Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN KEJANG DEMAM


SEDERHANA DAN DENGUE FEVER

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas Internsip


RSI Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

Disusun Oleh :
dr. Trubus Sengsempurno

Pembimbing :

dr. Saefudin Zyuhri, Sp.A

Disusun oleh:
dr. Fiyan Bahrul Ilmi

RSI PKU MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN


KABUPATEN PEKALONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus
“Kejang Demam Sederhana dan Dengue Fever”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Program Internsip Dokter
Periode 21 November 2016 – 20 November 2017

Disusun oleh :
dr. Fiyan Bahrul Ilmi

Pekalongan, Juli 2017


Pendamping Pendamping

dr. M. Aji Edo Susanto dr. Faradila Soraya

Pembimbing

dr. Saefudin Zyuhri Sp.A


BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak, terutama pada anak umur 6 sampai 60 bulan1. Kejang sangat tergantung kepada umur,
85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan.
Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau
setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam
lagi, namun beberapa pasien masih dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari
5-6 tahun.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor resiko yang penting
adalah demam. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam, misalnya demam itu sendiri, efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman
dan virus) terhadap otak, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi,
perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit, ensefalitis viral (radang otak akibat virus)
yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas atau gabungan semua
faktor tersebut di atas. Infeksi viral paling sering ditemukan pada kejang demam. Hal ini
mungkin disebabkan karena infeksi viral memang lebih sering menyerang pada anak.
Selain itu, penyebab demam yang paling sering terjadi saat ini adalah dikarenakan
virus dengue atau yang disebut dengan demam berdarah dengue. Gejala klasik dari demam
berdarah dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back
fever). Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana
kuda / bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada
semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. Tatalaksana demam berdarah
dengue harus diberikan dengan tepat sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi
seperti syok, sepsis, DIC ataupun ensefalopati yang dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena itu penulis pada kali ini ingin membahas sebuah kasus mengenai kejang

1
Febrile Seizures:
American Academy of Pediatrics, 2008.

Clinical Practice Guideline for the


Long-term Management of the Child
With Simple Febrile Seizures
demam sederhana dan demam dengue agar diharapkan sebagai tenaga medis dapat
memberikan penatalaksanaan yang sesuai dan dapat menurunkan angka kematian kasus
tersebut.

BAB II
PRESENTASI KASUS

Borang Kasus
No. ID dan Nama Peserta : dr. Fiyan Bahrul Ilmi
No. ID dan Nama Wahana : RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan

Topik : Kejang Demam Sederhana dan Dengue Fever


Tanggal ( kasus ) : 13 Juni 2017
Pembimbing : dr. Saefudin Zyuhri Sp.A
Pendamping : dr. M. Aji Edo Susanto
dr. Faradilla Soraya
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan  Diagnostik  Bayi
 Keterampilan  Manajemen  Anak
 Penyegaran  Masalah  Remaja
 Tinjauan Pustaka  Istimewa  Lansia
Deskripsi :
Seorang anak 2 tahun dengan kejang demam sederhana dan dengue fever
Tujuan :
Menegakan diagnosis dan menetapkan manajemen KEJANG DEMAM SEDERHANA
dan DENGUE FEVER
Bahan bahasan :  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos

DATA PASIEN
Nama : An. D
Umur : 2 tahun 8 bulan
Agama : Islam
No RM : 250036
Tanggal masuk : 13 Juni 2017
Ruang : Flamboyan
DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal No Masalah pasif Tanggal


1 Kejang Demam 13/06/17
Sederhana
2 Dengue Fever 15/6/17
3
4
5
6
Data utama untuk bahan diskusi:
I. SUBJEKTIF
 Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Flamboyan tanggal 13 Juni 2017 pukul 13.30 WIB
secara alloanamnesis dengan orangtua pasien.
a) Keluhan utama :
Kejang

b) Riwayat Penyakit Sekarang :


Kejang 1 jam SMRS. Kejang 1x selama < 15 menit. Kejang seluruh tubuh. Setelah
kejang anak langsung menangis.

c) Keluhan tambahan :
Demam 6 jam SMRS. Demam dirasakan tinggi terus menerus. Tidak ada mual
muntah. Tidak ada keluhan batuk, namun pasien pilek. Tidak ada keluhan BAB
cair. Tidak BAB hitam. Tidak mimisan. BAB BAK dirasakan normal. BAK
terakhir sesaat SMRS. Pasien masih mau makan minum namun dalam jumlah
sedikit.

d) Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat kejang : (+) usia 1 tahun dan 2 tahun 7 bulan, tidak
pengobatan rutin
 Riwayat transfusi darah : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

e) Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat kejang : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

f) Riwayat Pribadi:
 Riwayat kehamilan dan persalinan :
Riwayat kehamilan ibu pasien :
 G1P0A0 umur kehamilan 38 minggu
 ANC rutin tiap bulan di bidan
 TD ibu pada saat hamil 110/80
 Ibu rutin mengkonsumsi vitamin dari bidan (Fe, asam folat, kalsium)
 Tidak pernah meminum obat obatan lain atau jamu
Riwayat persalinan ibu pasien
 Pasien lahir secara spontan ditolong bidan
 Pasien lahir cukup bulan
 TD ibu pada saat persalinan 110/90
Riwayat post natal
 BBL 3100 gram
 PB 50 cm
 Langsung menangis, gerak aktif, bayi tidak tampak biru.
Kesan : ANC baik, dan PNC cukup

g) Riwayat makanan :
0 - 6 bulan : ASI eksklusif
6 – 12 bulan : Bubur bayi instan + ASI
12 – 15 bulan : Nasi tim + ASI
16 – 24 bulan : Nasi lauk pauk + ASI
25 bulan – sekarang: Nasi lauk pauk + susu formula
Kesan: kualitas dan kuantitas cukup.

h) Perkembangan dan kepandaian :


Motorik kasar : tengkurap-telentang (3 bulan)
merangkak (6 bulan)
mulai berjalan (16 bulan)
Motorik halus : memegang mainan (4 bulan)
mencoret-coret (1,5 tahun)
Bahasa & bicara : bereaksi terhadap suara (1 bulan)
memanggil ibu-bapak (2 tahun)
Personal sosial : tepuk tangan (1 tahun)
bermain dengan orang lain (1 tahun)
Kesan : tidak terdapat gangguan perkembangan dan kepandaian

i) Riwayat Imunisasi :
Hepatitis B : usia 0, 1 dan 6 bulan
BCG : usia 1 bulan
Polio : usia 1, 2, 3 dan 4 bulan
DPT : usia 2, 4 dan 6 bulan
Campak : usia 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap

j) Riwayat Sosial Ekonomi :


Orang tua pasien merupakan pekerja wiraswasta, biaya pengobatan menggunakan
bpjs non pbi. Kesan ekonomi : cukup.

