Anda di halaman 1dari 30

RESPONSI

ILMU BEDAH ORTHOPEDI


DISLOKASI HIP JOINT

Pembimbing :
dr. Djohan Mahdy, Sp.OT, M.Kes

Penyusun :
Daisy Deriena 20200420048

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RS CITRA MEDIKA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2021
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI
DISLOKASI HIP JOINT

Judul responsi “Closed Dislokasi Hip Joint” ini telah diperiksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Bedah – Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 27 September 2021


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Djohan Mahdy, Sp.OT, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas responsi dengan judul “Closed Dislokasi Hip
Joint” ini sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian bedah orthopedi.
Keberhasilan dalam menyelesaikan responsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih terutama kepada dr.
Djohan Mahdy, Sp.OT selaku dokter pembimbing atas arahannya sehingga tugas ini
dapat selesai.dengan baik serta terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan responsi ini masih jauh dari sempurna,
namun penulis berharap agar journal reading ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan
bagi setiap pembacanya. Terima kasih.

Surabaya, 27 September 2021

Penulis
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. D
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mojokerto
Pekerjaan : SLTA
Pemeriksaan : 31 Agustus 2021

1.2. Primary Survey


A. Jalan Nafas
Bebas
B. Pernafasan
Simetris, RR: 22x/menit
C. Sirkulasi
Nadi : 90x/menit
CRT : <2 detik
Tekanan darah : 99/60 mmHg
SpO2 : 98%
Perdarahan :-
D. Neurologis
GCS : 4-5-6
Kejang/faccid :-
Lateralisasi :-
Pupil :-
Reflek cahaya : +/+
Temperatur : 360C
1.3. Secondary Survey
A. Keluhan Utama
Terdapat nyeri pada pinggul serta paha kanan dan kiri setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas.

B. Keluhan Tambahan
Tidak ada.

C. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke IGD pukul 8.20 setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas yang terjadi antara motor dengan truk saat akan
berangkat kerja. Terdapat nyeri pada pinggul serta paha kanan dan
kiri. Pasien sadar kejadian.

D. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


 Riwayat pernah sakit/ dirawat/ operasi disangkal.
 Riwayat mendapatkan obat imunosupresi (kemoterapi atau
radiasi) disangkal.
 Riwayat transfusi darah disangkal.

E. Riwayat Keluarga
Tidak ada.

F. Riwayat Alergi
Tidak ada.

G. Riwayat Penggunaan Obat


Tidak ada.

1.4. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran/GCS : Compos mentis
3. BB : 57kg
4. TB : Tidak terlampir
5. Tanda Vital
Tekanan darah : 99/60 mmHg
Nadi : 90x/menit,
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 360C
SpO2 : 98%
6. Status Generalis
Kepala
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : A/I/C/D: +/-/-/-, reflek cahaya +/+
Hidung : Tidak ada kelainan
Mulut : Tidak ada kelainan
Leher
Deviasi Trakea : Tidak ada kelainan
Pembesaran KGB : Tidak ada kelainan
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada spontan, simetris
Palpasi : Tidak ada kelainan
Perkusi : Tidak ada kelainan
Auskultasi : Ves (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak ada kelainan
Palpasi : Tidak ada kelainan
Perkusi : Tidak ada kelainan
Auskultasi : S1S2 tunggal
Abdomen
Inspeksi : Tidak ada kelainan
Auskultasi : Bising usus (± 5x/menit)
Perkusi : Tidak ada kelainan
Palpasi : Supel

Ekstremitas
ROM terbatas pada kaki kanan dan kiri, terdapat jejas pada regio
pelvis, femoris, dan genu.

