Anda di halaman 1dari 18

KEPANITERAAN KLINIK

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

Disusun oleh:
Wilbert Santoso
01073190051

Pembimbing:
dr. Nata Pratama Hardjo Lugito, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU. PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE NOVEMBER – JANUARI 2020
TANGERANG
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. X
Kelamin : Laki-laki
Usia : 60 tahun
Pekerjaan : Gojek

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama:
Sesak sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan perut membesar sejak 2 hari SMRS hingga menimbulkan sesak.
Pasien berkata bahwa perutnya membesar secara tiba-tiba dan semakin memberat.
Sesaknya pun mulai timbul bersamaan dengan pembesaran perut pasien. Pasien
mengeluhkan adanya sedikit mual dan muntah sekitar 1-2x dalam sehari. Muntahan pasien
tidak mengandung darah/berwarna merah. Pasien tidak pernah mengeluhkan gejala serupa
sebelumnya dan mencoba minum Mylanta untuk gejala sekarang namun tidak membaik.
Pasien tidak mengeluhkan rasa nyeri perut atau begah. Pasien tidak mengeluhkan adanya
diare maupun konstipasi. Pasien mengatakan bahwa warna tinjanya pernah hitam 2 bulan
yang lalu. Pasien mengeluhkan buang air kecilnya berwarna kuning gelap, dan tidak
memiliki penurunan jumlah kencing maupun sakit ketika berkemih. Pasien berkata BAB
sempat berwarna hitam 2 bulan yang lalu, namun sekarang normal dan tidak pucat/dempul.
Pasien mengeluhkan sesak di mana merasa berat ketika bernapas. Sesak pasien terus
ada sejak 2 hari terakhir ini dan semakin memburuk. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada
seperti pengap/ditindih/diikat. Pasien mengeluhkan adanya sedikit nyeri ketika bernapas.
Pasien tidak mengeluhkan batuk, pilek, maupun demam. Pasien merasa bahwa sesaknya
membaik pada posisi duduk dan tidur memakai 2-3 bantal. Selain itu, sesak pasien tidak
menimbulkan gangguan pada saat tidur di malam hari. Pasien masih kuat untuk naik tangga
2 lantai dan tidak kuat jika berjalan jauh.
Pasien tidak mengeluhkan pusing, gangguan tidur, penurunan konsentrasi. Pasien
mengeluhkan rasa lemas akhir-akhir ini. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok maupun
minum alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa.
Pasien tidak memiliki riwayat gula darah tinggi
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluhan serupa di keluarga pasien

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok maupun konsumsi alkohol.

Riwayat Pengobatan
Pasien mencoba minum Mylanta untuk gejala sekarang namun tidak membaik.

1.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


GCS : E4M6V5

Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7 oC
Laju napas : 28x/menit
Saturasi : Tidak bisa diperiksa
Tinggi : 170 cm
Berat badan : 75 kg
IMT : 25,9 (overweight)

Status Generalis
Kulit : Normal
Kepala : Normal
Mata : Conjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (+/+)
Leher : Normal
JVP 5-0 cmH20
Paru : ● Inspeksi: simetris
● Palpasi: pengembangan dada simetris, fremitus simetris
● Perkusi: sonor pada kedua lapang paru, basal kiri kanan
redup
● Auskultasi: vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Jantung : ● Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi: iktus kordis tidak ada heave/thrill
● Perkusi: batas jantung normal
● Auskultasi: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : ● Inspeksi: buncit, spider naevi (+)
● Auskultasi: bising usus (+) normal
● Perkusi: redup, shifting dullness (+)
Traube space: redup
● Palpasi: nyeri tekan (-), rebound tenderness (-)
Palpasi Hepar tidak teraba
Palpasi Limpa: teraba S1
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-) pada ekstremitas atas maupun
bawah

1.4 Pemeriksaan Penunjang


a) EKG: normal, sinus rhythm

b) Laboratorium Darah
Hemoglobin 14,5 N 11.7-15.5 g/dL
Hematocrit 45 N 35-47%
Leukocyte 12.000 ↑ 3,6-11 x 10^3/uL
Thrombocyte 145.000 ↓ 150-440 x 10^3/uL
Ureum 30 N <50 mg/dL
Creatinine 0,9 N 0,6-1,3 mg/dL
eGFR 91,5 N >60
SGOT 45 ↑ 0-32 U/L
SGPT 45 ↑ 0-33 U/L
Albumin 2,5 ↓ 3,4-5,4 g/dL
Bilirubin total 4,0 ↑ 0,2-1,2 mg/dL
Bilirubin direct 2,0 ↑ <0,5 mg/dL
Bilirubin indirect 2,0 ↑ <0,7 mg/dL
PT/PTT/INR
PT
Kontrol 12,1 9,3-12,5
Pasien 14 ↑ 9,4-11,3
INR 1,2
aPTT
Kontrol
Pasien 44 ↑ 30-40
Elektrolit
Na 130 ↓ 137-145 mmol/L
K 3,7 N 3,6-5 mmol/L
Cl 108 N 98-107 mmol/L
GDS 89 N <200 g/dL

