Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

INTERNSIP LEMBATA JULI 2023

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Disusun oleh:
dr. Anggrit Fatoni Febrian Marsin

Pembimbing:
dr. Rosalia Th. D. Beyeng, Sp.A, M.Sc

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS DOKTER INTERNSIP


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LEWOLEBA
LEMBATA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus
Program Dokter Internship Indonesia Tahun 2023
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Lewoleba

Kejang Demam Kompleks

Disusun oleh:

dr. Anggrit Fatoni Febrian Marsin

Telah disahkan dan dipresentasikan di Forum Ilmiah pada


Hari Senin, 17 Juli 2023
di RSUD Lewoleba, Kabupaten Lembata.

Lewoleba, 17 Juli 2023


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Rosalia Th. D. Beyeng, Sp.A, M.Sc

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................................2

BAB III PEMBAHASAN KASUS ........................................................................17

BAB IV PENUTUP ...............................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................36

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,

dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses

intrakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana

(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).1

Mekanisme pasti yang mendasari KD belum diketahui, faktor penyebab

diduga multifaktorial. Kejang demam dapat terjadi karena kerentanan otak yang

imatur dan dalam masa perkembangan yang pesat terhadap kejadian demam, serta

berkaitan juga dengan faktor lingkungan dan genetik. 2

Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar

30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang

demam berulang.3

Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia,

kejang demam pada anak merupakan kompetensi 4A (Konsil Kedokteran

Indonesia, 2019). Oleh karena itu, sebagai lulusan dokter diharapkan mampu untuk

membuat diagnosa klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit ini secara

mandiri tuntas.4. Oleh sebab itu, penulis mengangkat topik ini agar dapat merefresh

wawasan mengenai definisi hingga penatalaksaan dari kejang demam.


2

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas
A. Penderita
Nama : An. SSL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat & tanggal Lahir : Lamahora 18 Juli 2021
Umur : 1 tahun 11 bulan
B. Orangtua
Nama ayah : Tn. FNL Nama ibu : Ny. KP
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat asal : Lamahora

II. Anamnesis

Aloanamnesis dengan ibu kandung penderita pada tanggal 3 Juni 2023 pukul

13.00 WITA.

1. Keluhan utama : Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa oleh kedua orang tuanya dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali.

Kejang pertama terjadi 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang didahului dengan

keluhan demam. Kejang pertama durasi 1 menit, dengan mata mendelik ke atas,

dan kaki tangan menghentak. Saat kejang, anak tidak merespon saat dipanggil.

Sebelum kejang, anak sadar. Setelah kejang, anak tertidur. Kejang kedua terjadi 30
3

menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung selama kurang lebih 1

menit dengan jenis kejang yang sama.

Keluhan kejang didahului dengan munculnya demam sejak 1 hari sebelumnya.

Demam dirasakan terus menerus tetapi ibu pasien tidak mengukur suhunya. Pasien

sempat diberikan obat penurun panas untuk mengurangi keluhan demam tersebut.

Demam tidak disertai menggigil. Pasien tidak ada Riwayat berpergian sebelumnya.

Orang tua pasien menyangkal adanya keluarga yang menderita COVID-19. Orang

tua juga mengaku bahwa anak tidak ada vaksin dalam 1 bulan terakhir. Keluhan

lain seperti batuk, pilek, sesak napas, mual, muntah, BAB cair, penurunan

kesadaran disangkal oleh orang tua pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

o Pasien memiliki riwayat kejang demam pada usia 11 bulan. Saat itu pasien

batuk pilek dan kejang demam dengan durasi serta jenis kejang yang sama

dengan saat ini. Kejang berhenti sendiri dan orang tua hanya memberikan obat

penurun panas.

o Pasien memiliki riwayat sering melakukan pengobatan di rumah sakit karena

batuk pilek. Pasien melakukan pengobatan di IGD RSUD Lewoleba 4 hari

SMRS saat ini karena batuk pilek. Pengobatan yang dilakukan berupa

nebulisasi, dan pemberian obat minum berupa penurun panas dan obat batuk.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

o Tidak ada riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga.


