Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

Kejang Demam Kompleks Pasca Imunisasi DPT 1

Pembimbing :
dr. Florence Alexandra, Sp.A

Disusun Oleh:
Vania Puji Lestari
G4A020087

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK | RSUD AJIBARANG


FAKULTAS KEDOKTERAN | UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


Kejang Demam Kompleks Pasca Imunisasi DPT 1

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Ajibarang

Disusun Oleh :
Vania Puji Lestari
G4A020087

Ajibarang, Mei 2021

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Florence Alexandra, Sp.A

I. PENDAHULUAN

Kejang merupakan peristiwa yang sering ditemukan pada bayi. Terjadinya kejang
merupakan manifestasi klinis dari disfungsi neurologis setelah terjadinya berbagai
macam kerusakan terhadap susunan saraf pusat. Insidensi terjadinya kejang pada
neonatus cukup tinggi yaitu sekitar 1-3,5 per 1000 bayi baru lahir. Oleh karena itu tidak
satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih – lebih bila anaknya
mengalami kejang demam seperti ini sangat tidak di inginkan oleh orang tua
manapun.(Yunanto, 2013)
Banyak faktor risiko maupun penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya kejang
pada bayi. Tidak jarang kejang dapat berhubungan dengan penyakit berat sehingga
memerlukan penangganan yang spesifik. Penyebab paling sering terjadinya kejang
pada bayi adalah ensefalopati hipoksia iskemik, stroke iskemik dan perdarahan
intracranial. Bayi baru lahir dengan kejang berisiko untuk kematian neonates,
gangguan neurologis, keterlambatan perkembangan dan kemudian epilepsi. Angka
kematian pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kejang pada periode neonatus
adalah 23%.(D.K., K.P. and M., 2019)

Kejang demam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab salah satunya
adalah setelah anak menerima imunisasi seperti imunisasi DPT. Imunisasi DPT adalah
vaksin yang digunakan untuk mencegah difteri, teteanus, dan pertussis. Imunisasi
diberikan 3 kali yaitu pada saat bayi berumur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Imunisasi
DPT dapat menyebabkan berbagai macam efek samping dengan persentasi angka
kejadian KIPI adalah 33,4% anak dari 91,3% anak yang mendapatkan imunisasi
dengan persentasi gejala yaitu 20,6% mengalami kemerahan, 20,2% bengkak, 6,8%
demam tinggi dan 6% bernanah. Di Indonesia imunisasi DPT menyebabkan kejang
demam dengan angka kejadian sekitar 6-9 kasus per 100.000 anak yang diberikan
vaksin dosis DPT.(Kementerian Kesehatan RI., 2015; Deng et al., 2019; Rahman and
Fatema, 2020)

Deteksi dini, mencari etiologi dan memberikan tata laksana yang adekuat
mencangkup pemberantasan kejang dan terapi spesifik terhadap etiologi sangat
menentukan mortalitas dan morbiditas neonates.

II. LAPORAN KASUS


1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. K
Usia : 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Karang Nangka 2/5, Kedung Banteng
Tanggal masuk RSUD : 7 April 2021 pukul 10.43 WIB
Tanggal masuk KA : 7 April 2021 pukul 11.40 WIB
Tanggal periksa : 8 April 2021 pukul 10.45 WIB
2. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Keluhan Tambahan
Batuk, muntah, dan lemas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
1 HSMRS ibu pasien mengeluh bahwa anak demam setelah imunisasi DPT
1 pukul 09.00, demam dirasakan sekitar 2 jam setelah melakukan imunisasi.
Demam sempat turun setelah anak diberikan paracetamol oleh ibu. Saat malam
hari pukul 00.00 WIB, anak kejang selama 30 menit. Kejang berulang pada dini
hari sekitar pukul 04.00 WIB selama 15 menit, pada saat pasien kejang tubuh
pasien klojotan seluruh tubuh disertai mata pasien melirik keatas, dan tubuh
kaku, serta setelah kejang anak sadar. Anak sempat muntah 1x setelah
imunisasi, dengan konsistensi cair dan berwarna putih seperti asi. Anak batuk
2 hari sebelum dilakukan imunisasi DPT 1, dan membaik tanpa diberikan obat.
Keluhan lemas dirasakan setelah pasien kejang dan keluhan diare disangkal.
HMRS pasien datang dengan surat rujukan dari Puskesmas Kedung
Banteng ke IGD RSUD Ajibarang.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat TB (-)