II. OBJEKTIF
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 Juni 2017 2017
a) Keadaan umum: Sedang
b) Kesadaran : Composmentis
c) Status gizi : BB: 12 kg
d) Vital sign
 TD : tidak dilakukan pemeriksaan
 Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
 RR : 20x/menit frekuensi teratur
 Suhu : 37,60C (axiller)
e) Status Internus
1) Kepala : mesocephal
2) Mata :
 konjungtiva anemis (-/-)
 sklera ikterik (-/-)
 pupil isokor 3 mm/3mm
 reflek pupil (+/+)

3) Hidung :
 Nafas cuping hidung (-)
 Sekret (-/-)
 Epistaksis (-/-)
4) Mulut :
 Sianosis (-)
 Lidah kotor (-)
 Stomatitis (-)
 Gusi Berdarah (-)
5) Telinga :
 Sekret (-/-)
6) Leher :
 Nyeri tekan trakea (-)
 Pembesaran limfonodi (-/-)
 Pembesaran tiroid (-/-)
 Pergerakan otot bantu pernafasan (-/-)
 Kaku kuduk (-)
7) Thoraks
 Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkus : kanan atas : ICS II linea parasternal dextra
kiri atas : ICS II linea parasternal sinistra
pinggang jantung: ICS III linea parasternal sinistra
kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah : ICS V 2 cm ke arah medial linea midclavicula
sinistra
Kesan : Konfigurasi dalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II reguler
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)

Pulmo : Sinistra Dextra

Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada
datar datar
Hemitorak
Warna Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Sama dengan kulit Sama dengan kulit
2. Palpasi
Nyeri tekan sekitar sekitar
Stem fremitus

3. Perkusi (-) (-)


(+) normal, kanan = kiri (+) normal, kanan = kiri
4. Auskultasi
Suara dasar Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang
Suara tambahan paru paru
 Wheezing
 Ronki kasar
 RBH
 Stridor Vesikuler (+) Vesikuler (+)

(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)

Belakang
1. Inspeksi
Warna
Sama dengan kulit Sama dengan kulit
2. Palpasi sekitar sekitar
Nyeri tekan
Stem Fremitus
(-) (-)
3. Perkusi
(+) normal, kanan = kiri (+) normal, kanan = kiri

4. Auskultasi
Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang
Suara dasar
paru paru
Suara tambahan
 Wheezing
 Ronki kasar
 RBH Vesikuler (+) Vesikuler (+)
 Stridor

(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
8) Abdomen
Inspeksi:
 Bentuk : Datar
 Warna : sama dengan warna kulit sekitar
Auskultasi: Bising usus 5x/menit
Perkusi: Timpani
Palpasi:
 Distended (-)
 Nyeri tekan (-)
 Undulasi (-)
 Defence muscular : (-)
 Hepar: tidak teraba
 Lien :tidak teraba
 Ginjal: normal, tidak teraba
9) Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Eritema Palmaris - -
Gerak dan kekuatan Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium 13 Juni 2017
NO PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
A. Darah Rutin
1. Hemoglobin 11,5 9,7-12,6 g/dL
2. Leukosit 5.800 5490-9400 mm3
3. Hematokrit 36 32-42%
4. Trombosit 243.000 196000-353000/mm3
5. Eosinofil 0 2-4%
6. Basofil 0 0-1
7. Neutrofil Batang 0 2-6
8. Neutrofil Segmen 83 50-70
9. Limfosit 14 25-40
10. Monosit 3 2-8

IV. DIAGNOSIS
- Diagnosis :
 Kejang Demam Sederhana
 Obs. Febris Hari 0 susp. DHF
-Diagnosis Banding:
 DF
 Typhoid Fever

V. RENCANA
Terapi:
 O2 3 Lpm
 Infus RL 12 tpm makro
 Inj. Norages 3 x 150 mg
 Inj. sibital 2 x 50 mg
 PO Asam Valproat 3x1/2cth
 PO Apyalis Drop 2x0,3cc
 Paracetamol syr 3 x 1 Cth
PROGRESS NOTE

H1 (13/6) H2 (14/6) H3 (15/6) H4 (16/6) H5 (17/6)


S  Kejang 1x, 3  Kejang (-)  Kejang (-)  Kejang (-)  Kejang (-)
menit  Panas hari ke-2  Panas hari ke-3  Panas hari ke-4  Panas hari ke-5
 Panas hari ke-1  Badan lemah  Badan pulih  Badan pulih  Badan pulih
 Badan lemah  nafsu makan  nafsu makan  nafsu makan baik  nafsu makan baik
 nafsu makan menurun baik  Batuk (-) pilek  Batuk (-) pilek (-)
menurun  Batuk (-) pilek  Batuk (-) pilek (-)  mual (-)
 Batuk (-) pilek (+) (-)  mual (-)  BAK BAB (+)
(+)  Mual (-)  mual (-)  BAK BAB (+) dbn
 Mual (-)  BAK BAB (+)  BAK BAB (+) dbn  Mimisan (-)
 BAK BAB (+) dbn dbn  Mimisan (-)  Gusi berdarah (-)
dbn  Mimisan (-)  Mimisan (-)  Gusi berdarah (-)
 Mimisan (-)  Gusi berdarah (-)  Gusi berdarah (-)
 Gusi berdarah (-)
O HR = 112 x/mnt HR = 104 x/mnt HR = 108 x/mnt HR = 96 x/mnt HR = 100 x/mnt
(regular, isi dan (regular, isi dan (regular, isi dan (regular, isi dan (regular, isi dan
tegangan cukup) tegangan cukup) tegangan cukup) tegangan cukup) tegangan cukup)
RR = 26 x/mnt RR = 25 x/mnt RR = 25 x/mnt RR = 24 x/mnt RR = 24 x/mnt
T= 37,6 º C T= 37,0 º C T= 36,6 º C T= 37,1 º C T= 36,5 º C
BB =12 kg BB =12 kg BB =12 kg BB =12 kg BB =12 kg

