Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A220013 / Juni 2021


** Pembimbing / dr. Sahat MM Simarmata sp.An

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI

Gemantri Veyonda Zikry, S. Ked *


dr., Sahat MM Simarmata Sp. An, **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI

Disusun Oleh:
Gemantri Veyonda Zikry, S. Ked
G1A220013

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Juni 2021

Pembimbing

dr. Sahat MM Simarmata, Sp. An,


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS)
yang berjudul “General anestesi pada laparotomi” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada
dr.Sahat MM Simarmata, Sp. An, yang telah bersedia meluangkan waktu dan
pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.
Jambi, Juni 2021

Gemantri Veyonda Zikry, S. Ked


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika


dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan. Anestesi ada yang bersifat umum yang merupakan
suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa
nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia, ada yang bersifat local yang
merupakan suatu teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat
anestetik lokal padaa daerah atau sekitar lokasi pembedahan, dan ada yang bersifat
regional yang merupakan suatu teknik anestesi dengan cara menyuntikan obat
anestesik local pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu.1
Peritonitis adalah inflamasi terlokalisasi atau generalisata di dalam kavum
peritonium yang umumnya disebabkan oleh bakteri atau jamur, namun dapat juga
disebabkan oleh zat noninfeksi seperti kandungan gaster atau isi empedu. Peritonitis
akibat infeksi diklasifikasikan atas primer, sekunder, atau tersier. Peritonitis ini
diklasifikasikan berdasar atas integritas anatomi kavum abdominal.2
5

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Tanggal : 25 Juni 2021
Nama : An. A
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 160 cm / 45 kg
Gol. Darah : O+
Alamat : Dusun mudo, Kabupaten Sarolangun
Ruangan : PICU
Diagnosa : Trauma tumpul abdomen + peritonitis +susp rupture uretra
Tindakan : Laparotomi

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


A. ANAMNESA
Keluhan utama:
Nyeri seluruh perut sejak ± 6 hari SMRS
Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien merasa nyeri seluruh lapang perut ± 6 hari SMRS setelah mengalami
kecelakaan tunggal kendaraan roda dua. Pasien terjatuh lalu terseret bersama
motornya, setelah jatuh pasien masih bisa duduk sendiri, lalu dibantu penduduk
sekitar untuk berjalan ke tepi jalan. Pasien dibawa ke RS Langit Golden Medika,
Sarolagun untuk mendapatkan pertolongan. Pasien akhirnya dirujuk ke RSUD
Raden Mattaher untuk mendapatkan tindakan lebih lanjut.
Pasien merasa nyeri saat BAK, BAK bercampur darah. Pasien juga
mengeluh nyeri pada bagian panggul kanan.
6

Riwayat penyakit dahulu:


• Riwayat Operasi : (+)
• Riwayat Hipertensi : (-)
• Riwayat Asma : (-)
• Riwayat DM : (-)
Riwayat penyakit keluarga:
• Riwayat hipertensi : (-)
• Riwayat Asma : (-)
• Riwayat DM : (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


1. Tanda Vital
a) Kesadaran : Compos mentis / GCS E4M6V5 (15)
b) Suhu : 36,9oC
c) Tekanan Darah : 100/60 mmHg
d) Respiration rate : 26 kali/menit
e) Nadi : 120 kali/menit
2. Status Antropometri : BB: 45 kg | TB: 160 cm | IMT: 17,6
3. Kepala : Normochepal
4. Mata : Conjungtiva Anemis (+), Sklera Ikterik (-) Refleks
Cahaya (+/+), pupil isokor
5. THT : Perdarahan (-), gigi komplit (+), gigi palsu (-), T1-T1
6. Mulut dan Leher : Mallampati I, leher mobile, pembesaran KGB (-)
7. Thorax
a) Pulmo
1) Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, jejas (-)
2) Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)
3) Perkusi : sonor kiri dan kanan
4) Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
7

b) Cor
1) Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
2) Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea Midclavicula Sin
3) Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
4) Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
8. Abdomen:
a) Inspeksi : Sedikit distensi , Bekas operasi (+), Cystotomi (+)
b) Auskultasi : Bising Usus Menurun
c) Palpasi : nyeri tekan (+), defans muscular (+),
d) Perkusi : Timpani
9. Ekstremitas superior : akral hangat, CRT < 2 detik
10. Ekstremitas inferior: akral hangat, CRT < 2 detik , ROM terbatas

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin (tanggal 24 Juni 2021)
WBC : 6,12 x 103/L
RBC : 3,49 x 106/L
HGB : 9,50 gr/dL
HCT : 28,4 %
PLT : 94,5 x 103/uL
2. Hematologi (tanggal 21 Juni 2021)
Masa Pendarahan : 3 (1 – 3 menit)
Masa Pembekuan : 4 (2 – 6 menit)
3. Faal Ginjal (tanggal 22 Juni 2021)
Ureum : 47
Creatinin : 0,6
8

4. Fotothorax

Kesan: Cor & Pulmo dalam batas normal

5. BNO
9

CT scan abdomen

Kesan : pneumoperitonium dengan peritonitis


6. Pemeriksaan Covid-19
Swab Antigen → negatif

D. Diagnosis
1. Preoperatif : Trauma tumpul abdomen + peritonitis +susp rupture uretra
2. Postoperatif: Post Laparotomy ec Trauma tumpul abdomen + peritonitis
+susp rupture uretra

