Anda di halaman 1dari 44

CLINICAL REPORT SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A220126/ April 2021


**Pembimbing : dr. Sahat MM Simarmata, Sp.An

General Anestesi Pada Tindakan RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery)


Dextra Pada Pasien Batu Ginjal Inferior Dextra

Nanda Nathasya br. Karo*


dr. Sahat MM Simarmata, Sp.An**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANASTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

General Anestesi Pada Tindakan RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery)


Dextra Pada Pasien Batu Ginjal Inferior Dextra

Oleh :
Nanda Nathasya br. Karo G1A220126

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANASTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI / RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
2021

Jambi, April 2021

dr. Sahat Simarmata, Sp.An

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) ini dengan judul “General Anestesi Pada Tindakan RIRS
(Retrogade Intra Renal Surgery) Dextra Pada Pasien Batu Ginjal Inferior Dextra”.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Program Studi Profesi Dokter di Bagian
Ilmu Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Sahat Simarmata, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Case Report
Session ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan Case
Report Session ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan Case Report Session ini. Sebagai penutup semoga
kiranya Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang


didapatkan ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai. Tujuan anestesi dilakukan
secara umum adalah untuk menciptakan ketidaksadaran yang aman dan reversibel,
mengoptimalisasi respon fisiologis, dan menciptakan keadaan operasi yang
kondusif. Anestesi umum memiliki tiga komponen penting, yaitu hilangnya
kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.1
Nefrolitiasis atau batu ginjal adalah keadaan dimana ditemukannya batu
pada ginjal. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013, salah
satu penyakit ginjal yang paling sering terjadi di Indonesia adalah batu ginjal.
Penatalaksanaan pasien ginjal secara ureteroskopik adalah litotripsi gelombang
kejut (shock wave lithotripsy, SWL) atau nefrolitotomi perkutaneus (percutaneus
nephrolithotomy, PCNL), dimana tingkat bebas-batu operasi RIRS lebih tinggi
dibanding SWL tetapi morbiditasnya lebih rendah dibanding PCNL. Penelitian
terbaru melaporkan tingkat bebas-batu pada tatalaksana batu ginjal secara
ureteroskopik retrograde >90% sedangkan pada tatalaksana batu pole (kutub)
bawah mencapai 85%. Selain itu, beberapa kelompok peneliti telah membuktikan
keberhasilan operasi RIRS dalam menangani batu ginjal berukuran besar.2
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk melihat keefektifan
penggunaan anestesi umum dibandingkan anestesi regional selama operasi RIRS.
Pemilihan anestesi umum sebagai anestesi yang digunakan dalam operasi RIRS
lebih baik dalam mengontrol pergerakan diafragma, volume tidal dan keuntungan
lain yang dapat mempengaruhi berhasilnya operasi.3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Laporan Pra Anestesi


a. Identitas Pasien
Nama : Tn. F
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 32 tahun
NO RM : 967232
Alamat : Jambi
Ruangan : Bangsal Bedah
Diagnosis : Batu kalix inferior dextra
Tindakan : RIRS Dextra
Masuk RS : 08 April 2020

b. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri saat BAK

Riwayat penyakit sekarang :


OS datang dengan keluhan nyeri di pinggang sebelah kanan ±1 minggu
SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul dan menjalar hingga ke perut. Nyeri
juga dirasakan ketika BAK dan terasa tidak puas, (-) darah, (-) demam, (-)
mual muntah.
OS pernah mengalami keluhan yang sama 3 tahun yang lalu,
mengeluhkan perasaan tidak nyaman di pinggang kirinya, nyeri saat BAK
dan terasa tidak puas. OS mengaku sering menahan BAK. OS hanya
meminum obat-obat herbal untuk menghilangkan nyeri dan sudah pernah
dilakukan operasi pengangkatan batu ginjal namun kambuh kembali.
3

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat Operasi : (+) Operasi batu kaliks ± 3 tahun yang lalu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Tuberkulosis : (-)
Riwayat Penyakit lain : (-)

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat keluarga OS yaitu ayah OS pernah menderita penyakit yang sama
dan pengangkatan batu ginjal.

c. Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
 Vital Sign :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
 Kepala : Normocephal
 Mata : Dalam batas normal
 THT : Perdarahan (-), gigi komplit, mallampati I
 Leher : Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-).
 Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+),ronkhi (-), wheezing (-)
4

Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
sinistra
 Perkusi : Batas jantung DBN
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi : Datar, skar (+) regio kanan bawah.
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : soepel, nyeri tekan (-),
 Perkusi : Timpani
 Ekstremitas: Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)
 Genitalia : scrotalis tidak nyeri, tidak hiperemis

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Darah Rutin


09/04/21 Nilai Normal 09/04/21 Nilai Normal
Hb 14,9 Ur/Cr 19/0,9 Ur : 15-39 mg/dl
11-16 g/dl
Kr :0,6-1,1 mg/dl
PLT 360000 100-300 10^9/L GDS 128 <200 mg/dl
WBC 8,9 4-10 10^9/L

Pemeriksaan CT-scan
5

Gambar 2.1 Foto CT-scan Urografi Non Kontras


Kesan:
 Nefrolithiasis bilateral
 Hidronefrosis kanan grade 3
e. Diagnosis : Batu kalix inferior dextra
f. Penentuan Status Fisik ASA : I / II / III / IV / V
g. Persiapan Pra Anestesi :
- Siapkan Informed Consent dan SIO
- Puasa 6-8 jam sebelum operasi

