormonal, yang berawal dari
kenyataan bahwa kehamilan dapat menyembuhkan endometriosis. Rendahnya
kadar FSH (folicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), dan
estradiol (E2) dapat menghilangkan endometriosis. Pemberian steroid seks juga
dapat menekan sekresi FSH, LH, dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut ini
mengemukakan bahwa pertumbuhan endometriosis sangat tergantung pada kadar
estrogen dalam tubuh, tetapi akhir-akhir ini mulai diperdebatkan. Menurut Kim
et al, kadar E2 ditemukan cukup tinggi pada kasus-kasus endometriosis. Olive
(1990) menemukan kadar E2 serum pada setiap kelompok derajat endometriosis
terdapat dalam batas normal. Keadaan ini juga tidak bergantung pada beratnya
derajat endometriosis, dan makin menimbulkan keraguan mengenai penyebab

16
sebenarnya dari endometriosis.4,5,7 Bila dianggap perkem-bangan endometriosis

bergantung pada kadar estrogen dalam tubuh, seharusnya terdapat hubungan


bermakna antara berat-nya derajat endometriosis dengan kadar E2. Di lain pihak,
bila kadar E2 tinggi dalam tubuh maka senyawa ini akan diubah menjadi
androgen melalui proses aroma-tisasi, yang berakibat kadar testosteron (T) akan
meningkat. Kenyataan pada penelitian tersebut, kadar T tidak berubah secara
bermakna menurut beratnya penyakit, bah-kan dalam cairan peritoneal terlihat
kadar-nya cenderung menurun seirama dengan E2. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat dikatakan bahwa memberatnya endometrio-sis tidak murni

tergantung estrogen saja.7

Teori endometriosis dapat dikaitkan dengan aktivitas sistem imun.


Teori imuno-logik menerangkan bahwa secara embrio-logik, sel epitel yang
membungkus perito-neum parietal dan permukaan ovarium me-miliki asal yang
sama; oleh karena itu sel-sel endometriosis akan sejenis dengan mesotel. Telah
diketahui bahwa CA-125 merupakan suatu antigen permukaan sel yang semula
diduga khas untuk ovarium. Endometriosis merupakan proses proliferasi sel yang
bersifat destruktif dan akan meningkatkan kadar CA-125. Oleh karena itu,
antigen ini dipakai sebagai penanda kimiawi. Banyak peneliti yang berpendapat
bahwa endometriosis merupakan penyakit autoimun karena memiliki kriteria
yang cenderung bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik yang melibatkan
banyak organ, dan menunjukkan aktivitas sel B poliklonal. Danazol yang semula
dipakai untuk pengobatan endometriosis karena diduga bekerja secara hormonal,
juga telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun. Oleh karena itu selain
oleh efek hormonalnya, keberhasilan pengobatan danazol diduga juga oleh efek
imunologik. Danazol mengurangi tempat ikatan IgG (reseptor Fc) pada monosit,
sehingga mem-pengaruhi aktivitas fagositik sel-sel ter-sebut. Beberapa penelitian
menemukan peningkatan IgM, IgG, serta Ig A dalam serum pasien
endometriosis.

17
I. Gejala Klinis
Gejala kista endometriosis tergantung pada lokasi dari penyakit. Deep
kista endometriosis pada pelvis posterior berhubungan dengan peningkatan
diskezia yang berat dibandingkan dengan wanita dengan kista endometriosis
pelvis tanpa deep kista endometriosis posteior. Deep kista endometriosis pada
septum retrovaginal berhubungan dengan diskezia berat dan dispareunia.1,2,4
1. Dismenorea
Dismenorea adalah keluhan utama tersering, dilaporkan pada 62% wanita
dengan kista endometriosis. Nyeri haid disebabkan oleh reaksi peradangan
akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum akibat perdarahan local pada
sarang Kista endometriosis dan oleh adanya infiltrasi kista endometriosis ke
dalam syaraf pada rongga panggul
2. Nyeri pelvic
Nyeri pelvic terjadi akibat perlengketan, sehingga dapat mengakibatkan nyeri
pelvic yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul,
punggung dan paha dan bahkan menjalar sampai ke rectum dan diare, sekitar
2/3 perempuan dengan kista endometriosis mengalami rasa nyeri
intermenstrual
3. Dispareunia
Dispareunia paling sering timbul terutama bila kista endometriosis sudah
tumbuh di sekitar kavum douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi
4. Diskezia
Diskezia yaitu keluhan sakit buang air besar bila kista endometriosis sudah
tumbuh dalam dinding rektosigmoid dan terjadi hematokezia pada saat siklus
haid.