7. Status Lokalis
Look: Jejas (+), pemendekan pada tungkai dekstra (+)
Feel: Nyeri tekan (+)
Move: ROM terbatas karena nyeri

1.5. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi (Pemeriksaan ketiga)
 Waktu Pendarahan : 2 menit
 Waktu Pembekuan : 9 menit
 Darah Lengkap:
HGB : 11,3 g/dL
RBC : 4,41 .106/µL
HCT : 32,4%
MCV : 73,5 fL
MCH : 25,6 pg
MCHC : 34,9 g/dL
RDW-SD : 36,3 fL
RDW-CV : 13,9%
WBC : 15,56.103/µL
Eosinofil : 0,1%
Basofil : 0,1%
Neutrofil : 84,9%
Limfosit : 10,1%
Monosit : 4,8%
 Golongan darah
O Rhesus Positif
 Elektrolit
Natrium : 135,3 mmol/L
Kalium : 3,23 mmol/L
Chlorida : 105,1 mmol/L
 Imunologi/serologi
HBsAg Chromatografi: non reaktif
 Tes fungsi ginjal
UREA metode UV : 31,20 mg/dL
Kreatinin : 1,05 mg/dL
 Tes fungsi hati
SGOT (AST) : 437,16 U/L
SGPT (ALT) : 366,33 U/L
 Rapid tes antigen: negatif
2. Pemeriksaan Radiologi (Foto X-Ray)
Foto polos regio pelvis AP (31 Agustus 2021)
Kesimpulan :
Tn. D, 21 tahun, dengan foto regio pelvis AP. Tampak dislokasi
posterior pada caput femur dextra.
3. ECG
4. USG FAST
 Tidak ada cairan di rongga abdomen.
 Tidak ada cairan di buli.

1.6. Assessment
Diagnosis: Dislokasi femur dextra dd. suspect internal bleeding

1.7. Resume
 Pasien datang ke IGD setelah mengalami kecelakaan lalu lintas
yang terjadi antara motor dengan truk saat akan berangkat kerja.
Terdapat nyeri pada pinggul serta paha kanan dan kiri. Pasien sadar
kejadian.
 Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah pasien rendah (99/60
mmHg), konjungtiva anemis, ROM terbatas pada kaki kanan dan
kiri, serta didapatkan jejas pada regio pelvis, femoris, dan genu.
 Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan:
Look : Jejas (+), pemendekan pada tungkai dekstra (+)
Feel : Nyeri tekan (+)
Move : ROM terbatas karena nyeri
 Pada pemeriksaan penunjang didapatkan:
- Pemeriksaan darah lengkap:
HGB, RBC, HCT, MCV, dan MCH lebih rendah dari normal
dan nilainya terus menurun setelah tiga kali pemeriksaan.
- Pemeriksaan radiologi
B regio pelvis AP tampak ada dislokasi posterior pada caput
femur dextra.
1.8. Planning
1. Terapi
 Medikamentosa
Infus RL loading 1000cc, lanjut 20 tetes/menit
Injeksi Ketorolac
Injeksi Ranitidin
Injeksi Ondansentron
 Non Medikamentosa / Operatif
Cito reposisi femur
Skin traksi

2. Monitoring
Observasi tanda vital.
Observasi pre-operasi di rawat inap.

3. Edukasi
 Menjelaskan kondisi pasien.
 Menjelaskan rekomendasi dari DPJP.
 Menjelaskan hasil pemeriksaan penunjang.
 Rencana tindakan reposisi di ruang operasi.

1.9. Prognosis
Dubia et bonam.

1.10. Laporan Operasi


Tanggal Operasi: 31 Agustus 2021
Jam Operasi: 14.05 – 14.35
Diagnosis Pra Bedah: Dislokasi caput femur dextra
Diagnosis Pasca Bedah: Dislokasi caput femur dextra
Nama Operasi: Reposisi dan skin traksi
Persiapan Operasi (profilaksis, inform consent): (+)
Posisi Pasien: supinasi dengan general anestesi
Disinfeksi: -
Insisi kulit dan pembukaan lapangan operasi: -
Pendapatan pada eksplorasi: Dislokasi posterior capur femur dextra
Uraian operasi:
 Dilakukan reposisi
 Skin traksi dengan beban 5kg
Komplikasi: -

Foto Polos Post-OP Regio Pelvis AP (7 September 2021)

Kesimpulan :
Tn. D, 21 tahun, dengan foto regio pelvis AP. Alignment baik, hip joint
kanan dan kiri normal, tak tampak tanda fraktur/dislokasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hip Joint


Hip joint atau sendi panggul seringkali disebut sebagai ball-and-
socket joint yang secara inheren stabil karena bentuk tulang dan
ligamennya yang kuat, sehingga memungkinkan sendi ini untuk menahan
peningkatan tekanan mekanis yang signifikan. Sendi coxae lebih didesain
untuk stabilitas dan sebagai penyangga berat badan dibandingkan untuk
mobilitas. Komponen anatomi yang berkontribusi terhadap stabilitas
panggul termasuk kedalaman acetabulum, labrum, kapsul sendi, otot, dan
ligamen di sekitarnya (Dawson-Amoah et al., 2018;)Drake et al., 2018).

