Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

KOLELITIATIS

Oleh:
FITRI CHINTIYANI
21360068

PRECEPTOR:
dr. Irfansyah, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD JEND. AHMAD YANI KOTA METRO
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I
DATA PASIEN.........................................................................................................................3
1.1 Identitas..........................................................................................................................3
1.2 Anamnesis......................................................................................................................3
1.3 Pemeriksaan Fisik..........................................................................................................4
1.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................6
1.1 Diagnosis Banding.........................................................................................................7
1.2 Diagnosis Kerja..............................................................................................................7
1.3 Penatalaksanaan.............................................................................................................7
1.4 Prognosis........................................................................................................................8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................11
2.1 Definisi.........................................................................................................................11
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko...........................................................................................11
2.3. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu.....................................................................12
2.4. Tipe Batu Empedu.........................................................................................................13
2.5. Patogenesis....................................................................................................................14
2.6. Manifestasi Klinis..........................................................................................................15
2.7. Diagnosis.......................................................................................................................15
2.10. Kompikasi....................................................................................................................18

BAB III
KESIMPULAN.......................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
DATA PASIEN

1.1 Identitas
Nama : Rosita Dewi
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir / Umur : 16/8/1996 ( 24 tahun)
Status : Menikah
Alamat : Karang Rejo RT 044 RW 011 Metro, Lampung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 412199
Datang ke RS : 20 Agustus 2021

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Bedah tanggal 21 Agustus 2021 pukul 11.00
WIB secara autoanamnesis.

1. Keluhan Utama
Os mengatakan nyeri perut.
2. Keluhan Tambahan :
Nyeri perut daerah ulu hati dan perut bagian kanan atas menjalar hingga
ke punggung, nyeri bersifat hilang timbul. Terasa mual, pusing, sedikit sesak,
pandangan terkadang berkunang-kunang, BAK kuning keruh, anoreksia.

3. Riwayat Perjalanan Penyakit ( Kronologis)


Keluhan telah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu pada saat os mengandung
anak kedua di usia kehamilan 7 bulan. Awal mulanya os mengira sakit perut
karena kehamilan. Akan tetapi, nyeri perut masih dirasakan os meskipun
sudah melahiran bahkan sampai saat ini. Pasien sudah berobat ke RS Mardi
Waluyo dan melaksanakan USG dan didapatkan hasil terdapat batu pada
kandung empedu. Pada saat di RS Mardi Waluyo os telah diberikan obat dan
keluhan sedikit mereda. Akan tetapi setelah obat habis os masih merasakan

3
sakit. Pada tanggal 19 agustus os datang ke RS Islam Metro dan dirawat inap
2 hari. Setelah itu os di rujuk ke RSUD AY untuk dijadwalkan CT Scan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat sakit serupa (-)
b. Riwayat hipertensi (-)
c. Riwayat DM (-)
d. Riwayat asma (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa (-)
b. Riwayat hipertensi (-)
c. Riwayat DM (-)
d. Riwayat asma (-)

6. Riwayat Sosial/Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus 2 orang anak.
Kebiasaan merokok dan konsumsi alcohol disangkal. Pasien makan dengan
teratur dan mempunyai kebiasaan minum kopi 1-2 kali per harinya.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1. Status Pasien
A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
B. Kesadaran : Composmentis
C. Tanda Vital
a). TD : 120/80 mmHg
b). HR : 67 x/menit
c). RR : 20 x/menit
d). T : 36,6 oC
e). SpO2 : 98%
D. BMI (Body Mass Index)
Berat Badan : 59 Kg
Tinggi Badan : 165 Cm (1,65m)
BMI : 23,8