c) Urinalisis dalam batas normal


d) X-ray thoraks:
CTR 50%, CVA tumpul kanan dan kiri

1.5 Resume
Laki-laki berusia 60 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut membesar
secara tiba-tiba hingga menimbulkan sesak sejak 2 hari SMRS. Pasien mengeluhkan mual
dan muntah 1-2x sehari. Muntahan tidak mengandung darah. Pasien meminum mylanta
tapi tidak membaik. Pasien mengeluhkan buang air kecil berwarna kuning gelap. Sesak
pasien terasa seperti berat saat bernapas. Sesaknya terus ada sejak 2 hari yang lalu. Tidak
ada rasa pengap/ditindih, tidak ada demam, batuk maupun pilek. Pasien merasa sedikit
nyeri ketika bernapas dan sesaknya mengganggu aktivitas sehari-hari di mana pasien tidak
bisa berjalan jauh. Sesak membaik saat duduk dan pasien memakai 2-3 bantal saat tidur.
Sesak tidak membuat pasien terbangun di malam hari. Pasien mengeluhkan lemas, tapi
tidak pusing atau mengalami penurunan konsentrasi.
Pemeriksaan fisik didapati tekanan darah, nadi, suhu normal, namun pasien mengalami
takipnea (28x/menit). Perkusi pada basal paru kanan kiri redup. Pemeriksaan abdomen
terlihat perut pasien buncit dan terlihat spider naevi. Pada perkusi abdomen didapati suara
redup, shifting dullness (+), traube space redup. Pada palpasi didapati pembesaran limpa
teraba di S1.
Pada laboratorium didapati peningkatan jumlah leukosit (12.000), penurunan sedikit
dari platelet (145.000), SGOT dan SGPT sedikit meningkat (45 dan 45), albumin menurun
(2,5), bilirubin meningkat (total/direct/indirect: 4/2/2), PT dan aPTT sedikit meningkat,
serta hiponatremia ringan (Na 130). Pada pemeriksaan CXR ditemukan CTR dalam batas
normal (50%) dan adanya tumpul CVA kanan maupun kiri. Pemeriksaan EKG dalam batas
normal.

1.6 Daftar Masalah


1. Dyspnea
2. Asites
3. Sirosis Hepatis

1.7 Pengkajian
1. Dyspnea
a. Atas dasar
i. Anamnesis
1. Rasa pengap/ditindih (-)
2. Sesak tidak membangunkan pasien pada malam hari
3. Nyeri sedikit ketika bernapas (+)
4. Batuk (-), demam (-)
5. Membaik pada posisi duduk (+)
6. Sesak saat berjalan jauh (NYHA II)
7. Pembesaran perut 2 hari SMRS
8. Perut membesar hingga menimbulkan sesak
ii. Pemeriksaan Fisik:
1. Pemeriksaan paru: perkusi lapang paru bawah kiri kanan redup, suara
vesikuler +/+, rh -/-, wh-/-
2. Pemeriksaan jantung: dalam batas normal
3. Abdomen tampak buncit dan tegang, spider naevi (+)
4. Perkusi redup pada regio abdomen
5. Asites (+): shifting dullness (+)
iii. Pemeriksaan penunjang:
1. EKG normal
2. CXR menunjukkan CTR 50%, CVA tumpul kanan kiri