4

5. Riwayat Antenatal

o Ibu rutin ANC sejak usia kehamilan 3 bulan, 11 kali (6 kali di bidan, 3 kali USG

di dokter).

o Ibu pasien mengaku saat hamil tidak pernah mengalami demam lama, nyeri

BAK, tidak pernah dirawat di rumah sakit.

o Ibu rutin mengkonsumsi tablet tambah darah dan vitamin yang diberikan.

o Setiap hari ibu makan 3-4x sehari, dengan lauk pauk dan sayur, setiap kali

makan habis 1 piring.

6. Riwayat Kelahiran

Pasien dilahirkan di puskesmas secara persalinan pervaginam, bayi langsung

menangis kuat, tidak biru, gerakannya aktif, berat 2.800 gram, dan panjang badan

47 cm. Riwayat resusitasi aktif saat lahir disangkal

7. Riwayat Perkembangan

Tiarap : 4 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Pasien saat dilakukan pemeriksaan sudah berusia 2 tahun aktif bergerak dan

dapat diajak berkomunikasi.


5

8. Riwayat Imunisasi

Imunisasi dasar lengkap berdasarkan Imunisasi Rekomendasi IDAI 2020

Tabel 2.1 Riwayat Imunisasi An. SSL


Nama Dasar (umur dalam bulan) Ulangan (umur dalam bulan)
BCG 1 -

Polio 0 2 3 4 -

Hepatitis B 0 2 3 4 -

DPT 2 3 4 -

MR 9 -

9. Riwayat Makanan

• Sejak lahir anak diberikan susu formula akibat puting payudara ibu tidak keluar.

Susu formula diberikan 7-8x sehari sebanyak botol susu kecil.

• Pada usia 7 bulan anak diberikan MPASI berupa bubur sun terkadang bubur

nasi sebanyak 3x sehari.

• Saat ini pasien diberikan makanan dewasa sebanyak ½ porsi dewasa sebanyak

3x sehari dan habis.

• Terkadang orang tua memberikan cemilan seperti wafer dan buah.


6

10. Riwayat Keluarga

Perempuan
Laki-Laki

Sakit

Gambar 2.1 Genogram Keluarga An. SSL

Tabel 2.2 Susunan Keluarga An. SSL


No. Nama Umur L/P Keterangan
1. Tn. FNL 26 Tahun L Sehat

2. Ny. KP 23 Tahun P Sehat

3. An. ML 5 Tahun L Sehat

1 tahun 11
4. An. SSL L Sakit
bulan

11. Riwayat Sosial dan Lingkungan

Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien tinggal serumah

dengan orangtua dan saudaranya. Ayah pasien merokok dan sering merokok di

rumah. Pasien memiliki kebiasaan bermain di luar rumah yang banyak debu.
7

III. Pemeriksaan Fisik di IGD

Tanggal : 2 Juni 2023

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6

3. Tanda Vital

• Nadi : 161 kali/menit

• Suhu : 39,1°C

• Respirasi : 32x/menit

• SpO2 : 99% room air

4. Antropometri

Berat Badan : 11 kg

Panjang Badan : 90 cm

Lingkar kepala : 49 cm

5. Kulit : warna kulit sawo matang, pucat tidak ada, sianosis


tidak ada, turgor cepat kembali
6. Kepala/Leher

Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal dan terdistribusi merata,


tidak ada alopesia
Kepala : Normosefali, UUB belum menutup, tidak menonjol
Mata : Alis tebal dan bulu mata panjang, konjungtiva pucat (-),
sklera tidak ikterik, produksi air mata cukup, ptosis (-), pupil
diameter 3 mm/3 mm, isokor, RCL +/+, RCTL +/+, kornea
jernih, sekret tidak ada, sunset eyes appearance (-)
Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, epistaksis (-),
pernafasan cuping hidung tidak ada, sekret (-)
8