KU : kurang aktif, KU : kurang aktif, KU : aktif, tampak KU : aktif, baik KU : aktif, baik
tampak lemah tampak sakit ringan sakit ringan Kepala : mesosefal Kepala : mesosefal
Kepala : mesosefal Kepala : mesosefal Kepala : mesosefal Mata : dbn (-/-), CA Mata : dbn (-/-), CA
Mata : dbn (-/-), CA Mata : dbn (-/-), CA Mata : dbn (-/-), CA (-/-), SI (-/-) (-/-), SI (-/-)
(-/-), SI (-/-) (-/-), SI (-/-) (-/-), SI (-/-) Hidung : sekret (-/-) Hidung : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) Hidung : sekret (-/-) Hidung : sekret (-/-) Telinga : serumen Telinga : serumen
Telinga : serumen Telinga : serumen Telinga : serumen (-/-), bengkak (-/-) (-/-), bengkak (-/-)
(-/-), bengkak (-/-) (-/-), bengkak (-/-) (-/-), bengkak (-/-) Mulut : sianosis (-), Mulut : sianosis (-),
Mulut : sianosis (-), Mulut : sianosis (-), Mulut : sianosis (-), bibir kering (-) bibir kering (-)
bibir kering (+) bibir kering (-) bibir kering (-) Leher : simetris, Leher : simetris,
Leher : simetris, Leher : simetris, Leher : simetris, pembesaran KGB pembesaran KGB (-)
pembesaran KGB pembesaran KGB pembesaran KGB (-) Thorax : simetris,
(-) (-) (-) Thorax : simetris, retraksi (-)
Thorax : simetris, Thorax : simetris, Thorax : simetris, retraksi (-) supresternal
retraksi (-) retraksi (-) retraksi (-) supresternal Pulmo : vesiculer,
supresternal supresternal supresternal Pulmo : vesiculer, rhonki (-/-),
Pulmo : vesiculer, Pulmo : vesiculer, Pulmo : vesiculer, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
rhonki (-/-), rhonki (-/-), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Cor : reguler,
wheezing (-/-) wheezing (-/-) wheezing (-/-) Cor : reguler, bising(-)
Cor : reguler, Cor : reguler, Cor : reguler, bising(-) Abd : datar, supel,
bising(-) bising(-) bising(-) Abd : datar, supel, peristaltik + N, nyeri
Abd : datar, supel, Abd : datar, supel, Abd : datar, supel, peristaltik + N, tekan (-)
peristaltik + N, peristaltik + N, peristaltik + N, nyeri tekan (-) Ekst : superior
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-) nyeri tekan (-) Ekst : superior dingin (-), inferior
Ekst : superior Ekst : superior Ekst : superior dingin (-), inferior dingin (-)
dingin (-), inferior dingin (-), inferior dingin (-), inferior dingin (-)
dingin (-) dingin (-) dingin (-)
PP Hb : 11,5 - Hb : 11,0 << Hb : 10,2 Hb : 10,6
Ht : 33 Ht : 33 Ht : 31 << Ht : 31
Leu : 9440 >> Leu : 10670 >> Leu : 7270 Leu : 6140
Tro : 245000 Tro : 198000 Tro : 227000 Tro : 230000

LED1 : 33 >> Antibodi dengue


LED2 : 38 >> IgM (+)
IgG (+)
Eo : 0 <<
Ba : 0 Widal (-)
Staf : 0 <<
Segmen : 63
Li : 25
Mo : 12 >>
A  KDS  KDS  KDS  KDS  KDS
 Febris H1 dgn  Febris (-) H2 dgn  Febris (-) H3 dgn  Febris (-) H4 dgn  Febris (-) H5 dgn
susp. DHF susp. DHF susp. DHF DF DF
DD : DF, TF DD : DF, TF DD : DF
Tx  Inf RL 12 tpm  Inf D5 1/4 NS 12 Terapi lanjut Terapi lanjut Terapi lanjut
makro tpm makro
 Inj Sibital  Inj Sibital
2x50mg 2x50mg
 Inj Norages  Inj Norages
3x150mg 3x150mg
 Inj Biocef  Inj Biocef
3x400mg 3x400mg
 PO Apyalis drop  PO Apyalis drop
2x0,3cc 2x0,3cc
 PO PCT syr  PO PCT syr
3x1cth 3x1cth
 PO As. Valproat  PO As. Valproat
3x1cth 3x1cth
Pro  Observasi  Observasi  Observasi  Observasi BLPL
 Infus D5 1/4 NS  Cek TP ulang  Cek TP ulang  Cek TP ulang Obat pulang :
12 tpm makro  Widal Pronovir syr 3x1cth
 Antibodi Dengue Kontrol
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada anak, terutama pada anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3%
dari anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari
1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor resiko yang
penting adalah demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor resiko
lainnya adalah riwayat keluarga kejang demam, problem pada masa neonatus, kadar
natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami
satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% akan mengalami 3x rekuren atau lebih.

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam yang kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada
tahun kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering terjadi pada anak
laki-laki.
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur
4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan.Hanya sedikit yang mengalami
kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun.
Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi/ namun, beberapa
pasien masih dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun.
Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang
demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-
7%.Kejang demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta
penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.

3. ETIOLOGI
Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam, misalnya:
a. Demam itu sendiri
b. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksik sepintas
f. Gabungan semua faktor tersebut di atas
Infeksi viral paling sering ditemukan pada kejang demam. Hal ini mungkin
disebabkan karena infeksi viral memang lebih sering menyerang pada anak, dan
mungkin bukan merupakan sesuatu hal yang khusus. Demam yang disebabkan oleh
imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang mengalami kejang
setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam. Kejang setelah imunisasi
terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis (DPT) dan morbili (campak).

4. KLASIFIKASI
Kejang demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam
sederhana dan kejang demam komplek. 80% dari kasus kejang demam merupakan
kejang demam sederhana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek.
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) menurut Livingstone
memiliki beberapa kriteria, yakni:
a. Terjadi pada usia 6 bulan – 4 tahun
b. Lama kejang singkat kurang dari 15 menit
c. Sifatnya kejang umum, tonik dan atau klonik
d. Umunya berhenti sendiri dan pasien segera sadar
e. Kejang timbul pada 16 jam pertama setelah timbulnya demam
f. Tanpa adanya gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
g. Tidak ada kelainan neurologi sebelum dan setelah kejang
h. Frekuensi kejang kurang dari 4x dalam 1 tahun
i. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan adanya kelainan.
Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri – ciri gejala
klinis sebagai berikut:
a. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
b. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului oleh
suatu kejang parsial
c. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
dengan kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak
yang mengalami kejang demam.
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks

5. MANIFESTASI KLINIS
Kejang demam yang berlangsung singkat tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi kontraksi
otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat,
hipotensi. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah kejang berlangsung
lama yang dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehinggga terjadi epilepsi.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Untuk ini
Livingston membuat kriteria kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
a. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
b. Epilepsi yang di provokasi oleh demam (Epilepsy triggered by fever)
Menurut Hasan & Alatas, dkk (2002) dengan penanggulangan yang tepat dan
cepat, prognosisnya baik atau tidak perlu menyebabkan kematian. Risiko yang
dihadapi oleh seoarng anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor:
a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga
b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam
c. Kejang yang berlangung lama atau kejang fokal

6. PATOFISIOLOGI
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.Sel saraf, seperti juga sel
hidup umumnya, mempunyai potensial membran.Potensial membran yaitu selisih
potensial antara intrasel dan ekstrasel.Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan
ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV,
selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu :
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian
reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis,
terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu,
sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial
membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
aliran ion-ion keluar masuk sel.

7. FAKTOR RISIKO
Fakto r resiko kejang demam
pertama yang penting adalah demam.
Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua,
menunjukkan kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar
natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami
satu kali rekurensi atau lebih dan kira-kira 9% anak akan mengalami tiga kali
rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak
mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang rendah saat kenjang,
riwayat keluarga kejang demam dan riwayat keluarga epilepsi.

8. DIAGNOSIS BANDING
Biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak atau otitis
media. Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak). Oleh sebab itu, perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada
kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini
tergolong dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh
demam.