b. Dipikiran: pasien sesak napas akibat asites yang menekan diafragma dan
menimbulkan sesak. Asites yang sudah parah juga bisa menimbulkan efusi pleura
akibat migrasi cairan melalui diafragma yang bisa dilihat pada foto toraks dengan
CVA yang tumpul kanan dan kiri. Berdasarkan anamnesis, sesak karena jantung
masih bisa dipikirkan karena pasien mengalami ortopnea (tidur 2-3 bantal), NYHA
kelas II (tidak bisa jalan jauh), namun tidak ada gangguan tidur karena sesak (PNS),
maupun sesak dengan ciri angina (pengap/ditindih). Selain itu jika dilihat pada
pemeriksaan penunjang EKG dalam batas normal, serta pada foto toraks tidak
ditemukan kardiomegali maupun edema paru sehingga kemungkinan penyebab
jantung dapat disingkirkan. Sesak juga kemungkinan tidak ditimbulkan oleh organ
paru karena pasien tidak batuk, demam (yang mungkin menandakan infeksi), dan
pada pemeriksaan fisik tidak ada suara rhonki maupun wheezing. Pada foto toraks
pun juga tidak ditemukan adanya infiltrat sehingga kemungkinan masalah paru
dapat disingkirkan.

c. Rencana diagnostik:
1. Analisa gas darah
2. Rencana diagnostik asites pasien

d. Rencana terapi:
Non-medikamentosa:
1. Tirah baring, pasien posisi duduk bersandar
2. Oksigen nasal kanul 3 LPM
2. Asites
e. Atas dasar
i. Anamnesis
1. Pembesaran perut 2 hari SMRS
2. Perut membesar hingga menimbulkan sesak
3. Tidak ada keluhan air kencing berkurang atau berbusa.
ii. Pemeriksaan Fisik:
1. Sklera ikterik (+/+)
2. Abdomen tampak buncit dan tegang, spider naevi (+)
3. Perkusi redup pada regio abdomen
4. Asites (+): shifting dullness (+)
iii. Pemeriksaan penunjang:
1. Trombositopenia
2. Leukositosis
3. SGOT & SGPT meningkat
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
6. Ureum, kreatinin, eGFR dalam batas normal
7. Urinalisis normal

f. Dipikiran: asites ec sirosis hepatis karena hipertensi portal yang membuat tekanan
hidrostatik meningkat, ditambah hipoalbuminemia yang membuat tekanan onkotik
menurun. Asites kemungkinan bukan berasal dari masalah ginjal karena pasien
tidak mengeluhkan masalah pada buang air kecil dan pemeriksaan
ureum/kreatinin/eGFR maupun urinalisis dalam batas normal (tidak ada kencing
berbusa, hematuria, proteinuria, maupun RBC atau WBC pada urinalisis sehingga
tidak ada sindroma nefrotik maupun nefritik). Selain itu, dicurigai terjadi SBP
karena terdapat leukositosis pada CBC.

g. Rencana diagnostik:
1. USG abdomen
2. HbsAg, anti-HBs, anti-HBc & Anti-HCV
3. Parasentesis & analisa cairan asites
4. Gradien albumin serum-asites
5. Endoskopi: esophagogastroduodenoscopy (EGD)

h. Rencana terapi:
Non-medikamentosa:
1. Tirah baring
2. IV stopper
3. Diet: rendah garam (40-60 meq/hari)

Medikamentosa:
1. Diuretik:
- Spironolakton PO 1x100 mg, naikkan dosis hingga maksimum 1x400 mg
bila sasaran penurunan berat badan tercapai (0,5 – 1 kg)
2. Norfloxacin IV 1x400 mg hingga resolusi asites

2. Sirosis hepatis
a. Atas dasar
i. Anamnesis
1. Mudah Lelah
2. Mual dan muntah 1-2x sehari
3. Perut membesar hingga sesak sejak 2 hari SMRS
ii. Pemeriksaan fisik
1. Sklera ikterik (+/+)
2. Limpa teraba S1, perkusi traube space redup
3. Abdomen tampak buncit dan tegang, spider naevi (+)
4. Asites (+): shifting dullness (+)
5. Edema ekstremitas minimal
iii. Pemeriksaan penunjang
1. SGOT-SGPT meningkat sedikit
2. Hipoalbuminemia
3. Total, direct, dan indirect bilirubin meningkat. Kadar direct dan
indirect bilirubin kurang lebih sama
4. Hiponatremia
5. Trombositopenia
6. PT sedikit meningkat
Dipikiran: Sirosis hepatis, dd/ HCC. Dipikirkan sirosis hepatis yang tidak
terkompensasi karena sudah terjadi asites, splenomegali (akibat hipertensi
portal yang menjadi backflow ke arteri lienalis), hipoalbuminemia,
trombositopenia (sekuestrasi di limpa), SGOT-SGPT meningkat sedikit (karena
mayoritas hepatosit sudah rusak), hiponatremia karena retensi air berlebih yang
membuat osmolalitas natrium berkurang, bilirubin total, direct, dan indirect
meningkat serta jaundice bersifat intrahepatik, serta adanya peningkatan PT
karena gangguan sintesis faktor koagulasi oleh hati.