18
5. Subfertilitas
Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan kista endometriosis dapat
menganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum
untuk bertemu dengan sperma. Kista endometriosis meningkatkan volume
cairan peritoneal, peningkatan konsentrasi makrofag yang teraktivasi,
prostaglandin, interleukin-1, tumor nekrosis factor dan protease. Cairan
peritoneum mengandung inhibitor penangkap ovum yang menghambat
interaksi normal fimbrial kumuls. Perubahan ini dapat memberikan efek buruk
bagi oosit, sperma, embrio dan fungsi tuba. Kadar tinggi nitric oxide akan
memperburuk motilitas sperma, implantasi dan fungus tuba. Dapat juga
terjadi gangguan hormonal (hiperprolaktinemia) dan ovulasi, termasuk
sindroma Luteinized Unruptured Follicle (LUF), defek fase luteal,
pertumbuhan folikel abnormal dan lonjakan LH dini.

J. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum
Untuk mendapatkan hasil yang lebih mendukung, dilakukan
pemeriksaan fisik saat awal mensturasi dimana implant dalam keadaan paling
besar dan paling lunak. Jika terdapat penyakit yang lebih luas, dapat
diketemukan dengan nodul pada uterosacral pada pemeriksaan rectovaginal
atau uterus retrovert yang terfiksasi. Jika ovarium terlibat, ditemukan bagian
masa adnexal yang terfiksasi, lunak dapat teraba dengan pemeriksaan
bimanual atau ultrasonografi.4
Selalunya tidak terdapat sebarang kelainan pada inspeksi visual dari luar.
Kista endometriosis dapat bertumbuh secara spontan dalam perineum atau
perianal.3

19
2. Pemeriksaan bimanual
Pada palpasi rongga pelvic, dapat ditemukan anatomi yang abnormal
menunjukkan kista endometriosis. Ligament uterosacral bernodul dan lunak
dapat menunjukkan penyakit yang aktif uatau terdapat jaringan parut
sepanjang ligamen. Masa yang besar dan kistik zpada adneksa dapat
menandakan endometrioma ovary, yang dapat mobil atau adheren pada
struktur pelvic. Pemeriksaan bimanual ini dapat mengetahui apakah uterus
retrovert, tetap, lunak atau keras. Meskipun palpasi organ panggul dapat
membantu dalam diagnosis, sensitivitas dan spesifisitas nyeri panggul fokus
dalam mendeteksi kista endometriosis menampilkan variasi yang luas dan
rentang 36-90 persen dan 32 sampai 92 persen.5,6
3. Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan vagina dan serviks dengan inspekulum selalu mendapatkan
tiada tanda Kista endometriosis. Namun, dapat juga terlihat adanya lesi
kebiruan atau ke2merahan pada serviks atau forniks posterior vagina. Lesi ini
mungkin berkonsistensi lunak atau berdarah jika disentuh. Dengan
pemeriksaan ini sebanyak 14% pasien dapat didiagnosis dengan kista
endometriosis infiltrasi yang dalam.3

K. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mencari penyebab lain pada nyeri panggul, dilakukan pemeriksaan
laboratorium diantaranya pemeriksaan darah lengkap, urinalisis dan kultur
urin, kultur vagina dan hapusan serviks dapat digunakan untuk menolak
penyebab disebabkan infeksi atau penyakit menular seksual yang dapat
menyebabkan pelvic inflammatory disease.3