2.3 Pra Anestesi


a. Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 / E
b. Mallampati: I
c. Persiapan Pra Anestesi:
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Persiapan operasi:
a. Puasa mulai jam 00.00 WIB
b. Surat persetujuan tindakan operasi dan anestesi
10

2.4 Laporan Anestesi Pasien


a. Diagnosis pra-bedah : Trauma tumpul abdomen + peritonitis +susp rupture
uretra
b. Dokter Bedah : dr. Amran Sinaga, Sp. B
c. Dokter Anestesi : dr.Dedy fachrian, Sp. An
d. Jenis Pembedahan : Laparotomy
e. Metode Anestesi : General Anestesi
f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg, dexamethsone 10 mg ,
ketorolac 30 mg
g. Analgetik : Fentanyl 50 mcg
h. Induksi : Recofol 90 mg
i. Relaksan : Atracurium 25 mg
j. Maintenance : Sevofluran 2vol% + N2O (2L) : O2 (2L)
k. Persiapan alat : STATICS
1) Scope : Stetoskop dan Laringoskop
2) Tube : Single Lumen Spiral ETT Balon no 6,5
3) Airway : Oropharyngeal Airway
4) Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
5) Introducer : Stylet (Mandrin)
6) Connector : Penyambung Pipa
7) Suction : Suction
l. Terapi cairan perioperative
1) Maintenance (M)
BB = 45 kg → 4 ml x 10 kg , 2 ml x 10 , 1 ml x 25 = 85 ml
M= 85 cc/jam
2) Pengganti Puasa (PP)
Puasa x maintenance = 16 jam x 85 cc/jam = 1360 cc
3) Stres operasi (O)
O = 4cc/kgBB (Operasi Sedang)
O =4 cc/kgBB x 45 kg = 180 cc
11

Kebutuhan cairan selama operasi (2 jam):


1) Jam I = ½ PP + SO + M
= 680 + 180 +85
= 945 ml
2) Jam II = ¼ PP + SO + M
= 340+ 180 + 85
= 605 ml
Jumlah Cairan yang dibutuhkan = 1.595 ml

Estimated Blood Volume = body wt (kg) x average blood volume (ml/kg)


EBV = 45 kg x 85ml/kgbb
EBV = 3825 ml
Estimated Blood Loss = >20% EBV
EBL = 10% x 3825
EBL = 382,5 ml
I. Keadaan Intra Anestesi
1) Letak penderita : Supine
2) Airway : Single lumen ETT ukuran 6,5
3) Lama anestesi : ± 2 jam
4) Lama operasi : ± 1,5 jam
5) Total asupan cairan :
a) Kristaloid : ± 1100 ml
b) Koloid : - ml
c) Darah : ± 250 ml
d) Komponen darah : - ml
6) Total keluaran cairan
a) Perdarahan : ± 200 ml
b) Diuresis : ± 75 ml
7) Operasi mulai : 16.00 WIB
8) Operasi selesai : 17.30 WIB
12

II. Monitoring

Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan

▪ Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja


operasi
▪ Pemasangan alat monitoring, tekanan darah, saturasi, nadi,
16.00 95/57 135 27 99%
oksigen 2L
▪ Diberikan cairan RL dan obat premedikasi (ondansetron 4
mg, dexamethason 10 mg)
▪ Pasien dipersiapkan untuk induksi
▪ Pasien di berikan analgesik fentanil 50 mcg, induksi
dengan Fresofol 90 mg, cek refleks bulu mata. Kemudian
pasien dipasangkan sungkup dan mulai di bagging, lalu
diberikan relaksan yaitu atracurium 25 mg IV.
▪ Setelah di bagging selama 5 menit pasien di intubasi
16.15 97/53 130 25 97%
dengan ETT no. 6,5.
▪ Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru untuk
mengetahui apakah ETT terpasang dengan benar.
▪ ETT di hubungkan dengan ventilator.
▪ ETT difiksasi dengan plester.
▪ Diberikan maintenance yaitu sevoflurans 2% dan N2O 2L
▪ Kondisi terkontrol
16.30 98/59 101 20 98%
▪ Kondisi terkontrol
16.45 95/58 110 22 99%
▪ Masuk PRC 250 cc
17.00 96/59 117 24 96%
▪ Dilakukan suction
▪ Refleks batuk ada
17.30 99/60 115 24 97% ▪ Pasien di ekstubasi
▪ Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.
▪ Pasien sadar
13

III. Ruang Pemulihan


1) Masuk Jam : 17.35 WIB
2) Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
3) Tanda vital : TD : 90/60 mmHg Nadi : 117 x/menit
RR : 23 x/menit
4) Pernafasan : dibantu nasal kanul 10 L/mnt
5) Scoring Aldrete:
a. Aktivitas :2
b. Pernafasan : 2
c. Warna Kulit : 2
d. Sirkulasi :2
e. Kesadaran : 2
Jumlah : 10

IV. Instruksi Post Operasi:

1. Pasien rawat PICU


2. Ventilator : Ps : 13 , RR : 20 , I:E = 1:2 PEEP : 5
3. Observasi ttv dan perdarahan/ 15 menit
4. Tidur terlentang tampa bantal
5. Terapi lainnya sesuai dokter operator : dr. Amran Sinaga Sp.B
14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

PERITONITIS3

2.1 DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan
merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses
infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon,
maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster,
keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.