9. DIAGNOSIS
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak).Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis.Adanya sumber
infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah
mendapat antibiotik, maka perlu pertimbangan pungsi lumbal. Penegakan diagnosa
kejang demam dapat diperoleh melalui beberapa langkah yakni anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari laboratorium dan
pencitraan jika diperlukan.
a. Anamnesa
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik
langsung pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau sumber lain
(aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar. Dalam anamnesa khususnya
pada penyakit anak dapat digali data – data yang berhubungan dengan kejang
demam meliputi:
 Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua,
alamat, umur pendidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku
bangsa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang
demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan
sampai dengan 5 tahun.
 Riwayat Penyakit
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan
riwayat perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala
yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan
penyakit disusun cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak
dibawa berobat. Bila pasien mendapat pengobatan sebelumnya, perlu
ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat yang sudah diberikan,
hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat adanya reaksi alergi
terhadap obat. Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi
mengenai demam dan kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam
perlu ditanyakan berapa lama demam berlangsung; karakteristik
demam apakah timbul mendadak, remitten, intermitten, kontinou,
apakah terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang menyertai demam
juga perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang, kesadaran menurun,
merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas, adanya
manifestasi perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit infeksi
dan non infeksi. Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan
kecurigaan terhadap penyebab demam itu sendiri.
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan
kejang terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara
demam dengan onset kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya
atau sudah pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali
(frekuensi per tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang
pertama); apakah terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa lama
waktu sekali kejang. Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti apakah
kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula
lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan, kesadaran pada
saat kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai juga
penting termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan
kesadaran, dan apakah ada kemunduran kepandaian anak. Pada kejang
demam juga perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam
sederhana atau kejang suatu epilepsi yang dibangkitkan serangannya
oleh demam (berdasarkan kriteria Livingstone).
 Riwayat Kehamilan Ibu
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya
penyakit, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit.
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman
keras, konsumsi makanan ibu selama hamil.
 Riwayat Persalinan
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran,
siapa yang menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat
badan dan panjang badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah
lahir. Perlu juga ditanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau
kurang bulan atau lewat bulan. Dengan mengetahui informasi yang
lengkap tentang keadaan ibu saat hamil dan riwayat persalinan anak
dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk terdapatnya asfiksia,
trauma lahir, infeksi intrapartum, dsb yang mungkin berhubungan
dengan riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang.
 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat
ditelaah dari kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan
terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari KMS atau kartu
pemeriksaan kesehatan lainnya. Status perkembangan pasien perlu
ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan.
Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, sosial-personal dan bahasa.
 Riwayat Imunisasi
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin,
sesuai jadwal yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian
ikutan pasca imunisasi.
 Riwayat Makanan
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.
 Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya
pernah mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah
mengalami penyakit saraf sebelumnya.
 Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga
lainnya (ayah,ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu
ditanyakan riwayat familial penderita.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi
kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda –
tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu
tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat
badan, lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung
rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada
pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang
berkaitan dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan
salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan
penyebab bias infeksi maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan
oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila
maupun rektal. Perlu dicari adanya sumber terjadinya demam, apakah ada
kecurigaan yang mengarah pada infeksi baik virus, bakteri maupun jamur; ada
tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non infeksi seperti misalnya
kelainan darah yang biasanya ditandai dengan dengan pucat, panas, atau
perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah
kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan
pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat
klonik, tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pada waktu kejang.
Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi; rangsangan
meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya paresis,
paralisa; adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.
c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang
demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai
demam. Pemeriksaan dapat meliputi: darah perifer lengkap, gula darah,
elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium, ureum, kreatinin,
urinalisis, biakan darah, urin, feses.
 Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada:
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
- Bayi >18 bulan tidak rutin (jika dicurigai menderita
meningitis)
 Pencitraan
 Pemeriksaan imaging (CT scan atau MRI) dapat diindikasikan
pada keadaan :
- Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala
- Kemungkinan adanya lesi struktural di otak
(mikrosefali, spastik)
- Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial
(kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior
membonjol, paresis nervus VI, papiledema) atau
kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).
 Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG dipertimbangkan
pada kejang demam tidak khas/atipikal, misalkan kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal.