2.2 Laporan Tindakan Anestesi (09/04/2021)


- Metode : Anestesi umum
- Premediksi : Asam Traneksamat 100 mg
Ondansetron 4 mg
Ketorolac 30 mg
- Medikasi : Analgetik : Fentanyl 100 mcg (IV)
Induksi : Propofol 200 mg (IV)
Relaksan : Atracurium 40 mg (IV)
Maintenance : Sevoflurans + N2O + O2
6

- Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : Single lumen ETT No.7,5
Airway : Goodle
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Introducer : Mandrain
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
- Intubasi : Insersi ETT No. 7,5
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

Terapi cairan perioperatif


 Maintenance (M) = 2cc x kgBB/jam
BB: 60 kg = 2 x 60 kg/jam
= 120 cc /jam
 Pengganti Puasa (PP) = Puasa x maintenance
= 7 jam x 120 cc/jam = 840 cc
 Stres operasi (O) = 6 cc/kgBB (Operasi Sedang)
= 6 x 60  360 cc/jam
 EBV = 75 x BB
BB = 60 kg = 4500 cc
 EBL = 20% EBV
= 900 cc
Kebutuhan cairan selama operasi (1 jam) :
 Jam I : 1/2 (PP) + Stress operasi + maintance
1/2 (840 cc) + 360 cc + 120 = 900 cc
 Jam II : 1/4 (PP) + Stress operasi + maintance
1/4 (840cc) + 360 cc + 120 cc = 690 cc
 Total cairan = 1590 cc
7

Tabel 2.2 Monitoring Pasien

Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan


 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan
ke meja operasi
 Pemasangan alat monitoring, tekanan darah,
09.00 10/70 80 22 100% saturasi, nadi, oksigen 2L
 Diberikan cairan RL dan obat premedikasi
(Asam Traneksamat 100 mg, Ondansetron 4 mg,
Ketorolac 30 mg)
 Pasien dipersiapkan untuk induksi
 Pasien di berikan analgesik fentanil 100 mcg, induksi
dengan propofol 200 mg, cek refleks bulu mata.
09 : 15 100/70 85 22 100%
Kemudian pasien dipasangkan sungkup dan mulai di
bagging, lalu diberikan relaksan yaitu atracurium 30
mg IV.
 Setelah di bagging selama 5 menit pasien di intubasi
dengan ETT No.7,5
 Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru untuk
mengetahui apakah ETT terpasang dengan benar.
09 : 20 104/72 80 22 100%
 ETT dihubungkan dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan plester.
 Diberikan maintenance yaitu sevoflurans 2% dan N2O
2L
 Pasien dipasangkan kateter urine
 Urine bag dikosongkan
09 : 30 110/80 80 22 100%
 Pasien diposisikan supine
 Operasi dimulai
 Kondisi terkontrol
09 : 45 100/70 70 22 100%
 Kondisi terkontrol
10 : 00 100/70 70 22 100%
 Kondisi terkontrol
10 : 15 90/70 60 22 100%
10 : 30 100/75 70 22 100%  Pasien napas spontan
8

 Dilakukan suction
 Refleks batuk ada
 Pasien di ekstubasi
10 : 45 110/70 75 22 100%
 Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.
 Pasien sadar
11 : 00 107/70 70 20 100%
 Pelepasan alat monitoring
11.05 110/70 70 20 100%
 Pasien di pindahkan keruang pemulihan

2.3 Keadaan Intra Anestesi


- Letak penderita : Supine
- Airway : Single lumen ETT ukuran 7.5
- Lama anestesi : 1, 5 jam
- Lama operasi : 1 jam
- Total asupan cairan :
- Kristaloid : ± 1000 cc
- Koloid :-
- Darah :-
- Komponen darah : -
- Total keluaran cairan
- Perdarahan : ± 500 cc
- Diuresis : - cc
- Perubahan teknik anestesi selama operasi : Tidak ada

2.4 Keadaan Pasca Anestesi di Ruang Pemulihan


Masuk jam : 11.05 WIB
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital sign :
TD : 110/71 mmHg
Nadi : 62 x/menit
RR : 18 x/menit
9

SpO2 : 100 %

Jam Nadi RR SpO2 Keterangan


 Pasien masuk ruang pemulihan
11.05 70 22 100%  Dilakukan pemasangan monitoring dan dilakukan
skoring dengan menggunakan skor steward
11.15 75 22 99 %  Pasien menunggu di ruang pemulihan
11.00 70 22 99%  Pasien keluar ruang pemulihan
Tabel 2.3 Monitoring Pasca Operasi (Ruangan Resusitasi)

Tabel 2.4 Penilaian Skoring Steward


Penilaian Skor Nilai
AKTIVITAS
- Dapat Menggerakkan 4 ekstremitas 2
- Dapat menggerakkan 2 ekstremitas 1 2
- Tidak dapt menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
- Dapat nafas dalam dan batuk 2
- Dyspnoe atau nafas terbatas 1 2
- Apnoe 0
SIRKULASI
- TD < 20% dari pre anestesi 2
- TD 20%-50% dari pre anestesi 1 1
- TD >50% dari preanestesi 0
KESADARAN
- Sadar Penuh 2
- Dapat dibangunkan bila dipanggil 1 2
- Tidak Besespon 0
WARNA
- Merah Muda 2
- Pucat 1 2
- Sianosis 0