2.2 ANATOMI
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang terdapat
dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan
batas-batas:

* anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen


* posterior : retroperitoneum
* inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
* superior : bagian bawah dari diafragma

Peritoneum dibagi atas :


• peritoneum parietal
• peritoneum viseral
• peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx.
15

• peritoneum bebas yaitu omentum

Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera membentuk


peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang diantara kedua lapisan
yang disebut rongga peritoneal.

Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal terdiri atas
plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L, juga
mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun.

2.3 KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI


Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik
terganggu

2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab obstruksi vena
porta pada sirosis hati, malignitas.

3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus alienum,
misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang, trauma

4. Radang, yaitu pada peritonitis

Peritonitis diklasifikasikan menjadi:


A. Menurut agens
1. Peritonitis kimia,
misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu,
cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.

2. Peritonitis septik
16

merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,
sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.

B. Menurut sumber kuman


1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara
hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis
ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi
transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif
( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus
pneumonia, staphylococcus).

Peritonitis primer dibedakan menjadi:


*Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.

* Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman penyebab
pneumonia yang tidak spesifik.

2. Peritonitis sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya adalah:

• invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus


genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk
17

• Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi


pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.

• Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters

Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus,


appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena
untuk mengganti kehilangan cairan.

Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
• secara non operatif
dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan efektif sebagai
terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra-abdomen

• cara operatif

dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat infeksi intra
abdomen Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok
septik, abses, perlengketan intraperitoneal.

3. Peritonitis tersier

Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang
hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili,
dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan
keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan
diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal.
Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan
2.4 FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
• penyakit hati dengan ascites
• kerusakan ginjal
• compromised immune system
• pelvic inflammatory disease
• appendisitis
• ulkus gaster
• infeksi kandung empedu
• colitis ulseratif / chron’s disease
• trauma
• CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
• pankreatitis

2.5 PATOFISIOLOGI
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.

Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis


lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme
pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan
usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus,
kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi,

18
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis,
akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun
tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita
bergerak.

Gejala lainnya meliputi:


• Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
• Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum

• Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma


mengakibatkan kesulitan bernafas.

Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.

• Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar


bising usus

• Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat


kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum

• Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)

• Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi

• Tidak dapat BAB/buang angin.

19
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama seperti
pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:

1. inspeksi
• pasien tampak dalam mimik menderita
• tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
• lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih kecoklatan
• pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak
karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan
peritoneum.
• Distensi perut

2. Palpasi
nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif

3. Auskultasi
suara bising usus berkurang sampai hilang

4. perkusi
• nyeri ketok positif
• hipertimpani akibat dari perut yang kembung
• redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga udara
akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan suara
redup menjadi timpani
Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus
sfingter ani menurun dan ampula recti berisi udara

2.8 DIAGNOSA
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium didapat:
• lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais
dapat terjasi lekopenia.
• Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.

20
Pada foto polos abdomen didapatkan:
• Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
• Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda dengan
gambaran ileus obstruksi
• Penebalan dinding usus akibat edema
• Tampak gambaran udara bebas
• Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu
dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar tidak terjadi syok
hipovolemik

Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen,
CT scan, dan MRI.

Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)


Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra
abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan kondisi: Hilangnya
kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya pada cedera medula
spinalis, cedera pada costae atau processus transversus vertebra.Tehnik ini adalah
suatu tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam
fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan
tidak ditemukan darah atau cairan.

Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal yang perlu
dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel, gram stain,
serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan
peritonealnya menunjukkan kadar pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL
dengan kadar protein dan LDH yang meningkat.

Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan


hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.

21
2.9 TERAPI
1. Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang
memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama
terapi pada infeksi intra abdomen adalah mengkontrol sumber
infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
5. mengkontrol sumber infeksi
6. mengeliminasi bakteri dan toksin
7. mempertahankan fungsi sistem organ
8. mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:


 Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan hemodinamik
tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk mencegah dehidrasi,
pengawasan nutrisi dan ikkeadaan metabolik, pengobatan terhadap
komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau
ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
 Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan
percutaneus and endoscopic stent placement.

 Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi


sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen

Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian


suplemen, antara lain glutamine, arginine, asam lemak omega-3 dan omega-6,
vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat
proses penyembuhan.

22
TERAPI ANTIBIOTIK
Pada SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis), pemberian antibiotik
terutama adalah dengan Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai
dengan hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya dihindarkan terutama
pada pasien dengan gangguan ginjal kronik karena efeknya yang nefrotoksik.
Lama pemberian terapi biasanya 5-10 hari.

Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik ada pada urutan ke-
dua. Untuk infeksi yang berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi,
namun lebih berguna pada infeksi akut.

Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem, piperacilin/tazobactam


dan kombinasi metronidazol dengan aminoglikosida.

INTERVENSI NON-OPERATIF
Dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda pembedahan sampai
proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga pembedahan dapat dilakukan secara
elektif. Hal-hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-operatif ini
antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel. Terapi intervensi
non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).

Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses
melalui drainase percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ
intraabdomen lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini
dapat digunakan dengan aman dan efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan erosi, fistula

TERAPI OPERATIF
Cara ini adalah yang paling efektif. Pembedahan dilakukan dengan dua
cara, pertama, bedah terbuka, dan kedua, laparoskopi.

23
PROGNOSA

Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan


terapi. Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada
peritonitis general.

3.1 General Anestesia


3.3.1 Definisi
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan
anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedang
pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf
perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada
anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran.4
Dahulu dikenal dengan istilah Trias Anestesi yaitu hypnosis, analgesia, dan
arefleksia, tetapi sekarang memiliki komponen yang lebih luas yaitu:
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motoric tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)
Keuntungan Anestesi Umum adalah sebagai berikut:5
1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin memberikan
trauma psikologis
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

24
Kerugian atau kekurangan anestesi umum adalah sebagai berikut:
1. Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesi umum
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran
4. Resiko komplikasi pascabedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
3.3.2 Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi,
agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup
adekwat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda klinik
yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan
melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapat anestesi ether.4, 5
1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi atau
stadium induksi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya
kesadaran, ditandai dengan menghilangnya refleks bulu mata. Pada stadium
ini operasi kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa
meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif
gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks
fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang
kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium
ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini
bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3. Stadium III disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:

25
a. Plana I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.
b. Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal
menurun dan frekwensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
c. Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih
dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif,
refleks laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negatif.
4. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan
dikuti dengan circulatory failure.
3.3.3 Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-
2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan
darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:4,5

26
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam
tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3.3.4 Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :4, 5
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal: diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal: diazepam
c. membuat amnesia, misal: diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal: fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal: droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal: pethidin

27
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal: tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan
3.3.5 Preoksigenasi
Sebelum pemberian agen induksi, pasien akan sering membutuhkan pra-
oksigenasi. Tujuan dari pra-oksigenasi adalah untuk menggantikan nitrogen dalam
kapasitas sisa fungsional (FRC) dengan oksigen; proses ini juga disebut sebagai
denitrogenasi dan menciptakan reservoir oksigen di dalam FRC. Ini adalah fitur
keamanan sederhana karena semakin besar cadangan oksigen dalam FRC, semakin
lama apnea dapat ditoleransi sebelum hipoksia kritis berkembang. Pre-oksigenasi
dicapai dengan memberikan oksigen aliran tinggi 100% melalui sirkuit pernapasan
ke pasien yang bernapas secara spontan sampai oksigen pasang surut akhir
mencapai lebih dari 90%. Secara klasik, hal ini dilakukan dengan menghirup
volume tidal normal selama 3 menit, meskipun sekarang telah diterima bahwa
napas berkapasitas vital selama 60 detik sama efektifnya. Harus diingat bahwa
waktu untuk desaturasi sangat berkurang pada mereka yang menderita penyakit
pernapasan, keadaan hipermetabolik, dan mereka yang mengalami penurunan
FRC.7
Teknik yang semakin populer adalah penggunaan kanula nasal aliran tinggi
untuk memberikan oksigenasi lanjutan selama intubasi dengan oksigenasi apnoeik
pasif. Sebuah meta-analisis oleh American College of Emergency Physicians telah

28
menunjukkan bahwa penggunaan kanula hidung untuk oksigenasi apnoeic pasif
selama laringoskopi dapat memperpanjang waktu untuk desaturasi pada pasien
berisiko tinggi selama pengelolaan jalan napas. Oksigenasi apnoeik dikaitkan
dengan peningkatan saturasi oksigen peri-intubasi, penurunan tingkat hipoksemia
dan peningkatan keberhasilan intubasi lintasan pertama. Beberapa perangkat
(Optiflow dan SuperNO2VA) dapat menghantarkan oksigen nasal aliran tinggi
yang dilembabkan selama pengelolaan jalan napas. Jika kanula nasal aliran tinggi
tidak tersedia, spesifikasi nasal standar dapat digunakan untuk memberikan 100%
oksigen pada 15 L / menit.7
3.3.6 Induksi
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskuler atau
perrektal. Induksi Inhalasi sering disebut dengan istilah induksi lambat karena
membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena, disebut juga dengan
induksi cepat karena penderita cepat tertidur.6
Induksi Inhalasi. Diberikan dengan meminta pasien menghirup campuran
gas anestesi dengan udara atau oksigen, dengan memakai facemask (sungkup
muka/kap. Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas
(N20) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut
vaporizer. Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke
sungkup muka yang dibuat dari rangka kawat yang dibalut kain kasa atau alat
schimmel busch. Cara ini disebut open drop. Bila obatnya ether maka disebutopen
drop ether.6
Induksi inhalasi menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena
menimbulkan stadium II yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas dan
mortalitas bagi penderita. Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik
menggunakan halothane, enflurane, isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang
mendapat induksi inhalasi dengan obat ini cepat masuk ke dalam stadium III
sehingga tanda stadium II yang membahayakan penderita tidak terlihat. Umumnya
induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak.6
Induksi Intravena. Pada induksi intravena tidak terjadi stadium II,
dikerjakan dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam pembuluh darah vena.

