Anda di halaman 1dari 7

1.

POLA DEMAM
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat
antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat
yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk
infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1
Tabel . Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam
Kontinyu
Remitten
Intermiten
Demam rekuren

Penyakit
Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Malaria, limfoma, endokarditis
Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu
selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi.
Gambaran pola demam klasik meliputi:

Demam kontinyu atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang
menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu
normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal
dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling
sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu
(Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh
proses infeksi.

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan
puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak
kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu
penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem
organ multipel.

POLA TROMBOSIT
Patofisiologi trombositopenia
Sindrom PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan trombosit
autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalui
reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran
trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan mendemostrasikan
bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal. 6
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient
trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan ini
didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfuse
plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg
yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme
kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi
trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh
makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), atau karena hambatan pembentukan
megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan
adanya masa megakariosit normal.2 Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari
kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan
kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan
glikoprotein Ib/X, Ia/ITa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi
yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji
antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan
neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia
(Gambar 2.1). 2 Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa
memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai
phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien PTI
dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T
helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi
setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami.
Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak
dapat dikethui dengan pasti.

Gravis pola trombosit

Trombositopenia
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/ mm 3. Jumlah
trombosit >100.000/ mm3 biasanya tidak mengakibatkan masalah perdarahan. Purpura dan
pemanjangan waktu perdarahan biasanya terjadi saat jumlah trombosit kurang dari 50.000 mm 3
(Provan, 2004).
Hubungan jumlah trombosit dengan resiko perdarah spontan adalah sebagai berikut:
a. Jumlah trombosit 50.000-150.000/mm 3: biasanya tidak ada perdarahan.
b. Jumlah trombosit 20.000-50.000/mm 3: perdarahan spontan tetapi sedikit.
c. Jumlah trombosit <20.000/mm3: perdarahan spontan dengan mudah.
d. Jumlah trombosit <500/ mm3: perdarahan spontan serius (Wallach, 2000).
Menurut Theml (2004), penyakit/ keadaaan penyebab trombositopenia adalah sebagai berikut:
1. Obat-obatan: heparin, quonidine, digoxin, dan cimetidin.
2. Imunotrombositopenia sekunder.
3. Post-transfusi.
4. Trombositopenia akibat keadaan mikroangiopati.
5. Trombositopenia akibat hipersplenisme.
Trombosit normalnya bersirkulasi dalam bentuk cakram yang tidak terstimulasi. Trombosit
melakukan perbaikan terhadap pembuluh yang rusak didasarkan pada beberapa fungsi penting
trombosit itu sendiri (Guyton, 2006).
Selama hemostasis atau trombosis, trombosis teraktivasi dan menolong pembentukan plak
hemostatik atau trombus. Terdapat tiga langkah yang terlibat:
1. Adhesi kolagen yang terpapar di pembuluh darah.
2. Pengeluaran granul beserta isinya.
3. Agregasi
Pada waktu trombosit bersinggungan dengan permukaan pembuluh darah yang rusak, terutama
dengan serabut kolagen di dinding pembuluh darah, sifat-sifat trombosit segera berubah drastis.
Trombosit berlekatan dengan kolagen melalui reseptor spesifik di permukaan trombosit, termasuk
kompleks glikoprotein GPIa-IIa (2-1 integrin), dalam suatu reaksi yang melibatkan faktor von
Willebrand. Faktor ini adalah suatu glikoprotein, yang disekresikan oleh sel endotel ke dalam plasma,
yang akan menstabilkan faktor VIII dan berikatan dengan kolagen dan subendotel. Trombosit
berikatan dengan faktor von Willebrand melalui suatu kompleks glikoprotein (GPIb-V-IX) di
permukaan trombosit.
Perlekatan trombosit dengan kolagen mengubah bentuk dan persebarannya di subendotel. Trombosit
mengeluarkan isi granul-granulnya; sekresi juga distimulasi oleh trombin. Trombin, yang terbentuk
dari kaskade koagulasi, merupakan aktivator paling kuat untuk trombosit dan memicu aktivasi
trombosit dengan cara berinteraksi dengan reseptornya di membran plasma. Mekanisme aktivasi ini
adalah sinyal transmembran. Interaksi trombin dengan reseptornya merangsang aktivitas fosfolipase-

C. Enzim ini menghidrolisis membran fosfolipid fosfadilinositol 4,5-bifosfat (PIP2). Diasilgliserol


merangsang protein kinase C, yang memfosforilasi protein pleckstrin (47 kDa). Hal ini
mengakibatkan agregasi dan pelepasan isi granul.
ADP yang dikeluarkan granul tersebut juga merangsang trombosit beragregasi. IP3 menyebabkan
pengeluaran Ca2+, menyebabkan pembebasan asam arakidonat dari
Universitas Sumatera Utara

fosfo lipid trombosit, mengakibatkan terbentuknya tromboksan A2, yang akan mengaktivasi
fosfolipase C, yang pada akhirnya mencetuskan agregasi trombosit.
Semua agen agregasi (trombin, kolagen, ADP, dsb.) memodifikasi permukaan trombosit sehingga
fibrinogen dapat berikatan dengan kompleks glikoprotein, GPIIb-IIIa (integrin), di permukaan
trombosit yang teraktivasi. Beberapa agen, termasuk epinefrin, serotonin dan vasopresin,
memberikan efek sinergis dengan agen agregasi lainnya (Murray, 2003).
Dengan demikian, pada setiap lokasi pembuluh darah yang luka, dinding
pembuluh darah yang rusak menghasilkan suatu siklus aktivasi trombosit yang
jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak lagi
trombosit tambahan, sehingga membentuk sumbat trombosit. Kemudian,
benang-benang fibrin terbentuk dan melekat erat pada trombosit, sehingga
terbentuklah sumbat yang kuat

Anda mungkin juga menyukai