20
a. Serum Ca125
Ca125 diidentifikasi pada beberapa jaringan dewasa seperti epithelium
pada tuba falopi, endometrium, endoserviks, pleura dan peritoneum. Jika
terdapat peningkatan CA125 pada pemeriksaan assai antibody
monoclonal, terdapat peningkatan derajat keparahan pada kista
endometriosis. Walaupun begitu, pemeriksaan esei ini mempunyai
sensitifiti yang buruk dalam mendeteksi kista endometriosis derajat
ringan. Namun marker ini lebih tepat untuk mendiagnosa Kista
endometriosis derajat III dan IV. Juga meningkat pada infeksi radang
panggul, mioma dan trimester awal kehamilan. Untuk monitor prognostic
pascaoperatif kista endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostic
kekambuhannya tinggi. Bila CA 125> 65 mIU/ml praoperatif
menunjukkan derajat beratnya kista endometriosis.3
b. Serum marker yang lain
Ca 19-9, glikoprotein antigenic yang lain merupakan serum marker yang
menunjukkan korelasi yang positif dengan derajat keparahan kista
endometriosis. Serum placental protein 14 (PP14; glycodelin-A) juga
menunjukkan sensitivity yang adekuat (59%) namun tidak dikonfirmasi
oleh studi yang lain. Serum Interluekin-6 (IL-6), jika kadarnya melebihi 2
pg/mL (90% sensitivity dan 67% specificity), tumor necrosis factor-
(TNF- ) dengan peritoneal fluid levels diatas 15 pg/mL (100% sensitivity
dan 89% specificity) dapat digunakan untuk diskriminasi antara yang
mempunyai kista endometriosis ataupun tidak.3
2. Pemeriksaan Pencitraan
Sonografi adalah teknik pemeriksaan lini pertama untuk evaluasi
awal pada suspek kista endometriosis. Bagaimanapun, evaluasi secara umum
terbatas untuk deteksi endometrioma yang melibatkan ovarium, dengan
sensitivitas yang rendah untuk identifikasi focus implant di berbagai tempat.

21
Gambaran klasik adanya endometrioma, biasanya dikenal sebagai “kista
coklat” karena adanya produksi darah yang tebal dan gelap yang homogenus,
lesi hipechoic di dalam ovarium dengan level echo yang rendah dan tidak ada
aliran darah internal.1

Gambar 5. Pemeriksaan sonografi


Pada suatu tinjauan restrospektif, 95% dari kista endometriosis yang
diobservasi memiliki echo internal kadar rendah, penemuan ini menunjukkan
lesi adneksa yang merupakan kista endometriosis. Bagaimanapun penemuan
sonografi memiliki variabilitas tinggi dengan spectrum pencitraan yang
berhubungan dengan degradasi produk darah yang lama karena adanya lesi
kronik. Penemuan yang kurang umum termasuk adanya septasi; tingkat air-
air, penebalan dinding; nodularitas mural dikarenakan tarikan akibat bekuan
darah, massa solid (biasanya lebih kronis), kalsifikasi mural dan sentral;
adanya entitas yang saling tumpang tindih dengan entitas lain seperti kista
hemoragi, kista dermoid dan kista ovarium. Karena adanya variablitas dalam

22
pemeriksaan sonogarafi pada endometrioma, hanya 60% dengan ukuran lebih
dari 2 cm yang di diagnosis dengan baik.1

Pemeriksaan MRI telah terbukti bermanfaat untuk pemeriksaan


deteksi tambahan setelah ultrasonografi. Pada pemeriksaan MRI,
endometrioma secara umum muncul dengan densitas tinggi pada gambar T1-
weighted, yang mengacu sebagai T2-shading. Kehilangan signal pada gambar
T2 weighted merupakan hasil dari adanya konsentrasi protein dan iron dalam
kista dan juga menampilkan adanya endometrioma kronik dan peredaran
darah. Signal homogeny mungkin merupakan hasil dari variasi usia dari
kandungan produksi darah. MRI berguna untuk membedakan endometrioma
dengan dermoid. Dermoid mungkin juga dapat tampak hiperintens pada
gambar T1-weighted tetapi mengandung lemak sehingga akan menurunkan
intensitas signal pada gambar ataupun memperlihatkan pergeseran artifak
kimia.1,2
Karena CT scan merupakan pemeriksaan non spesifik untuk kista
endometriosis, CT tidak disarankan sebagai teknik pemeriksaan pencitraan
untuk evaluasi pada suspek endometrioma. Endometrioma secara umum
muncul sebagai massa kistik kompleks di pelvis, biasanya dengan komponen
cairan densitas tinggi. Bagaimanapun penemuan ini mungkin dapat terlihat
pada entitas yang lain seperti kista hemoragi atau neoplasma. Penemuan
gambaran secara bilateral dapat menunjukkan endometrioma tetapi dapat
juga diobservasi sebagai massa lain termasuk abscess tubovaria atau
neoplasma, dan bukan merupakan pencitraan diagnostic. Secara umum CT
berperan lebih penting pada diagnosis berbagai komplikasi Kista
endometriosis dan implantasi kista endometriosis yang tidak biasanya.1
3. Bedah Diaognostik Laparoskopi