Telinga : Bentuk normotia, sekret tidak ada, serumen minimal, nyeri


tekan tidak ada
Mulut : Bentuk normal, bibir merah muda, sianosis (-), gusi
berdarah (-), gusi bengkak (-)
Lidah : Normoglosus, warna merah muda, tremor tidak ada, kotor
tidak ada, atrofi papil lidah tidak ada
Leher : Pulsasi vena jugularis teraba, tidak meningkat, pembesaran
KGB tidak ada, kaku kuduk tidak ada. massa tidak ada
7. Thoraks:

a. Dinding dada/Paru

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada retraksi dinding dada

Palpasi : fremitus fokal simetris kanan-kiri, gerak nafas simetris

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak

terdapat suara nafas tambahan

Vesikuler Vesikuler

Vesikuler Vesikuler

Vesikuler Vesikuler
9

b. Jantung

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis teraba di ICS 4 linea midclavicularis sinistra,

tidak ditemukan adanya thrill

Perkusi : Batas kanan: ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri: ICS IV linea midclavicularis sinistra

Batas atas: ICS II linea parasternalis sinistra

Auskultasi : S1-S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)


8. Abdomen

Inspeksi : Bentuk datar, distensi(-), massa(-), hernia(-), scar (-)

Auskultasi : Bising usus (+) 5-6x/menit

Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran hepar dan lien, tidak

teraba massa, nyeri tekan tidak ada

Perkusi : Timpani, tidak ada asites

9. Ekstremitas

Umum : Akral hangat, edema tidak ada, petekie tidak ada,

CRT <2 detik

Neurologis : Gerakan aktif, tonus normal, atrofi otot tidak ada, klonus

tidak ada, reflek fisiologis normal, reflek patologis tidak ada,

tanda meningeal tidak ada

10. Susunan Saraf kranialis :

NI : tidak dilakukan NVII : normal, wajah simetris

NII : refleks cahaya (+) NVIII : normal

NIII : normal NIX : normal


10

NIV : normal NX : normal

NV : normal NXI : normal

NVI : normal NXII : normal, deviasi lidah (-)

Refleks Patologis (-)

Refleks Fisilogis (+2/+2)

11. Genitalia : Laki-Laki, Hipospadia(-), Epispadia(-)

12. Anus : Paten, tidak ada massa, tidak ada hemoroid

13. Status Gizi

BB/U : Normal Weight

TB/U : Normal Height

BB/TB : Gizi Baik

Gambar 2.2 Grafik BB/U An. SSL


11

Gambar 2.3 Grafik TB/U An. SSL

Gambar 2.4 Grafik BB/TB An. SSL


12

Gambar 2.5 Grafik Lingkar Kepala An. SSL

IV. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 2.3 Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 2 Juni 2023