b. Rencana diagnostik
1) USG abdomen
2) HbsAg, anti-HBs, anti-HBc & Anti-HCV
3) Cek AFP
4) Endoskopi: esophagogastroduodenoscopy (EGD)

c. Rencana terapi
Non-medikamentosa:
1. Tirah baring
2. IV stopper
3. Diet rendah garam (40-60 meq/hari)
4. Memperbaiki nutrisi dan kebutuhan kalori

Medikamentosa:
1. Diuretik:
- Spironolakton PO 1x100 mg, naikkan dosis hingga maksimum 1x400 mg
bila sasaran penurunan berat badan tercapai (0,5 – 1 kg)
- Zinc sulfat PO 1x50 mg saat makan
- Ondansetron PO 1x4 mg

1.8 Prognosis
Ad vitam: dubia ad malam
Ad functionam: dubia ad malam
Ad sanationam: dubia ad malam
BAB II
ANALISA KASUS

Sirosis hepatis memiliki definisi penyakit hati kronis berupa fibrosis akibat nekrosis sel
hati yang bersifat ireversibel serta formasi nodul-nodul regenerasi dari liver yang akan berakhir
pada kerusakan susunan parenkim hati dan perubahan sirkulasi mikro maupun makro yang
tidak teratur1, 2.
Etiologi sirosis bermacam-macam, bisa dari konsumsi alkohol (jarang di Indonesia),
infeksi virus hepatitis B maupun C, sirosis akibat autoimun, primary billiary cirrhosis, fatty
liver non-alkoholik, penyakit kongenital seperti hemochromatosis, wilson disease, dan alfa-1
antitripsin defisiensi, galaktosemia, cholangitis, dan lain-lain1. Di Indonesia, penyebab
tersering dari sirosis hepatis adalah infeksi kronis dari virus hepatitis B3. Oleh karena itu, pada
pasien ini dapat dicari etiologi dari sirosis hepatisnya yaitu dengan tes serologi seperti HBsAg,
anti-HBs, anti-HBc, serta anti-HCV untuk hepatitis C.
Patofisiologi dari sirosis adalah penyakit hati kronis dengan kematian sel hati, yang
bisa dilihat pada kenaikan enzim hati (SGOT-SGPT) di mana terjadi inflamasi dan berakhir
dengan fibrosis. Seiring hilangnya sel-sel hati, fungsi hati seperti mengkonjugasi bilirubin
indirect menjadi direct serta mengekskresikan bilirubin tersebut. Sintesis protein seperti
albumin juga akan berkurang pada sirosis hepatis, di tambah dengan retensi air yang membuat
hemodilusi sehingga terjadi hipoalbuminemia. Sintesis protein lain seperti faktor koagulasi
bisa juga terhambat sehingga menyebabkan peningkatan waktu PT dan INR. Fibrosis yang
semakin memburuk akan menghambat aliran darah vena porta dan menyebabkan backflow
serta peningkatan tekanan sistem vena porta. Peningkatan tekanan ini juga akan berpengaruh
ke vena lienalis dan menyebabkan splenomegali, lalu sekuestrasi platelet yang menyebabkan
trombositopenia. Varises seperti di esofagus juga dapat terbentuk bahkan ruptur pada tekanan
tinggi tersebut. Tekanan yang tinggi pada sistem porta ditambah dengan hipoalbuminemia
maupun retensi cairan akan menyebabkan cairan keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan
ascites1, 2.
Stadium dari sirosis terbagi dua, yaitu terkompensasi dan dekompensasi. Pasien yang
terkompensasi berarti sudah terdapat fibrosis pada hati, namun masih bisa melakukan fungsi
dasarnya sehingga tidak menimbulkan gejala. Pasien dengan sirosis dekompensasi
menunjukkan bahwa hati sudah tidak bisa melakukan fungsinya dengan baik sehingga timbul
gejala seperti ascites, jaundice, pendarahan variseal, atau ensefalopati hepatik. Pasien ini sudah
mulai terjadi dekompensasi karena mulai terdapat gejala seperti ascites dan sklera ikterik4.
Ascites adalah akumulasi patologis dari ruang peritoneal yang sering terlihat pada
sirosis dekompensasi. Teori terbentuknya asites berupa overflow, underfill, serta vasodilatasi
arteri perifer. Teori underfill menyatakan bahwa terjadi sekuestrasi cairan yang abnormal pada
splanchic vascular bed karena hipertensi portal dan terjadinya penurunan volume darah yang
bersirkulasi. Hal ini mengaktivasi renin plasma, aldosterone (RAAS), dan saraf simpatetik
yang akan berakhir pada retensi cairan dan natrium. Teori overflow merupakan terjadinya
retensi natrium dan cairan tanpa adanya deplesi volume darah akibat stimulasi dari hormon
antidiuretik (ADH) serta berkurangnya hormon natriuretik karena pengurangan fungsi hati.
Kedua mekanisme tersebut akan berujung pada vasodilatasi sistem portal, yang akan berakibat
pada berkurangnya volume darah arterial efektif. Semakin parah proses penyakitnya, aktivasi
neurohormonal semakin meningkat, sehingga lebih banyak retensi natrium dan volume plasma
terekspansi. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik (ditambah penurunan
onkotik karena hipoalbuminemia akibat sirosis) sehingga terjadi overflow cairan ke ruang
peritoneum1, 5.
Pada ascites yang sudah parah, sesak bisa terjadi akibat penekanan cairan ke diafragma
maupun terjadinya migrasi dari cairan melewati diafragma dan menyebabkan efusi pleura6.
Pada pasien ini, ascites pada perut sudah membuat pasien menjadi sesak karena menekan
diafragma, dan mulai terjadi efusi pleura karena pada foto toraks ditemukan CVA tumpul baik
kanan maupun kiri.
Tabel 1. Derajat asites