b. Riwayat batuk pilek (+) usia 1 bulan


c. Riwayat kejang sebelumnya (-)
d. Riwayat epilepsy (-)
e. Riwayat alergi dingin (+)
f. Riwayat demam (-)
g. Riwayat diare (-)
h. Riwayat asthma (-)
i. Riwayat trauma kepala (-)
j. Riwayat penyakit infeksi saraf (-)
k. Riwayat berpergian keluar kota (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi(-)
b. Riwayat alergi (-)
c. Riwayat asthma (+) ibu
d. Riwayat penyakit jantung (-)
e. Riwayat Diabetes melitus (-)
f. Riwayat epilepsy (-)
g. Riwayat kejang (-)

6. Riwayat Tetangga atau Teman


a. Riwayat batuk pilek (-)
b. Riwayat berpergian keluar kota (-)
c. Riwayat TB (-)

7. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Tinggal dengan kedua orang tua dan 2 orang kakak laki-laki
b. Rumah terdiri dari 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, lantai keramik, berdinding
tembok, ventilasi cukup, penerangan cukup.
c. Sumber air dari sumur, jarak sumur dan septic tank >5 m.
d. Lingkungan rumah padat penduduk
e. Tetangga rumah suka membakar sampah

f. Pekerjaan Ayah buruh, Ibu IRT.


g. Pendapatan diatas Rp 1.600.000,00 per bulan
h. Pasien tidak menggunakan KIS
i. Ayah dan kakak pertama merupakan seorang perokok aktif
8. Riwayat Pribadi
a. Perinatal
ü G3P2A0 usia 38 tahun, usia kehamilan 37 minggu
ü ANC rutin di puskesmas dan bidan desa
ü Riw. Hipertensi gestasional (-)
ü Riw. Diabetes Melitus gestasional (-)
ü Riw. Kenaikan BB saat hamil cukup
ü Riw. Trauma (-)
ü Riw. Infeksi saat hamil (-)
b. Natal
ü Lahir di RS Hermina oleh dokter, lahir secara spontan pervaginam, saat
lahir langsung menangis
ü BBL : 2732 gram
ü PBL : 49 cm
ü LK: 32 cm
c. Post-natal
ü Riwayat Hiperbilirubinemia/bayi kuning (+)
ü Riwayat kejang (-)
ü Riwayat trauma fisik (-)
ü Riwayat sianosis/kulit membiru(-)
ü Bayi langsung dirawat gabung dengan Ibu.

9. Genogram
Riwayat Keluarga

RIWAYATKELUARGA

60 tahun 70 tahun 65 tahun


65 tahun

46 tahun 39 tahun

Keterangan :
Laki-laki

Perempuan

Pasien 14 tahun
19 tahun 2 bulan

Gambar 2.1 Genogram


10. Riwayat Makanan
0-2 bulan à ASI Eksklusif 12x sehari selama 15-25 menit
11. Perkembangan dan Kepandaian
a. Motorik Halus
1 bln : menatap ibu
b. Motorik Kasar
2 bln : mengangkat kepala
c. Bahasa
1 bln : mengeluarkan suara
d. Sosial
1 bln : tersenyum
12. Riwayat Vaksinasi

Vaksinasi

VAKSINASI DASAR ULANGAN

JENIS USIA TEMPAT USIA TEMPAT

BCG 1 bulan Posyandu - -

DPT-HIB 2 bulan Posyandu - - Kesimpulan:


Imunisasi dasar
POLIO 0 bulan RS Hermina - -
dilakukan sesuai
HEPATITIS B 0 bulan RS Hermina - - usia

Gambar 2.2 Vaksinasi


13. Faktor Resiko (yang berhubungan dengan penyakit)
a. Tetangga suka membakar sampah
b. Ayah dan kakak pertama perokok aktif
14. Anamnesis Sistem
a. Sistem Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
b. Sistem Respirasi : Batuk
c. Sistem Saraf : Kejang
d. Sistem GIT : Muntah
e. Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan
f. Sistem Muskuloskeletal : Lemas disangkal
g. Sistem Integumentum : Tidak ada keluhan
15. Kesimpulan
a. Kejang Demam Kompleks
b. ISPA
3. PEMERIKSAAN FISIK 7/04/2021
1. Keadaan Umum : tampak lemas/kesan gizi lebih
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital Sign :
a. Nadi : 148 x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler
b. Respiratory Rate : 32 x/menit, reguler
c. Suhu : 36,7 0C
4. Status Antropometri