Pemeriksaan Hasil

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11.1

Leukosit 10.4

Eritrosit 5.30

Hematokrit 37.3

Trombosit 174

RDW-CV 14.0
13

MCV, MCH, MCHC

MCV 70.3

MCH 21.0

MCHC 29.8

Tabel 2.4 Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Juni 2023


Pemeriksaan Hasil

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11.9

Leukosit 10.8

Eritrosit 5.72

Hematokrit 38.3

Trombosit 174

RDW-CV 13.6

MCV, MCH, MCHC

MCV 68.9

MCH 20.7

MCHC 31.0

MAKROSKOPIS URINE

Warna Kuning

Kekeruhan Jernih

KIMIA URINE

Berat jenis 1.020


14

PH 6

Leukosit Negatif

Nitrit Negatif

Protein Negatif

Glukosa Negatif

Keton Negatif

Uribilinogen Negatif

Bilirubin Negatif

Darah Negatif

MIKROSKOPIS URINE

Sedimen 0 – 3 /LP

Leukosit 0 – 2 /LP

Eritrosit 0 – 1 /LP

Silinder Negatif

Kristal Negatif

Bakteri Negatif
15

V. Diagnosis

• Kejang Demam Kompleks

VI. Penatalaksanaan

• IVFD D5 ¼ NS 1100 cc/24 jam


• Inj. Paracetamol 4x150 mg
• PO Pulvis Diazepam 3x3 mg

VI. Prognosis

• Quo ad vitam : Bonam

• Quo ad functionam : Bonam

• Quo ad sanationam : Bonam


16

VII. Follow Up

SOAP 3 Juni 2023 4 Juni 2023


Subjective Demam (-), Kejang (-), sesak (-), Demam (-), Kejang (-), sesak (-),
BAB cair (-), penurunan BAB cair (-), penurunan
kesadaran (-), batuk (-), makan kesadaran (-), batuk (-),makan
minum baik minum baik
Objective STU STU
Kesadaran: CM Kesadaran: CM
Keadaan umum: baik Keadaan umum: baik
HR: 126 x/menit HR: 135 x/menit
RR: 32 x/menit RR: 34 x/menit
T: 36,8 ºC T: 36,7 ºC
SpO2: 98 % room air SpO2: 99 % room air
BB : 11 kg BB : 11 kg

K/L: A/I/C/D: -/-/-/- K/L: A/I/C/D: -/-/-/-


Tho: Tho:
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Cor : S1S2 tunggal regular, Cor : S1S2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-) murmur (-), gallop (-)
Abd: Soepl, Bising usus (+) kesan Abd: Soepl, Bising usus (+) kesan
normal normal
Eks: akral hangat, edema (-/-), Eks: akral hangat, edema (-/-),
CRT<2 detik CRT<2 detik

Assesment Kejang demam kompleks Kejang demam kompleks


Planning - IVD D51/4NS 1100cc/24 jam - PO PCT 4x150 mg pulv
- PO Diazepam pulv 3x3 mg - BPL
- PO Paracetamol 4x150 mg
pulv
- Besok cek DL dan UL
(4/6/2023)
17

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan definisi dari rekomendasi penatalaksanaan Kejang demam

oleh IDAI, Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur

6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,

dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses

intrakranial.1

Kejang demam anak di klasifikasikan menjadi dua yaitu kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks1

1. Kejang Demam Sederhana

• Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)

• Bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik)

• Tidak berulang dalam waktu 24 jam.

2. Kejang Demam Kompleks

Kejang demam dengan memenuhi salah satu ciri berikut :

• Kejang lama (>15 menit)

• Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial

• Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam

Diagnosis kejang demam kompleks pada pasien ini berdasarkan anamnesis

dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa didapatkan pasien mengalami kejang

berulang dalam 24 jam yang merupakan ciri dari kejang demam kompleks.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien adalah tidak dijumpai adanya
18

tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, tanda brudzinski dan tanda kernig

sehingga kejang yang terjadi bukan termasuk proses intracranial.

Etiologi dari kejang demam merupakan kombinasi beberapa faktor risiko /

bersifat multifaktorial yang memberikan kontribusi terhadap patogenesis kejang

demam. Secara umum, kejang demam dipercaya terjadi disebabkan karena

kerentanan dari perkembangan sistem saraf pusat akibat terjadinya demam, disertai

dengan kombinasi adanya predisposisi faktor genetik dan pengaruh faktor

lingkungan. Kenaikan suhu tubuh melebihi 38oC yang mengakibatkan kejang

tersebut bukan berasal dari suatu proses intracranial, sebanyak 90% diakibatkan

karena infeksi virus seperti Rotavirus dan parainfluenza. Human Herpesvirus 6

(HHV-6) paling sering terjadi di Amerika serikat dan negara-negara Eropa,

sedangkan di Asia Virus Influenza A yang paling sering dikaitan dengan kejang

demam.5,6

Tabel 3.1 Penyebab demam pada Kejang Demam Anak7


19

Kejang demam juga dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi lain, seperti

saluran pernapasan atas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan

infeksi saluran cerna. Kejang demam diakibatkan karena respon otak yang belum

matang terhadap demam sehingga lebih mudah terjadi peningkatan eksitasi neuron.

Kejang demam yang dialami oleh pasien tidak diketahui secara pasti penyebabnya.

Namun pasien memiliki riwayat batuk pilek sejak 4 hari sebelum muncul demam.

Sehingga kemungkinan demam yang muncul pada pasien akibat adanya infeksi

saluran napas akut.8.9

Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu

Suhu, Riwayat kejang demam dalam keluarga, Usia, Jenis kelamin, dan Berat

Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR).