Total skor steward pasien : 9 (pasien dapat dipindahkan ke ruang


rawat)
Jam keluar ruang pemulihan : 11.15 WIB

2.5 Instruksi Pasca Anestesi


10

1. Awasi tanda - tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit


2. Tirah baring 24 jam
3. Puasa sampai sadar penuh
4. Terapi lainnya sesuai dokter operator : dr. Ardiansyah, Sp. U
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Ginjal
3.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ berwarna coklat kemerahan seperti kacang
merah yang terletak tinggi pada dinding posterior abdomen, berjumlah
sebanyak dua buah dimana masing-masing terletak dikanan dan kiri
columna vertebralis. Kedua ginjal terletak di retroperitoneal pada dinding
abdomen, masing-masing disisi kanan dan kiri columna vertebralis
setinggi vertebra torakal 12 sampai vertebra lumbal tiga. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah dari pada ginjal kiri karena besarnya lobus
hati kanan.4

Gambar 3.1 Anatomi Ginjal

Pada struktur luar ginjal didapati kapsul fibrosa yang keras dan
berfungsi untuk melindungi struktur bagian dalam yang rapuh. Pada tepi
medial masing-masing ginjal yang cekung terdapat celah vertikal yang
dikenal sebagai hilum renale yaitu tempat arteri renalis masuk dan vena
renalis serta pelvis renalis keluar. Pada potongan sagital ginjal terdapat 2
bagian, yaitu bagian tepi luar ginjal yang disebut korteks dan bagian dalam
12

ginjal yang berbentuk segitiga disebut piramid ginjal atau bagian medulla
ginjal. Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal, nefron terdiri atas korpuskulum renal, tubulus
kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal. Darah dari
glomerular afferent arteriole mengalir melalui juxtamedullary apparatus
menuju glomerulus. Glomerulus adalah anyaman kapiler yang memfiltrasi
darah di sepanjang kapsula Bowman hingga tubulus kontortus proksimal.
Glomerulus mengandung podocytes dan basement membrane yang
memfiltrasi air dan larutan solute lainnya. Filtrat ini mencapai tubulus
kontortus proksimal, yang akan mengabsorbsi kembali glukosa dan
berbagai elektrolit bersama dengan air. Setelah dilakukan filtrasi di
glomerulus, darah melewati glomerular efferent arteriole dan turun menuju
piramida renalis.4
Ginjal mendapatkan suplai darah melalui arteri dan vena renalis.
Pada umunya terdapat satu arteri renalis yang merupakan cabang langsung
dari aorta, yang masuk melalui hilus renalis. Arteri renalis normalnya
terletak di sebelah di antara vena renalis (bagian paling posterior di hilus
renalis) dan pelvis renalis (bagian paling anterior di hilus renalis). Arteri
renalis bisa bercabang sebelum memasuki ginjal. Pada duplikasi pelvis dan
ureter umum didapatkan satu suplai arteri pada masing-masing segmen.
Arteri renalis bercabang menjadi cabang anterior dan posterior. Cabang
posterior memberikan aliran darah pada segmen tengah dari permukaan
posterior. Cabang anterior memberikan aliran darah pada pole atas dan
bawah serta seluruh permukaan anterior ginjal. Arteri renalis merupakan
end arteries. Selanjutnya arteri renalis menjadi arteri interlobaris, yang
berjalan menuju kolumna Bertin (di antara piramida renalis) dan
selanjutnya berjalan pada dasar dari piramid sebagai arteri arcuata lalu
menjadi arteri interlobular. Dari sini, cabang-cabang afferen kecil
melewati glomerulus lalu keluar sebagai cabang efferen. Vena renalis
berpasangan dengan arteri renalis. Walaupun arteri dan vena renalis
merupakan satu-satunya pembuluh darah ginjal, vena renalis accesorius
umum didapatkan. Persarafan ginjal berasal dari pleksus renalis yang
13

berjalan bersama dengan arteri renalis. Input dari sistem simpatik


menyebabkan vasokonstriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal.
Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11
dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya.4
3.1.2 Batu Ginjal
3.1.2.1 Epidemiologi
Batu saluran kencing sudah ditemukan sejak 4000 tahun sebelum
masehi pada makam mumi orang Mesir dan juga pada makam orang
Indians Amerika Utara pada dahun 1500 sampai 1000 sebelum masehi.
Penelitian terbaru insiden batu ginjal sekitar 114-720 per 100.000
penduduk dengan prevalensi 1,7-14,8% hampir disemua negara dan
angkanya cenderung meningkat, variasinya tergantung usia, jenis kelamin
dan lokasi geografis. Di Indonesis sendiri berdasarkan data dari
departemen kesehatan tahun 2013 diperoleh prevalensi tertinggi di DI
Yogyakarta (1,2%) diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Tengah masing-masing 0,8%, lebih sering pada laki-laki (0,8%)
dibandingkan perempuan (0,4%), dan tertinggi pada kelompok umur 55-64
tahun (1,3%).5
Penyakit batu ginjal umumnya dialami oleh laki-laki dewasa
dibandingkan perempuan dewasa berdasarkan jumlah pasien rawat inap,
rawat jalan, maupun emergensi dengan perbandingan 2-3 x lebih sering
dari pada perempuan. Distribusi geografis penyakit batu ginjal disebabkan
oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya prevalensi lebih tinggi pada
daerah panas, gersang atau iklim kering seperti pegunungan, gurun, arau
area tropis namun faktor genetik dan pola makan juga akan mempengaruhi
efek geografis ini.5
3.1.2.2 Patofisiologi
Terbentuknya batu bisa disebabkan oleh berbagai macam
mekanisme. Supersaturasi yang berlebihan adalah penyebab terbentuknya
batu asam urat atau batu sistin, sementara batu infeksi disebabkan oleh
metabolism bakteri. Sementara batu yang paling sering, yaitu batu yang
mengandung kalsium, masih belum sepenuhnya dimengerti penyebabnya.
14