2. Status Generalis
A. Kepala
a). Kepala
Bentuk : Normochepal
Rambut : Warna kehitaman
Jejas / kemerahan : Tidak ditemukan

b).Mata
Konjungtiva anemis : (-/-) / Tidak ditemukan kelainan
Sklera Ikterik : (-/-) / Tidak ditemukan kelaianan
Reflek cahaya : (+/+) / Tidak ditemukan kelainan
Pupil : Isokor
c). Hidung
Lubang hidung : Simetris / Tidak ditemukan kelainan
Jejas / Kemerahan : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Sekret : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Epistaksis : (-) / Tidak ditemukan kelainan
d).Telinga
Bentuk : Normotia
Jejas / Kemerahan : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Sekret / Cairan : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Serumen : (-) / Tidak ditemukan kelainan
e). Mulut
Bentuk : Simetris / Tidak ditemukan kelainan
Deviasi : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Atrofi Lidah : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Bibir Pucat : (-) / Tidak ditemukan kelainan
Gusi berdarah : (-) / Tidak ditemukan kelainan

B. Leher
Bentuk : Normal / Tidak ditemukan kelainan
Pembesaran KGB : (-) / Tidak ditemukan kelainan

C. Thorak
Paru
Inspeksi : Dada Simetris, Jejas / Kemerahan (-), Lesi (-),
Retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-), Massa / tumor (-), Gerakan dinding
dada simetris kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis
sinistra
Perkusi : Normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II regular, bising jantung (-)

D. Abdomen
Inspeksi : Datar. Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan region hipokondrium dextra (+),
massa / tumor (-)
Perkusi : Timpani (+), shifting dullnes (-)
E. Ekstremitas
Superior : Jejas / Kemerahan (-), Tumor (-), Massa (-),
Ikterik (-)
Inferior : Jejas / Kemerahan (-), Tumor (-), Massa (-),
Ikterik (-)

F. Status Neurologis
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4 V5 M6 = 15
1.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hematologi Rutin
Leukosit L 4.32 103/µL 5 - 10
Eritrosit 4.04 106/µL 4.37 – 5.63
L 11.0 g/dL 14 - 18
Hemoglobin
L 36.3 % 41 - 54
Hematokrit
MCV 85.5 fL 80 - 92
L 31.0 pg 27 - 31
MCH
MCHC 199 g/dL 32 - 36
Trombosit H 191 103/µL 150 - 450
RDW 14.7 % 12.4 - 14.4
MPV 8.40 fL 7.3 – 9
Hemostatis
Masa Perdarahan (BT) 2’00” menit 1’00” – 6’00”
Masa Pembekuan (CT) 12’00” menit 9’00” – 15’00”

Kimia Klinik
Bilirubin Total H 3.78 mg/dL <1
Bilirubin Direk H 2.91 mg/dL < 0.25
Bilirubin Indirek H 0.87 mg/dL < 0.75
Glukosa Darah Sewaktu 86.6 mg/dL <140
Ureum L 11.8 mg/dL 15 – 40
Kreatinin 0.74 mg/dL 0.6 – 1.1
IMUNOLOGI
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
b. Pemeriksaan USG
Kesan:
 Cholelithiasis multiple ( ukuran lk 4 mm)
 USG Hepar, limpa, pancreas, ginjal, kanan kiri, VU, tak tampak
kelainan.

1.1 Diagnosis Banding


Kolelitiasis
Kolesistitis
Koledokolitiasis

1.2 Diagnosis Kerja


Kolelitiasis

1.3 Penatalaksanaan
Tindakan Operatif: Kolesistektomi

1.4 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad Bonam


Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk dalam kandung empedu disebut

kolesistolitiasis. Batu yang terbentuk pada common bile duct (CDB) atau saluran

empedu disebut disebut koledokolitiasis. Kasus ini cukup sering terjadi dengan

prevalensi 11-36% pada laporan autopsi (tanto, et al., 2014).

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada keduanya. Sebagian

besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu

(Sjamsuhidayat, et al., 2007).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya. Prevalensi batu

empedu terkait dengan banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, dan latar

belakang ernik. Kondisi tertentu mempengaruhi perkembangan batu empedu.