29
Induksi Intramuskuler. Diberikan dengan menyuntikkan obat anestesi ke
dalam otot, dikerjakan pada anakanak.
Induksi Rektal. Dikerjakan dengan memasukkan obat ke rektum.
Tergantung ada tidaknya indikasi, setelah induksi dilakukan, selanjutnya dapat
dipasang pipa endotrakheal (endotracheal tube) atau dapat pula dipasang sungkup
laring (LMA) atau cukup dilakukan dengan/oce mask (sungkup muka). Untuk
menjaga agar penderita tidak jatuh ke dalam hipoksia, sebelum induksi perlu
diberikan oksigenasi selama 5 menit lebih dulu, cara ini disebut pre oksigenasi.
Dengan memberikan pre oksigenasi, kapasitas residual fungsional paru akan terisi
oleh oksigen. Selain itu, oksigen yang larut dalam darah juga meningkat, sehingga
bila terjadi gangguan respirasi waktu induksi maka sudah ada cadangan oksigen,
yang diharapkan cukup memenuhi kebutuhan sampai gangguan respirasi dapat
diatasi.6
Agen Induksi intravena antara lain:7
1. Propofol (2,6-di-isopropylphenol) adalah asam lemah lipofilik, disajikan
sebagai larutan 0,5%, 1% atau 2% dalam emulsi minyak dan air yang
mengandung minyak kacang kedelai, gliserol dan fosfatida telur yang
dimurnikan. Dosis induksi 1-3 mg/kg pada orang dewasa dan 2.5-4 mg/kg
pada anak-anak akan menyebabkan hilangnya kesadaran. Ini juga dapat
digunakan untuk pemeliharaan anestesi selama TIVA dan untuk sedasi di
ruang operasi atau ICU. Ini memiliki pembagian separuh cepat yang
mengarah ke bangun cepat dari dosis bolus sekitar 8-10 menit. Ini
dimetabolisme melalui konjugasi di hati dan diekskresikan sebagai
metabolit yang larut dalam air dalam urin. Keuntungan propofol termasuk
penekanan refleks laring dan efek antiemetik. Kerugian utamanya adalah
hipotensi dan nyeri saat injeksi; nyeri ini dapat dikurangi dengan
pretreatment dengan lidokain dalam hubungannya dengan oklusi vena di
atas vena.
2. Tiopenton adalah barbiturat yang disajikan sebagai bubuk kuning yang larut
dalam air untuk menghasilkan larutan basa pH 10. Kegunaan utamanya
adalah untuk induksi sekuens cepat pada dosis 3-7 mg/kg. Ini dimetabolisme

30
di hati dan diekskresikan dalam urin. Metabolit aktifnya terakumulasi
selama infus karena saturasi enzim hati dan kinetika orde nol. Namun,
setelah injeksi bolus, pemulihan kesadaran bahkan lebih cepat daripada
propofol. Dalam Proyek Audit Nasional ke-5 (NAP5), thiopentone
diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk kesadaran yang tidak disengaja
selama anestesi umum (AAGA) karena durasi anestesi yang lebih singkat
dari bolus tunggal, sehingga direkomendasikan bahwa dosis tambahan
diberikan jika ada penundaan dalam mengamankan jalan nafas karena
kesulitan yang tak terduga. Keuntungan utama dari thiopentone adalah
bahwa keduanya mengurangi ICP pada cedera kepala dan merupakan
pengobatan yang efektif untuk status epileptikus. Komplikasi utama dengan
penggunaannya adalah injeksi intraarterial yang tidak disengaja, yang
mungkin mengancam anggota tubuh. Penggunaan tiopenton telah berkurang
secara signifikan sejak diperkenalkannya propofol, sebagian besar karena
kondisi laring yang menguntungkan yang disediakan oleh propofol untuk
penyisipan masker laring.
3. Etomidat adalah turunan ester imidazol. Ini disajikan sebagai emulsi putih
atau cairan bening. Dosis induksi adalah 0,3 mg/kg. Keuntungan utamanya
adalah efek minimalnya pada sistem kardiovaskular sehingga berguna pada
pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Sayangnya, dalam infus hal
itu menyebabkan supresi adrenokortikal, yang menyebabkan
penggunaannya berkurang.
4. Ketamine adalah turunan phencyclidine yang melawan reseptor NMDA.
Dosis 1-2 mg/kg akan menghasilkan anestesi disosiatif, analgesia, amnesia
dan anxiolysis. Ini memiliki sifat bronkodilatasi, yang mengarah ke
manfaatnya dalam status asma. Tidak seperti agen induksi IV lainnya, obat
ini merangsang sistem saraf simpatis sehingga cocok untuk pasien hipotensi.
Hal ini menyebabkan peningkatan penggunaannya pada trauma besar, tetapi
harus digunakan dengan hati-hati pada mereka yang menderita penyakit
jantung iskemik. Di masa lalu, ketamin telah dihindari pada cedera kepala
karena dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan intrakranial. Sekarang