10. PENATALAKSANAAN
Dalam penanggulangan kejang demam ada 6 faktor yang perlu dikerjakan,
yaitu :
a. Mengatasi kejang secepat mungkin
Sebagai orang tua jika mengetahui seorang kejang demam, tindakan
yang perlu kita lakukan secepat mungkin adalah semua pakaian yang
ketat dibuka. Kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar
oksigenasi terjamin. Dan bisa juga diberikan sesuatu benda yang bisa
digigit seperti kain, sendok balut kain yang berguna mencegah
tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan nafas. Bila suhu penderita
meninggi, dapat dilakukan kompres dengan es atau alkohol atau dapat
juga diberi obat penurun panas (antipiretik).
b. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan di rumah, tanda vital seperti
suhu, tekanan darah, pernafasan dan denyut jantung diawasi secara
ketat. Bila suhu penderita tinggi dilakukan dengan kompres es atau
alkohol. Bila penderita dalam keadaan kejang obat pilihan utama
adalah diazepam yang diberikan secara per rectal, disamping cara
pemberian yang mudah, sederhana dan efektif telah dibuktikan
keampuhannya. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua atau tenaga lain
yang mengetahui dosisnya. Dosis tergantung dari berat badan, yaitu
berat badan kurang dari 10 kg diberikan 5 mg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 10 kg atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk
anak usia di bawah 3 tahun dan dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun. Dosis diazepam rectal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB. Kemasan
terdiri atas 5 mg dan 10 mg dalam rectiol. Bila kejang tidak berhenti
dengan dosis pertama, dapat diberikan lagi dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval waktu 5 menit (konsensus).
Untuk mencegah terjadinya edema otak diberikan kortikosteroid yaitu
dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Golongan
glukokortikoid seperti deksametason diberikan 0,5-1 ampul setiap 6
jam sampai keadaan membaik.
c. Memberikan pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan
cara mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan
lebih lanjut. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
 Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari,
penderita kejang demam sederhana diberikan obat campuran
anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada
anak yang bila menderita demam lagi. Antikonvulsan yang
diberikan ialah fenobarbital dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
yang mempunyai efek samping paling sedikit dibandingkan
dengan obat antikonvulsan lainnya. Obat yang kini ampuh dan
banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang
demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal maupun
oral pada waktu anak mulai terasa panas. Profilaksis intermiten
pada saat demam berupa:
 Anti-piretik
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan
utama pengobatan adalah mencegah demam meningkat.
Pemberian obat penurun panas paracetamol 10-15
mg/kgBB/kali, 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kaliatau
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali.Penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan
syndrome Reye.
 Anti-kejang
- Diberikan diazepam oral 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat
demam.
- Diazepam rektal 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam bila demam
diatas 38°C.
- Dapat juga diazepam per rectal5 mg untuk anak dengan
BB <10 kg (tiap 8 jam) dan 10 mg untuk anak dengan
BB >10 kg (tiap 8 jam), efek sampingnya ataksia,
mengantuk dan hipotonia.
- Klonazepam (0,03 mg/kgBB per dosis tiap 8 jam). Efek
sampingnya mengantuk, mudah tersinggung, gangguan
tingkah laku, depresi dan hipersalivasi.
- Kloralhidrat supposituria250 mg (untuk BB <15 kg),
500 mg (untuk BB >15 kg). Kontraindikasi pada pasien
dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung dan
gastritis.
Profilaksis intermitten ini sebaiknya diberikan sampai
kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sederhana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
 Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin
terdapatnya dosis teurapetik yang stabil dan cukup di dalam
darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Pengobatan jangka panjang kejang demam
diberikan bila ada >1 keadaan berikut:
 Kejang demam lebih dari 15 menit
 Adanya defisit neurologis yang jelas baik sebelum maupun
sesudah kejang (misalkan palsi cerebral, retardasi mental atau
mikrosefal)
 Kejang demam fokal
 Adanya riwayat epilepsi dalam keluarga.
Dipertimbangkan apabila:
 Kejang demam pertama pada umur dibawah 12 bulan
 Kejang berulang dalam 24 jam
 Kejang demam berulang (≥ 4 kali per tahun).
Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah :
 Fenobarbital
Dosis 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Efek samping dari
pemakaian fenobarbital jangka panjang ialah perubahan sifat
anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-
kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.
 Sodium valproat / asam valproat
Dosisnya ialah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis.
Namun, obat ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan
dengan fenobarbital dan gejala toksik berupa rasa mual,
kerusakan hepar, pancreatitis.
 Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan
gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti
fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan.
Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini
dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati
epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus
perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6
bulan. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks
biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi
tersebut.
Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk
pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini
perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya
meningitis.
Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang
intensif perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah
lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium,
nitrogen dan faal hati.
e. Mencegah terjadinya kejang dengan cara anak jangan sampai panas.
Dalam hal ini tindakan yang perlu ialah mencari penyebab kejang
demam tersebut. Misalnya pemberian antibiotik yang sesuai untuk
infeksi. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali dapat
menimbulkan panas pada anak sebaiknya diberi antikonvulsan atau
menjaga anak agar tidak sampai kelelahan, karena hal tersebut dapat
terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Kambuhnya kejang
demam perlu dicegah karena serangan kejang merupakan pengalaman
yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang
berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan otak yang menetap
(cacat). Ada 3 upaya yang dapat dilakukan :
- Profilaksis intermitten
- Profilaksis terus menerus dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera jika terjadi serangan kejang
f. Pengobatan akut
Dalam pengobatan akut ada 4 prinsip, yaitu :
- Segera menghilangkan kejang
- Turunkan panas
- Pengobatan terhadap panas
- Suportif
Diazepam diberikan dalam dosis 0,3-0,5 mg/kgBB secara IV
perlahan-lahan selama 5 menit.
Bersamaan dengan mengatasi kejang dilakukan:
 Bebaskan jalan nafas, pakaian penderita dilonggarkan
kalau perlu dilepaskan.
 Tidurkan penderita pada posisi terlentang, hindari dari
trauma. Cegah trauma pada bibir dan lidah dengan
pemberian spatel lidah atau sapu tangan diantara gigi.
 Pemberian oksigen untuk mencegah kerusakan otak
karena hipoksia.
 Perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit.
 Segera turunkan suhu badan dengan pemberian
antipiretika (asetaminofen/parasetamol) atau dapat
diberikan kompres hangat. Asetaminofen oral 10 mg/kg
BB, 4 kali sehari atau Ibuprofen 20 mg/kgBB, 4 kali
sehari.
 Cari penyebab kenaikan suhu badan dan berikan
antibiotik yang sesuai.
 Apabila kejang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
diberikan kortikosteroid untuk mencegah edema otak
dengan menggunakan cortisone 20-30 mg/kgBB atau
dexametason 0,5-0,6 mg/kgBB.
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada bagan tata-laksana
penghentian kejang. (lihat bagan 1).

Bagan 1. Tatalaksana
Kejang
 Luminal

(Intramuskular)
- 30 mg (neonates)
- 50 mg (usia 1 bulan-1 tahun)
- 75 mg (usia >1 tahun)
 Midazolam (intranasal, 0,2 mg/kgBB)

11. EDUKASI PADA ORANG TUA


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian orang tua menganggap bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan
ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis
yang baik
b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat
12. RUJUKAN
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan
berikut:
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia (suhu rektal > 39°C)
c. Usia dibawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis

13. PROGNOSIS
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik
umum atau fokal.
b. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
c. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah:
- Riwayat kejang demam dalam keluarga.
- Usia kurang dari 12 bulan.
- Temperatur yang rendah saat kejang.
- Cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulang
kejang demam adalah 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.

B. DENGUE HEMORRHAGIC FEVER


1. DEFINISI
Dengue Hemorrhagic Fever atau demam berdarah dengue adalah penyakit
yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan
sendi yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Demam Berdarah dengue
adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada
manusia sedangkan manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam
dengue dan demam berdarah dengue.
2. ETIOLOGI
Virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus)
yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae dan mempunyai
4 jenis serotipe, yaitu : DEN–1, DEN–2, DEN–3, DEN–4. Di Indonesia pengamatan
virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa Rumah Sakit
menunjukkan keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe
DEN–3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

3. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu dapat juga
ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
lain yang merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk tersebut mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali pada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam
tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 – 6 hari (intrinsic incubation
period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Gama & Betty, 2010).

4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diathesis
hemoragik. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan
bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang
interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7 – 10 hari sejak
permulaan sakit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa
penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati.
Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa
faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif system
komplemen, kerusakan endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara
bersamaan atau secara terpisah. Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam
perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa
tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan
menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak.
Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh sutaryo yang menyebutnya sebagai
limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah
tepi memeperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari
demam ke 6 selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari ke 4 sampai ke 8 demam
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue.
Namun, antara hari ke 2 sampai hari ke 9 demam, tidak terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnosis maka dipilih
titik potong (cut of point) LPB 4% (IDAI, 2008).

5. PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi yang amat berbeda
akan tampak bila seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan tipe virus dengue
yang berlainan. Hipotesis infeksi sekunder (the secondary heterologous infection/ the
sequential infection hypothesis) menyatakan bahwa demam berdarah dengue dapat
terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali mendapat infeksi
berulang dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi amnestif
antibodi yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limsofit dengan menghasilkan titik tinggi antibodi Ig G antidengue. Di
samping itu replikasi virus dengue terjadi juga dalam limsofit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen - antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen pelepasan C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitis dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasing dari ruang intravascular ke ruang ekstravascular
(Dharma et al, 2006).