Obesitas, kehamilan, faktor diet, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal, operasi

lambung, sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan talasemia semuanya

berhubungan dengan peningkatan risiko batu empedu. Faktor risiko kolelitiasis

dikenal dengan “6F” (Fat, Female, Forty, Fair, Fertile, Family, History) (Fabyan, et

al., 2017). Wanita tiga kali lebih mungkin mengembangkan batu empedu daripada

pria, dan kerabat tingkat pertama pasien dengan batu empedu memiliki risiko dua

kali lipat lebih besar (Charles Bunicardi, et al., 2015).


2.3. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu

Kandung empedu adalah kantung berbentuk buah pir, panjang sekitar 7

sampai 10 cm, dengan kapasitas rata-rata 30 sampai 50 ml. Ketika obstruksi, kandung

empedu dapat distensi dan berisi hingga 300 ml (Charles Bunicardi, et al., 2015).

Kandung empedu terletak di fossa pada permukaan inferior hati. Sebuah garis

dari fossa ini ke vena cava inferior membagi hati menjadi lobus hati kanan dan kiri.

Kantong empedu dibagi menjadi empat bidang anatomi: fundus, corpus (tubuh),

infundibulum, dan leher. Fundus adalah bulat, akhirnya yang biasanya meluas 1 sampai

2 cm di atas margin hati. Berisi sebagian besar otot polos organ, berbeda dengan

corpus, yang merupakan tempat penyimpanan utama dan berisi sebagian besar jaringan

elastis. Tubuh memanjang dari fundus dan mengecil ke leher, daerah berbentuk corong

yang menghubungkan dengan duktus sistikus. Leher biasanya mengikuti kurva lembut,

konveksitas yang dapat diperbesar untuk membentuk infundibulum atau kantong

Hartmann. Leher terletak di bagian terdalam dari fossa kandung empedu dan meluas ke

bagian bebas dari ligamen hepatoduodenal (Charles Bunicardi, et al., 2015).

Lapisan peritoneum yang sama yang meliputi hati meliputi fundus dan

permukaan inferior kantong empedu. Kadang-kadang, kandung empedu memiliki

penutup peritoneal lengkap dan ditangguhkan dalam mesenterium dari permukaan

rendah hati, dan jarang, itu tertanam jauh di dalam parenkim hati (sebuah kantung

empedu intrahepatik) (Charles Bunicardi, et al., 2015).

Kantong empedu dilapisi oleh satu, sangat dilipat, epitel kolumnar tinggi yang

mengandung kolesterol dan lemak gelembung-gelembung. Lendir disekresikan ke

kandung empedu berasal dari kelenjar tubuloalveolar ditemukan di mukosa yang

melapisi infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi absen dari tubuh dan fundus.
Lapisan epitel kandung empedu didukung oleh lamina propria. Lapisan otot memiliki

serat longitudinal dan melingkar miring, tapi tanpa lapisan berkembang dengan baik.

Subserosa perimuskular mengandung jaringan ikat, saraf, pembuluh, limfatik, dan

adiposit. Hal ini ditutupi oleh serosa kecuali kantong empedu tertanam dalam hati.

Kantong empedu berbeda histologis dari saluran pencernaan dalam hal ini tidak

memiliki mukosa muskularis dan submukosa (Charles Bunicardi, et al., 2015).

Gambar 2.1. Anatomi Hepar


Gambar 2.2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu

Empedu di sekresi oleh sel hepar ke dalam ductulus biliaris yang bersatu

menjadi ductulus biliaris interlobularis yang bergabung untuk membentuk ductus

hepaticus dexter dan ductus hepaticus sinister. Ductus hepaticus dexter menyalurkan

empedu dari lobus hepatis dexter, dan ductus hepaticus sinister menyalurkan empedu

dari lobus hepatis sinister, termasuk lobus caudatus dan hampir seluruh lobus

quadratus. Setelah melewati porta hepatis, kedua ductus hepaticus bersatu untuk

membentuk ductus hepaticus communis. Dari sebelah kanan ductus cysticus bersatu

dengan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledochus (biliaris)

yang membawa empedu ke dalam duodenum ( Moor KL, et al., 2002).