Tujuh puluh lima persen dari batu ginjal adalah batu kalsium. Enam puluh
persen tersusun dari kalsium oksalat, 20% dari campuran kalsium oksalat
dan hydroxyapatite, 10% dari asam urat dan struvite (magnesium
ammonium fosfat) dan 2% adalah batu brushite. Teori terbentuknya batu
masih belum diketahui secara pasti. Terbentuknya batu memerlukan
supersaturasi urin. Supersaturasi tergantung dari pH urin, kekuatan ion,
konsentrasi solute, dan complexation. Konstituen urin bisa berubah
tergantung dari kondisi fisiologis, mulai dari bersifat asam saat miksi
pertama di pagi hari hingga bersifat basa setelah makan. Kekuatan ion
ditentukan terutama oleh konsentrasi relatif dari ion monovalent. Semakin
tinggi kekuatan ion, aktivitas koefisien semakin rendah. Aktivitas
koefisien mencerminkan ketersediaan ion tertentu.6
3.1.2.3 Jenis Batu Ginjal
Secara garis besar batu ginjal dibagi menjadi empat tipe dinamai
berdasarkan komponen utama pembentuknya yaitu, batu kalsium, batu
asam urat, batu struvit dan batu sistin. Kalsium merupakan komponen
terbanyak sebagai kalsium oksalat (CaOx) dan kristal kalsium fosfat (CaP)
baik tunggal atau kombinasi. Sebagian besar batu ginjal sebagian atau
seluruhnya terdiri dari kalsium oksalat dalam bentuk monohidrat atau
dihidrat. Kalsium oksalat monohidrat umumnya tipis dan pipih berbentuk
‘dump-bell’ pada sedimen urin sedangkan kalsium oksalat dihidrat
ditandai dengan bentuk tetragonal bipiramid pada sedimen urin dan batu
ginjal. Batu kalsium oksalat umumnya kecil dengan eksterior berkilau dan
umumnya mengandung kristal kalsium oksalat monohidrat dan dihidrat.
Batu kalsium oksalat monohidrat lebih umum dibandingkan batu kalsium
oksalat dehidrat murni, namun pada batu kalsium oksalat campuran
komponen dehidrat lebih banyak. Batu kalsium fosfat umumnya
ditemukan sebagai kalsium fosfat utama (terbanyak), kalsium hidrogen
fosfat dehidrat atau trikalsium fosfat. Faktor risiko meningkat pada
hiperkalsiurin, hipositraturia dan peningkatan pH urin.6
Batu asam urat meliputi 8-10% dari semua batu ginjal dengan
prevalensi pembentuk batu pada orang gemuk dan resisten insulin (dua
15

komponen sindrom metabolik). Keasaman urin (pH 5,5), ketidak larutan


asam urat pada pH urin yang rendah, dehidrasi dan keadaan yang
menyebabkan ekskresi asam urat urin berlebih (hiperuricosuria) dianggap
sebagai penyebab munculnya batu asam urat (Khan, et al, 2016). Batu
struvit juga dikenal dengan batu infeksi meliputi 7-8 % dari semua jenis
batu dan umumnya disebabkan oleh peningkatan produksi amonia akibat
infeksi (organisme penghasil urea) Proteus atau Klebseilla. Alkalin urin
menyebabkan terbentuknya kristal magnesium ammonium fosfat
heksahidrat. Struvit dan kristal karbonat apatit dapat tumbuh dengan cepat
menjadi batu besar yang dikenal dengan batu staghorn. Batu struvit juga
dihubungkan dengan dengan sepsis dan infeksi ditangani dengan antibiotik
dan intervensi pembedahan.6
Batu sistin terbentuk sebagai defek resesif autosomal transporter
sistin asam amino ginjal, kekurangan absorpsi sistin menyebabkan
peningkatan ekskresi sistin urin. Pada pH urin normal sistin tidak larut dan
membentuk kristal sistin yang dapat berkumpul menjadi batu ginjal
ataupun batu kandung kencing. Batu sistin padat, berwana kekuningan,
sedikit buram dengan interior homogen dan ditandai dengan struktur
heksagonal pada kristal sistin.6
Batu santin merupakan tipe batu yang jarang timbul, umunya sulit
dibedakan dengan batu asam urat karena keduanya radiolusen. Batu ini
terbentuk karena kelainan bawaan yaitu pada katabolis ensim santin
dehidrogenesis (XHD) atau oksidase santin dimana katalis mengubah
santin menjadi asam urat. Santin sulit terlarut dalam urin sehingga
akumulasi level santin yang banyak karena defisiensi XHD menyebabkan
terbentuknya batu santin.6
3.1.2.4 Diagnosis
Dalam mendiagnosis pasien batu ginjal perlu mengetahui riwayat
medis, riwayat keluarga dan pola makan. Riwayat medis berupa penyakit
intestinal, kelainan homeostasis kalsium, infeksi saluran kencing berulang,
operasi beriatrik, ataupun terapi obat tertentu yang menjadi faktor
predisposisi nefrolitiasis. Riwayat keluarga dengan penyakit batu ginjal
16

dan diet memainkan peranan penting dalam pembentukan batu ginjal, diet
tinggi garam dan protein, suplemen tinggi kalsium dan vitamin D
meningkatkan risiko terbentuknya batu.5
Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu
saluran kemih namun ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan
gejala atau tanda khusus tetapi ditemukan pada hasil pemeriksaan
radiologi. Gejala-gejala yang sering timbul pada pasien dapat berupa nyeri,
hematuria, mual, muntah, demam, dan gangguan buang air kecil seperti
frekuensi, urgensi dan disuria. Demam yang berhubungan dengan batu
saluran kemih menunjukan kondisi gawat darurat sebagai salah satu gejala
sepsis selain takikardi, hipotensi dan vasodilatasi. Nyeri merupakan gejala
yang paling sering menyertai penyakit batu saluran kemih, mulai dari
nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik.
Nyeri biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan
karakter nyeri bergantung pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi,
dan kondisi anatomis yang setiap orang yang berbeda-beda. Nyeri yang
terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik. Nyeri kolik pada ginjal
biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau collecting duct
akibat adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi juga menyebabkan
meningkatnya tekanan intraluminal, meregangnya ujung-ujung saraf, dan
mekanisme lokal pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema,
hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang berpengaruh pada nyeri yang
dialami oleh pasien. Pada obstruksi di renal calyx, nyeri yang terjadi
berupa rasa nyeri yang dalam pada daerah flank atau punggung dengan
intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi cairan yang
berlebihan. Pada obstruksi renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm,
nyeri akan muncul pada sudut costovertebra. Nyeri yang timbul dapat
berupa nyeri yang redup sampai nyeri yang tajam yang konstan dan tidak
tertahankan, dan dapat merambat ke flank dan daerah kuadran abdomen
ipsilateral.5
Setelah menggali riwayat pasien, selanjutnya evaluasi yang
dilakukan adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang detail
17

merupakan komponen penting dalam evaluasi pasien dengan batu saluran


kemih. Hal-hal yang dapat dilihat seperti takikardia, berkeringat, mual,
demam, lokasi nyeri dan menyingkirkan kemungkinan kemungkinan
kelainan pada abdomen dan lumbal. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
penunjang, laboratorium diagnosis seperti analisis urin menjadi langkah
awal dalam mendiagnosis adanya batu saluran kencing. Adanya darah
dalam urin, tingkat keasaman urin, tingkat kandungan kalsium, natrium,
fospat, oksalat, asam urat, dan sistin dalam urin dapat menjadi faktor risiko
batu saluran kencing. Analisis batu pada kasus batu saluran kencing
berulang dapat mengetahui komponen batu sehingga dapat diketahui
penyebabnya dan diberikan terapi yang tepat. Pemeriksaan fungsi ginjal
untuk mengetahui komplikasi batu ginjal terhadap organnya. Pemeriksaan
anjuran berikutnya adalah pemeriksaan radiologi yang merupakan alat
diagnostik paling penting dalam mendiagnosis batu ginjal, pemeriksaan ini
untuk mengkonfirmasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium. Pemeriksaan X-ray KUB (kidney-ureter-bladder) merupakan
salah satu pemeriksaan radiologi primer untuk mengetahai lokasi batu,
jumlah, bentuk dan ukuran. Ultrasonografi merupakan modalitas
diagnostik menggunakan frekuensi gelombang suara dan menjadi pilihan
diagnostik pada wanita hamil karena tidak ada ekspos radiasi berfungsi
untuk mengetahui lokasi batu ginjal namun tidak bisa mendeteksi batu
urteter, memiliki sensitifitas 70% dan spesifitas 94%. Pemeriksaan
Intravenous Pyelography (IVP) dengan memasukan kontras secara
intravena disaring melalui ginjal dan dikeluarkan dari ureter dan kandung
kemih pada fase miksi disertai serial X-ray ginjal, ureter dan kandung
kemih sehingga bisa terlihat struktur dan fungsi saluran kencing, adanya
obstruksi dan batu. Noncontrast computed tomography (NCCT) menjadi
populer belakangan ini karena cepat, akurat dan efisien dalam mendeteksi
semua tipe batu disetiap lokasi tanpa menggunakan kontras.5
3.1.2.5 Terapi
Terapi batu ginjal sesuai dengan ukuran dan lokasi batu, secara
umum terdiri dari terapi konservatif dan intervensi pembedahan. Untuk
18

mengatasi keluhan nyeri pinggang rekomendasi Europe Association of


Urology (EAU) menggunakan NSAID sebagai lini pertama dan narkotik
sebagai lini kedua ditambah dengan obat simptomatis lainnya. Jika
keluhan membaik dan tidak ada kriteria urgensi seperti obstruksi, infeksi,
gangguan fungsi ginjal, dilanjutkan dengan observasi dan terapi obat-
obatan. EAU juga merekomendasikan observasi pada asimptomatis batu
ginjal khusunya pada kalik inferior ukuran kurang dari 10 milimeter
dengan pengawasan aktif, evaluasi keluhan dan radiologis tiap tahun, jika
batu membesar lebih dari 5 milimeter disarankan untuk melakukan
intervensi.6
Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat
batu saluran kemih. Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi
insiden rekuren batu perlima tahun sampai 60%. Penatalaksanaan
konservatif berupa:6
1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan
menjaga volume urin agar berjumlah lebih dari 2 liter per hari
2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0
gram/kgBB/hari untuk mengurangi insiden pembentukan batu
3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100
mEq/hari efektif untuk mengurangi eksresi kalsium pada pasien
dengan hiperkalsiuria
4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan
pembentukan batu seperti calcitrol, suplemen kalsium, diuretik kuat
dan probenecid
5. Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk
mengurangi pembentukan batu. Makanan yang harus dikurangi seperti
teh, bayam, coklat, kacang-kacangan dan lain-lain.
Selama 30 tahun terakhir terapi pembedahan simptomatis batu
ginjal telah mengalami perubahan dari pendekatan operasi konvensional
ke minimal invasif endourologi. Indikasi pengangkatan aktif pada batu
ginjal berupa batu yang membesar, batu pada pasien yang berisiko untuk
muncul batu, obstruksi yang disebabkan oleh batu, infeksi, batu dengan
19

gejala simptomatis, ukuran batu lebih dari 15 mm, pasien dengan


komorbid dan kondisi sosial. Tiga terapi modalitas batu ginjal adalah
ekstrakorporeal Shockwave Lithotripsy (SWL), Retrograde Inter Renal
Surgery (RIRS) dan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL). Menurut
algoritma EAU, terapi batu ginjal berdasarkan lokasi dan ukuran batu,
untuk batu pole atas dan tengah atau pelvis renal dengan ukuran batu
kurang dari 20 mm, Shockwave Lithotripsy (SWL) menjadi pilihan terapi
utama. Untuk batu ukuran lebih dari 20 mm PCNL merupakan pilihan
terapi utama.6

Gambar 3.2 Algoritma Terapi Batu Ginjal

3.1.3 RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery)


3.1.3.1 Definisi
Retrograde intrarenal surgery (RIRS) adalah sebuah prosedur,
baik diagnostik maupun operatif hingga ke dalam ginjal yang dilakukan
dengan ureteroskopi fleksibel. Prosedur ini dikerjakan di bawah anestesi umum
dengan pasien diposisikan litotomi. Untuk prosedur ini, operator tidak perlu
membuat sayatan, karena scope yang digunakan akan masuk melalui
lubang alami tubuh (natural orifice).
Prosedur ini dikerjakan terlebih dahulu dengan ureteroskopi rigid
20

untuk mendilatasi ureter dan menempatkan hydrophilic safety guidewire


(0.038-inch) hingga ke pelvis renalis dengan bantuan fluoroskopik.
Selanjutnya, ureteral access sheath (11/13 F) dilewatkan melalui guidewire
menuju ke ureteropelvis junction. Ureteroskopi fleksibel dimasukkan ke
dalam pelvis renalis di dalam ureteral access sheath. Batu ginjal dipecah
menjadi butiran dengan bantuan holmium laser.
3.1.3.2 Indikasi
Awalnya, penggunaan RIRS dikarenakan kegagalan SWL
sebelumnya, pada batu kaliks inferior dan batu kurang dari 1,5 cm.
Namun, keterbatasan dalam indikasi RIRS telah berkurang baru-baru ini,
dimana dapat digunakan untuk ukuran batu kurang dari 2 cm sebagai
pilihan pengobatan lini pertama, selain SWL. Mungkin merupakan
alternatif PCNL untuk batu di kaliks inferior dan sebagainya, lebih dari 2
cm. Morbiditas yang rendah pada RIRS membuatnya semakin banyak
digunakan. Meskipun indikasi absolutnya tidak dilaporkan, namun
indikasinya dapat tercantum di bawah ini:
1. Batu mid-size yang tidak sesuai untuk SWL atau PCNL.
2. Batu yang resisten terhadap SWL.
3. Batu non-opak.
4. Adanya kelainan anatomis (ujung kalik inferior yang panjang,
infundibulum sempit).
5. Batu ginjal multipel, termasuk nefrokalsinosis.
6. Gangguan pendarahan..
7. Prosedur gabungan atau tambahan setelah PCNL.
8. Malformasi renoureter
9. Kebiasaan pasien (obesitas, kelainan muskuloskeletal).
10. Batu> 3 cm (dua atau lebih sesi mungkin diperlukan).
RIRS merupakan tatalaksana yang efektif dan dapat diandalkan untuk
pasien obesitas, kelainan muskuloskeletal, malformasi renoureteral,
stenosis infundibular, gangguan perdarahan dimana pilihan pengobatan
lain berisiko atau tidak memadai.
3.1.3.3 Kontraindikasi
21

Pasien yang mengalami demam tinggi, perubahan status mental,


atau tanda infeksi serius lainnya, akan lebih diuntungkan bila dilakukan
nefrostomi secara perkutan. Tekanan aliran dalam ureter selama endoskopi
dapat menyebabkan aliran balik pyelovenous dan/atau pyelolymphatic,
sehingga menempatkan pasien pada risiko septikemia. Namun aman dalam
pada pasien dengan gangguan pendarahan dan wanita hamil.
3.2 General Anesthesia
3.2.1 Definisi General Anesthesia
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.
Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya
rasa sakit setempat sedang pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada
anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum
yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi
kehilangan kesadaran. Dahulu dikenal dengan istilah Trias Anestesi yaitu
hypnosis, analgesia, dan arefleksia, tetapi sekarang memiliki komponen
yang lebih luas yaitu:7
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motoric tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

3.2.2 Tahap-tahap Anastesi Umum


Anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium, yaitu stadium I
(analgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium
IV (depresi medulla oblongata).8
a. Stadium I (analgesia) disebut juga “stadium induksi”, periode sejak
masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran yang ditandai
dengan hilangnya refleks bulu mata.
22

b. Stadium II (eksitasi) dimulai sejak hilangnya kesadaran, kemudian


timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi
pasien menahan nafas. Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan
involuntary, seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat
mebahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung dapat
terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis.
Stadium 2 adalah stadium yang beresiko tinggi.
c. Stadium III disebut stadium pembedahan (surgical anesthesia) dibagi
menjadi empat plana yaitu:
1. Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
2. Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
3. Plana 3 : dilatasi pupil , refleks cahaya hilang
4. Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi
abdominal dan dangkal
d. Stadium IV merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia
menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh
termasuk batang otak. Stadium ini lethal.
3.2.3 Keuntungan dan Kerugian General Anesthesia
Keuntungan anestesia umum adalah sebagai berikut:8
1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin
memberikan trauma psikologis
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Kerugian atau kekurangan anestesi umum adalah sebagai berikut:8


1. Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesi umum
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
23

perubahan kesadaran
4. Resiko komplikasi pasca bedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
24

3.2.4 Tahapan Tindakan General Anestesi


1. Periode Pra-Anestesia
Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik.
Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Tujuan
dari kunjungan pra anestesi ini yakni mempersiapkan baik fisik
maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan obat-obatan apa
saja yang digunakan.8
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-
hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi,
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah, sehingga
kita dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya janga digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang.Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem
kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja
silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi
sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut dicurigai akan
adanya penyakit hepar.8
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara
sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien.8
25

c. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pada usia pasien diatas 50 tahun
dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.8
d. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada
operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.8
e. Klasifikasi Status Fisik
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society
of Anesthesiologists (ASA) yaitu:8
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas
sedang, tanpa pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.
f. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
26

diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening,


air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anestesi.8
g. Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesia, diantaranya: 8
1. Meredakan kecemasan
2. Memperlancar induksi anestesi
3. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang berlebihan
Obat premedikasi yang sering digunakan adalah:
a. Analgesik narkotik
Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
b. Analgesik non narkotik : Ponstan, Tramol, Toradon
c. Hipnotik
Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d. Sedatif
Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
27

Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1


mg/kgBB
e. Anti emetic
Sulfat atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
Ondancentron, Granon
2. Induksi anestesi
Induksi anesthesia adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya
anesthesia dan pembedahan. Sebelum memulai induksi selayaknya
disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga
seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan
lebih baik.4
Untuk persiapan induksi anesthesia sebagai berikut :
Scopes : Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop, pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia
pasien.
Tubes : Pipa trakea, sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon dan >5
tahun dengan balon.
Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung faring (naso-tracheal airway) untuk menahan lidah
saat pasien tidak sadar agar tidak menyumbat jalan napas.
Tape : Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut
Introducer : Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan
Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
Suction : Penyedot lendir, ludah dan lainnya

Jenis Induksi dari Cara Pemberian adalah:8,9


1) Induksi Intravena
28

Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati,


perlahan- lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Jenis Induksi intravena:
a. Tiopental (pentotal, tiopenton)
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg),
hanya digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat
anti-analgesia.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg, pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
29

buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi


midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan
dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10%
( 1ml = 100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
2) Induksi inhalasi
a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O 2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti
halotan.
b. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
30

meninggikan kadar gula darah.


c. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
d. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi.
f. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
3) Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
3. Pelumpuh otot non-depolarisasi  Tracurium 20 mg (Atracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi hanya menghalangi asetilkolin
31

menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal


0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya 2 menit. Tanda-tanda kekurangan
pelumpuh otot:
a. Cegukan (hiccup)
b. Dinding perut kaku
c. Ada tahanan pada inflasi paru

4. Rumatan Anestesi (Maintenance)


Rumatan anastesia dapat dikerjakan secara intravena atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anastesia biasanya mengacu pada trias anastesia yaitu hipnosis,
analgesia cukup, dan selama dibedah pasien tidak menimbulkan nyeri,
dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%
atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted),
atau dikendalikan (controlled).8
5. Pengakhiran anestesi
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi
bersamaan dengan penghentian obat anastesi aliran oksigenasi
dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen
akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anastesi
inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara
ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anastesi di alveoli
juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan
dengan tekanan parsial obat anastesi inhalasi dalam darah, maka
terjadilah difusi obat anastesi inhalasi dari dalam darah menuju ke
alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial tersebut kecepatan
difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur
pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam darah.8
32

Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka


kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ETT)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada
waktu penderita masih teranastesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar.
Pada penderita yang mendapat balance anastesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat
pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan
reserve, yaitu memberikan obat anti kolin esterase.10
6. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan
yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi
nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan
oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah
terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi
komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan
pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat
pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam),
jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal
refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi
hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-
tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan,
33

gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata


spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas
yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak
sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup
banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan
jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan
disertai pula dengan triple airway manuver standar.8,9
Syarat-syarat ekstubasi :
a) Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
b) Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
c) PaO2 diatas 80 mm Hg.
d) Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
e) Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
f) Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan
atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score (Dewasa)
Nilai Warna Kulit
Merah Muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Bernapas dalam, batuk 2
Bernapas dangkal, dipneu 1
Apneu / obstruksi 0
Sirkulasi
Perbedaan TD < 20% TD awal 2
Perbedaan TD 20 – 50% dari awal 1
Perbedaan TD > 50% dari TD awal 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak ada respon 0
Aktivitas
34

Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan 2


2 ekstrimitas dapat digerakkan 1
Tidak dapat digerakkan 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Steward score (anak-anak)


Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tidak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