1. Faktor Demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8oC aksila

atau di atas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi

pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama

timbul bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan

penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam. (80%).10,11

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal

ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu

derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15 %, sehingga

dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan

glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi
20

jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb normal,

satu molukul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi

jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukose hanya akan

menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi, hal

ini akan menggangu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel

g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat

dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan

mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga

semakin meningkatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke

dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan

mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+

intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial memban

sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu

demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 10,11

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa demam

mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan

fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang

kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam. Bangkitan kejang

demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40-

56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11%

pendenta dan sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di

atas 400C. 10,11


21

2. Faktor Usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi 2) perkembangan

prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural, 5) organisasi, dan 6)

mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai

migrasi neural. Fase perkembangan organisai dan mielinisasi masih berlanjut

sampai tahun-tahun pertama paska natal. Fase perkembangan organisasi meliputi

1) diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, 2) Pencocokan, orientasi,

pemantapan dan peletakan neuron pada korteks, 3) Pembentukan cabang neurit dan

denrit, 4) pemantapan kontak di sinapsis, 5) kematian sel terprogram 6) proliferasi

dan diferensiasi sel glia. Pada fase proses diferensiasi dan pemantapan neuron di

subplate terjadi diferensiasi neurotransmiter eksitator dan inhibitor. Pembentukan

reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada fase proses

pembentukan cabang-cabang akson (neurit dan denrit) serta pembentukan

sinapsis terjadi proses kematian sel terprogram / apoptosis dan plastisitas. Sinapsis

yang dieliminasi berkisar 40 %. Proses ini disebut proses regresif. Sel neuron

yang tidak terkena pada proses kematian sel terprogram akan mengalami

plastisitas. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila pada masa

proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibatkan trauma pada

sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila pada fase

organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam berulang

akan mengakibatkan aberrant plasticity, yaitu terjadi penurunan fungsi GABA-

ergic dan desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi reseptor eksitator. Pada

keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator
22

padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga

otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. 9,10

Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,

berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di

hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi

bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis pada otak

belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan

pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas,

pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi

dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai

developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih

dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan

inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa

developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural

dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada usia akhir masa

developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada

otak fase eksitabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. 10,11,12

3. Faktor Jenis Kelamin

Jenis kelamin dimana kejang demam lebih sering terjadi oleh anak aki-laki

dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut disebabkan karena wanita didapatkan

maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki dan

kerentanannya diperoleh laki-laki menderita kejang demam 55% dan anak

perempuan 45%.11,12
23

4. Faktor Riwayat Keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang

demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak

ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila

salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam

mempunyai nsiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan

apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita

kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat

menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai

riwayat pemah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya

9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27%

berbanding 7%.10,11

Kelainan pada kanal tersebut menunjukkan adanya sindrom yang berhubungan

dengan channelopaties di mana defek pada kanal tersebut akan menyebabkan

terjadinya ketidakseimbangan antara aliran masuknya Natrium dan keluarnya

kalium. Chanelopathi adalah defek dari ion chanel yang bersifat genetik, dimana

terjadi kelainan pembentukan protein ion chanel pada waktu penggabungan

beberapa asam amino, sehingga menyebabkan membran sel menjadi hipereksitabel.

Untuk seseorang dengan kondisi saraf hipereksitabel (spasmofili), suatu stresor

yang sifatnya umum saja, mudah sekali pada tingkatan tertentu berubah menjadi

distress.9,11
24

Berikut ini contoh channelopaty pada kejang demam.

Tabel 3.2. Kanal gen dan gangguannya.

5. BBLR

Bayi yang lahir dengan kondisi BBL rendah dapat menimbulkan beberapa

gangguan seperti, asfiksia, iskemia, otak, gangguan metabolisme seperti

hipoglikemi dan hipokalsimia sehingga dapat membuat rusaknya jaringan di otak

pasa periode perinatal. Pada bayi dengan kondisi asfiksia memungkinkan untuk

terjadi kerusakan fungsi eksitasi neuron. Sehingga dengan adanya riwayat tersebut

dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang demam. Dapat dilihat dari rusaknya

jaringan di otak dapat berpengaruh terhadap bangkitnya kejang pada perkembangan

anak.11

Satu penelitian di Denmark didapatkan bahwa risiko kejang demam

meningkat dengan penurunan berat badan ketika lahir. Bayi yang mempunyai berat

badan lahir rendah,< 2500 gram 1,5 kali berisiko untuk menderita kejang demam.