Ductus choledochus berawal di sisi bebas omentum minus dari persatuan

ductus cysticus dan ductus hepaticus communis. Ductus choledochus melintas ke

kaudal di sebelah dorsal pars superior duodenum dan menempati alur pada permukaan

dorsal caput pancreatic. Disebelah kiri bagian duodenum yang menurun, ductus
choledochus bersentuhan dengan ductus pancreaticus. Kedua ductus ini melintas miring

melalui dinding bagian kedua duodenum, lalu bersatu membentuk ampulla

hepatopancreatica. Ujung distal ampulla hepatopancreatica bermuara ke dalam

duodenum melalui papilla duodeni major. Otot yang terdapat pada ujung distal ductus

choledochus menebal untuk membentuk musculus sphinter ductus choledochi. Jika

musculus sphinter ductus choledochi mengkerut, empedu tidak dapat memasuki ampula

hepatopancreatica dan atau duodenum, maka empedu terbentdung dan memasuki

ductus cysticus ke dalam vesica biliaris untuk dipekatkan dan disimpan ( Moor KL, et

al., 2002).
Gambar . Anatomi Kandung Empedu, Vesica biliaris (fellea), saluran empedu.

2.1 Fisiologi

Fungsi kandung empedu, yaitu :

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di

dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini

adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.

b. Garam empedu menyebabkan meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan

vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus.

Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi

bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu

(Charles Bunicardi, et al., 2015) dan (Price & Wilson, 2003).

Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan,

empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat

segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah memasuki ductus hepaticus,

empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung

empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam

anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat

dibandingkan empedu hati.

Empedu disimpan didalam kandung empedu selama periode interdigestif dan

diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu

diatur oleh 3 faktor, yaitu :

1. Sekresi empedu oleh sel hati


2. Kontraksi kandung empedu

3. Tahanan sfingter koledokus

Dalam keadaaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke dalam

kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi

dan empedu mengalir ke duodenum.

Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormone duodenum, yaitu

kolesistokinin (CGK), yang merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CGK

telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan

maksimum terjadi dalam waktu 90 – 120 menit setelah konsumsi makanan.

Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organic, dan elektrolit, yang

normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu,

kolesterol, dan fosfolipid (Sjamsuhidajat, et al., 2007) dan (Charles Bunicardi, et

al., 2015)

Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu

dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum

memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu

berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan

bercampur dengan makanan.

Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,

berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang

berasal dari penghacuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu

merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya,

bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah
dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dari

empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.

Garam empedu kembali diserap ke dalam usus, disuling oleh hati dan dialirkan

kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.

Seluruh garam empedu didalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12

kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam

usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi

berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya

dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5 % dari asam empedu yang di sekresi ke

dalam feces (Charles Bunicardi, et al., 2015)

2.4. Tipe Batu Empedu

Kolelitiasis dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori mayor, yaitu:

1. Batu kolesterol (komposisi kolesterol >70%),

2. Batu pigmen coklat atau kalsium bilirubinate yang mengandung Ca-

bilirubinate sebagai komponen utama,

3. Batu pigmen hitam. (Setiawati, et al., 2014)

2.5. Patogenesis

Patogenesis batu kolesterol memiliki 3 faktor penting yaitu : a. Hiper

saturasi kolesterol dalam kandung empedu, b. Percepatan terjadinya kristalisasi

kolesterol dan c. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus. Hal ini

diperankan oleh mukosa dan fungsi motorik kandung empedu. Cara

mempertahankan kolesterol dalam larutan adalah pembentukan misel, kompleks


garam-fosfolipid-kolesterol empedu, dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Pada

keadaan produksi kolesterol berlebih, kemampuan teranspor kolesterol vesikel-

vesikel besar ini terlampaui sehingga terjadi presipitasi kristal. Adanya pigmen di

dalam inti batu berhubungan dengan isi kandung empedu pada stadium awal

pembentukan batu. Sedangkan patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi

saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet (tanto, et al., 2014) &

(Setiawati, et al., 2014).