3.2.5 Efek Samping General Anestesi


Ada beberapa efek samping yang bisa saja ditimbulkan oleh general
anestesi. Efek samping yang ditimbulkan general anestesi pada tubuh
antara lain:10
1. Pernapasan
Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan pernapasan
dan peredaran darah. Maka dirasa penting dan harus dengan segera
untuk melakukan pertolongan resusitasi jika hal ini terjadi pada waktu
anestesi agar pasien terhindar dari kematian. Obat anestesi inhalasi
menekan fungsi mukosilia saluran pernapasan menyebabkan
hipersekresi ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di
jalan napas.
2. Kardiovaskuler
Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba. Jantung
dapat berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat yang
berlebihan, mekanisme reflek nervus yang terganggu, perubahan
35

keseimbangan elektrolit dalam darah, hipoksia dan anoksia,


katekolamin darah berlebihan, keracunan obat, emboli udara dan
penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler sistemik (misalnya:
peningkatan aliran darah serebral) menyebabkan penurunan curah
jantung.
3. Gastrointestinal
Pada hal ini, regurgitasi dapat terjadi. Regurgitasi yaitu suatu keadaan
keluarnya isi lambung menuju faring tanpa adanya tanda-tanda. Salah
satunya dapat disebabkan karena adanya cairan atau makanan dalam
lambung, tingginya tekanan darah ke lambung dan letak lambung yang
lebih tinggi dari letak faring. General anestesi juga menyebabkan
gerakan peristaltik usus akan menghilang.
4. Ginjal
Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat
menurunkan filtrasi glomerulus sehingga dieresis juga menurun.
5. Perdarahan
Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan, perdarahan
dapat menyebabkan menurunnya tekanan darah, meningkatnya
kecepatan denyut jantung dan pernapasan, denyut nadi melemah, kulit
dingin, lembab, pucat serta gelisah.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang pasien, Tn. F, usia 32 tahun dengan diagnosa batu kaliks inferior
dextra ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pasien direncanakan menjalani operasi RIRS (retrograde intra renal
surgery) dengan general anestesi.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), tidak didapatkan keluhan atau riwayat sakit lain selain
sakit yang diderita saat ini, keadaan umum pasien baik, tidak ada keterbatasan
aktivitas fisik sehingga status fisik pada pasien ini adalah ASA I. Hal ini sesuai
teori bahwa ASA I adalah dimana pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan mulai pukul 02.00 WIB.
Tujuan puasa adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping
dari obat-obat anestesi yang diberikan, sehingga reflex laring mengalami
penurunan selama anestesia.
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Asam Traneksamat 1000
mg, Ondansetron 4 mg, Ketorolac 30 mg,. Pada pasien ini diberikan obat
premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi. Berdasarkan teori,
tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Pada kasus ini, dilakukan tindakan RIRS (retrograde intra renal surgery)
dengan tindakan anestesi umum (anestesi general) secara induksi intravena dan
rumatan inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi fentanyl 100 mcg,
propofol 200 mg dan atracurium 30 mg. Selanjutnya dilakukan pemasangan ETT
37

no 7.5 dengan dosis pemeliharaan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans +


N2O: O2.
Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan dan
dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi
2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/Kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol pada
sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan
laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atrakurium 30 mg IV yang
merupakan non depolarization intermediete acting. Atracurium dipilih sebagai
agen penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain
metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati
atau ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan
relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (IV), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2
mg/kgBB (iv). Pada pasien ini diberikan atracurium 30 mg, sudah memenuhi
dosis terapi.
Setelah pasien diintubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ETT),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 2 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Oksigen diberikan untuk memenuhi oksigenasi jaringan.
Pemberian N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah namun poten untuk menjadi analgetik. Sesaat setelah operasi selesai gas
38

anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan juga


diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi selesai.
39

Penggunaan sevofluran dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi


dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun
lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif
stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1,590 cc selama operasi,
terdiri dari jumlah cairan pengganti puasa 840cc cc, maintenance 120 cc, stress
operasi 360 cc. Pada jam I dibutuhkan 900 cc, jam II dibutuhkan 690 cc. Cairan
yang telah masuk RL sebesar 500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum
terpenuhi, karena selama operasi hanya diberikan 500 cc/1,5 kolf.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pada saat
di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan
darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien
gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun,
nadi cepat, misalnya karena hipovolemik). Oksigen selalu diberikan sebelum
pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar,
tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8.
Sedangkan pada pasien ini, didapatkan skornya 9 sehingga dapat keluar dari ruang
RR. Pasien pindah dan dibawa ke ruang bedah pada pukul 11.15 WIB.
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum
pada operasi RIRS (retrograde inter renal surgery) pada pasien Tn.F, umur 32
tahun, status fisik ASA I dengan diagnosis batu kaliks inferior dextra dan
menggunakan teknik anestesi umum dengan ET no.7,5. Untuk mencapai hasil
maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih
dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan
seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik
meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S dkk Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.


2015
2. Ismail S. Retrogade Intra Renal Surgery. (Referat). Bagian Ilmu Bedah.
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 2018
3. Karabulut I, Koc E, Yilmaz AH, Ahiskali EO, Keskin E, Adanur S, Resorlu B.
Could spinal anesthesia be a choice for retrograde intrarenal surgery. Urologia
Journal. 2018 Nov;85(4):169-73.
4. Guyton, A. C., Hall, J. E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC. 2004
5. Indraningrum, Tika. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Nampu
(Homalomena Occulta) terhadap Penghambatan Pembentukan Kristal Kalsium
Oksalat pada Batu Ginjal dengan Metode Turbidity. (Skripsi). Universitas
Muhammadiyah Malang. 2019.
6. Noegroho BS, dkk. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih.
Jakarta : Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2018
7. Soenarjo, Jatmiko HJ. Anestesiologi Edisi 2. Semarang: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip. 2013
8. Latief, S dkk Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
2015
9. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.
10. Zainumi CM, Sarastri Y. Insidensi Terjadinya Post-Operative Nausea and
Vomitting pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Umum di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada Bulan Oktober 2016. (Skripsi) Universitas Sumatera Utara;
Medan; Program Studi Kedokteran; 2016

41

Anda mungkin juga menyukai