Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI

OSTEOMIELITIS

Disusun oleh:
Wilbert Santoso
01073190051

Pembimbing:
dr. Jeanne Leman Sp.Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI PERIODE MEI 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem muskuloskeletal manusia merupakan jalinan berbagai jaringan, baik itu jaringan
pengikat, tulang maupun otot yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Fungsi
utama sistem ini adalah sebagai penyusun bentuk tubuh dan alat untuk bergerak. Oleh karena
itu, jika terdapat kelainan pada sistem ini maka kedua fungsi tersebut juga akan terganggu.
Infeksi muskuloskeletal merupakan penyakit yang umum terjadi; dapat melibatkan seluruh
struktur dari sistem muskuloskeletal dan dapat berkembang menjadi penyakit yang berbahaya
bahkan membahayakan jiwa.
Osteomielitis merupakan suatu bentuk proses inflamasi pada tulang dan struktur-
struktur di sekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik. Staphylococcus adalah
organisme yang bertanggung jawab untuk 90% kasus osteomyelitis akut. Organisme lainnya
termasuk Haemophilus influenzae dan salmonella. Pada masa anak-anak penyebab
osteomyelitis yang sering terjadi ialah Streptococcus, sedangkan pada orang dewasa ialah
Staphylococcus.
Diagnosis infeksi tulang dan sendi biasanya dapat dibuat dari tanda-tanda yang tampak
pada pemeriksaan fisik. Pada lokasi perifer seperti efusi sendi dan dan nyeri pada metafisis
yang terlokalisir, dengan atau tanpa pembengkakan, membuat diagnosis relatif mudah. Namun
pada panggul, pinggul, tulang belakang, tulang belikat dan bahu, penegakan diagnosis
terjadinya infeksi sulit untuk ditentukan. Sehingga, pemeriksaan penunjang, dalam hal ini,
pencitraan dapat memudahkan dan menegakkan diagnosis dari osteomielitis. Pemeriksaan
pencitraan radiaografi yang dapat dilakukan ialah ultrasound, foto polos, Computed
Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan radionuklir. Pemeriksaan
tersebut dapat memudahkan dokter dalam menegakkan diagnosis osteomielitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang dan
struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik seperti bakteri,
fungi, atau mikobakteria. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang,
melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan periosteum1.

2. Epidemiologi
Data Osteomielitis pasca–trauma terjadi sebanyak 47% osteomielitis dalam
beberapa kasus. Osteomielitis hematogenous utamanya merupakan penyakit pada anak-
anak, dengan 85% kasus terjadi pada pasien yang lebih muda dari 17 tahun, dan hal ini
menyumbang sekitar 20% dari kasus osteomielitis secara keseluruhan. Sekitar 20%
kasus pada pasien osteomielitis dewasa adalah bersifat hematogen, yang lebih sering
terjadi pada laki-laki (laki-laki:perempuan = 3:2) untuk alasan yang tidak diketahui.
Data insidensi kasus osteomielitis di seluruh dunia masih belum ada, namun di Amerika
Serikat insidensi osteomielitis adalah 21,8 kasus dari 100.000 orang per tahun pada
rentang 1969-2009. Insidensi kasus juga meningkat seiring bertambahnya usia
dikarenakan faktor komorbid seperti diabetes melitus maupun penyakit vaskuler
perifer2.

3. Etiologi
Penyebab dari osteomielitis bisa berupa primer (hematogen) maupun sekunder (trauma,
operasi, atau sepsis). Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit,
jamur, dan bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis, tetapi paling sering disebabkan
oleh bakteri piogenik tertentu dan mikobakteri3. Penyebab osteomielitis pyogenik
adalah kuman Staphylococcus aureus (prevalensi 89-90%), Escherichia coli,
Pseudomonas, dan Klebsiella. Pada periode neonatal, Haemophilus influenzae dan
kelompok B streptokokus seringkali bersifat patogen4, 5.
Gambar 2.1. Etiologi dan insidensi osteomielitis hematogen6

4. Struktur Tulang
Tulang pada dasarnya adalah jaringan ikat yang termineralisasi dan merupakan
anggota gerak pasif pada manusia. Tulang merupakan jaringan ikat yang memiliki
kemampuan untuk remodelling sesuai kebutuhan tubuh7. Sel untuk pembentukan tulang
dinamakan osteoblas yang akan bergabung dengan osteoid yang termineralisasi dan
berkembang menjadi osteosit (sel tulang dewasa). Sebaliknya, sel untuk mendegradasi
osteosit dinamakan osteoklas. Sistem tulang terdiri atas sendi, tendon, otot, ligamen,
rangka, dan bursae.
Struktur tulang sendiri terdiri atas7:
a. Periosteum
Pada lapisan pertama kita akan bertemu dengan yang namanya
periosteum. Periosteum merupakaan selaput luar tulang yang tipis.
Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang),
jaringan ikat dan pembuluh darah. Periosteum merupakan tempat
melekatnya otot-otot rangka ke tulang dan berperan dalam memberikan
nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang.
b. Tulang Kompak (Compact bone)
Pada lapisan kedua ini kita akan bertemu dengan tulang kompak.
Tulang ini teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki
sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (kalsium fosfat dan
kalsium karbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan
tulang manusia dewasa lebih banyak mengandung kapur dibandingkan
dengan anak-anak maupun bayi. Bayi dan anak-anak memiliki tulang yang
lebih banyak mengandung serat-serat sehingga lebih lentur. Tulang kompak
paling banyak ditemui pada tulang kaki dan tulang tangan.

c. Tulang Spongiosa (Spongy bone)


Pada lapisan ketiga ada yang disebut lapisan spongiosa. Sesuai
dengan namanya tulang Spongiosa memiliki banyak rongga. Rongga
tersebut di isi oleh sumsum tulang merah yang dapat memproduksi sel-sel
darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut
trabekula.

d. Sumsum tulang (Bone Marrow)


Lapisan terakhir yang kita temukan dan yang paling dalam adalah
sumsum tulang. Sumsum tulang wujudnya seperti jelly yang kental.
Sumsum tulang dilindungi oleh tulang spongiosa seperti yang telah
dijelaskan di bagian tulang spongiosa. Sumsum tulang berperan penting
dalam tubuh kita karena berfungsi memproduksi sel-sel darah yang ada
dalam tubuh.
Gambar 2.2. Struktur tulang (pipa).

Untuk tulang pipa sendiri dibagi menjadi 3 bagian yaitu7:


• Epifisis: bagian ujung-ujung tulang pipa. Bagian ini berbentuk bulat sehingga
keseluruhan tulang pipa terlihat benar-benar seperti pipa. Pada ujung epifise
dilapisi oleh tulang rawan. Bagian epifise dibedakan menjadi dua yaitu distal
epifise (bagian yang jauh dengan torso) dan proksimal epifise (bagian yang
dekat dengan torso). Bagian ini terdiri dari tulang spons dan sumsum merah,
sebagai tempat sel darah merah dibuat.
• Metafisis: metafise adalah bagian diantara epifise dan diafise yang tersusun atas
tulang rawan. Pada bagian ini terdapat cakra epifise yang dapat memanjang.
Pada masa pertumbuhan sel tulang pada bagian ini membelah untuk
penambahan panjang tulang. Hal ini dipengaruhi oleh hormon gonadotropin
yang diatur hipotalamus.
• Diafisis: merupakan bagian tulang pipa yang memiliki rongga dan berbentuk
silindris. Di dalamnya terdapat sumsum tulang yang tersusun dari pembuluh
darah dan pembuluh saraf.

5. Patogenesis
Infeksi dalam sistem muskuloskeletal dapat berkembang melalui beberapa cara.
Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka penetrasi langsung, melalui
penyebaran hematogen dari situ infeksi didekatnya ataupun dari struktur lain yang jauh,
atau selama tulang yang terpapar langsung ketika trauma atau pembedahan1.
Osteomielitis juga bisa terjadi dikarenakan infeksi yang berhubungan dengan
insufisiensi vaskuler maupun neurologi8.
Osteomielitis hematogen cenderung akan menyerang anak-anak pada tulang
panjang. Pada orang dewasa, osteomielitis hematogen cenderung menyerang tulang
belakang9. Ujung metafisis tulang panjang merupakan tempat predileksi untuk
osteomielitis hematogen. Diperkirakan bahwa end-artery dari pembuluh darah yang
menutrisinya bermuara pada vena-vena sinusoidal yang berukuran jauh lebih besar,
sehingga menyebabkan terjadinya aliran darah yang lambat dan berturbulensi pada
tempat ini. Kondisi ini mempredisposisikan bakteri untuk bermigrasi melalu celah pada
endotel dan melekat pada matriks tulang. Selain itu, rendahnya tekanan oksigen pada
daerah ini juga akan menurunkan aktivitas fagositik dari sel darah putih. Dengan
maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan ciri aliran darah yang lamban tidak ada
lagi. Sehingga osteomielitis hematogen pada orang dewasa merupakan suatu kejadian
yang jarang terjadi.
Infeksi hematogen ini akan menyebabkan terjadinya trombosis pembuluh darah
lokal yang pada akhirnya menciptakan suatu area nekrosis yang kemudian berkembang
menjadi abses. Akumulasi pus dan peningkatan tekanan lokal akan menyebarkan pus
hingga ke korteks melalui sistem Havers dan kanal Volkmann hingga terkumpul di
bawah periosteum menimbulkan rasa nyeri terlokalisir di atas daerah infeksi. Abses
subperiosteal kemudian akan menstimulasi pembentukan involukrum periosteal (fase
kronis). Apabila pus keluar dari korteks, pus tersebut akan dapat menembus jaringan
lunak disekitarnya hingga ke permukaan kulit, membentuk suatu sinus drainase.
Faktor-faktor sistemik yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis osteomielitis
termasuk diabetes mellitus, immunosupresan, penyakit imundefisiensi, malnutrisi,
gangguan fungsi hati dan ginjal, hipoksia kronik, dan usia tua. Sedangkan faktor-faktor
lokal adalah penyakit vaskular perifer, penyakit stasis vena, limfedema kronik, arteritis,
neuropati, dan penggunaan rokok1, 9.
Gambar 2.3. Patogenesis osteomielitis

6. Klasifikasi Osteomielitis
Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan ostemielitis.
Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya gejala : akut,
subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit
dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada
anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya
setelah pemasangan prosthesis dan sebagainya10.
Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.
Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada
episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum10.
Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Lew dan Waldvogel yang
mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan durasi penyakit (akut atau
kronik) serta mekanisme infeksinya (hematogen atau kontak). Mekanisme kontak lalu
diklasifikasikan lagi dengan ada atau tidaknya insufisiensi vaskuler11.
Cierny-Mader mengembangkan suatu sistem staging untuk osteomielitis yang
diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan status fisiologis dari
penderitanya. Stadium 1 – medular, stadium 2 – korteks superfisial, stadium 3 –
medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan stadium 4 – medular dan kortikal difus.
Klasifikasi berikutnya berdasarkan faktor sistemik yang menunjukan status
kesehatan pasien, yaitu:
A : pasien normal
Bs : pasien dengan kompromais sistemik
Bl : pasien dengan kompromais lokal
Bls : pasien dengan kompromais lokal dan sistemik
C : Pengobatan penyakit lebih parah daripada penyakit itu sendiri

Gambar 2.4. Klasifikasi Cierny-Mader

Manifestasi Klinis12
1. Osteomielitis hematogenik akut
Secara klinis, penderita memiliki gejala dan tanda dari inflamasi akut. Nyeri
biasanya terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar ke bagian tubuh lain di dekatnya.
Sebagai contoh, apabila penderita mengeluhkan nyeri lutut, maka sendi panggul
juga harus dievaluasi akan adanya arthritis. Penderita biasanya akan menghindari
menggunakan bagian tubuh yang terkena infeksi.
Pada pemeriksaan biasanya ditemukan nyeri tekan lokal dan pergerakan
sendi yang terbatas, namun edema dan kemerahan jarang ditemukan. Dapat pula
disertai gejala sistemik seperti demam, menggigil, letargi, dan nafsu makan
menurun pada anak.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan dramatis dari CRP,
ESR, dan leukosit. Pada pemeriksaan kultur darah tepi, ditemukan organisme
penyebab infeksi. Pada pemeriksaan foto polos pada awal gejala didapatkan hasil
yang negatif. Seminggu setelah itu dapat ditemukan adanya lesi radiolusen dan
elevasi periosteum. Sklerosis reaktif tidak ditemukan karena hanya terjadi pada
infeksi kronis. Presentasi radiologi dari osteomielitis hematogen akut mirip dengan
gambaran neoplasma seperti Leukimia limfositik akut, Ewing’s sarkoma, dan
histiositosis Langerhans’. Karena itu, dibutuhkan biopsi untuk menentukan
diagnosis pasti.

Gambar 2.5. Foto dorso-plantar osteomielitis kanan pria usia 63 tahun. Terlihat reaksi
periosteal akibat elevasi periosteum pada diafisis metatarsal (anak panah)13.

Gambar 2.6. Anak perempuan usia 6 tahun dengan riwayat trauma datang mengeluh rasa
sakit dan pembengkakan lutut kanan. Terlihat lesi radiolusen dengan tepi sklerotik di bagian
metafisis distal femur kanan, suspek abses intraoseal13.

2. Osteomielitis Subakut
Infeksi subakut biasanya berhubungan dengan pasien pediatrik. Infeksi ini
biasanya disebabkan oleh organisme dengan virulensi rendah dan tidak memiliki
gejala. Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan
kombinasi dari gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka
ditemukan adanya osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik,
maka ditemukan adanya zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Apabila
osteomielitis subakut mengenai diafisis tulang panjang, maka akan sulit
membedakannya dengan Histiositosis Langerhans atau Ewing’s Sarcoma.

3. Osteomielitis Kronik
Osteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan subakut
yang tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen, iatrogenik, atau
akibat dari trauma tembus. Infeksi kronis seringkali berhubungan dengan implan
logam ortopedi yang digunakan untuk mereposisi tulang. Inokulasi langsung
intraoperatif atau perkembangan hematogenik dari logam atau permukaan tulang
mati merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat
melindunginya dari leukosit dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan
tulang mati tersebut harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala
klinisnya dapat berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau
fistel, malaise, dan fatigue.

7. Gambaran Radiologis
a. Gambaran foto polos (X-Ray)
Foto polos merupakan pemeriksaan konvensional yang biasa dilakukan
pada pasien dengan keluhan nyeri tulang. Pada osteomyelitis akut akan terlihat
gambaran periosteal meningkat dan menebal, serta kortikal tulang menebal,
ireguler, dan sklerosis. Selain itu, juga terlihat hilangnya arsitektur trabekular,
osteolisis, dan pembentukan tulang baru. Gambaran osteolisis akan terlihat bila
matriks tulang telah rusak hingga 50-70%, pada pasien anak akan terlihat
setelah 5-7 hari infeksi dan pada dewasa setelah 10-14 hari. Karena itu,
diperlukan pengulangan foto polos pada 10-14 hari setelah pemeriksaan awal.
Gambaran osteomyelitis pada foto polos kadang sulit dibedakan dengan
gambaran fase penyembuhan fraktur, kanker dan tumor jinak pada tulang 14, 15,
16
.
Gambar 2.7. Osteomielitis akut menunjukkan lesi osteolitik pada metafisis dan hilangnya
delienasi kortikal dari humerus medial (panah hitam)17.

Gambar 2.8. Infeksi pada pasien dengan diabetes melitus dan gout. Foto polos menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak, osteolisis, osteosklerosis, dan fragmentasi. Area radiolusen
pada jaringan lunak menunjukkan adanya gas (panah)11.
Gambar 2.9. Abses Brodie tipikal pada osteomielitis subakut. Foto polos menunjukkan
osteolisis metafisis focal dengan tepi sklerotik reaktif17.

Gambar 2.10. (Osteomielitis kronis) Pasien dengan keluhan sakit paha kanan dengan pus
yang keluar di bagian lateral. Terlihat sequestrum, involucrum, serta cloaca18.
Gambar 2.11. Foto polos osteomielitis kronis pada kalkaneus. Terlihat sklerosis inhomogen
yang merepresentasikan tulang nekrotik atau sequestrum (panah hitam)17.

Gambar 2.12. Fraktur patologis malunion femur kanan akibat injeksi intramuskular yang
tidak benar dengan formasi callus pada regio metafiseal bawah. Terlihat perubahan struktur
tulang dengan adanya area lusen intrameduler, erosi tulang, dan hilangnya struktur trabekular
tulang sehingga sugestif terhadap osteomielitis19.

Dalam waktu 2 sampai 6 minggu, ada kerusakan progresif dari tulang


kortikal dan medula, peningkatan sklerosis endosteal menunjukkan
pembentukan tulang reaktif baru, dan reaksi periosteal (Gambar 2.5). Dalam 6
sampai 8 minggu, adanya sequester menunjukkan daerah tulang nekrotik yang
menjadi jelas, mereka dikelilingi oleh involucrum padat, menggantikan sarung
tulang baru periosteal (Gambar 2.9 dan 2.10). Sequester dan involucrum
berkembang sebagai hasil dari akumulasi eksudat inflamasi (nanah), yang
menembus korteks dan menggundulinya dari periosteum, sehingga merangsang
lapisan dalam untuk membentuk tulang baru. Tulang baru yang dibentuk pada
gilirannya akan terinfeksi juga, dan barrier yang dihasilkan infeksi tersebut
menyebabkan korteks dan spongiosa menjadi kehilangan pasokan darah dan
menjadi nekrosis. Pada tahap ini, disebut osteomielitis kronis (gambar 2.11).

8. Computed Tomography (CT scan)


Deteksi osteomielitis dini ketika masih dalam tahap akut sangat penting
untuk meningkatkan probabilitas kesembuhan dan menurunkan morbiditas. CT
scan memiliki resolusi yang lebih bagus untuk melihat perubahan maupun
kerusakan tulang, reaksi periosteal, serta formasi sequestrum. CT scan juga
memiliki resolusi spasial yang baik dan bisa mendemonstrasikan relasi
anatomik antara lokasi infeksi dan struktur yang penting seperti medula spinalis
atau pembuluh darah. Oleh karena itu, CT merupakan pemeriksaan terbaik
untuk membimbing aspirasi atau biopsi (Gambar 2.13) jika secara klinis
diperlukan untuk memastikan osteomielitis atau untuk dilakukannya uji kultur
dan sensitivitas antibiotik organisme. CT juga berguna dalam pemeriksaan
penunjang terhadap infeksi pasca operasi saat instrumen ortopedi yang luas
dapat menghambat MRI13.
CT scan memiliki limitasi yaitu tidak memiliki resolusi yang bagus
untuk jaringan lunak dibandingkan MRI. CT scan kurang bisa memperlihatkan
edema sumsum, sehingga tidak efektif untuk mengenali osteomielitis akut13.
Gambar 2.13. Osteomielitis tibia kiri pada level metafisis proksimal pada wanita 45 tahun.
(a) CT scan prebiopsi menunjukkan letak biopsi menghadap ke atas. (b) Foto CT
fluoroskopik ketika melakukan needle biopsy dengan pendekatan anteromedial20.

Gambar 2.14. (Kiri) Foto polos antero-posterior dan lateral menunjukkan nukleus osifikasi
yang ireguler suspek abses Brodie.
(Kanan) Foto antero-posterior dan lateral CT scan dari tibia kiri menunjukkan adanya ruang
pada kedua growth plate dengan tepi sklerotik tanpa reaksi periosteal, mengkonfirmasi abses
Brodie tersebut21.

Gambar 2.15. Periostitis infektif. CT scan transaksial dari tibia dan fibula menunjukkan
‘cangkang’ periosteum yang elevasi mengelilingi area sumsum yang abnormal11.
Gambar 2.16. Potongan koronal osteomielitis kronis menunjukkan penebalan kortikal
humerus proksimal (panah)22.

Gambar 2.17. CT scan pasien pertama (kiri) menunjukkan osteomielitis vertebral L3-L4,
berakibat pada destruksi dari kolum vertebra L3 dan L4. Ct scan pasien kedua (kanan)
menunjukkan fraktur kompresi akibat osteomielitis, berakibat pada deformitas kifosis pada
vertebra23.
Gambar 2.18. Osteomielitis femur kiri wanita usia 43 tahun dengan riwayat penyalahgunaan
obat IV, HIV, diabetes, dan endokarditis. CT scan menunjukkan abses subperiosteal dengan
erosi endosteal, reaksi periosteal, dan abses jaringan lunak di sekitar femur kiri.
Berkurangnya luas daerah medula mengindikasikan terbentuknya tulang nekrotik24.

Osteomielitis subakut lebih terlokalisasi. Contohnya adalah abses


Brodie, merupakan abses piogenik yang dikelilingi oleh daerah sklerosis dan
meningkatnya jaringan granulasi (Gambar 2.14). Osteomielitis kronis ditandai
dengan tulang yang nekrotik. Fragmen dari fokus tulang yang nekrotik atau
sequestrum dikelilingi oleh jaringan granulasi atau oleh involucrum dari
pembentukan periosteal tulang yang tebal dan baru. CT menunjukkan gambaran
sequestrum sebagai fragmen terisolasi yang dipisahkan dari tulang kortikal,
yang bebas di dalam rongga medula atau saluran sinus. Gambaran CT dari
osteomielitis kronis biasanya akan memperlihatkan sklerosis yang signifikan,
kelainan tulang dan resorpsi dengan bekas luka jaringan lunak sekitar atau
jaringan granulasi.
Perubahan sumsum tulang pada osteomielitis tidak spesifik, karena
dapat terlihat juga pada neoplasma, trauma, beberapa anemia, dan gangguan
sumsum tulang primer lainnya seperti myelofibrosis. Perbandingan dengan sisi
kontralateralnya dapat membantu untuk melihat apakah proses pada sumsum
tersebut adalah sistemik atau hanya unilateral saja. Gas dalam saluran medula
bisa terjadi pada osteomielitis, tetapi jarang. Hal ini dapat dilihat pada temuan
radiografi sebelum kehancuran atau pembentukan tulang baru. Gas pada
jaringan lunak yang bukan disebabkan trauma adalah ciri dari infeksi.
Perubahan diabetes neuropatik sering dibedakan dari osteomielitis dan
arthritis septik oleh CT. Dalam menilai osteomielitis pada diabetic foot, MRI
dengan sinyal normal pada sumsum tulang memiliki nilai prediksi negatif yang
lebih tinggi daripada CT normal. MR juga lebih sensitif untuk abses kecil dan
untuk jaringan lunak yang nonviable, terutama jika gadolinium diberikan. MR
kadang-kadang dapat membedakan antara kronis, neuropatik osteoarthropathy
yang stabil dan osteomielitis, ketika CT tidak bisa.

9. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis.
Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan radiografi
polos, CT, dan scanning radionuklid. Beberapa keunggulan tersebut seperti
detail anatomi yang tinggi, sensitif untuk mendeteksi infeksi dini, serta tidak
adanya radiasi. Jika ada, MRI merupakan pilihan utama dalam mendiagnosis
infeksi muskuloskeletal. Sensitivitas berkisar antara 90-100%.
MRI menunjukan osteomielitis seawal seperti pemeriksaan scan
radioisotope. Dengan menggunakan weightings, atau penguatan paramagnetic,
perubahan yang terjadi pada tulang dan edema jaringan lunak dapat diketahui
sejak awal: seperti terjadinya iskemia dan kerusakan dari korteks. Perluasan
jaringan lunak dari pus dan abses paraosseus dapat terlihat. Nekrosis sentral
dalam abses dapat diketahui13.
Pada pasien suspek osteomielitis, pencitraan dilakukan dengan
potongan aksial, sagital, dan koronal menggunakan sekuen pulse multipel.
Beberapa sekuen yang digunakan untuk evaluasi adalah13:
- T1-weighted (T1W) untuk melihat detail anatomi
- Sekuen yang Fluid-sensitive seperti T2-weighted (T2W), fat
suppressed (FS), dan short-tau inersion recovery (STIR) digunakan
untuk mendeteksi infeksi dan inflamasi yang biasanya akan
meningkatkan konten cairan pada jaringan.
- Proton density-weighted (PD) menunjukkan detail anatomi yang
cukup baik tapi dengan kontras jaringan yang lebih sedikit dibanding
T1W.
Gambar 2.19. Osteomielitis tibia kanan dari potongan aksial STIR kedua tungkai13.

Edema sumsum adalah salah satu fitur dari osteomielitis yang bisa
dideteksi paling cepat pada MRI, yaitu 1-2 hari setelah infeksi. Pada gambar di
atas (Gambar 2.19), terlihat sinyal yang tinggi (hiperintens) pada kavitas medula
kanan (M) dibanding yang kiri. Ini dapat mengindikasikan edema sumsum atau
abses intrameduler. Didapati pula elevasi periosteal dan sinyal tinggi (kepala
panah hitam), sehingga mengarah pada adanya reaksi periosteal dengan
kemungkinan abses subperiosteum. Di dalam korteks tibia (C) terdapat area
fokal dengan sinyal yang intens (panah putih), sehingga curiga adanya abses
intraosseus. Lesi kortikal (panah hitam) dengan sentral yang hipointens
mengkonfirmasi adanya abses korteks.
Gambar 2.20. Osteomielitis epifisis lutut kanan pada anak-anak. (A) Foto polos dari femur
distal menunjukkan lesi radiolusen pada epifisis (panah putih). (B) Setelah pemberian kontras
gadolinium pada MRI, bagian sentral dari lesi bersifat non-enhancing sedangkan bagian
perifer terdapat enhancement di tepi lesinya17.

Gambar 2.21. Fat globule sign pada axial T1W MRI (panah). Terdapat globulus lemak di
dalam edema sumsum tulang dari tibia. Terdapat juga cloaca yang memperforasi korteks
ventromedial dari tibia (kepala panah)17.
Gambar 2.22. Tipikal abses Brodie pada osteomielitis subakut pada tibia. Adanya
pathognomonic penumbra sign pada axial T1W (C) dan penumpukkan pus pada coronal Fat-
Sat T2W (D)17.

Gambar 2.23. Osteomielitis kronis kalkaneus. (A) Foto polos dengan sklerosis inhomogen.
(B) Pada MRI terlihat edema sumsum tulang yang menunjukkan infeksi aktif (panah).
Terdapat juga beberapa mikroabses (kepala panah)17.
(A) (B)

(C)
Gambar 2.24. Gambaran MRI pasien sakit paha kanan dengan pus keluar di lateral
(osteomielitis kronis). Terlihat adanya 2 sinus (panah kuning) yang terekstensi dari
abses bicep femoris (panah merah) menuju kulit18.

10. Radionuklir13
Radionuklir dilakukan dengan administrasi substansi radionuklida yang
bisa memancarkan radiasi yang akan dideteksi oleh kamera gamma. Prosedur
ini dapat menunjukkan metabolisme tulang yang abnormal, di mana
osteomielitis akan termanifestasi pada area dengan peningkatan uptake
radionuklida tersebut.
Radionuklir jarang dipakai untuk mendeteksi osteomielitis akut.
Pencitraan ini sangat sensitif namun tidak spesifik untuk mendeteksi infeksi
tulang. Umumnya, infeksi tidak bisa dibedakan dari neoplasma, infark, trauma,
gout, stress fracture, infeksi jaringan lunak, dan artritis. Namun, radionuklir
dapat membantu untuk mendeteksi adanya proses infeksi sebelum dilakukan
prosedur invasif dilakukan.

Gambar 2.25. Jenis-jenis radionuklir13

Jenis-jenis pemeriksaan radionuklir untuk mendiagnosis osteomielitis


adalah triple-phase, gallium, white cell scan, dan Fluorodeoxyglucose positron
emission tomography (FDG-PET). Triple-phase menggunakan technetium-99-
labelled phosphate (Tc9mm-MDP), white cell scan menggunakan antara
Indium-111 atau Tc9mm-HMPAO. Teknik dengan sensitivitas tertinggi untuk
mendeteksi osteomielitis kronis adalah dengan FDG-PET.
11. Ultrasound13
Penggunaan ultrasound terbatas dalam mendiagnosis osteomielitis
karena tidak bisa mengevaluasi tulang. USG juga dependen terhadap teknik
operator dan bisa dipersulit pada pasien yang besar. Namun, USG bisa
digunakan untuk mendeteksi edema jaringan lunak atau abses subperiosteal
terutama pada anak-anak. Meskipun demikian, MRI masih perlu dilakukan
untuk evaluasi lebih dalam.
Abses subperiosteal akan terlihat pada ultrasound sebagai elevasi
periosteal dengan penumpukkan cairan di bawahnya. Edema jaringan lunak
akan terlihat sebagai area yang hipervaskuler di sekitar tulang yang terkait pada
pewarnaan Doppler. Bila penumpukkan cairan terlihat, USG bisa digunakan
sebagai pedoman untuk needle aspiration.

Gambar 2.26. Osteomielitis dengan edema jaringan lunak yang bisa terlihat pada USG. (A)
USG transversal menunjukkan penumpukkan cairan dengan dinding tebal ireguler (kepala
panah putih) dan adanya septum hiperekoik (panah putih). (B) Aspirasi perkutaneus
dilakukan (kepala panah hitam) dan hasil kultur berupa Staphylococcus aureus13.

12. Pemeriksaan Laboratorium


Penelitian berikut diindikasikan pada pasien dengan osteomielitis:
a. Pemeriksaan darah lengkap:

Jumlah leukosit mungkin tinggi, tetapi sering normal. Adanya pergeseran ke


kiri biasanya disertai dengan peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear. Tingkat
C-reaktif protein biasanya tinggi dan nonspesifik; penelitian ini mungkin lebih berguna
daripada laju endapan darah (LED/ESR) karena menunjukan adanya peningkatan ESR
pada permulaan. ESR biasanya meningkat 90%, namun tidak spesifik untuk
osteomielitis. CRP dan ESR memiliki peran terbatas dalam menentukan
osteomielitis kronis karena seringkali didapatkan hasil yang normal.
b. Kultur :

Kultur dari luka superficial atau saluran sinus sering tidak berkorelasi
dengan bakteri yang menyebabkan osteomielitis dan memiliki penggunaan yang
terbatas. Darah hasil kultur, positif pada sekitar 50% pasien
dengan osteomielitis hematogen. Bagaimanapun, kultur darah positif mungkin
menghalangi kebutuhan untuk prosedur invasif lebih lanjut untuk mengisolasi
organisme. Kultur tulang dari biopsi atau aspirasi memiliki hasil
diagnostik sekitar 77% pada semua studi.

13. Diagnosis Banding


Osteomielitis seringkali memiliki gejala klinis yang mirip dengan yang penyakit
lain. Khususnya dalam keadaan akut, gejala klinis yang muncul cenderung sama seperti
sarkoma Ewing. Perbedaan pada setiap masing-masing kondisi dari jaringan lunak.
Pada osteomielitis, jaringan lunak terjadi pembengkakan yang difus, sedangkan pada
ewing sarkoma pada jaringan lunaknya terlihat sebuah massa25. Durasi gejala pada
pasien juga memainkan peranan penting untuk diagnostik. Untuk sarkoma ewing
dibutuhkan 4-6 bulan untuk menghancurkan tulang sedangkan osteomielitis 4-6
minggu.
Diagnosis banding lainnya adalah osteosarkoma yang merupakan neoplasma
intrameduler derajat tinggi yang memproduksi matriks osteoid. Mayoritas lesi terjadi
pada pasien di bawah 25 tahun dengan tulang yang sering terkena adalah femur, tibia,
dan fibula. Reaksi periosteal yang paling sering terlihat pada radiologi adalah gambaran
sunburst, hair-on-end (terlihat seperti serabut yang menonjol secara tegak lurus dari
tulang), serta segitiga Codman25.
Gambar 2.27. Perbandingan reaksi periosteal pada penyakit tulang.

Gambar 2.28. Gambaran hair-on-end pada sarkoma erwing (kiri) dan osteomielitis kronik
(kanan)25

14. Terapi9
Antibiotik harus diberikan hanya setelah didapatkan hasil kultur. Penggunaan
obat bakterisida telah direkomendasikan, meskipun data yang menunjang masih kurang.
Antibiotik harus diberikan pada dosis tinggi, dengan demikian, untuk sebagian besar
obat, administrasi secara parenteral diperlukan. Terapi empiris dipandu oleh temuan
pada pewarnaan Gram dari spesimen tulang atau abses atau antibiotik dipilih untuk
menutupi kemungkinan besar patogen; terapi seperti biasanya biasanya harus
mencakup obat dosis tinggi yang aktif terhadap S. aureus (seperti oxacillin, nafcillin,
cefazolin, atau vankomisin) atau-jika organisme gram-negatif yang mungkin terlibat
maka dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, atau sebuah
fluorokuinolon. Terapi empiris juga harus meliputi obat yang aktif terhadap bakteri
anaerob dalam penentuan suatu ulkus dekubitus atau infeksi kaki diabetes.
Outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT) atau terapi antimikroba
parenteral rawat jalan yang sesuai untuk pasien dapat membuat pasien termotivasi dan
stabil, dan hal ini merupakan kemajuan penting dalam manajemen pengobatan
osteomielitis. Antibiotik yang memerlukan dosis yang jarang, seperti ceftriaxone,
ertapenem, daptomycin, dan vankomisin, dapat memfasilitasi terapi rumah, tapi pilihan
antibiotik ini memiliki spektrum aktivitas yang terlalu luas.
Setelah pemberian terapi parenteral selama 4 hari dan setelah terjadi resolusi
dari tanda-tanda infeksi aktif, antibiotik oral juga diberikan selama kurang lebih 4
minggu untuk mencegah rekurensi pada anak-anak. Dosis penisilin atau sefalosporin
oral yang diperlukan untuk pengobatan osteomielitis pediatrik adalah dosis tinggi, dan
orang dewasa mungkin tidak mentolerir dosis dibanding anak-anak. Dengan
pengecualian dari fluoroquinolon, rifampisin, dan linezolid, beberapa data mendukung
penggunaan antibiotik oral untuk orang dewasa dengan osteomielitis. Untuk
pengobatan infeksi karena Enterobacteriaceae, oral fluorokuinolon telah berhasil
seperti pemberian antibiotik β-lactam secara IV. Perhatian harus dilakukan dalam
penggunaan fluoroquinolones sebagai agen tunggal untuk pengobatan infeksi karena
resistensi S. aureus atau P. aeruginosa dapat berkembang selama terapi.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang
terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan
daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi
antibiotik dianjurkan. Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan adjuvan
terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum
secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan
pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang
dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.Pada beberapa kasus, infeksi sudah
terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan
pemasangan prothesa. Bila proses akut telah dikendalikan, maka terapi fisik harian
dalam rentang gerakan diberikan. Kapan aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada
jumlah tulang yang terlibat. Pada infeksi luas, kelemahan akibat hilangnya tulang dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur patologis.

Indikasi dilakukannya pembedahan ialah :


a. Gagal respon terhadap antibiotik
b. Adanya abses
c. Osteomielitis kronik dengan sequestra

15. Prognosis dan Komplikasi12


Prognosis:
Prognosis osteomielitis cukup baik dengan penanganan dini yang agresif,
namun dapat terjadi rekurensi bila terjadi trauma di tempat yang sama dan jika imunitas
pasien menurun. Pada orang dewasa, persentase rekurensi kronis osteomielitis sekitar
12% dalam 12 bulan, dan pada kasus-kasus dengan etiologi P. aeruginosa, rekurensi
bisa sampai 50%. Kasus pasien dengan alat-alat prostesis lebih sulit untuk ditangani
karena memerlukan prosedur bedah dan ekstensi dari periode pengobatan antibiotik.

Komplikasi dari osteomielitis antara lain:


a) Fraktur patologis
b) Infeksi sistemik
c) Infeksi jaringan lunak seperti sendi
d) Arthritis septik
e) Abses
f) Gangguan pertumbuhan dan deformitas
g) Kanker kulit (karsinoma sel skuamosa)
BAB 3
KESIMPULAN

Osteomielitis adalah infeksi tulang atau sumsum tulang. Osteomielitis dapat meyerang
orang pada semua usia. Pemeriksaan penunjang atau pencitraan yang dapat dilakukan adalah
ultrasound, foto polos, CT scan, MRI, dan radionuklir, yang memiliki keunggulan masing-
masing. Pada pemeriksaan foto polos radiologi akan kita dapatkan gambaran osteolitik pada
tulang (radiolusen), reaksi periosteum karena elevasi periosteal, sequester, dan involucrum.
Pada CT scan pun akan didapatkan gambaran serupa, namun gambaran tampak lebih jelas,
gambaran didapat beberapa sudut dan CT scan adalah pemeriksaan terbaik untuk melakukan
guided biopsy. Jaringan yang keras secara umum lebih baik ditunjukan oleh CT scan.
Gambaran MRI lebih jelas menunjukkan perluasan patologis tulang dan jaringan lunak
sekitarnya. Sedangkan pemeriksaan scan radionuklir untuk osteomielitis, disebabkan oleh sifat
radionuklida, akan memperlihatkan daerah kerusakan sel tulang atau gambaran kehitaman
yang memusat pada daerah sel-sel yang rusak, namun tidak spesifik, karena kerusakan sel tidak
hanya ditunjukan oleh osteomielitis saja.
Gambaran radiografi foto polos osteomyelitis sangat khas dan diagnosis dapat mudah
dibuat disesuaikan dengan riwayat klinis, sehingga pemeriksaan radiologis tambahan lainnya
seperti radionuklir, CT, dan MRI jarang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Schmitt SK. Osteomyelitis. Infect. Dis. Clin. North Am. 2017 Jun;31(2):325-338.
2. Kremers HM, Nwojo ME, Ransom JE, Wood-Wentz CM, Melton LJ, Huddleston PM.
Trends in the epidemiology of osteomyelitis: a population-based study, 1969 to 2009. J
Bone Joint Surg Am. 2015 May 20;97(10):837-45.
3. Fritz JM, McDonald JR. Osteomyelitis: approach to diagnosis and treatment. Phys
Sportsmed. 2008 Dec;36(1):nihpa116823.
4. Kumar V. Robbins basic pathology. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier; 2007.
5. Haggerty M. Gale encyclopedia of medicine. Detroit: Thomson Gale; 2006.
6. Florin T, Ludwig S, Netter F. Netter's Pediatrics. 15th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011.
7. Cowan P, Kahai P. Anatomy, Bones [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 6
September 2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537199/
8. Birt MC, Anderson DW, Bruce Toby E, Wang J. Osteomyelitis: Recent advances in
pathophysiology and therapeutic strategies. J Orthop. 2016 Oct 26;14(1):45-52.
9. Hatzenbuehler J, Pulling TJ. Diagnosis and management of osteomyelitis. Am Fam
Physician. 2011 Nov 01;84(9):1027-33
10. Helm C, Huschart E, Kaul R, Bhumbra S, Blackwood RA, Mukundan D. Management
of Acute Osteomyelitis: A Ten-Year Experience. Infect Dis Rep. 2016 Sep
29;8(3):6350.
11. Pineda C, Vargas A, Rodríguez AV. Imaging of osteomyelitis: current concepts. Infect
Dis Clin North Am. 2006;20:789–825.
12. Momodu I, Savaliya V. Osteomyelitis [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 6
September 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532250/#article-26397.r1
13. Lee YJ, Sadigh S, Mankad K, Kapse N, Rajeswaran G. The imaging of osteomyelitis.
Quant Imaging Med Surg. 2016 Apr;6(2):184-98.
14. Gross T, Kaim AH, Regazzoni P, Widmer AF. Current concepts in posttraumatic
osteomyelitis: a diagnostic challenge with new imaging options. J Trauma. 2002 Jun.
52(6):1210-9.
15. Calhoun JH, Manring MM. Adult osteomyelitis. Infect Dis Clin North Am. 2005 Dec.
19(4):765-86.
16. Paluska SA. Osteomyelitis. Clinics in Family Practice. 2004. 6:127-56.
17. Desimpel J, Posadzy M, Vanhoenacker F. The Many Faces of Osteomyelitis: A
Pictorial Review. J Belg Soc Radiol. 2017 May 11;101(1):24.
18. Ibrahim D. Osteomyelitis - femur | Radiology Case | Radiopaedia.org [Internet].
Radiopaedia.org. 2020 [cited 6 September 2020]. Available from:
https://radiopaedia.org/cases/osteomyelitis-femur-2?lang=us
19. Mahran D. Osteomyelitis with pathological fracture - femur | Radiology Case |
Radiopaedia.org [Internet]. Radiopaedia.org. 2020 [cited 6 September 2020]. Available
from: https://radiopaedia.org/cases/osteomyelitis-with-pathological-fracture-femur-
1?lang=us
20. Liu PT, Valadez SD, Chivers FS, Roberts CC, Beauchamp CP. Anatomically based
guidelines for core needle biopsy of bone tumors: implications for limb-sparing
surgery. Radiographics. 2007;27(1):189-206.
21. Cossio A, Graci J, Lombardo AS, Turati M, Melzi ML, Bigoni M, Zatti G. Bilateral
tibial Brodie's abscess in a young patient treated with BAG-S53P4: case report. Ital J
Pediatr. 2019 Jul 26;45(1):91.
22. Diagnostic Imaging Pathways - Osteomyelitis (Suspected Acute) [Internet].
Imagingpathways.health.wa.gov.au. 2020 [cited 6 September 2020]. Available from:
http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/index.php/image-galleries/medical-
images/musculoskeletal-trauma?id=105#images
23. Spinal Infection – Causes, Symptoms and Treatments [Internet]. Aans.org. 2020 [cited
6 September 2020]. Available from: https://www.aans.org/en/Patients/Neurosurgical-
Conditions-and-Treatments/Spinal-Infections
24. Fayad LM, Carrino JA, Fishman EK. Musculoskeletal infection: role of CT in the
emergency department. Radiographics. 2007;27(6):1723-1736.
25. Rana RS, Wu JS, Eisenberg RL. Periosteal reaction. AJR Am J Roentgenol.
2009;193(4):W259-W272.

Anda mungkin juga menyukai