6. G
E
J
A
L
A

KLINIS
Gejala klasik dari demam berdarah dengue ialah gejala demam tinggi
mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever). Pada beberapa penderita dapat
dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda / bifasik, tetapi pada
penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga
tidak dapat dianggap patognomonik.
Demam berdarah dengue / DBD diklasifikasikan menurut manifestasi klinis
yang muncul. WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat
(Soemarmo S.S.P, Gamma H, Hadinegoro S.R.S, 2008) :
 Derajat I : Demam disertai gejala yang tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet yang positif.
 Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit/atau perdarahan lain.
 Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
 Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
DBD derajat III dan IV disebut juga Dengue Shock Syndrome (DSS).
Tanda perdarahan pada DBD mungkin tidak terjadi pada semua kasus.
Perdarahan yang paling ringan adalah uji tourniquet/Rumple Leede yang positif yang
berarti telah terjadi peningkatan fragilitas kapiler. Walaupun tes yang positif juga
dapat terjadi pada penyakit virus (campak, demam Chikungunya), infeksi bakteri
(tifus abdominalis) dan lain-lain. Uji tourniquet positif pada 70,2% kasus BDB di
awal perjalanan penyakit (Siregar, 2006).
Masa inkubasi demam berdarah dengue diduga merupakan masa inkubasi
demam dengue. Perjalanannya khas pada anak yang sangat sakit.
Fase pertama yang relatif ringan dengan demam yang mulai mendadak,
malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia, dan batuk disertai sesudah 2-5 hari oleh
deteriorasi klinis cepat dan kolaps. Pada fase kedua ini penderita biasanya mengalami
ekstermitas dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, iritabel, dan
nyeri mid-epigastrik. Sering kali ada petekie tersebar pada kulit dan tungkai; ekimosis
spontan mungkin tampak, dan mudah memar serta berdarah pada tempat pungsi vena
adalah lazim. Ruam papular atau makulopapular mungkin muncul, dan mungkin ada
sianosis sekeliling mulut dan perifer. Pernafasan cepat dan sering berat. Nadi lemah,
cepat dan kecil serta suara jantung halus. Hati mungkin membesar sampai 4-6 cm di
bawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10% penderita
menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya pasca masa
syok yang tidak terkoreksi. Sesudah 24-36 jam masa krisis, konvalesen cukup cepat
pada anak yang sembuh. Suhu dapat kembali normal sebelum atau selama fase syok.
Bradikardi dan ekstrasistol ventrikel lazim selama konvalesen. Jarang, ada cidera otak
sisa yang disebabkan oleh syok lama atau perdarahan intracranial (Winoto, 2009).
Gambar 2.1 Manifestasi klinis infeksi virus dengue (Sumber : Monograph on
dengue/Dengue Haemorragic Fever, WHO 1993)
7. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Kriteria diagnosis klinik DBD berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium
(WHO tahun 1997):
 Kriteria klinis
 Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus - menerus berlangsung selama 2-7 hari,
naik turun (demam bifasik). Kadang - kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai
40o C dan dapat terjadi kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis
pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun dan
pasien seakan sembuh, hati - hati karena fase tersebut sebagai awal kejadian
syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.
 Tanda – tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati,
trombosipunia gangguan fungsi trombosit serta koasulasi intravasculer yang
menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti
petekia, purpura, ekimosis dan perdarahan conjungtiva. Petekia merupakan
tanda perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam
tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu,
epitaxis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
 Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit bervariasi dari haya
sekedar diraba sampai 2 - 4 cm di bawah arcus costa kanan. Derajat
hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada
daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya perdarahan.
 Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang
setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi
dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit.
Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
perembasan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada kasus
berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari
demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara 3 - 7, terdapat
tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat,
lemah kecil sampai tidak teraba. Pada saat akan terjadi syok pasien mengeluh
nyeri perut.
 Kriteria laboratorium
 Trombositopenia (100.000/mikroliter atau kurang)
 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% menurut standar
umur dan jenis kelamin.
Dua kriteria klinis pertama + trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta
dikonfirmasi secara serologik hemaglutinasi (SPM 2004).
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 LABORATORIUM
a. Darah
Pada demam berdarah dengue umum dijumpai trobositopenia (<100.000) dan
hemokonsentrasi uji tourniquet yang positif merupakan pemeriksaan penting.
Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanya
memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan masa perdarahan biasanya
memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan penurunan faktor II, V, VII,
IX, dan X. Pada pemeriksaan kimia darah hipoproteinemia, hiponatremia, dan
hipokloremia.
b. Urine
Ditemukan albuminuria ringan
c. Sumsum Tulang
Gangguan maturasi
d. Serologi
o Uji serologi memakai serum ganda.
Serum yang diambil pada masa akut dan masa konvalegen menaikkan
antibodi antidengue sebanyak minimal empat kali termasuk dalam uji
ini pengikatan komplemen (PK), uji neutralisasi (NT) dan uji dengue
blot.
o Uji serologi memakai serum tunggal.
Ada tidaknya atau titer tertentu antibodi antidengue uji dengue yang
mengukur antibodi antidengue tanpa memandang kelas antibodinya uji
Ig M antidengue yang mengukur hanya antibodi antidengue dari kelas
Ig M.

9. PENATALAKSANAAN
a. DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum
masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan
memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang
jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak
dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya penyulit perdarahan dan
asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD
yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa
menunjukkan penyulit lainnya. Apabila penderita DBD ini menunjukkan
manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di
rawat inap.

b. DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
- Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (antasida, anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat pada hati.
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Parasetamol (tiap kali pemberian)
Umur (tahun)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1–3 60 – 125 1/8 – 1/4
4–6 125 – 250 1/4 – 1/2
7 – 12 250 - 500 1/2 – 1

Suportif
- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
- Cairan intravena diperlukan, jika (1) anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi dapat mempercepat terjadinya syok, (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
- Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
- Jenis Cairan (rekomendasi WHO) :
a. Jenis Cairan Kristaloid :
1) Larutan ringer laktat (RL)
2) Larutan ringer asetat (RA)
3) Larutan garam faali (GF)
4) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
5) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
6) Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faal (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak
boleh larutan yang mengandung dekstran)
b. Jenis Cairan Koloid :
1) Dekstran 40
2) Plasma
3) Albumin

c. DBD dengan syok (derajat III dan IV, DSS)


- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-
20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30
ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
- Pemberian cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan sampai 24 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam dan selanjutnya 5 ml dan 3
ml apabila tanda vital baik.
- Jumlah urin 1ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
- Oksigen 2-4 liter/menit pada DBD syok.
- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
- Indikasi pemberian darah:
1) Terdapat perdarahan secara klinis
2) Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hemtokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 mg/kgbb.
3) Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil
4) Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna unutk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminator (KID) pada syok berat
yang menimbulkan perdarahan masif.
5) Pemberian trasnfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.
- Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
o Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-
30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
o Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis
pasien stabil.
o Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
o Jumlah dan frekuensi diuresis.
- Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila:
o Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
o Nafsu makan membaik
o Tampak perbaikan secara klinis
o Hematokrit stabil
o Tiga hari setelah syok teratasi
o Jumlah trombosit > 50.000/μl
o Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)