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting

dalam pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa

hati penderita batu empedu kolesterol menyekresi empedu yang sangat jenuh

dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung

empedu (dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya) untuk membentuk

batu empedu (Price & Wilson, 2003).

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi

progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur tersebut.

Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi, atau keduanya

dapat menyebabkan terjadinya stasis. Faktor hormonal (terutama selama

kehamilan) dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu

dan menyebabkan tingginya insidensi dalam kelompok ini (Price & Wilson,

2003).

lnfeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan

batu. Mukus mening- katkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat

berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai

penyebab terbentuknya batu empedu (Price & Wilson, 2003).

2.6. Manifestasi Klinis

Pada anamnesis, didapatkan setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung

empedu adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dyspepsia yang

kadang disertai intoleransi terhadap makanan berlemak.

Pada asimptomatik, keluhan berupa nyeri didaerah epigastrium, kuadran kanan atau

precordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih

dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri

kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul secara tiba-tiba.

Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, scapula, atau puncak bahu, disertai

mual dan muntah.

Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah

makan antacid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada

waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan

sehingga pasien menarik nafas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum

setempat (Murphy sign) (Sjamsuhidajat., et al., 2007)

Gejala empedu simtomatik utama yang terkait dengan batu adalah nyeri. Rasa sakit

adalah konstan dan peningkatan keparahan selama setengah jam pertama atau lebih dan

tipikal berlangsung selama 1 sampai 5 jam. Hal ini terletak di epigastrium atau kuadran

kanan atas dan sering menyebar ke punggung bagian atas kanan atau antara skapula.

Rasa sakit parah dan datang pada tiba-tiba, biasanya pada malam hari atau setelah

makan lemak. Hal ini sering dikaitkan dengan mual dan muntah kadang-kadang. Rasa
sakit adalah episodik. Pasien menderita serangan diskrit nyeri, antara yang mereka

merasa baik. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan ringan kuadran kanan atas nyeri

selama episode nyeri. Jika pasien sakit gratis, pemeriksaan fisik biasanya kategorinya

sekutu biasa-biasa saja. Nilai laboratorium, seperti jumlah dan fungsi hati WBC tes,

biasanya normal pada pasien dengan batu empedu dipersulit (Charles B. et al., 2015).

2.7. Diagnosis

Diagnosis batu empedu ditegakkan dari anamnesis pasien berupa F4 (Fat,

Female, Forty, Fertile), manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan

penunjang (USG, CT-scan, MRCP), Pemeriksaan Laboratorium (tanto, et al.,

2014). Didasarkan pada ultrasonografi yang dapat menunjukkan adanya batu

atau malfungsi kandung empedu. ERCP (endoscopic retrograde

cholangiopancreatography) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya batu

dalam duktus. Batu empedu dapat terlihat pada foto polos bila mangalami

kalsifikasi secara bermakna (Price & Wilson, 2003).

2.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan

pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi

leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan

bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum

yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase
alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap

setiap kali terjadi serangan akut.1

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan

foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau

hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran

kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.1

Gambar. Foto rongent pada kolelitiasis

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

USG akan menunjukkan batu di kandung empedu dengan sensitivitas dan

spesifisitas > 90 %. Terdapat batu dengan bayangan akustik dan mencerminkan

gelombang ultrasound kembali ke transduser ultrasonik. Karena batu memblokir bagian


dari gelombang suara ke daerah belakang dan menghasilkan bayangan akustik (Charles

B. et al.2015)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun

ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal

karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu

yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh

udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung

empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa (Sjamsuhidajat et al.,

2007)

Gambar 7. USG Kandung Empedu Normal

Terlihat kontur, besar dan batas yang normal, dinding tidak menebal. Terletak diantara

parenkim hati lobus kanan pada fossa vesika felea. Ekocairan homogen
Gambar . Kolelitiasis terlihat hiperekoik dengan bayangan akuistik di bawahnya

4. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan

hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu

(Sjamsuhidajat et al., 2007)

2.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan batu empedu simtomatik harus disarankan

untuk memiliki elektif kolesistektomi laparoskopi. Sambil menunggu operasi, atau jika

operasi harus ditunda, pasien harus disarankan untuk menghindari lemak makanan dan

makanan besar. Pasien diabetes dengan batu empedu simtomatik harus memiliki

cholecystectomy segera, karena lebih rentan untuk mengembangkan cholesistitis akut


yang sering parah. Wanita hamil dengan batu empedu simtomatik yang tidak dapat

dikelola harap dengan diet modifikasi dapat dengan aman menjalani kolesistektomi

laparoskopi selama trimester kedua. Kolesistektomi laparoskopi aman dan efektif pada

anak-anak dan dewasa, kolesistektomi, laparoskopi terbuka, untuk pasien dengan batu

empedu yang simptomatik. Sekitar 90 % dari pasien dengan gejala khas empedu dan

batu tersebut diberikan bebas dari gejala setelah kolesistektomi. Untuk pasien dengan

gejala atypikal atau dispepsia (kembung, bersendawa, kembung, dan intoleransi lemak

dari makanan), hasilnya tidak seperti yang menguntungkan ( Charles B., et al., 2015)

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi

makanan berlemak.

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun

telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan

kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan

kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan

makanan (Sjamsuhidajat, et al., 2007)

Pilihan penatalaksanaan antara lain :

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga

kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi

adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas

yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum

untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan

sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%

batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko

kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan

mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat

melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,

nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah

kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera

duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi

laparaskopi.

3. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan

adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi

hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.

Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan

bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat

ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu
empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus

memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <

20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik

paten.

4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten

(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang

diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada

pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka

kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat

pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien

yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

Gambar. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


6. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,

lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam

saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada

sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang

menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah

berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita

yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih

aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan

pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya

telah diangkat.

Gambar . Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


2.10. Kompikasi

a. Kolestitis Akut

Batu empedu adalah penyebab paling umum ditandai dengan kolik bilier

akibat obstruksi duktus sistikus. Apabila berlanjut, kansung empedu mengalami

distensi, inflamasi dan edema. Dengan gejala dan tanda Mual, demam, muntah.

Nyeri kuadran kanan atas menjalar di bawah tulang rusuk ke skapula kanan.

Tanda Murphy positif. Dari pemeriksaan Laboratorium ditemukan leukositlsis

ringan, peningkatan bilirubin, alkali fosfatase, transaminase, dan amilase

(Raftery, et al., 2011)& (tanto, et al., 2014).

b. Kolesistitis Kronis

Inflamasi dengan episode kolik bilier atau nyeri dari obstruksi duktus

sistikus berulang mengacu pada kolesistitis kronis. Pemeriksaan Laboratorium

biasanya normal (Raftery, et al., 2011).

c. Kolik Bilier

Ini adalah gejala daripada komplikasi batu empedu. Hal ini dihasilkan oleh

impaksi batu di leher kandung empedu atau di duktus sistikus. Batu bisa jatuh

kembali ke kantong empedu atau melewati duktus sistikus, di mana rasa sakitnya

mereda. Gejala dan tanda. Onset tiba-tiba nyeri hebat di epigastrium. Spasme

kolik yang parah dengan latar belakang rasa sakit yang parah terus menerus.

Pasien berguling kesakitan dan tidak bisa mendapatkan posisi yang nyaman.

Takikardia, berkeringat, dan muntah. Pemeriksaan dapat mengungkapkan

kekakuan di perut bagian atas (hati-hati membuat diagnosis peritonitis - pada

peritonitis pasien tidak berguling tetapi tetap diam). Serangan dapat berlangsung
2-4 jam. Setelah serangan, penyakit kuning dapat terjadi karena batu yang lewat

berdampak pada Kantung empedu (Raftery, et al., 2011).

d. Mukokel (Mukus / lendir di kantong empedu)

e. Ekpiema (Pus di kantong empedu)

f. Perforasi kantong empedu

Ini jarang terjadi dan biasanya muncul sebagai peritonitis bilier umum atau

kebocoran nanah dari empiema perforasi. Peritonitis bilier yang terinfeksi

memiliki mortalitas yang tinggi terutama karena kondisi ini paling sering terjadi

pada orang tua (Raftery, et al., 2011).

g. Karsinoma

h. Kolangitis

Ini adalah kondisi serius yang disebabkan oleh obstruksi bilier lengkap atau

parsial yang berhubungan dengan infeksi asendens pada percabangan bilier. Ini

mungkin diperumit oleh septikemia dan abses hati. Gejala dan tanda adalah

demam, kekakuan, penyakit kuning (triad bilier Charcot). Dari pemeriksaan

laboratorium dapat ditemukan leukositosis, hiperbilirubinemia, dan penongkatan

alkali fosfatase serta transminase (Raftery, et al., 2011).

i. Ileus batu empedu

j. Jaundis obstruksi
BAB III

KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung

empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar batu

empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (Sjamsuhidayat,

et al., 2007).

Penyebab Kolelitiasis belum diketahui, tetapi mempunyai faktor risiko dikenal

dengan “6F” (Fat, Female, Forty, Fair, Fertile, Family, History) (Fabyan, et al., 2017).

Batu empedu juga memiliki 3 jenis batu yaitu : batu koleterol, batu pigmen coklat dan

batu pigmen hitam (Setiawati, et al., 2014). Gejala klinis kebanyakan bersifat asintomatis

namun ada sebagian mengalami gejala kolik bilier akibat batu menyumbat duktus

sistikus. Penderita batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis (Price

& Wilson, 2003).

Diagnosis batu empedu ditegakkan dari anamnesis pasien berupa F4 (Fat, Female,

Forty, Fertile), manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang (USG,

CT-scan, MRCP), Pemeriksaan Laboratorium (tanto, et al., 2014). Untuk pengobatannya

ada pengobatan parilatif dan pembedahan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Charles Bunicardi, F. et al., 2015. Schwartz's Principles Of Sugery. X penyunt. s.l.:Mc


Graw Hill Education.

Fabyan, Dhilion, H. R., Ndraha, S. & Tendean, M., 2017. Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Jurnal Kedokteran Meditek , pp. 50-56.

Grigor’eva , I. N. & Romanova, T. I., 2020. Gallstone Disease and Microbiome.


Microorganisms, pp. 1-16.

Price, S. A. & Wilson, L. M., 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. 6 penyunt. Jakarta: buku kedokteran EGC.

Raftery, A. T., Delbridge, M. S. & Wagstaff, M. J. D., 2011. Sugery. IV penyunt.


s.l.:Elsevier.

Rakotomena, S. D. et al., 2019. Epidemiology and Risk Factor of the Gallstone Disease
in a Southern Topical Country. European Journal of Clinical and
Biomedical Sciences, 5(6), pp. 73-78.

Setiawati, S. et al., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI penyunt. Jakarta: Interna
Publishing.

Sjamsuhidayat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. & Rudiman, R., 2007. Buku
Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-De Jong. III penyunt. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Tanto, c., liwang, f., hanifati, s. & pradipta, e. a., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. IV
penyunt. Jakarta Pusat: Media Aesculaplus.

Moore KL, Anne MR. 2002. Anatomi klinis dasar. Jakarta : Hipokrates.; Hal 122 -123

Anda mungkin juga menyukai