Selain ascites, pada pasien ini didapati tanda dan gejala dari sirosis hepatis lainnya.
Sklera ikterik terjadi akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang nantinya bisa dilihat
dari hasil laboratorium (Total/indirect/direct: 4/2/2). Terlihat juga spider naevi di abdomen
sebagai salah satu tanda hipertensi portal selain ascites. Selain itu pada palpasi ditemukan
splenomegali teraba di S1 yang merupakan akibat dari peningkatan tekanan vena
lienalis/splanchic dari backflow vena portal. Pada perkusi ditemukan suara seluruh regio
abdomen redup (menandakan cairan) dan adanya shifting dullness yang mengkonfirmasi
ascites. Pada pemeriksaan hasil lab ditemukan sedikit peningkatan enzim hati (akibat banyak
hepatosit yang sudah rusak), hipoalbuminemia, serta PT yang sedikit meningkat akibat
penurunan fungsi hati untuk sintesis protein maupun faktor koagulasi. Pasien ini juga memiliki
sedikit trombositopenia (145.000/uL) yang bisa disebabkan dari sekuestrasi di limpa maupun
berkurangnya produksi trombopoietin di hati. Pada pasien sirosis bisa terjadi anemia dari
beberapa mekanisme seperti sekuestrasi limpa, gangguan eritropoietin, supresi sumsum tulang,
serta kehilangan darah (perdarahan, hemolisis). Namun pada pasien ini ditemukan Hb masih
dalam batas normal sehingga tidak anemia.
Hiponatremia hipervolemik bisa terjadi pada pasien sirosis hepatis akibat mekanisme
retensi cairan oleh RAAS dan ADH. RAAS menyebabkan retensi natrium dan air dan hormon
ADH akan meretensi cairan lebih banyak lagi. Ekspansi plasma oleh retensi akan menyebabkan
dilusi, sehingga terjadi hiponatremia7. Hiponatremia dapat terbagi menjadi ringan (130-134
meq/L), sedang (125-129 meq/L), dan berat (<125 meq/L). Pada pasien ini masih dalam
kategori ringan, yaitu 130 meq/L.
Komplikasi dari sirosis hepatis selain ascites adalah varises esofagus, ensefalopati
hepatik, karsinoma hepatoseluler, serta peritonitis bakteri spontan. Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya muntah darah yang menandakan ruptur varises esofagus. Pada pasien sirosis
dapat dilakukan skrining pencegahan varises esofagus dengan endoskopi, di mana pasien yang
masih dalam tahap kompensasi dilakukan dalam 12 bulan setelah diagnosis sirosis. Bila sirosis
sudah muncul komplikasi (seperti perdarahan, ensefalopati, asites, karsinoma hepatoseluler)
maka skrining dilakukan dalam 3 bulan setelah diagnosis. Bila varises kecil ditemukan, maka
endoskopi harus dilakukan kembali dalam 1 tahun. Bila varises sedang hingga besar
ditemukan, maka pemberian pengobatan seperti beta blocker perlu dipertimbangkan dan ligasi
perlu dilakukan. Studi menemukan bahwa ligasi adalah terapi yang lebih superior dibanding
beta blocker dalam pencegahan perdarahan varises esofagus. Beta blocker tidak diindikasikan
pada pasien tanpa varises esofagus maupun riwayat perdarahan esofagus8.
Pasien sirosis dengan infeksi hepatitis B maupun C memiliki risiko untuk mendapat
karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan sirosis dapat diskrining setiap 6 bulan dengan USG
abdomen dengan atau tanpa alfa-fetoprotein (AFP) untuk melihat ada atau tidaknya HCC9.
Pada pasien ini belum terjadi ensefalopati hepatik karena pasien belum mengeluhkan
penurunan konsentrasi, kebingungan, maupun disorientasi. Ensefalopati hepatik dapat dinilai
dengan west-haven criteria. Ensefalopati terjadi karena molekul-molekul toksik yang
dihasilkan oleh bakteri usus seperti amonia, mercaptan, short-chain fatty acid dan fenol.
Molekul tersebut biasa masuk ke hepar melalui vena porta. Karena hepar tidak bisa
metabolisme toksin tersebut karena sirosis, maka molekul tersebut tetap ada di sirkulasi hingga
masuk ke otak8. Bila terjadi ensefalopati maka pasien dapat diberikan obat yang mengubah
salah satu toksin seperti amonia menjadi urea, yaitu dengan L-ornitin L-aspartate; serta
laktulosa yang menginduksi absorpsi nitrogen ke dalam bakteri flora usus, sehingga
mengurangi kadar bakteri yang membentuk amonia yang bisa terabsorpsi di usus11. Laktulosa
juga menyerap amonia dari darah maupun jaringan ke lumen kolon untuk dibuang12.

