Disusun oleh:
dr. Anggrit Fatoni Febrian Marsin
Pembimbing:
dr. Rosalia Th. D. Beyeng, Sp.A, M.Sc
Laporan Kasus
Program Dokter Internship Indonesia Tahun 2023
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Lewoleba
Disusun oleh:
ii
DAFTAR ISI
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).1
diduga multifaktorial. Kejang demam dapat terjadi karena kerentanan otak yang
imatur dan dalam masa perkembangan yang pesat terhadap kejadian demam, serta
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar
30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang
demam berulang.3
Indonesia, 2019). Oleh karena itu, sebagai lulusan dokter diharapkan mampu untuk
mandiri tuntas.4. Oleh sebab itu, penulis mengangkat topik ini agar dapat merefresh
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas
A. Penderita
Nama : An. SSL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat & tanggal Lahir : Lamahora 18 Juli 2021
Umur : 1 tahun 11 bulan
B. Orangtua
Nama ayah : Tn. FNL Nama ibu : Ny. KP
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat asal : Lamahora
II. Anamnesis
Aloanamnesis dengan ibu kandung penderita pada tanggal 3 Juni 2023 pukul
13.00 WITA.
Pasien dibawa oleh kedua orang tuanya dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali.
Kejang pertama terjadi 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang didahului dengan
keluhan demam. Kejang pertama durasi 1 menit, dengan mata mendelik ke atas,
dan kaki tangan menghentak. Saat kejang, anak tidak merespon saat dipanggil.
Sebelum kejang, anak sadar. Setelah kejang, anak tertidur. Kejang kedua terjadi 30
3
menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung selama kurang lebih 1
Demam dirasakan terus menerus tetapi ibu pasien tidak mengukur suhunya. Pasien
sempat diberikan obat penurun panas untuk mengurangi keluhan demam tersebut.
Demam tidak disertai menggigil. Pasien tidak ada Riwayat berpergian sebelumnya.
Orang tua pasien menyangkal adanya keluarga yang menderita COVID-19. Orang
tua juga mengaku bahwa anak tidak ada vaksin dalam 1 bulan terakhir. Keluhan
lain seperti batuk, pilek, sesak napas, mual, muntah, BAB cair, penurunan
o Pasien memiliki riwayat kejang demam pada usia 11 bulan. Saat itu pasien
batuk pilek dan kejang demam dengan durasi serta jenis kejang yang sama
dengan saat ini. Kejang berhenti sendiri dan orang tua hanya memberikan obat
penurun panas.
SMRS saat ini karena batuk pilek. Pengobatan yang dilakukan berupa
nebulisasi, dan pemberian obat minum berupa penurun panas dan obat batuk.
5. Riwayat Antenatal
o Ibu rutin ANC sejak usia kehamilan 3 bulan, 11 kali (6 kali di bidan, 3 kali USG
di dokter).
o Ibu pasien mengaku saat hamil tidak pernah mengalami demam lama, nyeri
o Ibu rutin mengkonsumsi tablet tambah darah dan vitamin yang diberikan.
o Setiap hari ibu makan 3-4x sehari, dengan lauk pauk dan sayur, setiap kali
6. Riwayat Kelahiran
menangis kuat, tidak biru, gerakannya aktif, berat 2.800 gram, dan panjang badan
7. Riwayat Perkembangan
Tiarap : 4 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Pasien saat dilakukan pemeriksaan sudah berusia 2 tahun aktif bergerak dan
8. Riwayat Imunisasi
Polio 0 2 3 4 -
Hepatitis B 0 2 3 4 -
DPT 2 3 4 -
MR 9 -
9. Riwayat Makanan
• Sejak lahir anak diberikan susu formula akibat puting payudara ibu tidak keluar.
• Pada usia 7 bulan anak diberikan MPASI berupa bubur sun terkadang bubur
• Saat ini pasien diberikan makanan dewasa sebanyak ½ porsi dewasa sebanyak
Perempuan
Laki-Laki
Sakit
1 tahun 11
4. An. SSL L Sakit
bulan
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien tinggal serumah
dengan orangtua dan saudaranya. Ayah pasien merokok dan sering merokok di
rumah. Pasien memiliki kebiasaan bermain di luar rumah yang banyak debu.
7
3. Tanda Vital
• Suhu : 39,1°C
• Respirasi : 32x/menit
4. Antropometri
Berat Badan : 11 kg
Panjang Badan : 90 cm
Lingkar kepala : 49 cm
a. Dinding dada/Paru
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
9
b. Jantung
9. Ekstremitas
Neurologis : Gerakan aktif, tonus normal, atrofi otot tidak ada, klonus
A. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.1
Leukosit 10.4
Eritrosit 5.30
Hematokrit 37.3
Trombosit 174
RDW-CV 14.0
13
MCV 70.3
MCH 21.0
MCHC 29.8
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.9
Leukosit 10.8
Eritrosit 5.72
Hematokrit 38.3
Trombosit 174
RDW-CV 13.6
MCV 68.9
MCH 20.7
MCHC 31.0
MAKROSKOPIS URINE
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih
KIMIA URINE
PH 6
Leukosit Negatif
Nitrit Negatif
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Uribilinogen Negatif
Bilirubin Negatif
Darah Negatif
MIKROSKOPIS URINE
Sedimen 0 – 3 /LP
Leukosit 0 – 2 /LP
Eritrosit 0 – 1 /LP
Silinder Negatif
Kristal Negatif
Bakteri Negatif
15
V. Diagnosis
VI. Penatalaksanaan
VI. Prognosis
VII. Follow Up
BAB III
PEMBAHASAN
oleh IDAI, Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur
6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.1
• Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
berulang dalam 24 jam yang merupakan ciri dari kejang demam kompleks.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien adalah tidak dijumpai adanya
18
tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, tanda brudzinski dan tanda kernig
kerentanan dari perkembangan sistem saraf pusat akibat terjadinya demam, disertai
tersebut bukan berasal dari suatu proses intracranial, sebanyak 90% diakibatkan
sedangkan di Asia Virus Influenza A yang paling sering dikaitan dengan kejang
demam.5,6
Kejang demam juga dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi lain, seperti
saluran pernapasan atas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan
infeksi saluran cerna. Kejang demam diakibatkan karena respon otak yang belum
matang terhadap demam sehingga lebih mudah terjadi peningkatan eksitasi neuron.
Kejang demam yang dialami oleh pasien tidak diketahui secara pasti penyebabnya.
Namun pasien memiliki riwayat batuk pilek sejak 4 hari sebelum muncul demam.
Sehingga kemungkinan demam yang muncul pada pasien akibat adanya infeksi
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu
Suhu, Riwayat kejang demam dalam keluarga, Usia, Jenis kelamin, dan Berat
1. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8oC aksila
atau di atas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbul bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan
kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal
ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi
20
jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb normal,
satu molukul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi
menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi, hal
ini akan menggangu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel
g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat
dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
semakin meningkatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke
dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan
mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+
sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu
demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 10,11
fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang
demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40-
56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11%
pendenta dan sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di
2. Faktor Usia
pemantapan dan peletakan neuron pada korteks, 3) Pembentukan cabang neurit dan
dan diferensiasi sel glia. Pada fase proses diferensiasi dan pemantapan neuron di
reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada fase proses
sinapsis terjadi proses kematian sel terprogram / apoptosis dan plastisitas. Sinapsis
yang dieliminasi berkisar 40 %. Proses ini disebut proses regresif. Sel neuron
yang tidak terkena pada proses kematian sel terprogram akan mengalami
plastisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila pada masa
proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibatkan trauma pada
sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase
ergic dan desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi reseptor eksitator. Pada
keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator
22
padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga
bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis pada otak
belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan
pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai
dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan
inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa
dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada usia akhir masa
Jenis kelamin dimana kejang demam lebih sering terjadi oleh anak aki-laki
perempuan 45%.11,12
23
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai nsiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan
apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat
riwayat pemah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya
9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27%
berbanding 7%.10,11
kalium. Chanelopathi adalah defek dari ion chanel yang bersifat genetik, dimana
yang sifatnya umum saja, mudah sekali pada tingkatan tertentu berubah menjadi
distress.9,11
24
5. BBLR
Bayi yang lahir dengan kondisi BBL rendah dapat menimbulkan beberapa
pasa periode perinatal. Pada bayi dengan kondisi asfiksia memungkinkan untuk
terjadi kerusakan fungsi eksitasi neuron. Sehingga dengan adanya riwayat tersebut
dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang demam. Dapat dilihat dari rusaknya
anak.11
meningkat dengan penurunan berat badan ketika lahir. Bayi yang mempunyai berat
badan lahir rendah,< 2500 gram 1,5 kali berisiko untuk menderita kejang demam.
Pada bayi yang lahir dengan berat badan 2500-2999 gram risikonya 1,3 kali dan
bayi yang lahir dengan berat badan 3000-3499 gram risiko 1,2 kali, sedangkan bayi
yang lahir dengan berat badan >3500 gram risiko untuk menderita kejang demam
sebesar 1 kali.13
Walaupun pengaruh genetik berperan penting pada anak dalam hal kemungkinan
25
temperatur dalam otak. Biasanya, kejang demam terjadi mengikuti infeksi yang
menyebabkan demam.11
dengan kejadian demam dan respon inflamasi akut27. Interleukin-1 (IL-1) sebagai
pyrogen endogen, dan lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai
kejang.14
sejumlah besar neuron, mengakibatkan aktivasi motorik lokal atau umum (kejang
otonom (air liur, berkeringat, vasodilatasi, piloereksi), atau kognitif atau emosional
kejadian kejang 15
27
Pasien memiliki riwayat kejang demam pada usia 11 bulan. Saat itu pasien
batuk pilek, demam lalu kejang dengan durasi serta jenis kejang yang sama dengan
saat ini. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
4) Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang, dan;
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
Dalam penegakan diagnosis kejang demam, pada anamnesis biasa pasien datang
sampai terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti tipe kejang, lama, frekuensi
pencetus atau penyebab kejang. Umumnya kejang demam terjadi pada anak dan
berlangsung pada permulaan demam akut. Sebagian besar berupa serangan kejang
klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post
iktal. Penting untuk ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang
cedera akibat kejang. Riwayat kejang demam dalam keluarga juga perlu
ditanyakan.16
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang
kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik,
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
perifer, elektrolit, dan gula darah.1 Pada ,pasien ini permerikasan darah lengkap
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12
bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.1
pemeriksaan klinis
29
Pada kasus ini pasien berumur 1 tahun 11 bulan dan secara klinis tidak
bangkitan bersifat fokal. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)
tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang
Diagnosis banding KD antara lain: (1) Menggigil karena demam tinggi, kondisi
ini dapat dibedakan dari KD, yaitu anak tetap sadar ketika menggigil.; (2) Febrile
syncope; (3) Breath holding attack: anak menahan napas untuk beberapa waktu
sehingga hilang kesadaran; (4) Reflex anoxic seizures: anak tiba-tiba lemas akibat
nyeri atau syok; (5) Demam yang mencetuskan kekambuhan kejang pada epilepsi;
(6) Infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis. Kejang demam yang
Oleh karena itu, tatalaksana terbagi 3: (1) Tatalaksana pada saat kejang, (2)
Terapi antipiterik.
30
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
umumnya. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
anak mengalami demam, untuk mencegah kejang. Saat ini banyak literatur tidak
tua, adanya kejang berulang dengan/tanpa kejang lama atau status epileptikus, serta
dipertimbangkan.2
diazepam oral atau rektal intermiten. Obat yang digunakan adalah diazepam oral
0,20,3 mg/kg/ kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12
kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/ kali.
diinformasikan pada orang tua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
pada kondisi`1,2,17::
(5) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
dosis yang cukup tinggi patut diwaspadai efeknya berupa sedasi, anak menjadi
tampak letargi dan mengantuk sehingga kadang sulit dibedakan dengan gejala
meningitis.2
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
1. Kejang fokal
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-
40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
Pasien ini menerima terapi berupa infus D5¼NS 1100 cc/24 jam, Inj.
Paracetamol 4x150 mg dan PO Pulvis Diazepam 3x3 mg. Infus D51/4NS diberikan
tubuh dan nutrisi dengan dosis 100cc/kgbb/24 jam. Pemberian diazepam pada
pasien ini sudah sesuai karena Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepin
yang dapat digunakan sebagai tatalksana untuk kejang akut. Diazepam akan
sehingga lebih mudah untuk membentuk ikatan. Diazepam oral dapat diberikan 3 x
selama pasien demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 4-6
jam. Pilihan lainnya adalah ibuprofen 5–10 mg/kg/kali, 3–4 kali sehari. Antipiretik
pada saat demam dianjurkan dengan diharapkan demam akan berkurang, walaupun
kejang demam. Meski demikian, para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan pada pasien kejang demam. Setelah dilakukan perawatan 2
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
baik.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan.
35
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus An. SSL umur 1 tahun 11 bulan yang di
rawat di Bangsal Anak RSUD Lewoleba sejak tanggal 2 Juni 2023 dengan
dan pemeriksaan fisik. Tatalaksana yang diberikan IVFD D51/4NS 1100 cc/24 jam,
DAFTAR PUSTAKA
8. Chris Tanto et al., 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-4. Jakarta:
Media Aesculapius. Hal 102-105.
11. Fuadi, dkk. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Sari
Pediatri; 2010;12(3): 142-9.
12. Rasyida Z, Astuti DK, & Purba C. V. Determinan Kejang Demam pada
Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 2019; 3:1.
37
14. Ji Yoon Han, Seung Beom Han. Pathogenetic and etiologic considerations
of febrile seizures. Clin Exp Pediatr.2023; 66(2):46–53
16. Tim Penulis. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. IDI. 2014.
19. Tim Editor. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
IDAI. 2009.
20. Tim Editor. Farmakologi dan terapi edisi 6. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2016.