Pada bayi yang lahir dengan berat badan 2500-2999 gram risikonya 1,3 kali dan

bayi yang lahir dengan berat badan 3000-3499 gram risiko 1,2 kali, sedangkan bayi

yang lahir dengan berat badan >3500 gram risiko untuk menderita kejang demam

sebesar 1 kali.13

Patogenesis dari kejang demam belum diketahui secara menyeluruh.

Walaupun pengaruh genetik berperan penting pada anak dalam hal kemungkinan
25

mengalami kejang demam, demam dapat menyebabkan kejang itu sendiri.

Perubahan letupan aktivitas neuronal pada otak dipengaruhi oleh peningkatan

temperatur dalam otak. Biasanya, kejang demam terjadi mengikuti infeksi yang

menyebabkan demam.11

Gambar 3.1 Patofisiologi Kejang Demam14

Peningkatan sitokin yang merupakan pyrogen endogen terjadi seiring

dengan kejadian demam dan respon inflamasi akut27. Interleukin-1 (IL-1) sebagai

pyrogen endogen, dan lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai

pyrogen eksogen, sering dikaitkan dengan respon terhadap demam27. Makrofag

distimulus oleh lipopolisakarida untuk memproduksi sitokin pro- dan anti-inflamasi

tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-


26

1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) distimulus

oleh reaksi sitokin melalui sel endothelial circumventricular untuk mengkatalis

konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus hipotalamus

sebagai pusat termoregulasi, yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu tubuh.

Sintesis sitokin di hipokampus juga dapat meningkat melalui mekanisme demam .

13 Interleukin 1ß sebagai pyrogen endogen kemudian meningkatkan eksitabilitas

neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABAergic, sehingga menimbulkan

kejang.14

Efek dari eksitasi besar-besaran spontan, tersinkronisasi, dan masif dari

sejumlah besar neuron, mengakibatkan aktivasi motorik lokal atau umum (kejang

atau kejang), sensorik (misalnya paresthesia, kilatan cahaya, halusinasi, vertigo),

otonom (air liur, berkeringat, vasodilatasi, piloereksi), atau kognitif atau emosional

kompleks (mis., ansietas, deja vu, mikropsia).15

Gambar 3.2 Skema paradigma ketidakseimbangan eksitasi dan inhibitori dalam

kejadian kejang 15
27

Pasien memiliki riwayat kejang demam pada usia 11 bulan. Saat itu pasien

batuk pilek, demam lalu kejang dengan durasi serta jenis kejang yang sama dengan

saat ini. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulangnya kejang demam:

1) Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga;

2). Usia kurang dari 12 bulan;

3) Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang;

4) Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang, dan;

5) Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang

demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan

berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang

demam paling besar pada tahun pertama.1

Dalam penegakan diagnosis kejang demam, pada anamnesis biasa pasien datang

dengan keluhan kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit

sampai terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti tipe kejang, lama, frekuensi

dan kesadaran pasca kejang. kemudian mencari kemungkinan adanya faktor

pencetus atau penyebab kejang. Umumnya kejang demam terjadi pada anak dan

berlangsung pada permulaan demam akut. Sebagian besar berupa serangan kejang

klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post

iktal. Penting untuk ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang

berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau


28

cedera akibat kejang. Riwayat kejang demam dalam keluarga juga perlu

ditanyakan.16

Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang

demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan untuk

mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi meliputi

kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik,

tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.16

Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan darah lengkap.

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi

dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah

perifer, elektrolit, dan gula darah.1 Pada ,pasien ini permerikasan darah lengkap

dilakukan dan didapatkan hasil dalam batas normal.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini

pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12

bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.1

Indikasi pungsi lumbal :

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis
29

3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya

telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan

tanda dan gejala meningitis.