Tabel 1. Kriteria West Haven untuk ensefalopati hepatikum

Untuk mengukur derajat keparahan sirosis serta prognosis dari sirosis hepatis dapat
menggunakan skor Child-pugh yang melampirkan derajat sirosis 1 sampai 3 dengan melihat
derajat asites, kadar serum bilirubin, albumin, PT, serta derajat ensefalopati.
Tabel 2. Skor Child-Pugh13

Ensefalopati minimal yaitu kelas I dan II atau tersupresi dengan obat, sedangkan
ensefalopati advanced adalah kelas III dan IV atau refrakter. Untuk PT bisa juga diganti
berdasarkan INR yaitu <1,7 (1 poin); 1,7 – 2,3 (2 poin); dan >2,3 (3 poin). Pada pasien ini
serum bilirubin adalah 4, serum albumin 2,5, INR 1,2, tanpa ensefalopati hepatikum, dengan
asites yang berat (hingga sesak) sehingga total poin adalah 11 poin.
Pasien ascites awitan pertama perlu dilakukan diagnostik parasentesis. Hal ini perlu
untuk membedakan apakah cairan memang disebabkan oleh hipertensi porta atau dari
penyebab lain. Pengambilan cairan biasa diambil di kuadran kiri bawah abdomen. Penampakan
cairan dapat diperhatikan, dapat berkisar dari jernih hingga bernanah atau adanya darah.
Pemeriksaan gradien albumin serum-asites (SAAG) mengukur konsentrasi albumin serum dan
cairan asites dari spesimen, dan dihitung dengan mengurangi nilai albumin serum dari nilai
cairan asites. Apabila SAAG >1.1 g/dL mencerminkan adanya hipertensi porta karena adanya
peningkatan tekanan di sinusoid hepatik, sementara apabila SAAG <1.1 g/dL menyarankan
bahwa asites tidak terkait hipertensi portal seperti pada peritonitis tuberkulosis, karsinomatosis
peritoneal atau asistes pankreas. Selain secara diagnostik, parsentesis pada khususnya dapat
dilakukan sebagai pendekatan terapeutik untuk mengeluarkan cairan dari rongga asites. Cairan
yang dikeluarkan beriksar antara 4-6 L dimana untuk setiap liter cairan yang dikeluarkan
diajurkan untuk memberi subtitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Demikian
kebutuhan mengukur kadar albumin pasien dapat dievaluasi terlebih dahulu, dan paresentesis
tidak dianjurkan pada sirosis dengan asites berulang/refrakter14.
Ascites perlu diterapi dengan restriksi intake natrium dan penggunaan diuretik. Diet
rendah garam dapat menghasilkan balance natrium negatif pada 10% pasien dan terasosiasi
dengan kebutuhan terapi diuretik yang lebih rendah, resolusi yang lebih cepat, dan periode
rawat inap yang lebih pendek. konsumsi garam per hari dapat dibatasi hingga 40-60 meq atau
maksimal 2 gram/hari14, 15. Pasien juga tidak diperbolehkan minum air atau intake cairan dalam
kuantitas banyak. Rata-rata pasien hanya diperbolehkan meminum 500-1000 ml air setiap
harinya. Hal ini dianjurkan untuk proses diuresis dimana pemasukan cairan lebih sedikit
daripada saat pengeluaran demi mencapai balance negatif. Target urin pasien diharapkan
beriksar antara 1500-2000 ml setiap 24 jam. Diuretik pada pasien ascites berupa antagonis
aldosterone, yaitu spironolakton sehingga menghambat reabsorpsi natrium dan menghemat
kalium. Dosis regimen yaitu inisiasi 100 mg 1 kali/hari dengan sasaran penurunan berat 0,5-1
kg/hari. Akan ada delay 3-5 hari dari inisiasi spironolakton hingga terlihat efek natriuresis pada
pasien. Bila sasaran penurunan tercapai, maka dosis ditingkatkan perlahan hingga 400 mg per
hari untuk mencapai natriuresis yang adekuat15. Bila pasien ascites dengan edema, dapat