10. KASUS DBD DENGAN PENYULIT


a. Sepsis
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih dari
manifestasi respons inflamasi sistemik dan kecurigaaan terdapatnya infeksi.
Paru adalah organ yang paling sering ditemukan infeksi, diikuti oleh abdomen
dan saluran kemih; tetapi pada 20-30% penderita, lokasi yang pasti dan dapat
menyebabkan terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis tidak
selalu pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan kuman positif. Kultur darah
positif hanya terdapat pada kurang lebih 30%.
Penatalaksanaan sepsis mempunyai tujuan utama menghilangkan sumber
infeksi, memperbaiki dan mengembalikan perfusi jaringan, memperbaiki dan
mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan
septik dapat dibagi tiga kategori yaitu : 1) baku, 2) kontroversial, dan 3) masa
depan (emerging).
Pengobatan Baku
o Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis.
Resusitasi cairan ini dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid.
Pada tahap pertama dapat diberikan 10-20 ml/Kg BB/cairan kristaloid
atau koloid dalam 30 menit. Diharapkan tekanan darah dapat mencapai
lebih dari 90 mmHg dan sebaiknya pemantauan dilakukan dengan
tekanan vena central (CVP). Apabila tekanan vena sentral sudah
mencapai 12-15 mmHg, tetapi keadaan belum membaik maka
pemberian cairan harus hati-hati karena dapat terjadi edema paru.
o Oksigenasi dan Bantuan Ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septik.
Bila renjatan spetik menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan
intubasi endrotakel dan ventilasi mekanik. Pada resusitasi cairan perlu
dipantau hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru. Pada
sindrom gagal napas (ARDS) sebagai komplikasi dari sepsis diberikan
bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
untuk mencegah kolaps alveoli.
o Antibiotika
Pemilihan antibiotika tidak perlu menunggu hasil bikan kuman dan
pada awalnya diberikan antibiotika spektrum luas. Pemilihan
antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara empirik
dari dugaan kuman penyebab (best-guess). Panduan pemilihan
antibiotika pada sepsis (Bartlett, modifikasi) :
 Pengobatan awal aminoglikosid ditambah salah satu
sefalosporin generasi ke-3 (sefitriaxsone, sefoperazon atau
seftazidim), Tikarsilin-Asam Klavunalat, imipenem-Cilastatin.
 Bila dicurigai MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus
Aureus) : ditambah vankomisin, rifampisin.
 Infeksi intra abdominal : ditambah metronidazole atau
klindamisin untuk kuman anaerob.
 Infeksi saluran kemih
 Netropenia : monoterapi dengan seftazidin atau imipenem /
meropenem
o Vasoaktif dan Inotropik
Vasoaktif dan inotropik diberikan pada renjatan septik setelah resusitasi
cairan adekuat. Nonadrenalin (norepinefrin) dosis 0,1 – 2,0
μg/kgBB/mm dan dopamin dosis 2 – 30 μg/kgBB/mm dapat diberikan
dan perlu dipertimbangkan ditambah dengan dobutamin dosis 2 – 20
μg/kgBB/mm.
o Nutrisi
Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil
(misal : 1-2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain
dapat dipertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari
translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian
kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi baru.
b. DIC
Secara klinis, DIC seringkali menyertai proses penyakit sistemik yang berat
tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tukusan jarum yang
ditusukkan ke dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit dapat
ditemukan tanda pateki dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada
banyak organ dan terlihat tanda infark yang luas di kulit, di jaringan sub kutan
atau ginjal. Anemia disebabkan karena hemolisis yang terjadi secara cepat
sehingga terwujud sebagai mikroangiopati anemia hemolitik. Penemuan
pemeriksaan laboratorium tidak dapat ditentukan secara nyata yang sesuai
dengan alur kejadiannya.
Pengobatan
Yang penting mengatasi proses yang memacu terjadinya DIC seperti : infeksi,
syok, asidosis dan hipoxia. Jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan
kekurangan komponen darah dan faktor-faktor pembekuan darah, maka untuk
mengatasi masalah ini penderita diinfus dengan komponen trombosit apabila
penderita menunjukkan gejala trombositopenis berat; diberikan cryoprecipitat
apabila penderita menunjukkan hipofibrinogenemia dan atau fresh frozen
plasma untuk mengganti faktor-faktor koagulasi dan inhibitor natural yang lain.
Pada beberapa penderita pengobatan primer pada penyakitnya tidak memadai
atau tidak tuntas atau pengobatan pengganti tidak efektif untuk mencegah
perdarahan; apabila hal ini terjadi. DIC dapat diobati dengan heparin untuk
mencegah konsumsi faktor koagulasi yang berlanjut. Sejak pemakaian heparin
pada penderita yang mengidap kekurangan factor pembekuan dan trombosit
dapat menyebabkan perdarahan hebat, maka untuk mengatasi masalah ini
pemberian heparin biasanya dimulai bersama-sama dengan faktor pembekuan
dan trombosit. Heparin biasanya dipakai berkelanjutan, diawali dengan dosis
rendah 5-10 /kg/jam. Sejak kadar anti koagulasi menjadi rendah sebagai
akibat dikonsumsi pengobatan dengan AT III memungkinkan dapat menolong
dan akan mempunyai efek potenasi anti trombotik dari heparin. Lama dan
efektivitas pengobatan heparin dapat ditentukan dengan pemeriksaan secara
seri jumlah trombosit, kadar fibrinogen dan D-Dimer. Percobaan awal
pengobatan dengan protein-C konsentrat pada penderita DIC tampaknya
memberikan harapan terutama untuk purpura fulminan. Pengalaman ini bernah
diberikan kepada seorang anak dengan DIC yang ada hubungannya dengan
purpura fulminan dan promyelositik leukemia. Pemberian heparin terus
menerus dengan dosis 10-15 /kg/jam tanpa loading dose pernah diberikan
pada penderita progranulositik leukemia. Heparin tidak diindikasikan dan tidak
efektif pada penderita septic syok, digigit ular beracun, heatstroke, luka kepala
yang luas, reaksi transfuse darah yang tidak jelas ditemukan tanda trombosis
vaskuler.
c. Ensefalopati Dengue
Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung
HCO3 dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa
segera ditukar dengan larutan NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat
perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3
hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg, mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan
diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisisn dan laktulosa. Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari).
Apabila obat-obat tersebut sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini
dapat diganti dengan obat-obat yang masih sensitive dengan kuman-kuman
infeksi sekunder, seperti cefotaxime, cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat,
amoxilline+clavulanat, dan kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan
aminoglycoside. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya: antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat
dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi
yang tepat. Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek. (Soegijanto, 2010).
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan data – data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita kejang demam sederhana dan
dengue hemorrhagic fever atau demam berdarah dengue.
A. Anamnesis
Kejang sejam SMRS. Kejang 1x selama < 15 menit. Kejang seluruh tubuh. Demam 4
jam SMRS. Demam dirasakan tinggi terus menerus. Tidak ada mual muntah. Tidak ada
keluhan batuk pilek. Tidak ada keluhan BAB cair. Tidak BAB hitam. Tidak mimisan.
BAB BAK dirasakan normal. BAK terakhir sesaat SMRS. Pasien masih mau makan
minum namun dalam jumlah sedikit.
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) menurut Livingstone memiliki
beberapa kriteria, yakni:
 Terjadi pada usia 6 bulan – 4 tahun
 Lama kejang singkat kurang dari 15 menit
 Sifatnya kejang umum, tonik dan atau klonik
 Umunya berhenti sendiri dan pasien segera sadar
 Kejang timbul pada 16 jam pertama setelah timbulnya demam
 Tanpa adanya gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
 Tidak ada kelainan neurologi sebelum dan setelah kejang
 Frekuensi kejang kurang dari 4x dalam 1 tahun
 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan adanya kelainan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Februari 2016
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Status gizi : BB: 22 kg
 Vital sign
 TD :-
 Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
 RR : 20x/menit frekuensi teratur
 Suhu : 390C (axiller)
Pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
C. Terapi
Terapi pada saat masuk di IGD yaitu :
 Infus RL 20 tpm makro
 Inj. Norages 3 x 250 mg
 Inj. sibital 2 x 30 mg
 PO : Paracetamol syr 3 x 1 Cth