23
Laparoskopi adalah pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis kista
endometriosis. Lesi aktif baru berwarna merah terang, sedangkan yang sudah
lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih
dengan jaringan parut. Pada kista endometriosis yang tumbuh di ovarium
dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya berwarna
coklat kehitaman sehingga juga diberi nama kista cokelat. Penemuan
laparoskopi terdapat pelbagai jenis dan dapat dibedakan antara lesi
endometriotik, endometrioma dan formasi adheren.1,4
Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum
sakrouterina, kavum douglasi, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding
samping pelvik yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah
abdomen atas, permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik
dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan
fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin
dari serpih haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa
lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.
Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai
dengan pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvik
kronik.2,4,7 Endometriosis yang didapat dari laparoskopi sebesar 36%,
ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan
histopatologi.

Gambar 6. Kista endometriosis superfisial

24
Gambar 7. Deep Kista Endometriosis
4. Histopatologi

Inspeksi visual biasanya adekuat tetapi konfirmasi histologi dari salah


satu lesi idealnya tetap dilakukan.4,8 Pada pemeriksaan histopatologis
dapat dijumpai endometriosis yang menyebuk dalam dan makrofag
yang termuati hemosiderin dapat dikenal pada 77% bahan biopsi
endometriosis. Secara histopatologis, endometriosis ada beberapa
bentuk (distrofik, glanduler, stroma, atau diferensiasi progresif.
Diagnosis pasti endometriosis dapat dibuat hanya dengan laparoskopi
dan pemeriksaan histopatologis, yang menampilkan kelenjar-kelenjar
endometrium dan stroma.4

L. Tata Laksana
Berdasar prinsip umpan balik negatif, pengobatan endometriosis awalnya
masih menggunakan estrogen. Dewasa ini, estrogen tidak terlalu disukai lagi dan
mulai ditinggalkan. Efek samping yang ditimbulkan kadang-kadang dapat
berakibat lanjut kematian. Salah satu efek samping yang sangat dikhawatirkan
ialah terjadinya hiperplasia endometrium yang dapat berkembang menjadi kanker
endometrium.9
Dari berbagai jenis hormon yang telah dipakai untuk pengobatan
endometriosis dalam dua dasawarsa terakhir ini, ternyata danazol termasuk
golongan hormon sintetik pria turunan androgen dengan substitusi gugus alkil

25
pada atom C-17 ol. Efek anti-gonadotropin Danazol ini terjadi dengan cara
menekan FSH dan LH, sehingga teriadi penghambatan steroidogenesis ovarium.
Pemberian danazol mengakibatkan jaringan endometriosis menjadi atrofi dan
diikuti dengan aktivasi mekanisme penyembuhan dan resorpsi penyakit.7,9
Androgen dapat membebani fungsi hati oleh karena itu danazol tidak
dianjurkan pada pasien endometriosis dengan penyakit hati, ginjal, dan jantung.
Selain itu, hormon ini juga termasuk hormon pria sehingga efeknya tidak terlalu
nyaman bagi wanita. Danazol juga kadang-kadang menyebabkan perdarahan
bercak (spotting) yang tidak menyenangkan. Dewasa ini dipakai preparat
medroksi pro-gesteron asetat (MPA) dan didrogesteron. Kedua senyawa ini
merupakan progesteron alamiah dengan efek samping yang tidak separah
danazol. Bentuk yang tersedia berupa paket komposit, jadi satu tablet dapat
terdiri dari beberapa jenis obat.9,10
Mengingat endometriosis dapat menyebabkan infertilitas, pengobatan
endometriosis pada pasien dengan infertilitas harus mendapatkan perhatian.
Pilihan pengobatan endometriosis pada kasus infertilitas belum seragam dan
bergantung pada be-berapa faktor, yaitu usia, luasnya endometriosis, luas dan
lokasi perlekatan pelvik, dan faktor-faktor infertilitas secara bersamaan.
Kepastian diagnosis endometriosis harus dibuat pada saat laparoskopi atau
laparotomi; oleh karena itu rencana pengobatan juga harus dirancang dan dimulai
di meja operasi. Dengan adanya perkembangan pesat berbagai tehnik
pengobatan, termasuk elektrokauter, laser, dan laparoskopi operatif, maka semua
susunan endometriosis yang tampak pada saat laparoskopi awal kini telah
mampu diablasi.
Pada endometriosis derajat berat dan luas, pembedahan atraumatik
merupakan pilihan utama karena sudah diketahui bahwa endometrioma yang
lebih besar dari 1 cm tidak menyusut selama pengobatan medikamentosa.
Pengangkatan endometrioma saat operasi dilakukan karena faktor- faktor
mekanik antara lain perlekatan yang mengganggu mekanisme penangkapan

26
ovum hanya dapat ditanggulangi dengan pembedahan; oleh karena itu, sekuele
endometriosis merupakan indikasi primer untuk pembedahan. Pada endometriosis
derajat minimal, pengamatan dan sikap menunggu sering menghasilkan
kehamilan. Pada derajat ringan, pengobatan medikamentosa merupakan
pilihan. Bila endometriosis ringan terjadi bersamaan dengan faktor-faktor
infertilitas lainnya, hasil yang baik akan diperoleh dengan memperbaiki
faktor- faktor infertilitas tersebut. Pada endometriosis ringan, bila disertai
anovulasi, luteinized unruptured follicle (LUF), defek fase luteal, serta
hiperprolaktinemia hendaknya hal-hal tersebut diperbaiki terlebih dahulu. Bila
pendekatan demikian tidak menghasilkan kehamilan dalam waktu dekat, maka
endometriosisnya harus diobati terlebih dahulu.1,2,9

Gambar 8. Diagnostik dan penanganan untuk perempuan dengan presumsi atau telah
dibuktikan dengan kista endometriosis. COCs = combination oral
contraceptives; GnRH = gonadotropin-releasing hormone; IUI =
intrauterine insemination; NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory
drugs.

27
Dengan mikroskop elektron akan terlihat bahwa lesi endometriosis
yang sederhana biasanya terpencar pada permukaan peritoneum sebagai polip-
polip kecil atau bongkah-bongkah berdiameter <1 mm. Lesi endometriosis ini
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang atau dengan laparoskopi saja. Lesi
ini juga tidak dapat dirusak dengan pembedahan atau koagulasi.7
1. Tatalaksana Nyeri
Nyeri merupakan keluhan yang paling banyak dirasakan oleh
penderita endometriosis; walaupun demikian patofisiologi nyeri belum jelas
dipahami. Heterogenitas dari proses penyakit ini menyebabkan kesulitan
memastikan etiologi dari nyeri yang sebenarnya. Terdapat teori yang
mengemukakan bahwa jenis lesi yang berbeda akan menyebabkan timbulnya
rasa nyeri dengan cara yang berbeda. Lesi awal endometriosis mengandung
kadar prostaglandin yang lebih tinggi dibandingkan dengan lesi yang
lebih tua. Prostaglandin ini akan mengaktifkan jalur saraf aferen. Lesi yang
terletak lebih dalam pada peritoneum juga meningkatkan rasa nyeri.
Perlekatan dan fibrosis juga menyebabkan rasa nyeri yang berhubungan
dengan pasokan darah pada pleksus saraf atau menyebabkan terjadinya
peregangan serabut saraf pada jaringan dan mengakibatkan nyeri. Iritasi
langsung pada jaringan saraf sekitarnya akibat infiltrasi lesi juga
menyebabkan nyeri. Penelitian terhadap pemberian agonis GnRH,
danazol,dan kontrasepsi oral ternyata cukup memuaskan untuk mengurangi
keluhan nyeri. Terapi hormonal diatas terutama dengan agonis GnRH harus
diikuti dengan pemberian add back therapy untuk mengurangi komplikasi
yang ditimbulkan akibat pemberian agonis GnRH yang lama.

28
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa add back therapy tidak
akan memperberat keluhan nyeri. Tindakan bedah dapat dilakukan jika
pemberian terapi medikamentosa untuk mengatasi keluhan nyeri tidak
memberikan hasil yang berarti. Tindakan bedah yang dilakukan mencakup
ablasi lesi endometriosis, lisis dari pelekatan, dan neurek-tomi nervus
uterosakral.
Pilihan terapi obat-obatan dipilih berdasarkan efek samping, biaya
dan pertimbangan pribadi. Non steroid anti inflamatory drug (NSAID) dan
low dose combine oral contraseptive pils (COCP) seperti etil estradiol dan
progestin adalah pilihan obat pertama. Jika pasien tidak berespon dengan
pemberian NSAID selama tiga bulan, maka pilihan obat kedua adalah
progestin (dapat secara oral, injeksi maupun intrauterin), andogen dan
gonadotropin releasing hirmone agonist (GnRH) yang dapat mengurasi nyeri
skala sedang hingga berat pada kista endometriosis.
a. Pengobatan simtomatik
o Memberikan antinyeri seperti parasetamol 500mg 3 kali sehari, Non
Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen 400mg
tiga kali sehari, asam mefenamat 500mg tiga kali sehari. Tramadol,
parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin.1-4
b. Kontrasepsi oral
o Diberikan pil kontrasepsi dosis rendah
o Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6-12 bulan) merupakan
pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi
kehamilan palsu dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi
jaringan endometrium
o Kombinasi pil kontrasepsi apa pun dalam dosis rendah yang
mengandung 30-35ug etinilestradiol yang digunakan secara terus-
menerus bisa menjadi efektif terhadap penanganan kista
endometriosis.

29
o Tujuan pengobatan adalah induksi amenorea, dengan pemberian
berlanjut selama 6-12 bulan. Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri
panggul dirasakan oleh 60-95% pasien. Tingkat kambuh pada tahun
pertama terjadi sekitar 17-18%
o Biaya lebih rendah dibandingkan dengan lainnya dan bisa membantu
terhadap penanganan kista endometriosis jangka pendek, dengan
potensi keuntungan yang bisa dirasakan dalam jangka panjang.1-4
c. Progestin
o Memungkinkan efek antiKista endometriosis dengan menyebabkan
desidualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti dengan
atrofi
o Pilihan utama karena efektif mengurangi rasa sakit seperti danazol,
lebih murah tetapi efek samping lebih ringan daripada danazol
o Hasil pengobatan dievaluasi pada 3-6 bulan terapi.
Medroxyprogesterone acetate (MPA) adalah hal yang paling sering
diteliti dan sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri. Dimulai dosis
30mg per hari dan kemudian ditingkatkan sesuai respons klinis dan
pola perdarahan. MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler setiap 3
bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada Kista
endometriosis
o Pengobatan dengan suntikan progesterone seperti suntikan KB dapat
membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Efek samping
progestrin adalah peningkatan berat badan, perdarahan lecut dan
nausea.
o Pilihan lain dengan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) yang mengandung progesterone, levonorgestrel dengan efek
timbulnya amenorea dapat digunakan untuk pengobatan Kista
endometriosis

30
o Strategi pengobatan lain meliputi didrogestron (20-30 mg perhari baik
it uterus menerus maupun hari ke 5-25) dan lysnetrenol 10mg per hari.
Efek samping progestrin meliputi nausea, bertambahnya berat badan,
depresi, nyeri payudara dan perdarahan lecut1-4
d. Gestrinon
o Adalah 19 nortesteron termasuk androgenic, antiprogestagenik,
antigonadotropik
o Bekerja sentral dan perifer untuk meningkatkan kadar testosterone dan
mengurangi kadar sex hormone binding globuline (SHBG)
menurunkan nilai serum estradiol ke tingkat folikular awal
(antiestrogenik), mengurangi kadar Luteinizing Hormone (LH) dan
menghalangi lonjakan LH. Amenorea sendiri terjadi 50-100%
perempuan. Gestrinon diberikan dengan dosis 2.5-10mg dua sampai
tiga kali seminggu, selama 6 bulan.
o Efek sampingnya sama dengan danazol tapi lebih jarang1-4
e. Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
o Menyebabkan sekresi terus-menerus FSH dan LH sehingga hipofisa
mengalami disentisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH
mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, di mana ovarium
tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid. GnRHa dapat diberikan
intramuscular, subkutan, intranasal.
o Biasanya dalam bentuk depot satu bulan atau depot tiga bulan.
o Efek samping: rasa semburan panas, vagina kering, kelelahan, sakit
kepala, pengurangan libido, depresi atau penurunan densitas tulang.
Berbagai jenis GnRHa antara lain leuprolide, busereline, gosereline.
Untuk mengurangi efek samping dapat disertai dengan terapi add back
dengan estrogen dan progesterone alamiah. GnRHa diberikan selama
6-12 bulan1-4

31
f. Aromatase inhibitor
o Fungsinya menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18
estrogen
o Aromatase P450 banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan
organ reproduksi seperti kista endometriosis, adenomiosis dan mioma
uteri1-4
2. Tatalaksana Infertilitas
Endometriosis sedang dan berat, khususnya bila telah terdapat
pelekatan pada ovarium dan tuba Falopii, akan menurunkan angka kejadian
fertilisasi. Hal ini terjadi karena adanya obstrusi mekanik dari ovarium dan
tuba Falopii yang menyebabkan gagalnya transpor gamet ke pars ampularis
tuba Falopii. Walaupun belum ada penelitian yang memperlihatkan
perbedaan kejadian fertilitas antara yang telah dilakukan tindakan dan tanpa
tindakan, banyak publikasi yang menunjukkan angka kejadian fertilitas nol
untuk yang mengalami endometriosis berat. Ternyata tindakan pembedahan
dapat meningkatkan kejadian kehamilan pada pasien endometriosis sedang
dan berat.3,7
Pada kasus endometriosis minimal dan ringan ternyata tetap terdapat
hubungan antara kejadian endometriosis dengan gangguan reproduksi,
walaupun hubungan ini belum terlalu jelas. Teori mengenai patofisiologi
gangguan tersebut mencakup gangguan ovulasi, gangguan pematangan oosit,
gangguan terhadap sperma di rahim, toksisitas embrio, abnormalitas sistem
imun, dan gangguan penerimaan endo-metrium terhadap implantasi embrio.7
Induksi ovulasi pada kasus endometriosis ternyata memberikan hasil
yang cukup memuaskan. Penelitian randomized trials memperlihatkan
pemberian agonis GnRH dengan hormon FSH dan LH, klomifen sitrat, serta
inseminasi intrauterin, atau FSH dengan inseminasi intrauterin
memperlihatkan peningkatan angka keha-milan dibandingkan pada yang

32
tanpa terapi. Tindakan assited reproductive technology (ART) masih dapat
dilakukan pada kasus endometriosis berat.6,8
3. Kehamilan setelah pengobatan endometriosis
Endometriosis mengakibatkan infertilitas melalui berbagai mekanisme, yaitu
gangguan ovulasi, perlengketan jaringan, penyumbatan tuba Falopii,
kehamilan ektopik, dan penyebab lain yang tidak diketahui. Keberhasilan
kehamilan setelah pengobatan dengan pembedahan dan terapi hormon
berkisar 40-70%, tergantung pada beratnya endometriosis. Untuk meng-
upayakan kehamilan setelah pengobatan endometriosis dapat dilakukan
dengan menunggu, induksi ovulasi, inseminasi intra uterin, atau in vitro
fertilization.7
4. Tatalaksana Pembedahan
Tujuannya untuk menangani efek kista endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri
panggul, subfertilitas dan kista. Pembedahan juga untuk menghilangkan
gejala, meningkatkan kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista Kista
endometriosis serta menahan laju kekambuhan.
a. Konservatif
o Untuk mengangkat semua sarang kista endometriosis dan
melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur
anatomi reproduksi
o Sarang kista endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi
kauter, ataupun laser
o Kista endometriosis <3cm di drainase dan di kauter dinding kista
o Kista endometriosis > 3cm dilakukan kistektomi dengan
meninggalkan jaringan ovarium yang sehat
o Dapat dilakukan secara laparatomi ataupun laparoskopi
o Laparaskopi menawarkan keuntungan lama rawatan yang pendek,
nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan, visualisasi

33
operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintiuk kista
endometriosis.
o Menjadi pilihan pada perempuan masih muda, menginginkan
keturunan, memerlukan hormone reproduksi, mengingat kista
endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat progresif,
tidak cenderung ganas dan akan regresi bila menopause.1-4
b. Radikal
o Dilakukan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
o Ditujukan kepada perempuan yang mengalami penanganan medis atau
bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi
o Setelah pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormone.1-4

M. Komplikasi 8,9
1. Transformasi Maligna
Transformasi maligna dapat dijelaskan dengan baik, walaupun jarang terjadi.
Komplikasi ini awalnnya dijelaskan oleh Sampson 1925 yang membuat
criteria untuk diagnosis keganasan yang berasal dari kista endometriosis.
Insidensi keganasan pada kista endometriosis ovarial diperkirakan sekitar 1%
dan wanita dengan riwayat kista endometriosis 4,2 kali cenderung akan
berkembang menjadi kanker ovarium dibandingkan dengan wanita lain.
Endometrium terkait keganasan pada ovarium adalah yang paling umum, dan
keganasan dapat berkembang dalam endometrioma yang sudah ada atau
dalam ovarium yang tampak normal. Tipe histopatologi dari keganasan
adalah karsinoma endometrioid dan clear cell carcinoma. Penyabab
transfirmasi keganasan masih belum jelas tetapi dapat berhubungan dengan
efek dari estrogen.
2. Rupture endometrioma
Rupture endometrioma adalah kondisi yang jarang dengan sedikit laporan
kasus pada literature. Komplikasi ini secara umum terjadi pada masa

34
kehamilan karena pertumbuhan yang cepat akibat stimulasi hormonal dari
elemen kelenjar stromal endometrial. Secara klinis pada pencitraan, rupture
endometrioma dapat menyerupai rupture dari kista hemoragi atau massa
hemoragi lainnya dan dapat menyebabkan hemoperitoneum.
Hemoperitoneum terjadi akibat erosi dan rupture subsekuen dari arteri uterine
oleh karena endometrioma.
3. Infeksi endometrioma
Sebuah endometrioma paling sering menjadi terinfeksi setelah operasi
drainase ataupun tindakan aspirasi. Infeksi juga dapat merupakan hasil dari
inflamasi atau mungkin menyebar secara hematogen pada pasien dengan
bakteremia.

N. Prognosis
Kista endometriosis sulit disembuhkan kecuali pada perempuan menopause.
Setelah diberikan penanganan bedah konservatif, angka kesembuhan 10-20% per
2
tahun. Kista endometriosis sangat jarang menjadi ganas. Pada pasien yang
mengalami pembedahan definitive, 3% akan mengalami kista endometriosis
kembali. Sedangkan pasien yang mengalami pembedahan konservatif 10% akan
menderita kembali pada 3 tahun pertama dan 35% pada 5 tahun pertama.
Pemeriksaan CA-125 secara serial mungkin berguna untuk memperkirakan
kemungkinan rekurensi setelah terapi.10

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Luthan D, Adenin I, Halim B. 2011. Kista endometriosis. Ilmu Kandungan.


Edisi K. P. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hl.239-250.
2. Callahan T, Caughey A. Kista endometriosis and Adenomyosis. Blueprints
Obstetrics and Gynaecology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA:
2008. Pg 164-168
3. Ahn SH, Monsanto SP, Millers C, Singh SS, Thomas R, Tayade C.
Pathophysiology and Immune Dysfunction in Endometriosis dalam BioMed
Research International. 18 November 2014
4. Parasar P, Ozcan P, Terry KL. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and
Clinical Management dalam HHS Public Access, Curr Obstet Gynecol Rep.
Maret 2017. 6 (1): 34-41
5. Bennet GL, Slywotzky CM, Cantera M, Hect EM. Unsusual Manifestasions
and Complications of Endometriosis – Spectrum of Imaging Findings:
Pictorial Review dalam AJR Integrative Imaging. Juni 2011: 34-46
6. Buletti C, Coccia ME, Battistoni S, Borini A. endometriosis and Infertility
dalam J Assist Reprod Genet. 2010, 27: 441-447
7. Vercellini P, Vigano P, Somigliana E, Fedele L. Endometriosis: Pathogenesis
and Treatment dalam Nature Review, Macmillan Publishers Limited. 2014:
261-275
8. Suparman E. Penatalaksanaan Endometriosis dalam Jurnal Biomedik. Vol.4,
No. 2: 69-78
9. Rolla E. Endometriosis: Advances and Controversies in Classificatio,
Pathogenesis, Diagnosis and Treatment dalam F1000 Research. 2019:1-28
10. Hansen H, Dalsgaard T, Hartwell D, Skovlund CW dan Lidegaard O. Reproductive
Prognosis in Endometriosis. A National Cohort Study dalam ACTA Obstetricia et

36
Gynecologica. 2014: 483-489

37

Anda mungkin juga menyukai