Pada kasus ini pasien berumur 1 tahun 11 bulan dan secara klinis tidak

ditemukan gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan

pungsi tidak perlu dilakukan.

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila

bangkitan bersifat fokal. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)

tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan

tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang

menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.1

Diagnosis banding KD antara lain: (1) Menggigil karena demam tinggi, kondisi

ini dapat dibedakan dari KD, yaitu anak tetap sadar ketika menggigil.; (2) Febrile

syncope; (3) Breath holding attack: anak menahan napas untuk beberapa waktu

sehingga hilang kesadaran; (4) Reflex anoxic seizures: anak tiba-tiba lemas akibat

nyeri atau syok; (5) Demam yang mencetuskan kekambuhan kejang pada epilepsi;

(6) Infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis. Kejang demam yang

atipikal/tidak khas perlu dibedakan dengan epilepsi yang mengalami kekambuhan

karena demam, GEFS+ (Generalized/genetic epilepsy with febrile seizures plus),

dan FIRES (Febrile infection-related epilepsy syndrome).2,16

Oleh karena itu, tatalaksana terbagi 3: (1) Tatalaksana pada saat kejang, (2)

Terapi profilaksis terbagi menjadi profilaksis intermiten dan kontinyu/rumatan ;(3)

Terapi antipiterik.
30

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)

adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau

diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg

untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang

belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval

waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.1

Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan

kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.

Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada

umumnya. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari

indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.17

Gambar 3.3 Algoritma Tatalaksana Kejang Akut pada Anak18


31

Profilaksis intermiten adalah pemberian obat antikonvulsan hanya ketika

anak mengalami demam, untuk mencegah kejang. Saat ini banyak literatur tidak

lagi merekomendasikan pemberian diazepam oral intermiten secara rutin untuk

mencegah kejang demam dengan pertimbangan perjalanan penyakit yang benign

dan pertimbangan efek samping yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Meskipun demikian, pada beberapa kondisi dengan terdapat kekhawatiran orang

tua, adanya kejang berulang dengan/tanpa kejang lama atau status epileptikus, serta

risiko berulangnya kejang maka pemberian terapi profilaksis intermiten dapat

dipertimbangkan.2

Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI tetap merekomendasikan pemberian

diazepam oral atau rektal intermiten. Obat yang digunakan adalah diazepam oral

0,20,3 mg/kg/ kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12

kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/ kali.

Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu

diinformasikan pada orang tua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat

menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi. Studi lain memperlihatkan

efektivitas yang sama dengan pemberian midazolam bukal. Pemberian diazepam

intermiten berdasarkan rekomendasi UKK Neurologi IDAI dapat dipertimbangkan

pada kondisi`1,2,17::

(1) Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

(2) Kejang demam berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

(3) Usia<6 bulan

(4) Kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39°C


32

(5) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat

dengan cepat.

Meskipun demikian efek pemberian diazepam oral/rektal intermiten dengan

dosis yang cukup tinggi patut diwaspadai efeknya berupa sedasi, anak menjadi

tampak letargi dan mengantuk sehingga kadang sulit dibedakan dengan gejala

meningitis.2

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan

penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka

pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka

pendek. Indikasi pengobatan rumat1:

1. Kejang fokal

2. Kejang lama >15 menit

3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.

Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam

valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-

40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2

dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk

kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak

tidak sedang demam.1


33

Pasien ini menerima terapi berupa infus D5¼NS 1100 cc/24 jam, Inj.

Paracetamol 4x150 mg dan PO Pulvis Diazepam 3x3 mg. Infus D51/4NS diberikan

sebagai terapi rumatan yang bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan

tubuh dan nutrisi dengan dosis 100cc/kgbb/24 jam. Pemberian diazepam pada

pasien ini sudah sesuai karena Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepin

yang dapat digunakan sebagai tatalksana untuk kejang akut. Diazepam akan

berikatan dengan reseptor GABAA, yaitu reseptor untuk neurotransmitter GABA

yang berperan sebagai inhibitor dan menurunkan eksitabilitas neuron sehingga

penghantaran impuls akan berkurang. Diazepam akan menginduksi perubahan dari

reseptor tersebut dan meningkatkan afinitasnya terhadap neurotransmitter GABA

sehingga lebih mudah untuk membentuk ikatan. Diazepam oral dapat diberikan 3 x

(0,2-0,4 mg/kgbb) dengan dosis maksimal 5 mg/kali. Pemberian paracetamol

selama pasien demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 4-6

jam. Pilihan lainnya adalah ibuprofen 5–10 mg/kg/kali, 3–4 kali sehari. Antipiretik

pada saat demam dianjurkan dengan diharapkan demam akan berkurang, walaupun

tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam. Meski demikian, para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik

tetap dapat diberikan pada pasien kejang demam. Setelah dilakukan perawatan 2

hari, pasien diperbolehkan pulang. Dengan obat pulang paracetamol.19,20

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat

kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.

Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:1

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis


34

baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang

efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang: I

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan

muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah

tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.

Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh

diberikan satu kali oleh orangtua.

8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,

suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan

diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat

kelumpuhan.
35

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus An. SSL umur 1 tahun 11 bulan yang di

rawat di Bangsal Anak RSUD Lewoleba sejak tanggal 2 Juni 2023 dengan

diagnosis Kejang Demam Kompleks. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis,

dan pemeriksaan fisik. Tatalaksana yang diberikan IVFD D51/4NS 1100 cc/24 jam,

PO Paracetamol 4x150 mg, PO pulvis diazepam 3x3 mg. Pasien diperbolehkan

pulang pada tanggal 4 Juni 2023.


36

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: IDAI. 2016

2. Handryastuti S. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak Terkini. J Indon


Med Assoc. 2021; 71(5):241-7.

3. Rasyid Z, Astuti DK, Purba CVG. Determinan Kejadian Kejang Demam


pada Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 2019; 3(1):1-6.

4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter


Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. 2019.

5. Pavone P, Corsello G, Ruggieri M, Marino S, Marino S, Falsaperla R.


Benign and severe early-life seizures: a round in the first year of life. Italian
journal of pediatrics. 2018 May 15:44(1):54.

6. Auvin S, Antonios M, Benoist G, Dommergues MA, Corrard F, Gajdos V,


Gras Leguen C, Launay E, Salaün A, Titomanlio L, Vallée L, Milh M.
[Evaluating a child after a febrile seizure: Insights on three important
issues]. Archives de pediatrie : organe officiel de la Societe francaise de
pediatrie. 2017:24(11):1137-1146.

7. Han JY, Han SB. Pathogenetic and etiologic considerations of febrile


seizures. Clin Exp Pediatr 2023;66:46-53.

8. Chris Tanto et al., 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-4. Jakarta:
Media Aesculapius. Hal 102-105.

9. Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile Seizures : an


Overview. Drugs in Context, 1-12.

10. Maghfirah, Namira I. Kejang Demam Kompleks. AVERROUS: Jurnal


Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh. 2022; 8(1):71-80.

11. Fuadi, dkk. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Sari
Pediatri; 2010;12(3): 142-9.

12. Rasyida Z, Astuti DK, & Purba C. V. Determinan Kejang Demam pada
Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 2019; 3:1.
37

13. Vestergaard dkk.. Death in children with febrile seizures: a populationbased


cohort study. Lancet. 2008; 63:457.

14. Ji Yoon Han, Seung Beom Han. Pathogenetic and etiologic considerations
of febrile seizures. Clin Exp Pediatr.2023; 66(2):46–53

15. Shao LR, Habela CW, Stafstrom. Pediatric Epilepsy Mechanisms:


Expanding the Paradigm of Excitation/Inhibition Imbalance. Children.
2019; 6(23): 1-11.

16. Tim Penulis. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. IDI. 2014.

17. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismail S. Konsesnsus Penatalaksanaan


Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2006.

18. IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta: IDAI.


2016

19. Tim Editor. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
IDAI. 2009.

20. Tim Editor. Farmakologi dan terapi edisi 6. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2016.

Anda mungkin juga menyukai