Usia : 2 bulan
BB : 5,8 kg
PB : 56 cm
• HAZ : -2SD < Z < 2SD (normal)
• WAZ : Z > 3SD (BB lebih)
• WHZ: 1SD < Z < 2SD (Gizi Lebih)
Kesimpulan: Status gizi Lebih

Gambar 2.3 HAZ (PB/U)

Gambar 2.4 WAZ (BB/U)

10

Gambar 2.5 WAZ (BB/PB)


b. Status Generalis
c. Pemeriksaan kepala
Kepala : Bentuk mesocephal, ubun- ubun cembung (-), jejas(-)
Rambut : Hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Wajah : Dismorfik (-), hipertelorisme (-)
Mata : CA -/-, SI -/-, pupil bulat, 3mm/3mm,
Hidung : Discharge (-), nch (-)
Telinga : serumen (-)
Mulut : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-) Bibir pucat (-),
sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
d. Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi (-)
Gld Tiroid : tdak teraba
Limfonodi Colli : tidak teraba
e. Pemeriksaan Toraks
Paru
Dinding : Gerak simetris, retraksi (-)

11

Paru : SD Vesikuler +/+, RBK (-/-), RBH (+/+), Wheezing (-), fokal
fremitus simetris
Jantung : S1>S2, gallop (-), murmur (-), ictus cordis tidak tampak, tidak
kuat angkat
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspkesi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstermitas
Akral Hangat +/+/+/+, CRT <2 detik, edema -/-/-/-, sianosis -/-/-/-
Pemeriksaan Fisik
Atas Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Trofi eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Tonus normotonus normotonus normotonus normotonus
Ref.fisiologis ++ (normal) ++ (normal) ++ (normal) ++ (normal)

Ref.patologis Hoffman (-) Hoffman (-) Babinsky (-) Babinsky (-)


Tromer (-) Tromer (-)
Klonus - - -
Tanda Kaku kuduk, Brudzinsky sign I, II, kernig sign (-)
meningeal
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Akral hangat hangat hangat hangat


K. Motorik +5 +5 +5 +5

Gambar 2.6 Pemeriksaan Fisik


4. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium 07/04/21
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Darah Lengkap
Hemoglobin 9.8 g/ dL 9.2-13.6
Leukosit 13.19 10³/uL 6.00-17.50

12

Hematokrit 29.4% (L) 30-46


Eritrosit 3.41 jt/mm3 2.80-4.80
Trombosit 494 10³/mm3(H) 150-450
MCV 86.2 fL 79-99
MCH 28.7 pg/cell 27-31
MCHC 33.3 % 33-37
RDW 14.0 % 11.5-14.5
MPV 9.7 7.2-11.1
Hitung Jenis
Basofil 0,0 0.0 – 1.0
Eosinofil 1(L) 2.0 – 4.0
Batang 0,0 (L) 2.00 – 5.00
Segmen 40.9 40.0 – 70.0
Limfosit 44 (H) 25.0 – 40.0
Monosit 14 (H) 2.0 – 8.0
Neurofil limfosit ratio 0.9
Kimia Klinik
Natrium 135 129-143
Kalsium 5.5 3.6-5.8
Klorida 107 93-112
Glukosa Darah 95 mg/L
Swab Antigen negative
Kesimpulan : trombositosis, limfositosis, monositosis, shift to the left

Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium 09/04/2021


PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Darah Lengkap
Hemoglobin 9.4 g/ dL 9.2 - 13.6
Leukosit 8.11 10³/uL 6.00 - 17.50
Hematokrit 29.5% (L) 30 - 46

13

Eritrosit 3.27 jt/mm3 2.80 - 4.80


Trombosit 465 10³/mm3(H) 150 - 450
MCV 90.2 fL 79 - 99
MCH 28.7 pg/cell 27 - 31
MCHC 31.9 % 33 - 37
RDW 14.0 % 11.5 - 14.5
MPV 9.6 7.2 - 11.1
Hitung Jenis
Basofil 0,0 0.0 – 1.0
Eosinofil 9(H) 2.0 – 4.0
Batang 0,0 (L) 2.00 – 5.00
Segmen 10.9 40.0 – 70.0
Limfosit 74 (H) 25.0 – 40.0
Monosit 6 2.0 – 8.0
Neurofil limfosit ratio 0.2

PTT 11.5 detik 11.0 - 18.0


APTT 34.7 detik 27.0 - 42.0
Serologi Imunologi
Glukosa Darah <5 <6
Swab Antigen negative
Kesimpulan : Trombositosis, limfositosis, shift to the left

Tabel 2.3 Pemeriksaan Laboratorium 08/04/21


PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Urin Lengkap
Warna Kuning muda Kuning muda – kuning
tua
Kejernihan Jernih Jernih
Bau Khas Khas

14

Kimia
Berat Jenis 1020 1010-1030
pH 6.0 4.6-7.8
Leukosit negative
Nitrit negative
Protein negative
Glukosa negative
Keton negative
Urobilinogen negative
Bilirubin negative
Eritrosit negative
Sedimen
Eritrosit 0-1/ LPB <10
Leukosit 1-2/ LPB <5
Epitel squamous 1-3/ LPB <15
Kesimpulan : urinalisis dalam batas normal

Thorax AP:

- Corakan vaskuler meningkat

- Tampak bercak pada lapangan atas paru


kanan dan perikardial kanan kiri

- Diafragma dan kedua sinus baik

- Tulang baik

Kesimpulan :

- Bentuk dan letak jantung normal (CRT =


43%)

Gambar 2.7 Rontgen Thoraks (07/04/2021) - Gambaran bronkopneumonia

5. Resume Anamnesis
- Demam 2 jam setelah imunisasi DPT1

15

- Demam membaik setelah diberi paracetamol.


- Muntah setelah kejang
- Kejang bangkitan dengan ciri klojotan seluruh tubuh disertai kaku seluruh
tubuh selama 30 menit pukul 00.00 serta 15 menit pukul 04.00, disertai mata
melirik ke atas, dan saat pasien kejang pasien tidak sadar.
- Setelah kejang pasien langsung sadar
- Batuk 2 hari sebelum imunisai
- Riwayat batuk pilek (+) dan alergi dingin (+)
- Keluarga dan tetangga suka membakar sampah
- Riwayat asma (+) ibu
- Ayah dan kakak pertama merokok (+)
6. Resume Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: tampak lemas/kesan gizi lebih
Status Gizi & Antropometri
Usia : 2 bulan
BB : 5,8 kg
PB : 56 cm
• HAZ : -2SD < Z < 2SD (normal)
• WAZ : Z > 3SD (BB lebih)
• WHZ: 1SD < Z < 2SD (Gizi Lebih)
Kesimpulan: Status gizi Lebih
7. Resume Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Lab RSMS (7/04/2021)

Trombositosis, limfositosis, monositosis, shift to the left

b. Pemeriksaan Lab RSMS (9/04/2021)

CRP normal

c. Pemeriksaan Lab RSMS (8/04/2021)

16

Urinalisis dalam batas normal

d. Pemeriksaan X Ray RSMS (7/04/2021)

Gambaran bronkopneumonia

8. Daftar Masalah
Sindrom I
a. Demam 2 jam setelah Imunisasi

b. Pasien Kejang 2x, pertama selama 30 menit sekitar pukul 00.00 WIB lalu
kejang ke dua selama 15 menit pukul 04.00 WIB, dengan seluruh tubuh
klojotan disertai kaku, mata melirik keatas, setelah kejang pasien sadar.

c. Sebelum kejang pasien muntah 1x

Sindrom II
a. Batuk 2 hari sebelum imunisasi

b. Ayah dan kakak merokok

c. Keluarga dan tetangga suka membakar sampah

d. Paru: RBH (+/+)

e. Trombositosis, Limfositosis, monositosis, shift to the left

f. Ro Toraks: gambaran bronkopneumonia

Sindrom III
Status Gizi & Antropometri
Usia: 2 bulan
BB 5,8 kg / PB 56 cm
• HAZ : -2SD < Z < 2SD (normal)

• WAZ : Z > 3SD (BB lebih)

17

• WHZ: 1SD < Z < 2SD (Gizi Lebih)

Kesimpulan: Status gizi Lebih

9. Diagnosis Banding

Sindrom I

1. Kejang Demam Kompleks


2. Status epileptikus

Sindrom II

1. Bronkopneumonia
2. bronkiolitis

Sindrom III

1. Status Gizi Lebih


10. Diagnosis Kerja

Kejang Demam Kompleks

Bronkopneumonia

Statuz gizi lebih

11. Tatalaksana
Medikamentosa
1. KC Dasar : 100 x 5.8 kg= 580 cc
2. IVFD Kaen 3A à (580x60) : (24x60)= 24 tpm
3. Fenobarbital 3-4mg/kgBB/hari à 2x10mg
4. Inj Ampicilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari à 1x290mg
5. Inj. Gentamicin 6mg/kgBBà1x34mg
6. Inj Diazepam 0.2-0.5mg/kgà 1x1.5mg
7. Paracetamol syrup 120mg/5mlà 4x2,5cc

18

Non-Medikamentosa
1. Jaga jalan napas
2. Bedrest
Edukasi
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Memberitahu penanganan kejang
4. Pemberian obat untuk mencegah kekambuhan dan jelaskan mengenai efek
samping obat
5. Edukasi mengenai penyebab, faktor risiko, tanda, gejala
6. Edukasi terhadap orang tua, bila anak kejang jangan memasukan benda ke
mulut, lepaskan/kendurkan pakaian yang ketat
7. Hindari anak dari asap rokok, polusi udara
8. Lanjutkan asi, berikan dengan kuantitas dan kualitas yang cukup
12. Usulan dan Prognosis
1. Darah rutin
2. Rontgen toraks
3. EEG
4. Lumbal pungsi
Monitoring
a. Monitoring keadaan umum dan tanda vital
b. Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
c. Monitoring respon terapi
Prognosis
- Ad vitam = Dubia ad bonam
- Ad fungsionam = Dubia ad bonam
- Ad sanationam = Dubia ad malam

19

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kejang Demam
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh dengan suhu tubuh rektal lebih dari 38o C yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (Yunanto, 2013). KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa reaksi
vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan(Kementerian Kesehatan RI.,
2015). Kejang demam yang diderita bayi setelah menerima imunisasi dapat
disebut kejadian ikutan pasca imunisasi akibat reaksi anafilaksis (Kementerian
Kesehatan RI., 2015).
2. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Persentasi
kejadian KIPI akibat pemberian vaksin DPT didunia adalah 60 dari 100.000
anak (Rahman and Fatema, 2020). Untuk Indonesia, angka kejadian KIPI
adalah 33,4% anak dari 91,3% anak yang mendapatkan imunisasi dengan
persentasi gejala yaitu 20,6% mengalami kemerahan, 20,2% bengkak, 6,8%
demam tinggi dan 6% bernanah. Penelitian di kota Medan mendapatkan dari 30
anak terdapat 86,6% anak yang mengalami KIPI akibat imunisasi DPT. Secara
umum imunisasi DPT menyebabkan kejang demam di Indonesia adalah sekitar
6-9 kasus per 100.000 anak yang diberikan vaksin dosis DPT (whole cell
pertussis) (Sari, Izzah and Harmen, 2018).
3. Etiologi
Penyebab kejang demam dianggap multifaktorial, salah satunya adalah
faktor lingkungan dan faktor genetik.(Saharso and Nurul Hidayati, 2000;
Leung, Hon and Leung, 2018).
a. Faktor genetika

20

Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinnya kejang demam,


25-50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga
yang pernah mengalami kejang demam.6
b. Penyakit infeksi
1. Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis, tonsillitis, dan
otitis media
2. Virus : varicella ( cacar ), morbili ( campak), dengue ( virus penyebab
demam berdarah).
c. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama waktu sakit
dengan demam tinggi yang dapat disebabkan imunisasi.
d. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula darah
kurang dari 30mg pada neonatus cukup bulan dan kurang 20mg pada bayi
dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia.
e. Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cidera kepala.
f. Neoplasma
Neoplasma dapat menyebakan kejang pada usia berapa pun, namun
mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia
pertengahan dan kemudia ketika insiden penyakit neoplastik meningkat.
4. Faktor Risiko
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Tingginya suhu badan sebelum kejang
d. Lamanya demam sebelum kejang
5. Klasifikasi
Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi
menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizure atau kejang demam

21

sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks (Saharso
and Nurul Hidayati, 2000; Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).
A. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung
singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik)
serta tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neorologis normal. Kejang
demam sederhana merupakan 80% yang sering terjadi di masyarakat dan
sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti sendiri.
B. Kejang demam kompleks
Kejang demam kompleks adalah kejang memiliki ciri berlangsung selama
lebih dari 15 menit, kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum
didahului kejang parsial dan berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24
jam.
6. Pathway

Kejang terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran


kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau
aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi
utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter
inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). Untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang
di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial

22

membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga


keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran
ini dapat dirubah oleh: Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular,
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya dan Perubahan patofisiologi dari membran sendiri
karena penyakit atau keturunan (Marcdante, 2015; Handryastuti, 2016).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang (Irdawati, 2009).

Kejang demam yang disebabkan KIPI dari DPT 1 memiliki kemiripan


dengan kejang demam. Komponen pertussis yang ada pada vaksin DPT menjadi
salah satu penyebab utama yang bertanggung jawab pada reaktogenisitas yang
terjadi. Peristiwa neurologis yang terjadi setelah pemberian DPT disebabkan
oleh toksin pertussis yang DPT mempengaruhi pesinyalan seluler, system
katekolaminergik, GABAergik serta sawar darah otak akibat dari kerusakan
endotel yang terjadi dengan deimediasi oleh endotoksin vaksis sel utuh
pertussis menginduksi peningkatan dari produksi IL1B di hipocampus dan
hipotalamus yang menyebabkan penurunan pelepasan neurotransmitter
penghambat GABA dan adenosis di hippocampus dan menginduksi kejang
pada anak. Sedangkan vaksin pertussis aseluler tidak menghasilkan respon yang
diinduksi IL-1B. produksi dari IL1B yang meningkat ini yang menjadi

23

penyebab dari meningkatnya suhu tubuh dalam 2 sampai 4 jam setelah


imunisasi pertussis diberikan (Deng et al., 2019; Rahman and Fatema, 2020).

Selain itu kejang demam dapat dikaitkan dengan hipokalsemia.


Hipokalsemia dapat menjadi factor pemicu dari vaksin DPT berdasarkan
peningkatan neuroaksesbilitas. Dimana kadar kalsium terionisasi rendah dalam
cairan ekstra seluler dengan mengikat permukaan luar molekul protein saluran
natrium di membrane saraf ke ion natrium. Hal ini menyebabkan depolarisasi
progresif yang meningkatkan kejadian potensial aksi. Ketika ion kalsium tidak
ada, maka level tegangan yang diperlukan untuk membuka saluran natrium
gerbang tegangan diubah secara signifikan, yang menyebabkan kontraksi otot
rangka perifer sehingga terjadi kejang klinis (Usha, 2016; Pellegrin et al.,
2019).

Gambar 3.1 Pathway Kejang Demam

24

7. Tatalaksana
1. Tatalaksana awal
Pertolongan pertama adalah pemberian pertolongan segera kepada
penderita sakit yang memerlukan bantuan medis dasar. Medis dasar yang
dimaksud disini adalah tindakan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran yang
dapat dimiliki orang awam. Langkah awal yang dapat dilakukan dalam
melakukan pertolongan pertama untuk mencegah terjadinya kejang pada anak
demam adalah segera memberi obat penurun panas, kompres air biasa atau
hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan lipatan paha. Beri anak banyak
minum dan makan makanan berkuah atau buah- buahan yang banyak
mengandung air, bisa berupa jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan
selimuti anak dengan selimut tebal, selimut dan pakaian tebal dan tertutup justru
akan meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi penguapan. Ketika terjadi
kejang dan tidak berhenti setelah lima menit, sebaiknya anak segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Jika anak pernah mengalami kejang demam di usia
pertama kehidupannya, maka ada kemungkinan ia akan mengalami kembali
kejang meskipun temperature nya lebih rendah. Penanganan pertama saat anak
mengalami kejang adalah:
1) Tetap tenang dan tidak panik.
2) Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3) Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4) Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5) Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6) Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7) Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.

25

8) Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan (Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006; Leung, Hon and
Leung, 2018).
2. Tatalaksana di rumah sakit
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat
juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen
harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan
cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan
dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (Pusponegoro,
Widodo and Ismael, 2006).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Indikasi rawat inap apabila ada salah satu kriteria
sebagai berikut: 1) saat kejang demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan, 2)
terjadi hiperpireksia, 3) merupakan kejang demam yang pertama kali, 4)
merupakan kejang demam kompleks, dam 5) terdapat kelainan neurologis. Saat
ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat demam
berupa:
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah
10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali, atau
Ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang,
asam asetil salisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan (Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).

26

2. Antikonvulsan
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk
anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun
(Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergan-
tung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.

27

Gambar 3.2. Algoritma kejang akut dan status epileptikus menurut APLS ( Advance
pediatric life support )

28

Gambar 3.3. Algoritme kejang akut dan status epileptikus menurut UKK Neurologi
IDAI

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu tubuh > 38⁰C. Dosis
tersebut cukup tinggi dan memiliki efek samping dapat menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.1 Saat ini diazepam
merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam
mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena
atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat (Dewanti et al.,
2016).
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan
intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan
– 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2

29

mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam
akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya
pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila
dibandingkan dengan diazepam intravena (Dewanti et al., 2016).
8. Komplikasi
Komplikasi kejang demam adalah :
a. Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada
neuron (Leung, Hon and Leung, 2018).
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapa menjadi matang dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan (Leung, Hon and Leung, 2018).
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan di
otak yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5 tahun
d. Kecacatan atau kelainan neorologis karena disertai demam (Leung, Hon and
Leung, 2018).
9. Prognosis
Pada bayi yang mengalami kejang demam prognosisnya baik bila ditangani
dengan penanggulangan yang tepat dan cepat. Tidak menyebabkan kematian.
Pencapaian intelektual normal. Kebanyakan anak akan mengalami kejang
demam di kemudian hari, tetapi perkembangan ke epilepsi dan kejang tanpa
demam adalah jarang. Kejang demam akan kambuh pada 50% anak yang
mengalami kejang demam kurang dari 1 tahun dan 27% pada onset setelah
umur satu tahun. Kejang demam akibat kejadian ikutan pasca imunisasi DPT
tidak menemukan peningkatan mortalitas jangka panjang pada bayi yang
mengalami kejang demam. Kejang demam tidak menimbulkan perbedaan
dalam kemajuan akademik. Kecerdasan serta perilaku pada usia 10 tahun pada

30

anak yang mengalami kejang demam sederhana maupun kompleks, namun


anak dengan kejang demam pertama memiliki risiko 33% akan mengalami
kejang berulang (D.K., K.P. and M., 2019).

31

Daftar Pustaka

Deng, L. et al. 2019. Postvaccination febrile seizure severity and outcome.


Pediatrics. 143(5): 1-6.
Dewanti, A. et al. 2016. Kejang Demam dan Faktor yang Mempengaruhi
Rekurensi. Sari Pediatri, 14(1): 57.
Handryastuti, S. 2016. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan
Tata laksana. Sari Pediatri. 9(2):112.
Irdawati. 2009. Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu Keperawatan.
2(3): 143–146.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Buku Ajar Imunisasi, Kementerian Kesehatan
RI. Sekretariat r Jenderal. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Leung, A. K. C., Hon, K. L. and Leung, T. N. H. 2018. Febrile seizures: An
overview. Drugs in Context. 7(1):1–12.
Marcdante, K. 2015. Nelson Essentials of Pediatrics. 7th edn. United States of
America Last: Elsevier.
Pellegrin, S. et al. 2019. Neonatal seizures: Case definition & guidelines for data
collection, analysis, and presentation of immunization safety data.
Vaccine. 37(52): 7596–7609.
Pusponegoro, H., Widodo, D. P. and Ismael, S. 2006. Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1–23.
Rahman, M. M. and Fatema, K. 2020. Risk of Seizures after Immunization with
Vaccine in Children. Bangladesh Journal of Child Health. 44(1): 40–47.
Saharso, D. and Nurul Hidayati, S. 2000. Buku Ajar Neurologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: BP IDAI. 339–351.
Sari, M. P., Izzah, A. Z. and Harmen, A. P. 2018. Gambaran Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi pada Anak yang Mendapatkan Imunisasi Difteri Pertusis dan
Tetanus di Puskesmas Seberang Padang Kota Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 7(3): 352.
Usha, B. 2016. Diphtheria pertussis tetanus vaccine induced convulsion: is
hypocalcemia a triggering factor. International Journal of Contemporary
Pediatrics. 3(4): 1422–1424.
Yunanto, A. 2013. Panduan Praktik Klinik Neonatologi’. Banjarmasin: PT. Danar
Wijaya. 161–166.

Anda mungkin juga menyukai