Gambar 1. Gambaran Sendi Coxae

Ligamen
Ligamen utama yang menstabilkan sendi termasuk ligamen
iliofemorale yang terletak di anterior dan ligamen ischiofemorale yang
terletak di posterior.
 Ligamentum iliofemorale terletak di anterior terhadap sendi coxae
dan berbentuk segitiga. Apexnya melekat pada ilium di antara SIAI
dan tepi acetabulum dan basisnya melekat di sepanjang linea
intertrochanterica ossis femoris. Bagian-bagian ligamen yang
melekat di atas dan di bawah linea intertrochanterica lebih tebal
dari pada yang melekat pada bagian tengah linea intertrochanterica.
Hasilnya ligamentum iliofemorale memiliki bentuk seperti huruf
Y.
 Ligamentum ischiofemorale memperkuat aspectus posterior
membrana fibrosum. Ligamentum ischiofemorale ke arah medial
melekat pada ischium, tepat di posteroinferior dari acetabulum dan
ke arah lateral pada trochanter major di sebelah dalam dari
ligamentum iliofemorale.

Gambar 2. Ligamen pada Sendi Coxae

Serat ligamen ini berorientasi seperti spiral di sekitar sendi coxae,


sehingga serat ketiga ligamenta tersebut menegang ketika posisi sendi
extensi. Hal ini menstabilkan sendi dan mengurangi sejumlah energi yang
diperlukan untuk mempertahankan posisi berdiri tegak.
Karena ligamen anterior lebih kuat, trauma pada panggul biasanya
muncul sebagai dislokasi posterior (90% kasus). Otot yang menopang
panggul secara dinamis termasuk m. rectus femoris, gluteal, dan rotator
eksternal pendek (Drake et al., 2018).
Vaskularisasi dan inervasi
Suplai vaskuler bagi sendi coxae di dominasi melalui cabang-
cabang arteri obturatoria, arteri circumflexa femoris medialis dan arteri
circumflexa femoris lateralis, arteri gluteal superior dan arteri gluteal
inferior, serta arteri perforans pertama dari arteri profunda femoris.
Cabang articularis pembuluh-pembuluh darah ini membentuk anyaman di
sekitar sendi (Drake et al., 2018).
Pemahaman tentang pembuluh darah penting karena trauma pada
panggul dapat menggeser caput femoris dan mengganggu suplai darah dan
hal ini dapat menyebabkan nekrosis avaskular (AVN). Cabang dari arteri
iliaka eksterna membentuk cincin di sekitar collum femur dengan arteri
circumflexa femoralis lateral berjalan ke anterior dan arteri sirkumfleksa
femoralis medial berjalan ke posterior. Suplai darah utama ke caput
femoris adalah arteri circumflexa femoralis medial (Dawson-Amoah et al.,
2018).
Sendi coxae dipersarafi oleh cabang-cabang articularis nervus
femoralis, nervus obturatorius, dan nervus gluteus superior, dan nervus
untuk musculus quadratus femoris (Drake et al., 2018).