ditambahkan furosemide 20-40 mg/hari dengan catatan pasien tidak hipokalemia.
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) juga dapat terjadi pada pasien dengan asites
yang tidak terkontrol. Komplikasi ini dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan cairan asites di
mana cell count untuk sel PMN >250/mm3 atau dengan gram stain maupun kultur. Pasien
dengan asites yang layak diberikan antibiotik profilaksis adalah pasien dengan riwayat SBP,
perdarahan gastrointestinal atas, serta pasien dengan level protein yang rendah (≤15 g/L) pada
cairan asitesnya. Pada pasien ini tidak memiliki riwayat SBP maupun perdarahan saluran
pencernaan atas, namun belum dilakukan pemeriksaan level protein pada cairan asitesnya. Bila
pasien memenuhi indikasi terapi profilaksis, maka dapat diberi antibiotik fluoroquinolone
seperti norfloxacin 400 mg setiap hari hingga resolusi dari asites16.
Pasien dengan penyakit hepatoseluler memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
defisiensi protein dan defisiensi mikronutrien. Diet pada pasien penyakit liver kronis
didasarkan pada diet standar dengan tambahan suplemen. Restriksi gizi dapat berdampak buruk
dan harus disesuaikan pada pasien masing-masing. Tujuan diet adalah untuk memperbaiki level
protein-calorie malnutrition (PCM), memastikan nutrisi yang adekuat, dan mendapatkan
keseimbangan nitrogen yang positif untuk menghindari substansi hepatotoksik. Prognosis akan
menjadi lebih baik bila nutrisi dikoreksi lebih dini17. Makanan sebaiknya dimasak hingga
benar-benar matang karena pasien lebih berisiko terkena infeksi, dan didistribusikan menjadi
5-7 porsi per hari untuk mencegah overload protein maupun mual/muntah18. Makanan
kecil/snack pada sore hari bisa memberikan efek positif pada keseimbangan nitrogen,
meningkatkan massa otot dan menangani sarcopenia, meningkatkan kualitas hidup, serta
mengurangi keparahan dan frekuensi ensefalopati hepatik serta meningkatkan prognosis.
Disarankan untuk mengkonsumsi snack malam hari sekitar 700 kalori dan sekitar 25 gram
protein untuk menjaga massa otot, sehingga mengurangi periode puasa malam hari (lebih dari
6 jam) dan mereduksi laju katabolisme19.
Pasien dengan sirosis disarankan mendapat asupan protein 1,2 – 1,6 g/kgBB per hari20.
Pada pasien asites, perlu ada restriksi garam. Restriksi cairan baru disarankan pada pasien
dengan hiponatremia berat (Na < 120 mEq/mL). Karbohidrat diperlukan sekitar 60% dari total
kalori nonprotein pasien per harinya, dan sisa kalori nonprotein lain didapatkan dari lipid21.
Energi total sekitar 35-40 kkal/kgBB/hari biasanya cukup untuk mengembalikan/menjaga
status nutrisi dan meningkatkan regenerasi hati19. Dalam kondisi asites, berat badan untuk
perhitungan menggunakan berat badan ideal pasien17. Selain kalori, ada nutrisi lain yang
cenderung hilang pada penyakit sirosis seperti zinc (bisa meningkatkan level amonia di
sirkulasi), vitamin K (berkurangnya simpanan di hepar), vitamin D, vitamin B12, asam folat,
serta thiamine. Suplementasi disarankan dilakukan secepatnya, sebagai contoh: suplemen zinc
dua kali lipat dari kebutuhan per hari, biasa diberikan elemental zinc (zinc sulfat) 50 mg/hari
dan diberikan saat makan untuk menghindari mual21, 22; vitamin K dipertimbangkan bila pasien
memiliki risiko perdarahan tinggi23; suplementasi vitamin lain seperti B12 dan asam folat
karena berkurangnya simpanan di hepar.
REFERENSI

1. Harrison T, Kasper D. Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-


Hill Medical Publ. Division; 2015.
2. Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 22
November 2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482419/
3. H Muljono D. Epidemiology of Hepatitis B and C in Republic of Indonesia. Euroasian
J Hepatogastroenterol. 2017;7(1):55-59. doi:10.5005/jp-journals-l0018-1212
4. Samonakis DN, Koulentaki M, Coucoutsi C, et al. Clinical outcomes of compensated
and decompensated cirrhosis: A long term study. World J Hepatol. 2014;6(7):504-512.
5. Moore CM, Van Thiel DH. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and
management. World J Hepatol. 2013;5(5):251-263.
6. Chiejina M, Kudaravalli P, Samant H. Ascites [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited
22 November 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470482/
7. John S, Thuluvath PJ. Hyponatremia in cirrhosis: pathophysiology and
management. World J Gastroenterol. 2015;21(11):3197-3205.
8. Starr SP, Raines D. Cirrhosis: diagnosis, management, and prevention. Am Fam
Physician. 2011 Dec 15;84(12):1353-9.
9. Harris PS, Hansen RM, Gray ME, Massoud OI, McGuire BM, Shoreibah MG.
Hepatocellular carcinoma surveillance: An evidence-based approach. World J
Gastroenterol. 2019;25(13):1550-1559.
10. Weissenborn K. Hepatic Encephalopathy: Definition, Clinical Grading and Diagnostic
Principles. Drugs. 2019;79(Suppl 1):5-9.
11. Isabel VC, Luis RJ. Efficacy of oral L-ornithine L-aspartate in cirrhotic patients with
hyperammonemic hepatic encephalopathy. Annals of Hepatology. 2011;10:S55-S59.
12. Ferenci P. Hepatic encephalopathy. Gastroenterol Rep (Oxf). 2017;5(2):138-147.
13. Yu AS, Keeffe EB. Liver transplantation. In: Zakim D, Boyer TD, editors. Hepatology:
a textbook of liver disease. 4th edition. Philadelphia: Elsevier; 2003. p. 1617–56.
14. Nurdjanah, Siti., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Sirosis Hati, Asites. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
p.443-6, 1984-1986
15. Moore KP, Aithal GP. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. Gut.
2006;55 Suppl 6(Suppl 6):vi1-vi12.
16. (UK) N. Primary prevention of spontaneous bacterial peritonitis (SBP) in people with
cirrhosis and ascites [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 22 November 2020].
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK385197/
17. Silva M, Gomes S, Peixoto A, et al. Nutrition in Chronic Liver Disease. GE Port J
Gastroenterol. 2015;22(6):268-276.
18. Rivera-Irigoin R., Abilés J. Nutritional support in patients with liver cirrhosis.
Gastroenterol Hepatol. 2012;35:594–601.
19. Plauth M., Cabré E., Riggio O., Assis-Camilo M., Pirlich M., Kondrup J. ESPEN
guidelines on enteral nutrition: liver disease. Clin Nutr. 2006;25:285–294.
20. Bémeur C., Butterworth R.F. Nutrition in the management of cirrhosis and its
neurological complications. J Clin Exp Hepatol. 2014;4:141–150.
21. Plauth M., Cabré E., Campillo B., Kondrup J., Marchesini G., Schütz T. ESPEN
guidelines on parenteral nutrition: hepatology. Clin Nutr. 2009;28:436–444.
22. McClain CJ. Nutrition in Patients With Cirrhosis. Gastroenterol Hepatol (N Y).
2016;12(8):507-510.
23. Gundling F., Teich N., Strebel H., Schepp W., Pehl C. Ernahrung bei leberzirrhose.
Med Klin. 2007;102:435–444.

Anda mungkin juga menyukai