31
jelas bahwa ini bukanlah masalahnya; memang, kemungkinan ketamin
memiliki aktivitas pelindung saraf. Terlepas dari profil ketamin yang
menarik, popularitasnya di negara maju telah dibatasi oleh efek samping
psikogenik yang tidak menyenangkan dan produksi sekresi yang berlebihan.
3.3.7 Pemeliharaan
Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung
jenis operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa
penderita, tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih merasakan
nyeri yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan. Selain itu
anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan spasme saluran pernafasan,
batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler.6
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat
inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa, diberikan secara intermitten atau
continous drip. Kadangkadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar
dosis masing-masing obat dapat diperkecil.6
Agen inhalasi digunakan dalam fase pemeliharaan 92% anestesi umum.
Anestesi umum yang khas biasanya melihat transisi dari induksi intravena ke
pemeliharaan inhalasi. Ditambah dengan pemindahan pasien dari ruang anestesi ke
ruang perawatan, periode ini menunjukkan potensi kesadaran pasien yang tidak
diinginkan. Pengetahuan tentang farmakokinetik agen yang digunakan dan
keterampilan dalam penggunaannya akan membantu meminimalkan risiko ini.8
Rumatan anastesia biasanya mengacu pada trias anastesia yaitu hipnosis,
analgesia cukup, dan selama dibedah pasien tidak menimbulkna nyeri, dan relaksasi
otot lurik yang cukup. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-
4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).4
3.3.8 Muscle Relaxant
Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja
pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat

32
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.6
A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps
tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetilkolin) dan
dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma, pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
B. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari
plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti
penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi
dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali
pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila
volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau
perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih
tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai
injeksi cepat intravena.6

33
Contoh agen relaksan otot non depolarisasi: atracurium besylate,
pancuronium bromide, vecuronium bromide, rocuronium bromide.
Rocuronium adalah pelumpuh otot non depolarisasi turunan aminosteroid.
Onsetnya cepat, dengan dosis 0,6 mg/kgBB dalam waktu 1 menit sudah dapat
dilakukan intubasi dengan baik dan mulus, tetapi paralise otot yang adekuat untuk
berbagai macam operasi, baru dicapai dalam waktu 2 menit. Hal ini disebabkan
karena paralisis otot laring lebih cepat terjadi dibandingkan paralisis otot adductor
pollicis. Rocuronium tidak menimbulkan pelepasan histamin. Rocuronium sedikit
menimbulkan perubahan kardiovaskuler pada pasien sehat. Perubahan ini
disebabkan oleh efek vagolitik atau rasa nyeri akibat penyuntikan rocuronium.
Karena bersifat vagolitik, rocuronium baik digunakan untuk operasi yang
memerlukan stimulasi vagal misalnya operasi mata atau laparoskopi. Sebagian
besar eliminasi terjadi di hepar, sebagian kecil di ginjal. Karena itu efeknya akan
memanjang pada penderita penyakit hepar.6
C. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan
oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti
atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai
0,2-0,3 mg pada dewasa).6
3.3.9 Tatalaksana Jalan Nafas
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang,
tonus otot jalan nafas atas, otot genioglosus hilang, sehingga lidah akan menyumbat
hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik totoal maupun parsial.
Keadaan ini sering terjadi dan dapat diatasi dengan manuver tripel airway,
pemasangan pharyngeal airway, laryngeal mask airway, dan endotracheal tube.6

34
a. Tripel manuver
b. Pharyngeal airway
Digunakan jika tripel manuver tidak berhasil membuka jalan nafas.

Gambar 4. Airway. A. Oropharyngeal airway, B. Nasopharyngeal airway14

c. Sungkup muka
Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya.
Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02, 01, 1 untuk anak kecil, 2, 3 untuk anak besar,
dan 4, 5 untuk orang dewasa.6

Gambar 5. Sungkup muka6

d. Laryngeal mask airway


Merupakan jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok dengan tepi yang dapat dikembang kempiskan.6

35
Gambar 6. Pemasangan LMA6

e. Endotracheal tube
Pipa trakea akan mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Pada bayi dan anak, penampang pipa trakea berbentuk bulat sementara pada orang
dewasa berbentuk D, dan pada bayi dibuat tanpa kaf (cuff) dan untuk anak besar
dengan kaf agar tidak bocor.6

Gambar 7. Endotrakeal tube6

Untuk menentukan ukuran ETT dapat digunakan rumus 4 + usia/ 4 untuk


diameter pipa dan panjang pipa menggunakan rumus 14 + usia/2 pada anak anak.
Sedangkan untuk orang dewasa wanita digunakan diameter 7-7,5 mm dan panjang
24 cm. Untuk laki-laki digunakan ukuran diameter 7,5-9 mm dan panjang 24 cm.6
3.3.10 Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan
untuk :6
a. Mempermudah pemberian anestesi.

36
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi:
a. Operasi intra oral dan operasi plastik daerah wajah
b. Jika terdapat bentuk anatomis abnormal atau penyakit jalan nafas atas yang
membuat kesulitan laringoskopi direk.
c. Ankilosis sendi temporomandibuler.
d. Kondisi yang menyebabkan tak memungkinkan untuk dilakukan
laringoskopi direk.
e. Repair fraktur rahang
f. Kondisi yang menyebabkan tidak memungkinkan intubasi oral, misalnya
pada pasien yang terpasang kawat pada rahang atas dan bawah.
g. Sindroma Piere Robin, dimana terdapat hipoplasia mandibula, mikrognatia,
palatosisis, lidah terletak di belakang (glossoptosis) dan epigotis kecil.
Keuntungan:
a. Fiksasi ET lebih stabil
b. Lebih nyaman pada pasien sadar
c. Lebih sedikit sekresi orofaring
Kerugian:
a. Teknik lebih sulit dan lebih lama
b. Lebih traumatik (epistaksis)
c. Resiko kuman hidung masuk ke dalam trakea
d. Tidak cocok untuk penguasaan jalan nafas darurat pada pasien asfiksi
Urutan langkah teknik intubasi nasotrakeal:
1. Pilih lubang hidung yang lebih paten dengan menilai kemampuannya
menghirup melalui lubang hidung. Hal ini tergantung pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika kedua hidung sama paten, lebih disukai pada hidung

37
kanan oleh karena bevel pipa nasotrakea jika dimasukan pada hidung kanan
rata dengan septum nasi, sehingga mengurangi kerusakan pada hidung
2. Pada pasien sadar, mukosa hidung diberi vasokonstriktor (misalnya tetesan
aatau semprotan fenilefrin) untuk dilatasi jalan nafas hidung, juga diberikan
analgetik permukaan misalnya lidokain (Lignokain, Xylokain)
spray/semprotan untuk membuat nyaman dan patensi nasal serta
meminimalkan kemungkinan epistaksis.
3. Pilih pipa nasotrakea yang lunak, baik kelengkungannya dan mempunyai
cuff untuk dewasa. Diameter luar hendaknya lebih kecil 1 mm daripada pipa
orotrakea.
4. Beri pelicin pada pipa nasotrakea mulai dari ujung distal sampai kurang
lebih pada tempat inflasi cuff.
5. Meninggikan kepala kurang lebih 10 cm dengan bantal di bawah oksiput,
kemudian kepala diekstensikan pada sendi atlantooccipital
6. Setelah pasien teranestesi, masukkan pipa nasotrakea melalui hidung yang
lebih paten sejajar dengan palatum. Idealnya lereng pipa hendaknya
menghadap septum hidung untuk mencegah kerusakan konka. Dorong pipa
sampai terasa hilangnya tahanan pada sudut nasofaring
7. Untuk intubasi nasotrakea buta/blind, gerakan ujung pipa kesamping
dengan memutar mulut pipa dan gerakan ke depan atau ke belakang dengan
ekstensi atau fleksi kepala (tidak boleh dilakukan jika dicurigai ada cedera
leher). Kemudian dorong pipa selama inhalasi. Jika terdengar udara aliran
udara atau batuk menandakan pipa sudah masuk ke dalam laring
8. Bila mulut pasien mudah dibuka, intubasi nasotrakea dapat dipermudah
dengan visualisasi laring dengan menggunakan laringoskop yang dipegang
dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengarahkan pipa dengan
menggunakan forceps magill sambil meminta asisten untuk mendorong
pipa melalui hidung.
9. Jika Nasotrakea tube telah masuk, cuff dikembangkan/diinflasi dengan
udara lewat spuit sekitar 5-10 cc sesuai dengan kebutuhan atau waktu
menginflasi cuff sambil mendengar suara dari mulut pasien, jika sudah tidak

38
terdengar suara kebocoran udara inflasi dihentikan. Sebaiknya spuit yang
dipakai untuk inflasi cuff dilengketkan ke tempat cuff
10. Sambil memegang tube, cabut stilet jika dipakai dan segera berikan ventilasi
dan oksigenasi dengan unit kantong-katup-oksigen yang terisi sendiri atau
dengan sirkuit anestesi. Mulailah ventilasi dengan 100% O2
11. Auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan kemungkinan
intubasi esofagus. Jika pada waktu diberikan inflasi terdapat suara gurgle
pada daerah epigastrium dan dinding dada tidak mengembang berarti NTT
masuk ke dalam esofagus, jika memang demikian NTT segera dicabut dan
dilakukan reintubasi. Jika tidak terdengar suara gurgle berarti masuk ke
dalam trakea
12. Segera setelah itu auskultasi daerah apek dan basal paru kanan dan kiri
untuk menyingkirkan kemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus
kanan) dengan cara membandingkan suara paru kanan dan kiri. Jika suara
paru kanan lebih besar dari kiri berarti NTT masuk ke dalam bronkus kanan
dan NTT segera ditarik pelan-pelan sampai terdengar suara yang sama
antara kanan dan kiri. Penempatan tube yang terlalu dalam mengakibatkan
intubasi endobronkial terutama sebelah kanan tetaapi bila terlalu dangkal
akan menimbulkan kesulitan untuk mengunci karena cuff dapat keluar dari
laring (mudah terjadi ekstubasi).
13. Fiksasi ET dengan plester melingkar yang ditempatkan dibawah dan diatas
bibir yang diperpanjang sampai ke pipi Matikan isolasi di sekitar tube.
3.3.11 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk.6
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :

39
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa
dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan
cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
• Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
• Sedang = 6 ml/kgBB/jam
• Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.14.
3.3.12 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.14
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,

40
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.6

Tabel 1. Aldrete Scoring System6


No. Kriteria Skor
1 Aktivitas ▪ Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
▪ Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
▪ Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi ▪ Nafas adekuat dan dapat batuk 2
▪ Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
▪ Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi ▪ Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
▪ Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
▪ Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran ▪ Sadar penuh 2
▪ Bangun jika dipanggil 1
▪ Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna ▪ Kemerahan atau seperti semula 2
kulit ▪ Pucat 1
▪ Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

41
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan penanganan anestesi pada seorang pasien An. A 16 tahun dengan berat
badan 45 kg. Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan
nyeri seluruh perut sejak ± 6 hari SMRS. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
kesadaran Compos mentis / GCS E4M6V5 (15) , Suhu: 36,9oC Tekanan Darah:
100/60 mmHg Respiration rate:26 kali/menit Nadi: 120 kali/menit . pada
pemeriksaan laboratoriuml leukosit : 6,12 x 103/L , RBC:3,49 x 106/L, HGB:9,50
gr/dL,HCT:28,4 %, PLT:94,5 x 103/uL. Pada pemeriksaan radiologi, rontgen thorax
AP didapatkan cor dan pulmo dalam batas normal , pada BNO dan ct scan abdomen
didapatkan kesan Pneumoperitonium dan peritonitis Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut pasien didiagnosa dengan
Trauma tumpul abdomen + peritonitis + susp rupture uretra. Kemudian pasien
direncanakan untuk dilakukan operasi emergensi laparotomy dengan anestesi
umum sebagai tatalaksana peritonitis.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), didapatkan status fisik pada pasien ini adalah ASA III E ,
yaitu Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
Tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah
obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai
obat premedikasi pada pasien ini yaitu: ondansentron 4 mg, dexamethasone 10 mg
dan ketorolac 30 mg . Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit
sebelum dilakukan operasi.

42
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general anestesi
menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan inhalasi. Induksi
pada pasien ini dengan injeksi Recofol 90 mg dan insersi single lumen spiral ETT
ukuran 6,5 dengan Atracurium 25 mg . Dosis pemeliharaan dengan menggunakan
anestesi inhalasi: sevoflurans 2 vol% + N2O (2L) : O2 (2L)
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang sering
digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada pasien ini
diberikan propofol 90 mg iv. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang
didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. pada pasien ini dosis
fresofol sudah tepat.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan,
apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot Atracuruium 25 mg iv, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. Dosis intubasi dan relaksasi otot
adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv). Pada
pasien ini diberikan recoronium 25 mg, sudah memenuhi dosis terapi.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevofluran 2 %. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus
disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya
kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.

43
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1.595 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 1360 cc, maintenance 85 cc, stress operasi 180 cc.
pada jam I dibutuhkan 945 cc, jam II dibutuhkan 605 cc. cairan yang telah masuk RL
sebesar 1000 cc NACL 0,9 % 100 cc dan PRC 250 cc. Kebutuhan cairan pada pasien
ini belum terpenuhi, karena selama operasi hanya diberikan 1350 cc.
Setelah operasi selesai pasien diekstubasi dan dibawa ke Recovery Room (RR).
Di ruang inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR
terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang
memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,
dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat, misalnya karena
hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan analgetik seperti petidin 15-25 mg IV.
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan
menambah cairan elektrolit (RL), koloid, darah. Oksigen selalu diberikan sebelum
pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar,
tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien saat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8.
Sedangkan pada pasien ini, didapatkan skornya 10 sehingga dapat keluar dari ruang
RR. Pasien pindah dan dibawa PICU jam 17.45 WIB.

44
BAB V
PENUTUP

Laparotomi merupakan prosedur umum yang dilakukan pada bagian bedah


digestive dimana kontrol nyeri biasanya dicapai melalui pemberian anestesi umum
(GA). Prosedur anestesi yang diperlukan selama bentuk operasi ini mungkin
melibatkan pemberian anestesi umum yang meskipun merupakan prosedur yang aman
ketika dilakukan oleh ahli anestesi, masih terdapat beberapa risiko seperti komplikasi
penggunaan nasotrakeal tube saat intubasi sehingga memerlukan pengawasan yang
tepat.
Persiapan operatif yang meliputi persiapan pasien preoperasi, persiapan
kelengkapan obat, alat, dan pemantauan, serta perencanaan pelaksanaan anestesi
sampai dengan penanganan pascaoperasi harus dilakukan dengan cermat dan
terstruktur sehingga komplikasi-komplikasi yang terjadi dapat dicegah dan ditangani
dengan baik.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks. 2017
2. Xu Z, Cheng B, Fu S, Liu X, Xie G, Li Z, dkk. Coagulative biomarker on
admission to the ICU predict acute kidney injury and mortality in patients with
septic shock caused by intra-abdominal infection. Infect Drug Resist.
2019;12:2755–64
3. Warsinggih , PERITONITIS DAN ILLEUS ,
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/PERITONITI
S-DAN-ILUES.pdf , di akses 27 juni 2021
4. Soenarjo, Jatmiko HJ. Anestesiologi Edisi 2. Semarang: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip. 2013
5. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FK UI/RSCM. 2012
6. Soenarjo, Marwoto, Witjaksono, Satoto H, Budiono U, Dwi Jatmiko H, dkk.
Anestesiologi edisi kedua. PERDATIN; 2013
7. Dean, C., & Chapman, E. Induction of anaesthesia. Anaesthesia & Intensive Care
Medicine. 2018:19(8); 383–8

46

Anda mungkin juga menyukai