2.2 Dislokasi Hip Joint


2.2.1 Definisi
Dislokasi panggul adalah suatu keadaan yang menyebabkan
caput femur keluar dari acetabulum pada tulang panggul. Hal ini bisa
terjadi bersamaan dengan trauma akibat impact yang tinggi atau
pasca operasi setelah dilakukan penggantian panggul total (Waddell
et al., 2016).
Dislokasi panggul traumatik merupakan suatu keadaan
darurat yang membutuhkan evaluasi dan reduksi ortopedi segera.
Dislokasi panggul bersifat serius dan berhubungan dengan
morbiditas jangka panjang yang signifikan, terutama nekrosis
avaskular dan osteoartritis pasca trauma (Mandell et al., 2017).
2.2.2 Epidemiologi
Seringkali dislokasi panggul terjadi pada pasien muda
dengan kejadian trauma berenergi tinggi dan meningkat dalam
jumlah insidennya, terutama karena kecelakaan kendaraan bermotor,
yang menyebabkan antara 62% dan 93% dari semua dislokasi
panggul. Pasien dengan dislokasi panggul traumatik harus menjalani
evaluasi lengkap oleh layanan trauma karena tingginya prevalensi
cedera tambahan, terutama akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Pada pasien dengan dislokasi panggul akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, dilaporkan terdapatnya prevalensi cedera non ortopedi
pada 67% kasus, termasuk 24% dengan cedera kepala tertutup, 21%
dengan fraktur kraniofasial, 21% dengan cedera dada, dan 15%
dengan cedera perut (Dawson-Amoah et al., 2018; Mandell et al.,
2017).
Dislokasi panggul dalam kegiatan olahraga jarang terjadi,
hanya mewakili 2% -5% dari dislokasi pinggul, tetapi dapat terjadi
pada olahraga kecepatan tinggi seperti sepak bola dan rugby
(Mandell et al., 2017).
Pada tahun 2030, jumlah prosedur diproyeksikan
meningkat 174% untuk penggantian panggul primer dan 137% untuk
revisi, menunjukkan bahwa jumlah pasien yang datang dengan
dislokasi juga dapat meningkat (Dawson-Amoah et al., 2018).

2.2.4 Mekanisme Cedera


Mekanisme yang paling umum dari dislokasi panggul
posterior adalah gaya yang diarahkan ke posterior terhadap lutut
yang difleksikan, dengan panggul dalam posisi fleksi dan adduksi
seperti dari cedera dashboard pada kecelakaan kendaraan bermotor.
Gaya ditransmisikan melalui femur dan menyebabkan aspek
posterior caput femoris terbentur pada dinding posterior acetabulum.
Posisi tungkai pada saat trauma menentukan dislokasi
panggul tersebut termasuk dengan atau tanpa fraktur acetabulum dan
caput femur. Secara spesifik, jika panggul difleksikan dan adduksi,
maka caput femoris kemungkinan besar mengalami dislokasi ke
posterior tanpa fraktur. Namun, posisi yang lebih ekstensi dan
abduksi mengarahkan beban aksial ke sendi panggul dan
meningkatkan risiko fraktur acetabulum posterior atau caput femoris.
Dengan derajat abduksi yang semakin besar, fraktur acetabular
terisolasi tanpa dislokasi dapat terjadi. Mekanisme dislokasi anterior
disebabkan oleh kombinasi yang lebih jarang dari abduksi ekstrim,
ekstensi, dan rotasi eksternal (Mandell et al., 2017).

2.2.5 Klasifikasi
Dislokasi hip joint terbagi menjadi tiga jenis:
 Posterior
Dislokasi posterior merupakan kasus paling umum yang
mencakup hampir 90% dari semua kasus. Hal ini diakibatkan
karena setengah dari posterolateral collum femur terletak di
luar kapsul, sehingga melemahkan support posterior panggul.
Dislokasi posterior dihasilkan dari gaya yang ditransmisikan
sepanjang batang femur dengan posisi tungkai adduksi.
Mekanisme paling umum adalah ketika terjadi tabrakan
kendaraan bermotor dan lutut menabrak dashboard. Caput
femoris akan didorong ke posterior, ke arah coronal plane dari
acetabulum. Presentasi dislokasi posterior menunjukkan pasien
dengan nyeri hebat. Seluruh tungkai akan terotasi internal dan
ditandai dengan adanya fleksi lutut dan adduksi paha. Caput
femoris jarang terlihat, tapi bias teraba di gluteus (Hogan,
2004).
Klasifikasi dislokasi hip joint posterior penting untuk
pengobatan. Berdasarkan Thompson-Epstein, dibagi menjadi
klasifikasi berikut:
Tabel 1. Thompson-Epstein classification of posterior hip
dislocation (Sanders et al, 2010).

Gambar 3. Thompson-Epstein classification of posterior hip


dislocation (Sanders et al, 2010).

Dislokasi harus direposisi secepatnya dengan general


anestesi disertai relaksasi yang cukup. Penderita dibaringkan
dan diberi pembantu untuk menahan panggul. Sendi panggul
difleksikan lalu lutut fleksi 900 kemudian dilakukan tarikan
pada paha secara vertikal. Setelah reposisi, stabilitas sendi
diperiksa. Pada tipe II, fragmen besar difiksasi dengan screw
dengan operasi setelah reposisi. Pada tipe III dilakukan closed
reduction, apabila ada fragmen yang terjebak dalam
acetabulum, dikeluarkan dengan operasi. Pada tipe IV dan V
dilakukan closed reduction dan jika fragmen lepas tidak
tereposisi, maka harus direposisi dengan operasi (Rasjad,
2015).
 Anterior
Dislokasi anterior terjadi akibat kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang saat jongkok
dan posisi penderita berada dalam keadaan abduksi yang
dipaksakan. Dislokasi ini lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan dislokasi posterior. Collum femur atau trochanter
menabrak acetabulum dan terjungkir keluar melalui robekan
pada kapsul anterior. Apabila sendi panggul dalam keadaan
fleksi, maka akan terjadi dislokasi tipe obturator dan apabila
sendi panggul dalam posisi ekstensi, maka akan terjadi
dislokasi tipe pubik atau iliaca (Rasjad, 2015).

Tabel 2. Epstein Classification of anterior hip dislocation (Sanders


et al., 2010).

Gambar 4. Epstein Classification of anterior hip dislocation


(Sanders et al., 2010).

Pada dislokasi anterior, tungkai bawah dalam keadaan


rotasi eksterna, abduksi, dan sedikit fleksi. Tungkai mengalami
pemendekan karena perlekatan otot rectus femoris mencegah
caput femur untuk bergeser ke proksimal. Dapat ditemukan
juga benjolan di depan daerah inguinal, dimana caput femur
dapat teraba dengan mudah. Sendi panggul sulit digerakkan
(Rasjad, 2015).
 Sentral
Dislokasi sentral terjadi ketika caput femur terdorong ke
dinding medial acetabulum pada rongga panggul. Di sini
kapsul tetap utuh. Fraktur acetabulum terjadi karena dorongan
yang kuat dari lateral atau jatuh dari ketinggian pada satu sisi
atau suatu tekanan yang melalui femur dimana panggul dalam
keadaan abduksi. Biasanya didapatkan perdarahan,
pembengkakan di daerah tungkai proksimal, tetapi posisi tetap
normal. Nyeri tekan juga ditemukan pada daerah trochanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Pada pemeriksaan
radiologi, dapat diketahui adanya pergeseran caput femur
menembus panggul (Rasjad, 2015).

2.2.6. Cara Diagnosis


a. Anamnesis
 Rasa nyeri
 Adanya riwayat trauma
 Mekanisme trauma
 Ada rasa sendi yang keluar
 Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini
dapat terjadi pada dislokasi rekurrens
b. Pemeriksaan fisik
 Deformitas
- Hilangnya penonjolan tulang yang normal
- Pemendekan
- Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
 Bengkak
 Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal
Pada pasien trauma besar, penilaian jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi sangat penting. Selama survei sekunder, pemeriksaan
panggul bersifat wajib. Pemeriksaan harus terdiri dari inspeksi,
palpasi, range of motion, dan pemeriksaan neurovaskular.
 Inspeksi
- Posterior: panggul tertekuk, rotasi internal, dan adduksi.
- Anterior: panggul tertekuk minimal, rotasi eksternal,
dan abduksi
 Palpasi: meraba panggul dan ekstremitas bawah dilakukan
untuk mendeteksi kecacatan tulang. Pada dislokasi hip
anterior, kadang-kadang teraba hematoma pada femur. Hal
ini menunjukkan cedera vaskular.
 Range of motion: Pasien dengan dislokasi hip memiliki
jangkauan gerak yang sangat terbatas. Evaluasi apakah
pasien dapat bergerak dengan nyaman. Jangan paksakan
melakukan berbagai gerakan pada pasien yang tidak bisa
mentolerir manipulasi normal.
 Pemeriksaan neurovaskular: tanda-tanda cedera nervus
ischiadicus meliputi:
- Hilangnya sensasi di tungkai bagian belakang.
- Kehilangan dorsofleksi (cabang peroneal) atau plantar
fleksi (cabang tibial)
- Kehilangan refleks tendon dalam (DTRs) di pergelangan
kaki.
- Tanda-tanda cedera saraf femoralis adalah sebagai berikut:
o Hilangnya sensasi atas paha
o Kelemahan dari paha depan
o Kehilangan DTRs di lutut
- Tanda-tanda cedera vaskuler meliputi:
o Hematoma
o Loss of pulses
o Muka pucat
- Tanda-tanda klinis terjadinya dislokasi panggul:
o Kaki lebih pendek dibandingkan dengan kaki yang
tidak mengalami dislokasi.
o Caput femur dapat diraba pada panggul.
o Setiap usaha menggerakkan panggul akan
mendatangkan rasa nyeri.
o Dislokasi posterior
Gambaran klinis berupa kaki pendek, dan sendi
panggul teraba dengan jelas dalam posisi adduksi,
rotasi internal dan fleksi.
o Dislokasi anterior
Manifestasi klinis berupa tungkai berada dalam posisi
external rotasi, abduksi dan sedikit fleksi. Tidak
terjadi pemendekan kaki, dikarenakan perlekatan
rectus femoris mencegah pemendekan caput bergeser
ke atas. Jika dilihat dari samping, tonjolan anterior
pada caput yang terdislokasi sangat jelas. Caput yang
menonjol mudah diraba dan gerakan panggul tak
dapat dilakukan.
o Dislokasi sentral
Manifestasi klinis berupa perdarahan dan
pembengkakan di daerah tungkai bagian proksimal
tetapi posisi tetap normal. Ada nyeri pada daerah
trokanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.
c. Pemeriksaan radiologi
 Dislokasi panggul posterior
Pada foto anteroposterior, caput femoris terlihat di luar
pelvis dan diatas acetabulum.

Gambar 5. Dislokasi panggul posterior


 Dislokasi panggul anterior
Pada foto anteroposterior biasanya jelas, namun tak jarang
caput hampir berada di depan posisi normalnya, dan
diperjelas dengan foto posisi lateral.

Gambar 6. Dislokasi panggul anterior

 Dislokasi panggul sentral


Adanya pergeseran dari caput femur menembus panggul
(Blom et al., 2018; Wim de Jong, 2003).

Gambar 7. Dislokasi panggul sentral

2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana dislokasi panggul ditujukan untuk reduksi dini dan
menghindari komplikasi. Reduksi caput femur segera dilakukan di hampir
semua kasus. Apabila ditunda, telah terbukti akan meningkatkan insidensi
osteonekrosis. Close reduction dengan sedasi atau anestesi harus
dilakukan di unit gawat darurat, kecuali jika ditemukan adanya fraktur
tulang panggul atau femur. Kasus seperti ini mungkin memerlukan close
reduction di ruang operasi dengan general anestesi atau open reduction
(Sanders et al, 2010).
Prioritaskan ABC pasien terlebih dahulu agar pasien dapat
distabilkan dengan tepat. Cedera terkait yang mengancam jiwa serta
kondisi komorbid harus ditangani secara memadai. Radiografi yang sesuai
harus diperoleh agar pola anatomi dapat diketahui dan dapat dipakai
sebagai panduan reposisi yang sesuai. Pasien harus dianestesi untuk
mengoptimalkan relaksasi otot dan mengontrol nyeri (Hogan, 2004).

Teknik hip reduction


Reduksi dislokasi panggul membutuhkan relaksasi otot dengan
sedasi maupun general anestesi sehingga obat-obatan dan alat observasi
yang tepat harus tersedia. Pasien harus memiliki akses intravena,
pemantauan jantung, pulsimetri, dan oksigen. Peralatan resusitasi yang
tepat harus mudah diakses dan pengobatan nyeri serta imobilisasi
diperlukan setelah panggul direduksi (Sanders et al, 2010).
a. Indikasi: hip reduction darurat sebaiknya dilakukan pada kasus
berikut
 Apabila dikaitkan dengan iskemia pada tungkai.
 Durasi dislokasi mendekati 6 jam.
 Perawatan ortopedi akan tertunda.
 Dikaitkan dengan cedera saraf.
b. Kontraindikasi: jika ada indikasi bedah langsung, closed
reduction dikontraindikasikan. Eksplorasi bedah diperlukan
apabila terdapat fraktur kepala atau femoral shaft dan
ditemukan fungsi saraf skiatik.
Pembedahan juga diindikasikan untuk dislokasi yang tidak
dapat direduksi (irreducible), ketidakstabilan persisten sendi
setelah reduksi, dan untuk setiap defisit neurovaskular pasca
reduksi (Hogan, 2004).
Closed reduction untuk Dislokasi Posterior
a. Allis Manuver
Pasien dalam posisi supinasi dengan operator berdiri di
atas tempat tidur pasien. Operator lalu akan melakukan in-line
traction pada tungkai dan memfleksikan lutut hingga 900
sementara asisten menstabilisasi pelvis ke tandu untuk counter
traction. Ekstensi pada tungkai dengan rotasi eksternal ketika
panggul tereduksi akan menyebabkan caput femur untuk
memasuki acetabulum. Suara “clunk” akan terdengar jika
reduksi berhasil (Dawson-Amoah et al., 2018; Waddell et al.,
2016).

Gambar 8. Allis Manuver

b. Bigelow Manuver
Pasien dalam posisi supinasi ketika operator
menggenggam tungkai dengan satu tangan dan menempatkan
tangan yang bebas di belakang lutut. Asisten akan melakukan
countertraction dengan mengaplikasikan tekanan ke bawah
pada anterosuperior spina iliaca. Operator akan
mengaplikasikan inline longitudinal traction dan memfleksikan
lutut pasien hingga 900. Ketika tungkai tereduksi, operator
akan melakukan ekstensi, abduksi, dan rotasi eksternal agar
caput femur bergerak ke acetabulum. Operator sebaiknya
berdiri di samping tempat tidur pasien pada saat melakukan
teknik ini (Dawson-Amoah et al., 2018).

Gambar 9. Bigelow Manuver

c. Captain Morgan Technique


Pasien posisi supinasi dan operator berdiri di sisi yang
sakit. Panggul difiksasi dan distabilkan pada tandu. Panggul
dan lutut pasien difleksikan hingga 900dan lutut operator
ditempatkan di bawah lutut pasien pada fossa poplitea.
Operator lalu akan menggenggam pergelangan kaki pasien
dengan satu tangan dan menempatkan tangan yang bebas di
bawah lutut, sehingga menerapkan kekuatan ke atas dengan
posisi plantar fleksi sampai panggul tereduksi (Dawson-Amoah
et al., 2018).
Gambar 10. Captain Morgan Technique

d. Stimson Gravity Manuver


Pasien dalam posisi pronasi dan panggul serta lutut fleksi
900 pada tepi tempat tidur. Asisten menstabilisasi pelvis dan
operator menggenggam lutut dan pergelangan kaki serta
memberi tekanan ke bawah pada tungkai ke arah distal lutut
hingga tungkai tereduksi. Operator bisa melakukan rotasi
internal dan eksternal untuk membantu reduksi. Teknik ini
perlu dilakukan dengan hati-hati, sehingga airway pasien dalam
posisi pronasi yang sedang disedasi harus terus dipantau
(Dawson-Amoah et al., 2018).

Gambar 11. Stimson Gravity Manuver


e. Lateral Traction Method
Ketika pasien dalam posisi supinasi, asisten akan
membalutkan kain atau tangan mereka di sekitar paha bagian
dalam pasien. Operator akan memberikan tekanan secara
longitudinal sepanjang femur dengan lutut ekstensi sementara
asisten menarik kain untuk memberi traksi lateral. Ketika
tungkai tereduksi, rotasi internal bisa digunakan apabila perlu
(Dawson-Amoah et al., 2018).

Gambar 12. Lateral Traction Method

Closed Reduction untuk Dislokasi Anterior


a. Allis Leg Extension Method
b. Reverse Bigelow Method
c. Lateral Traction Method
d. Stimson Gravity Method
Pada dislokasi anterior, dilakukan reposisi seperti pada dislokasi
posterior. Tetapi, pada saat fleksi dan tarikan pada dislokasi posterior,
sebaliknya dilakukan adduksi pada dislokasi anterior (Dawson-Amoah et
al., 2018; Waddell et al., 2016).
Open Reduction
Jika closed reduction gagal, open reduction diindikasikan. Indikasi
dari open reduction termasuk panggul yang telah mengalami dislokasi
untuk jangka waktu yang lama, ketidakmampuan untuk mencapai sedasi
yang memadai dan aman di IGD, dislokasi yang tidak dapat direduksi,
fraktur caput femoris atau batang femur, dan ketidakstabilan persisten atau
redislokasi setelah penatalaksanaan.
Dislokasi panggul posterior yang tidak tereduksi dapat diterapi
dengan pendekatan Kocher-Langenbeck, dimana dokter bedah mengakses
struktur posterior acetabulum dengan membatasi spina iliaca posterior
superior, trochanter mayor, dan batang femur. Dislokasi panggul anterior
dapat diterapi dengan pendekatan Smith-Petersen atau Watson-Jones
dimana dokter bedah akan mengakses struktur anterior acetabulum dengan
membatasi spina iliaca anterior superior, trochanter mayor, dan batang
femur. Pada kasus dislokasi prostetik, pendekatan bedah sebelumnya harus
dipertimbangkan sekaligus kenyamanan dokter bedah dengan pendekatan
tersebut (Dawson-Amoah et al., 2018).

2.2.8 Komplikasi
a. Komplikasi dini
 Kerusakan nervus skiatik
Kerusakan nervus ini biasanya dapat pulih. Apabila lesi terjadi
sesudah reposisi, maka perlu dilakukan eksplorasi saraf.
 Kerusakan pada caput femur
Dislokasi sering menyebabkan caput femur menabrak acetabulum
hingga pecah.
 Kerusakan pada pembuluh darah
Pembuluh darah yang sering terlibat adalah a. gluteal posterior.
Jika curiga terjadi robekan pembuluh darah, maka perlu dilakukan
arteriogram.
 Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur seringkali didapatkan pada dislokasi
panggul. Apabila pada fraktur tersebut, femur proksimal ditemukan
dalam keadaan adduksi, perlu dicurigai adanya dislokasi panggul.
Sebaliknya dilakukan pemeriksaan radiologi pada sendi atas dan
bawah area fraktur (Rasjad, 2015).
b. Komplikasi lanjutan
 Nekrosis vascular
10% dari dislokasi panggul akan menyebabkan kerusakan
pembuluh darah. Apabila reposisi ditunda sampai beberapa jam,
insiden akan meningkat 40%. Kelainan ini biasanya dideteksi
setelah 6 bulan hingga 2 tahun dan dengan pemeriksaan radiologi
akan ditemukan fragmentasi, sklerosis, dan pembentukan kista.
 Miositis osifikans
 Dislokasi yang tidak dapat direduksi
Hal ini bisa terjadi jika reduksi ditunda beberapa hari dan reposisi
sulit untuk dilakukan.
 Osteoarthritis
Osteoarthritis terjadi akibat adanya kerusakan tulang rawan,
terdapat fragmen fraktur dalam ruang sendi atau adanya nekrosis
iskemik caput femur (Rasjad, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Blom, A., David, W., Whitehouse, M.R., 2018. Apley & Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma Tenth Edition. Taylor Fr. Group, LLC.

Dawson-Amoah, K., Raszewski, J., Duplantier, N., Waddell, B.S., 2018.


Dislocation of the hip: A review of types, causes, and treatment. Ochsner J.
18, 242–252. https://doi.org/10.31486/toj.17.0079

Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.., 2018. Gray’s Basic Anatomy 2nd
Edition 2018, Elsevier.

Mandell, J.C., Marshall, R.A., Weaver, M.J., Harris, M.B., Sodickson, A.D.,
Khurana, B., 2017. Traumatic hip dislocation: What the orthopedic surgeon
wants to know. Radiographics 37, 2181–2201.
https://doi.org/10.1148/rg.2017170012

Waddell, B.S., Mohamed, S., Glomset, J.T., Meyer, M.S., 2016. A detailed review
of hip reduction maneuvers: A focus on physician safety and introduction of
the Waddell technique. Orthop. Rev. (Pavia). 8, 10–15.
https://doi.org/10.4081/or.2016.6253

Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit
Buku Kedoktern EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai