Pembimbing :
dr. Florence Alexandra, Sp.A
Disusun Oleh:
Vania Puji Lestari
G4A020087
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Vania Puji Lestari
G4A020087
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
I. PENDAHULUAN
Kejang merupakan peristiwa yang sering ditemukan pada bayi. Terjadinya kejang
merupakan manifestasi klinis dari disfungsi neurologis setelah terjadinya berbagai
macam kerusakan terhadap susunan saraf pusat. Insidensi terjadinya kejang pada
neonatus cukup tinggi yaitu sekitar 1-3,5 per 1000 bayi baru lahir. Oleh karena itu tidak
satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih – lebih bila anaknya
mengalami kejang demam seperti ini sangat tidak di inginkan oleh orang tua
manapun.(Yunanto, 2013)
Banyak faktor risiko maupun penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya kejang
pada bayi. Tidak jarang kejang dapat berhubungan dengan penyakit berat sehingga
memerlukan penangganan yang spesifik. Penyebab paling sering terjadinya kejang
pada bayi adalah ensefalopati hipoksia iskemik, stroke iskemik dan perdarahan
intracranial. Bayi baru lahir dengan kejang berisiko untuk kematian neonates,
gangguan neurologis, keterlambatan perkembangan dan kemudian epilepsi. Angka
kematian pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kejang pada periode neonatus
adalah 23%.(D.K., K.P. and M., 2019)
Kejang demam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab salah satunya
adalah setelah anak menerima imunisasi seperti imunisasi DPT. Imunisasi DPT adalah
vaksin yang digunakan untuk mencegah difteri, teteanus, dan pertussis. Imunisasi
diberikan 3 kali yaitu pada saat bayi berumur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Imunisasi
DPT dapat menyebabkan berbagai macam efek samping dengan persentasi angka
kejadian KIPI adalah 33,4% anak dari 91,3% anak yang mendapatkan imunisasi
dengan persentasi gejala yaitu 20,6% mengalami kemerahan, 20,2% bengkak, 6,8%
demam tinggi dan 6% bernanah. Di Indonesia imunisasi DPT menyebabkan kejang
demam dengan angka kejadian sekitar 6-9 kasus per 100.000 anak yang diberikan
vaksin dosis DPT.(Kementerian Kesehatan RI., 2015; Deng et al., 2019; Rahman and
Fatema, 2020)
Deteksi dini, mencari etiologi dan memberikan tata laksana yang adekuat
mencangkup pemberantasan kejang dan terapi spesifik terhadap etiologi sangat
menentukan mortalitas dan morbiditas neonates.
9. Genogram
Riwayat Keluarga
RIWAYATKELUARGA
46 tahun 39 tahun
Keterangan :
Laki-laki
Perempuan
Pasien 14 tahun
19 tahun 2 bulan
Vaksinasi
Usia : 2 bulan
BB : 5,8 kg
PB : 56 cm
• HAZ : -2SD < Z < 2SD (normal)
• WAZ : Z > 3SD (BB lebih)
• WHZ: 1SD < Z < 2SD (Gizi Lebih)
Kesimpulan: Status gizi Lebih
10
11
Paru : SD Vesikuler +/+, RBK (-/-), RBH (+/+), Wheezing (-), fokal
fremitus simetris
Jantung : S1>S2, gallop (-), murmur (-), ictus cordis tidak tampak, tidak
kuat angkat
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspkesi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstermitas
Akral Hangat +/+/+/+, CRT <2 detik, edema -/-/-/-, sianosis -/-/-/-
Pemeriksaan Fisik
Atas Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Trofi eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Tonus normotonus normotonus normotonus normotonus
Ref.fisiologis ++ (normal) ++ (normal) ++ (normal) ++ (normal)
12
13
14
Kimia
Berat Jenis 1020 1010-1030
pH 6.0 4.6-7.8
Leukosit negative
Nitrit negative
Protein negative
Glukosa negative
Keton negative
Urobilinogen negative
Bilirubin negative
Eritrosit negative
Sedimen
Eritrosit 0-1/ LPB <10
Leukosit 1-2/ LPB <5
Epitel squamous 1-3/ LPB <15
Kesimpulan : urinalisis dalam batas normal
Thorax AP:
- Tulang baik
Kesimpulan :
5. Resume Anamnesis
- Demam 2 jam setelah imunisasi DPT1
15
CRP normal
16
Gambaran bronkopneumonia
8. Daftar Masalah
Sindrom I
a. Demam 2 jam setelah Imunisasi
b. Pasien Kejang 2x, pertama selama 30 menit sekitar pukul 00.00 WIB lalu
kejang ke dua selama 15 menit pukul 04.00 WIB, dengan seluruh tubuh
klojotan disertai kaku, mata melirik keatas, setelah kejang pasien sadar.
Sindrom II
a. Batuk 2 hari sebelum imunisasi
Sindrom III
Status Gizi & Antropometri
Usia: 2 bulan
BB 5,8 kg / PB 56 cm
• HAZ : -2SD < Z < 2SD (normal)
17
9. Diagnosis Banding
Sindrom I
Sindrom II
1. Bronkopneumonia
2. bronkiolitis
Sindrom III
Bronkopneumonia
11. Tatalaksana
Medikamentosa
1. KC Dasar : 100 x 5.8 kg= 580 cc
2. IVFD Kaen 3A à (580x60) : (24x60)= 24 tpm
3. Fenobarbital 3-4mg/kgBB/hari à 2x10mg
4. Inj Ampicilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari à 1x290mg
5. Inj. Gentamicin 6mg/kgBBà1x34mg
6. Inj Diazepam 0.2-0.5mg/kgà 1x1.5mg
7. Paracetamol syrup 120mg/5mlà 4x2,5cc
18
Non-Medikamentosa
1. Jaga jalan napas
2. Bedrest
Edukasi
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Memberitahu penanganan kejang
4. Pemberian obat untuk mencegah kekambuhan dan jelaskan mengenai efek
samping obat
5. Edukasi mengenai penyebab, faktor risiko, tanda, gejala
6. Edukasi terhadap orang tua, bila anak kejang jangan memasukan benda ke
mulut, lepaskan/kendurkan pakaian yang ketat
7. Hindari anak dari asap rokok, polusi udara
8. Lanjutkan asi, berikan dengan kuantitas dan kualitas yang cukup
12. Usulan dan Prognosis
1. Darah rutin
2. Rontgen toraks
3. EEG
4. Lumbal pungsi
Monitoring
a. Monitoring keadaan umum dan tanda vital
b. Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
c. Monitoring respon terapi
Prognosis
- Ad vitam = Dubia ad bonam
- Ad fungsionam = Dubia ad bonam
- Ad sanationam = Dubia ad malam
19
20
21
sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks (Saharso
and Nurul Hidayati, 2000; Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).
A. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung
singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik)
serta tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neorologis normal. Kejang
demam sederhana merupakan 80% yang sering terjadi di masyarakat dan
sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti sendiri.
B. Kejang demam kompleks
Kejang demam kompleks adalah kejang memiliki ciri berlangsung selama
lebih dari 15 menit, kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum
didahului kejang parsial dan berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24
jam.
6. Pathway
22
23
24
7. Tatalaksana
1. Tatalaksana awal
Pertolongan pertama adalah pemberian pertolongan segera kepada
penderita sakit yang memerlukan bantuan medis dasar. Medis dasar yang
dimaksud disini adalah tindakan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran yang
dapat dimiliki orang awam. Langkah awal yang dapat dilakukan dalam
melakukan pertolongan pertama untuk mencegah terjadinya kejang pada anak
demam adalah segera memberi obat penurun panas, kompres air biasa atau
hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan lipatan paha. Beri anak banyak
minum dan makan makanan berkuah atau buah- buahan yang banyak
mengandung air, bisa berupa jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan
selimuti anak dengan selimut tebal, selimut dan pakaian tebal dan tertutup justru
akan meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi penguapan. Ketika terjadi
kejang dan tidak berhenti setelah lima menit, sebaiknya anak segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Jika anak pernah mengalami kejang demam di usia
pertama kehidupannya, maka ada kemungkinan ia akan mengalami kembali
kejang meskipun temperature nya lebih rendah. Penanganan pertama saat anak
mengalami kejang adalah:
1) Tetap tenang dan tidak panik.
2) Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3) Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4) Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5) Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6) Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7) Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
25
8) Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan (Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006; Leung, Hon and
Leung, 2018).
2. Tatalaksana di rumah sakit
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat
juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen
harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan
cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan
dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (Pusponegoro,
Widodo and Ismael, 2006).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Indikasi rawat inap apabila ada salah satu kriteria
sebagai berikut: 1) saat kejang demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan, 2)
terjadi hiperpireksia, 3) merupakan kejang demam yang pertama kali, 4)
merupakan kejang demam kompleks, dam 5) terdapat kelainan neurologis. Saat
ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat demam
berupa:
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah
10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali, atau
Ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang,
asam asetil salisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak
dianjurkan (Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).
26
2. Antikonvulsan
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk
anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun
(Pusponegoro, Widodo and Ismael, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergan-
tung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.
27
Gambar 3.2. Algoritma kejang akut dan status epileptikus menurut APLS ( Advance
pediatric life support )
28
Gambar 3.3. Algoritme kejang akut dan status epileptikus menurut UKK Neurologi
IDAI
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu tubuh > 38⁰C. Dosis
tersebut cukup tinggi dan memiliki efek samping dapat menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.1 Saat ini diazepam
merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam
mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena
atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat (Dewanti et al.,
2016).
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan
intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan
– 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2
29
mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam
akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya
pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila
dibandingkan dengan diazepam intravena (Dewanti et al., 2016).
8. Komplikasi
Komplikasi kejang demam adalah :
a. Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada
neuron (Leung, Hon and Leung, 2018).
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapa menjadi matang dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan (Leung, Hon and Leung, 2018).
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan di
otak yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5 tahun
d. Kecacatan atau kelainan neorologis karena disertai demam (Leung, Hon and
Leung, 2018).
9. Prognosis
Pada bayi yang mengalami kejang demam prognosisnya baik bila ditangani
dengan penanggulangan yang tepat dan cepat. Tidak menyebabkan kematian.
Pencapaian intelektual normal. Kebanyakan anak akan mengalami kejang
demam di kemudian hari, tetapi perkembangan ke epilepsi dan kejang tanpa
demam adalah jarang. Kejang demam akan kambuh pada 50% anak yang
mengalami kejang demam kurang dari 1 tahun dan 27% pada onset setelah
umur satu tahun. Kejang demam akibat kejadian ikutan pasca imunisasi DPT
tidak menemukan peningkatan mortalitas jangka panjang pada bayi yang
mengalami kejang demam. Kejang demam tidak menimbulkan perbedaan
dalam kemajuan akademik. Kecerdasan serta perilaku pada usia 10 tahun pada
30
31
Daftar Pustaka