Dalam pengobatan akut ada 4 prinsip, yaitu :


- Segera menghilangkan kejang
- Turunkan panas
- Pengobatan terhadap panas
- Suportif
Diazepam diberikan dalam dosis 0,3-0,5 mg/kgBB secara IV perlahan-lahan selama 5
menit.
Bersamaan dengan mengatasi kejang dilakukan:
 Bebaskan jalan nafas, pakaian penderita dilonggarkan kalau perlu dilepaskan.
 Tidurkan penderita pada posisi terlentang, hindari dari trauma. Cegah trauma
pada bibir dan lidah dengan pemberian spatel lidah atau sapu tangan diantara
gigi.
 Pemberian oksigen untuk mencegah kerusakan otak karena hipoksia.
 Perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit.
 Segera turunkan suhu badan dengan pemberian antipiretika
(asetaminofen/parasetamol) atau dapat diberikan kompres hangat.
Asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau Ibuprofen 20 mg/kgBB, 4
kali sehari.
 Cari penyebab kenaikan suhu badan dan berikan antibiotik yang sesuai.
 Apabila kejang berlangsung lebih dari 30 menit dapat diberikan
kortikosteroid untuk mencegah edema otak dengan menggunakan cortisone
20-30 mg/kgBB atau dexametason 0,5-0,6 mg/kgBB.
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada bagan tata-laksana
penghentian kejang. (lihat bagan 1).
Pada saat
dibangsal tanggal 3
Maret 2016
Pasien lemas, KU :
tampak lemah,
somnolen
Tanda vital :
 TD : 60/palpasi
mmHg N :
100x/mnt, lemah,
regular
 RR : 20x/mnt
S : 36,4˚C
Ekstremitas : CR <
2”, akral dingin
(+/+)
Hasil Lab :
Trombosit : 6.000 Hct : 53
Leukosit : 17.350 Hb : 18,4
Dengue Hemorrhagic Fever atau demam berdarah dengue adalah penyakit yang
terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang
biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Demam Berdarah dengue adalah salah satu
bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia sedangkan
manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah
dengue.
Demam berdarah dengue / DBD diklasifikasikan menurut manifestasi klinis
yang muncul. WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat
(Soemarmo S.S.P, Gamma H, Hadinegoro S.R.S, 2008) :
 Derajat I : Demam disertai gejala yang tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet yang positif.
 Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit/atau perdarahan lain.
 Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah.
 Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
DBD derajat III dan IV disebut juga Dengue Shock Syndrome (DSS).
Kriteria klinis
 Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus - menerus berlangsung selama 2-7 hari, naik turun
(demam bifasik). Kadang - kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40o C dan dapat
terjadi kejang demam.
 Tanda – tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati, trombosipunia
gangguan fungsi trombosit serta koasulasi intravasculer yang menyeluruh.
 Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit bervariasi dari haya sekedar
diraba sampai 2 - 4 cm di bawah arcus costa kanan.
 Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah
demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan
darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan
gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembasan plasma yang dapat bersifat
ringan atau sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi
buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun,
antara 3 - 7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat,
lemah kecil sampai tidak teraba. Pada saat akan terjadi syok pasien mengeluh nyeri
perut.
Kriteria laboratorium
 Trombositopenia (100.000/mikroliter atau kurang)
 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% menurut standar umur dan
jenis kelamin.
Dua kriteria klinis pertama + trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta
dikonfirmasi secara serologik hemaglutinasi (SPM 2004).
DBD dengan syok (derajat III dan IV, DSS)
- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-20
ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi
tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam,
maksimal 1500 ml/hari.
- Pemberian cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan sampai 24 jam pasca syok. Volume
cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam dan selanjutnya 5 ml dan 3 ml apabila
tanda vital baik.
- Jumlah urin 1ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.
- Oksigen 2-4 liter/menit pada DBD syok.
- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
- Indikasi pemberian darah:
1) Terdapat perdarahan secara klinis
2) Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hemtokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 mg/kgbb.
3) Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil
4) Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna unutk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminator (KID) pada syok berat
yang menimbulkan perdarahan masif.
5) Pemberian trasnfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.
- Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
o Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
o Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
stabil.
o Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
o Jumlah dan frekuensi diuresis.
BAB V
KESIMPULAN

Dalam penegakan diagnosis kejang demam sederhana yang terpenting adalah


anamnesis yang holistik. Agar penanganan kejang dapat segera dilakukan dengan cepat dan
tepat. Sedangkan Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan.
Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen
nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang
baik untuk diagnosis yang lebih dini.
Penangan yang diberikan pada kejang demam sederhana di sesuaikan dengan
algoritma penangan kejang demam. Dan untuk dengue hemoraghic fever pun juga
disesuaikan dengan derajat DHF untuk penatalaksanaan yang komprehensif.
Terapi cairan pada DHF diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis
cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratories untuk
menilai respon kecukupan cairan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Kesehatan Anak. 1995. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dadiyanto, dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang : FK UNDIP.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 2011. Semarang:
BadanPenerbit Universitas Diponegoro

Dharma, R., Hadinegoro, S.R., Priatni, I., 2006. Disfungsi Endotel Pada Demam Berdarah
Dengue. Makara, Kesehatan, Vol 10 (1): 17

Fuadi F. .2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak (Tesis), Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah

Gama, A., Betty, F. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Desa
Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Edisi Oktober. Vol 5 (2) :2 - 4

Hassan & Alatas, dkk, 2002, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak, cetakan kesepuluh,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia Jakarta

IDAI. 2008., Infeksi Virus Dengue. Dalam : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI, 156 – 170

Lumbantobing, S.M., 2004. Kejang Demam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas.

Pusponegoro D.H., Dkk. 2004.Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta :Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Unit
Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006. Staf Pengajar IKA
FKUI.
Soedarmo, S., S., P. 2009. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta, Penerbit
Universitas Indonesia : 32 - 40
Soemarmo S.S.P, Gamma H, Hadinegoro S.R.S, Satari H.I. 2008. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit IDAI : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai