Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ASI eksklusif ialah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak

dilahirkan selama 6 (enam) bulan tanpa menambahkan dan atau mengganti

dengan makanan atau minuman lain. ASI mengandung makronutrien, vitamin,

mineral, faktor pertumbuhan, hormon, dan faktor protektif yang merupakan

komponen dari sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan atau imunitas tubuh

terbagi menjadi dua, yakni sistem imunitas bawaan atau nonspesifik dan sistem

imunitas didapat atau spesifik. Ketika terjadi respon imun terhadap agen-agen

asing maka limfosit B terutama yang terlibat dalam pembentukan protein globular

yang disebut antibodi, prosesnya disebut respon humoral. Adapun macam-macam

antibodi atau imunoglobulin ialah Ig M, Ig A, Ig G, Ig D dan Ig E (Baratawidjaja,

2010). Oleh karena itu, ASI dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit infeksi,

misalnya infeksi saluran pencernaan (diare), infeksi saluran pernafasan, dan

infeksi telinga. (Prasetyono, 2009).

Kejang demam adalah suatu kejadian kejang yang terkait dengan gejala

kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38C), serta tidak didapatkan infeksi

intrakranial atau kelainan pada otak (Hirtz, 1992). Menurut American Academy of

Pediatrics (AAP) kejang demam terjadi pada 2-4% anak usia 6 bulan hingga 5
2

tahun. Demam merupakan faktor pencetus timbulnya kejang demam. Demam

sering disebabkan oleh karenapenyakit infeksi.

Sistem kekebalan atau imunitas tubuh terbagi menjadi dua, yakni sistem

imunitas bawaan atau nonspesifik dan sistem imunitas didapat atau spesifik.

Sistem imun spesifik terbagi lagi menjadi dua jenis yaitu sistem imun spesifik

selular dan humoral. Sistem imun spesifik humoral ditunjang oleh limfosit B,

sedangkan sistem imun spesifik selular ditunjang oleh limfosit T. Ketika terjadi

respon imun terhadap agen-agen asing maka limfosit B terutama yang terlibat

dalam pembentukan protein globular yang disebut antibodi, prosesnya disebut

respon humoral.Adapun macam-macam antibodi atau imunoglobulin ialah Ig M,

Ig A, Ig G, Ig D dan Ig E (Baratawidjaja, 2010).Imunoglobulin tersebut pertama

kali terbentuk saat bayi baru lahir dan merupakan imunitas alamiah bayi dari ari-

ari ibu. Namun, setelah bayi lahir terjadi kesenjangan zat kekebalan tubuh

sehingga diperlukan adanya penyeimbang yakni ASI eksklusif.

Penulis ingin mengetahui apakah kejadian kejang demam dapat ditekan

dengan pemberian ASI eksklusif karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

ASI eksklusif mengandung immunoglobulin yang mampu mencegah infeksi di

mana salah satu gejala infeksi ialah demam yang pada akhirnya berpeluang

mencetuskan kejang demam. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan

diatas, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang Hubungan

Pemberian ASI Eksklusif terhadap Penurunan Kejadian Kejang Demam pada

Anak Usia 6-18 Bulan di RSI Jemursari Surabaya Tahun 2015.


3

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan penurunan

kejadian kejang demam pada bayi usia 6-18 bulan di RSI Jemursari Surabaya

tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian

Menentukan ada atau tidak adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif

dengan penurunan kejadian kejang demam pada bayi usia 6-18 bulan di RSI

Jemursari Surabaya tahun 2015.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi institusi atau program

Hasil penelitian ini digunakan sebagai rekomendasi bagi orang tua akan

mutlaknya pemberian ASI eksklusif, khususnya untuk mencegah penyakit

infeksi yang mungkin dapat mencetuskan kejang demam.

2. Manfaat bagi peneliti

a. Mengetahui bagaimana hubungan pemberian ASI eksklusif dengan

penurunan kejadian kejang demam pada bayi usia 6-18 bulan.

b. Menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti tentang cara membuat

Tugas Akhir yang benar.


4

3. Manfaat bagi pengembangan ilmu

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam penelitian

lebih lanjut khususnya dalam hal mutlaknya pemberian ASI eksklusif yang

berpengaruh pada penurunan kejadian kejang demam pada bayi.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejang Demam

1. Definisi Kejang Demam

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium (Leung, 2007).

2. Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana

dan kompleks. Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang

berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti

sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.

Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana

merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.Kejang demam disebut

kompleks bila mengalami salah satu ciri berikut ini: kejang lama > 15 menit,

kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,

berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (ILAE, 1993). Penelitian di RSUD

Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Agustus-November 2009 menunjukkan

bahwa dari 100 anak sebanyak 53% didiagnosis menderita kejang demam

sederhana (KDS) dan 47% merupakan kejang demam kompleks (KDK)

(Gunawan dan Saharso, 2012).


6

3. Etiologi Kejang Demam

Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Batas

tinggi demam 39C sebagai rata-rata, dengan rentang suhu (38,9C-39,9C).

Ketentuan tersebut berdasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa bangkitan

kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9C-

39,9C yaitu 40%-56%, 20% suhu di atas 40C dan 11% 37C-38,9C (Gonzales,

1997). Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada

kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu

tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-

15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan

kebutuhan glukosa dan oksigen (Gonzales, 1997).

4. Faktor Resiko Kejang Demam

Faktor-faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor demam dan

usia.

a. Faktor demam

Demam merupakan faktor utama timbulnya kejang demam. Demam

disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbulnya

bangkitan kejang demam sebanyak 80%. Sebagian besar penderita kejang demam

telah mengalami demam lebih dari 39C dengan lama demam kurang dari 2 jam.

Hasil penelitian Fuadi dkk (2010) menunjukkan bahwa anak dengan demam di

atas 39C memiliki resiko 4,5 kali lebih besar dibandingkan anak dengan demam
7

di bawah 39C dan anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk

terjadinya kejang demam 2,4 kali lebih besar daripada anak yang mengalami

demam lebih dari dua jam.

Demam menimbulkan kejang terjadi akibat peningkatkan cerebral blood

flow (CBF) serta peningkatan kebutuhan oksigen dan glukosa sehingga pengaliran

ion keluar-masuk sel terganggu. Selain itu, faktor genetik juga berperan terhadap

terjadinya kejang demam di mana adanya riwayat kejang dari orang tua si bayi

meningkatkan resiko kejang demam (Susanto, 2014).

b. Faktor usia

Anak penderita kejang demam sebagian besar berusia kurang dari dua

tahun. Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa sebanyak

4% anak akan mengalami kejang demam, terjadi dalam satu kelompok usia antara

3 bulan sampai 5 tahun dengan demam tanpa infeksi intrakranial, sebagian besar

(90%) kasus terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan kejadian paling

sering pada usia 18-24 bulan, faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam

sebanyak 25% dari anak yang mengalami kejang demam. Sepertiga anak akan

mengalami kejang demam, 15% atau lebih akan mengalami kejadian kejang

demam berulang.

Kejang demam terjadi hanya pada bayi yang berusia 6 bulan sampai 5

tahun karena pada rentang usia tersebut fungsi hipothalamus masih belum

sempurna sehingga saat kenaikan suhu tubuh terjadi fungsi saraf bayi belum

cukup matang untuk proteksi muatan listrik yang keluar sehingga terjadi kejang.

(Susanto, 2014). Kejang demam lebih beresiko terjadi pada laki-laki daripada
8

perempuan (perbandingan 2 : 1) karena pada perempuan maturasi serebral lebih

cepat dibandingkan laki-laki (Millar, 2006)

5. Faktor Rekurensi Kejang Demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulangnya kejang demam (IDAI, 2009) adalah :

a. Riwayat kejang demam dalam keluarga

b. Usia kurang dari 12 bulan

c. Temperatur yang rendah saat kejang

d. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah

80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya

kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling

besar pada tahun pertama.

B. Demam

1. Definisi Demam

Demam, yang merupakan gejala awal kejang demam, adalah kenaikan suhu

tubuh lebih dari 38C rektal atau lebih 37,8C aksila. Menurut NAPN (National

Association Pediatric Nurse) demam pada bayi kurang dari 3 bulan melebihi

38C, sedangkan pada anak umur lebih dari 3 bulan, suhu oral dan aksila melebihi

38,3C.
9

2. Jenis Demam

Tabel II.1 : Jenis Demam

JENIS DEMAM PENJELASAN


Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke
tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun
kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari
Demam Hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke
tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun
kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari
Demam Remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu normal
Demam Intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari
yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula
Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009

3. Etiologi Demam

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung

dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai

rangsang, misalnya toksin bakteri, peradangan, dan radang pirogenik lain. Bila

produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dapat ditoleransi maka efeknya

akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan; tetapi bila telah melampaui batas

kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen

sistemik sampai saat ini belum diketahui (Atiq, 2009).

Akan tetapi, tidak semua demam dikatakan sebagai penyakit, terkadang

demam hanya merupakan reaksi pertahanan tubuh terhadap cedera atau infeksi,

penyakit non infeksi, atau suatu reaksi fisiologis tubuh seperti dehidrasi, suhu
10

udara terlalu panas, kelelahan setelah beraktivitas, dan lain-lain. Jadi, pada

hakikatnya demam adalah tanda alarm yang ditunjukkan tubuh untuk tujuan-

tujuan tertentu, kebanyakan terjadi sebagai parameter atau gejala awal dari

gangguan-gangguan yang dialami tubuh. Artinya, demam itu sendiri bukanlah

penyakit, sesuatu hal yang menyebabkan demamlah yang perlu diperhatikan

karena akan menunjukkan gejala dari suatu penyakit.

4. Patofisiologi Demam

a. Ketika suhu set point meningkat misalnya saat infeksi yang merupakan

penyebab utama demam

b. Ketika terjadi produksi panas metabolik misalnya pada hipertiroid

c. Ketika asupan panas lingkungan melebihi kemampuan pelepasan

panas misalnya pada hiperpireksia maligna akibat anestesia, ruang

kerja industri yang sangat panas, dan sauna

d. ketika ada gangguan pelepasan panas misalnya displasia ektodermal

e. kombinasi dari beberapa faktor (Pujiarto, 2008).

Pada kondisi tertentu peningkatan suhu tubuh di atas rerata fisiologis

justru membawa manfaat adaptif. Misalnya, saat terjadi infeksi, demam

merupakan respons yang dibutuhkan untuk memfasilitasi penyembuhan melalui

peningkatan kerja sistem imun dan menghambat replikasi mikro-organisme. Oleh

karena itu, secara ilmiah, demam dapat disebut sebagai respons homeostatik. Pada

kondisi tersebut, endotoksin dan sitokin proinflamasi berinteraksi dengan reseptor

tertentu di sel endotelial vaskular dan/atau subendotelial mikroglia dan terjadilah

aktivasi cycloocxygenase (COX) untuk memproduksi PGE2.


11

5. Mekanisme Demam

Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag,

dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen

endogen IL-1(interleukin 1), TNF (Tumor Necrosis Factor ), IL-6 (interleukin

6), dan INF (interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk

meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik

patokan yang baru dan bukan di suhu normal.Sebagai contoh, pirogen endogen

meningkatkan titik patokan menjadi 38,9C, hipotalamus merasa bahwa suhu

normal prademam sebesar 37C terlalu dingin dan organ ini memicu mekanisme

respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh (Ganong, 2010).

Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu

tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi

untuk mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan endogen seperti eksotoksin dan

endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang

poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF, selain IL-6 dan IFN. Pirogen endogen

ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat OVLT (Organum Vasculosum

Laminae Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nukleus

preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap

sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama

prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2

(cyclooxygenase 2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam

(Nelwan dalam Sudoyo, 2006).


12

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin

melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1

(machrophage inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik

(Nelwan dalam Sudoyo, 2006).

Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,

sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi

pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan

demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik

adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme

termoregulasi (Sherwood, 2001).

6. Mekanisme Demam yang Menimbulkan Kejang

Demam tidak hanya meningkatkan suhu otak, melainkan juga melibatkan

pelepasan mediator inflamasi, terutama sitokin seperti interleukin (IL-1) dalam

otak (Alheim & Bartfai, 1998). IL-1 berkontribusi pada hipereksitabilitas

neuronal jangka panjang, sebagian meningkatkan fungsi tiroksin kinase (Balosso

dkk, 2008).Mekanisme kejang ada beberapa teori, yang pertama yakni gangguan

pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada

hipoiskemia, iskemia, dan hipoglikemia, sedangkan pada kejang sendiri dapat

terjadi pengurangan ATP dan dapat terjadi hipoksemia. Kedua, perubahan

permeabilitas membran sel saraf, misalnya pada hipokalsemia dan

hipomagnesemia. Yang terakhir yakni perubahan relatif neurotransmitter yang

bersifat eksitasi dibandingkan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan


13

depolarisasi berlebihan, misalnya ketidakseimbangan GABA atau glutamat akan

menimbulkan kejang (Shinnar, 1999).

7. Penatalaksanaan Demam

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis

terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus.Penatalaksanaan demam

bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk

menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat terbagi menjadi dua, yakni

farmakologi dan non-farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan demam

apabila penderita dengan umur < 3 bulan dengan suhu rektal > 38C, penderita

dengan umur 3-12 bulan dengan suhu > 39C, penderita dengan suhu > 40,5C,

dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro & Zieve,

2010).

a. Terapi Non Farmakologis

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan

demam:

1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan

beristirahat yang cukup.

2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat

menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan.

Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat

memberikan rasa nyaman kepada penderita.


14

3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres

hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan

kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan

meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).

b. Terapi Farmakologis

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah

parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam

menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto,

2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai

antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi

antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, Pineda, & Kest,

2010).

C. Sistem Imunitas

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan

sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut

sistem imun (Baratawidjaja, 2010). Sistem imun dibutuhkan tubuh untuk

mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai

bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat dibagi menjadi dua, yakni

sistem imun alamiah / non spesifik / innate dan sistem imun didapat / adaptif /

acquired.
15

1. Sistem Imun Nonspesifik

Sistem imun nonspesifik artinya memberikan perlindungan terhadap

semua benda asing yang mengancam tubuh (antigen). Sistem ini sudah didapat

sejak lahir. Respons sistem ini berlangsung sangat cepat karena tidak butuh waktu

untuk mengenal antigen. Sistem imun nonspesifik ini dibagi menjadi tiga jenis

yaitu pertahanan fisik dan mekanik, pertahanan biokimiawi, pertahanan humoral,

dan pertahanan seluler.

a. Sistem pertahanan fisik atau mekanik ialah kulit, selaput lendir, silia

saluran napas, batuk dan bersin yang akan mencegah masuknya berbagai

kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar

dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko

infeksi.

b. Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung,

enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan

air susu.

c. Berbagai bahan dalam sirkulasi berperanan pada pertahanan humoral

seperti komplemen, interferon, dan C-Reactive Protein. Komplemen

berperan meningkatkan fagositosis dan mempermudah destruksi bakteri

dan parasit. Interferon pula dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus.

Di samping itu, ia juga dapatmengaktifkan natural killer cell (sel NK).

d. Pertahanan selular terdiri dari sel natural killer (NK), mononuklear (MN),

dan polimononuklear (PMN) (Baratawidjaja, 2010).


16

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem imun nonspesifik antara

lain ialah faktor genetik, usia, jenis kelamin, hormon, dan nutrisi. Infeksi lebih

sering terjadi dan lebih berat pada anak usia balita karena sistem imun yang belum

matang pada usia muda, sedangkan pada usia lanjut terjadi penurunan resistensi

terhadap infeksi khususnya virus. Sistem imun pada pria dan wanita mengalami

perbedaan setelah pubertas. Pada wanita respons imun terintegrasi dengan sistem

endokrin yang tujuannya agar janin dalam kandungan tidak ditolak selama hamil.

Nutrisi yang kurang baik disertai dengan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan

resiko infeksi. Selain itu pola hidup dengan stres, pendidikan kesehatan yang

kurang dan jumlah keluarga besar dalam rumah sempit juga meningkatkan

kerentanan (Baratawidjaja, 2010).

2. Sistem Imun Spesifik

Sistem imun spesifik atau didapat memiliki respons yang sangat lambat (>

96 jam), ia mulai bekerja setelah sistem imun nonspesifik atau bawaan tidak

memadai. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal dan

mengingat benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama

kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga

terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Jika sel imun tersebut berpapasan

kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan

dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik terbagi

antara humoral dan selular di mana yang berperan dalam humoral adalah limfosit

B dan pada selular adalah limfosit T (Baratawidjaja, 2010).


17

a. Sistem Imun Spesifik Humoral

Sel B banyak terletak pada limfosit asal sumsum tulang. Antibodi yang

dihasilkan sel B ini dapat pertahankan tubuh dari infeksi ekstraseluler virus dan

bakteri serta menetralisir toksinnya. Proses maturasi dari sel B menghasilkan

beberapa antibodi yang disebut juga imunoglobulin. Jenis-jenis imunoglobulin

ada lima yaitu :

1) IgG (gamma) paling banyak di tubuh, mampu menembus plasenta

melindungi tubuh dari bakteri

2) IgM paling besar bertanggung jawab dalam respon imun primer

3) IgA terdapat dalam sekresi tubuh; kolostrum, air mata, air liur, sekresi

saluran nafas, saluran pencernaan, saluran kemih. Fungsi utama

mempertahankan permukaan mukosa terhadap virus dan bakteri

4) IgE melekat ke sel mast dan basofil, terlibat dalam reaksi

hipersensitifitas tipe I (pertama)

5) IgD terdapat dlm jumlah kecil di serum, kemungkinan mempengaruhi

defisiensi limfosit B kendati peranannya belum jelas

b. Sistem Imun Spesifik Selular

Sel T paling banyak ditemukan di timus, sel T yang non aktif

disirkulasikan melalui KGB dan limpa. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler

berguna untuk membantu sel B dalam memproduksi antibodi, mengenal dan

menghancurkan sel yang terinfeksi virus, mengaktifkan makrofag dalam

fagositosis, mengontrol ambang dan kualitas sistem imun (Baratawidjaja,


18

2010).Jenis-jenis sel T adalah sel Th (helper), Ts (supresor), Td (delayed

hypersensitivity), Tc (cytotoxic).

D. ASI Eksklusif

1. Definisi ASI Eksklusif

ASI merupakan singkatan dari Air Susu Ibu, ASI merupakan makanan

terbaik untuk bayi. Untuk mendapat manfaat maksimal maka ASI harus diberikan

sesegera mungkin setelah dilahirkan (dalam waktu 30 menit setelah lahir karena

daya isap bayi saat itu paling kuat untuk merangsang produksi ASI selanjutnya)

(Soetjiningsih, 1997). Pengertian ASI Eksklusif berdasarkan PP nomor 33 tahun

2012 yakni ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam)

bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman

lain.

ASI eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa tambahan

cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tanpa

tambahan makanan padat, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi

tim, kecuali vitamin dan mineral dan obat (Roesli, 2000). Selain itu, pemberian

ASI eksklusif juga berhubungan dengan tindakan memberikan ASI kepada bayi

hingga berusia 6 bulan tanpa makanan dan minuman lain, kecuali sirup obat.

Setelah usia bayi 6 bulan, barulah bayi mulai diberikan makanan pendamping

ASI, sedangkan ASI dapat diberikan sampai 2 tahun atau lebih (Prasetyono,

2005).
19

2. Manfaat ASI Eksklusif bagi Bayi

ASI merupakan makanan alamiah utama bayi baru lahir hingga berusia 6

bulan. Kandungan nutrisinya cukup lengkap untuk tumbuh kembang bayi pada

usia tersebut (American Academy of Pediatrics and Work Group on

Breastfeeding, 1997). Di negara berkembang pemberian ASI secara eksklusif

(hanya memberi ASI sebagai makanan bayi) telah terbukti melindungi bayi dari

kematian maupun kesakitan akibat penyakit berat (WHO, 2000).

Hasil penelitian dari Oxford University dan Institute for Social and

Economic Research sebagaimana dilansir Daily Mail, menyebutkan bahwa anak

bayi yang mendapat ASI Eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar

dalam membaca, menulis, dan matematika. Salah satu peneliti, Maria Iacovou

mengemukakan asam lemak rantai panjang (long chain fatty acids) yang

terkandung di dalam ASI membuat otak bayi berkembang.

Manfaat ASI bagi bayi adalah sebagai nutrisi. ASI merupakan sumber gizi

yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan

pertumbuhan bayi. ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna, baik kualitas

dan kuantitasnya. Dengan tata laksana menyusui yang benar, ASI sebagai

makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai

usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat,

tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Negara-negara barat

banyak melakukan penelitian khusus guna memantau pertumbuhan bayi penerima

ASI eklslusif dan terbukti bayi penerima ASI eksklusif dapat tumbuh sesuai

dengan rekomendasi pertumbuhan standar WHO-NCHS (Danuatmaja, 2003).


20

Selain itu, ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh bayi. Dengan

diberikan ASI berarti bayi sudah mendapatkan immunoglobulin (zat kekebalan

atau daya tahan tubuh ) dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut

dengan cepat akan menurun segera setelah kelahirannya. Badan bayi baru lahir

akan memproduksi sendiri immunoglobulin secara cukup saat mencapai usia

sekitar 4 bulan. Pada saat kadar immunoglobulin bawaan dari ibu menurun yang

dibentuk sendiri oleh tubuh bayi belum mencukupi, terjadilah suatu periode

kesenjanganimmunoglobulin pada bayi. Selain itu, ASI merangsang terbentuknya

antibodi bayi lebih cepat. Jadi, ASI tidak saja bersifat imunisasi pasif, tetapi juga

aktif. Suatu kenyataan bahwa mortalitas (angka kematian) dan mobiditas (angka

terkena penyakit) pada bayi ASI eksklusif jauh lebih rendah dibandingkan dengan

bayi yang tidak mendapatkan ASI (Budiasih, 2008).

Air susu ibu selain merupakan nutrient ideal, dengan komposisi tepat, dan

sangat sesuai kebutuhan bayi, juga mengandung nutrient-nutrien khusus yang

sangat diperlukan pertumbuhan optimal otak bayi. Nutrien-nutrien khusus tersebut

adalah taurin, laktosa, asam lemak ikatan panjang (Danuatmaja, 2003). ASI juga

dapat menjalin kasih sayang. Bayi yang sering berada dalam dekapan ibunya

karena menyusui, dapat merasakan kasih sayang ibu dan mendapatkan rasa aman,

tenteram, dan terlindung. Perasaan terlindung dan disayangi inilah yang menjadi

dasar perkembangan emosi bayi, yang kemudian membentuk kepribadian anak

menjadi baik dan penuh percaya diri (Ramaiah, 2006).


21

3. Komposisi ASI

ASI mengandung sebagian besar air sebanyak 87,5%, oleh karena itu bayi

yang mendapat cukup ASI tidak perlu mendapat tambahan air walaupun berada di

tempat yang suhu udara panas. Pada saat awal kelahiran, ASI mengandung

banyak kolostrum. Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran

sampai hari ke-4 atau ke-7 (Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat antibodi

terutama IgA. Selain itu, di dalam kolostrum terdapat lebih dari 50 proses

pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan

jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008).

Kolostrum mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin

pembunuh kuman dalam jumlah paling tinggi. Kolostrum dihasilkan pada saat

sistem pertahanan tubuh bayi paling rendah. Jadi dapat dianggap bahwa kolostrum

adalah imunisasi pertama yang diterima oleh bayi (Roesli, 2005). Disamping

banyaknya zat antibodi yang terkandung, kolostrum juga mengandung banyak

faktor imunosupresif yang mencegah terjadinya stimulasi berlebih akibat

masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono, 2008).

Komposisi ASI terbagi menjadi komposisi makro dan mikro. Komposisi

ASI makro yaitu karbohidrat, protein, dan lemak, sedangkan kompoisis mikro

ASI ialah mineral dan vitamin (Hubertin, 2004).

a. Komposisi Makro ASI

Di dalam ASI terdapat laktosa, laktosa ini merupakan karbohidrat utama

dalam ASI yang berfungsi sebagai salah satu sumber untuk otak. Kadar laktosa
22

yang terdapat dalam ASI hampir dua kali lipat dibanding laktosa yang ditemukan

pada susu formula. Kadar karbohidrat dalam kolostrum tidak terlalu tinggi, tetapi

jumlahnya meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7-14 hari setelah

melahirkan). Setelah melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil

(Badriul, 2008).

Selain karbohidrat, ASI juga mengandung protein. Kandungan protein ASI

cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam susu

formula. Protein dalam ASI dan susu formula terdiri dari protein whey dan casein.

Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang lebih mudah

diserap oleh usus bayi, sedangkan susu formula lebih banyak mengandung protein

casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi. Jumlah casein yang terdapat di

dalam ASI hanya 30%, dibanding susu formula yang mengandung protein dalam

jumlah yang tinggi (80%) (Badriul, 2008). Di samping itu ASI mempunyai asam

amino yang lengkap yaitu taurin. Taurin diperkirakan mempunyai peran pada

perkembangan otak karena asam amino ini ditemukan dalam jumlah cukup tinggi

pada jaringan otak yang sedang berkembang.

ASI juga mengandung lemak, kadar lemak dalam ASI pada mulanya

rendah kemudian meningkat jumlahnya (Husaini, 2001). Lemak ASI berubah

kadarnya setiap kali diisap oleh bayi yang terjadi secara otomatis. Selain

jumlahnya yang mencukupi, jenis lemak yang ada dalam ASI mengandung lemak

rantai panjang yang merupakan lemak kebutuhan sel jaringan otak dan sangat

mudah dicerna serta mempunyai jumlah yang cukup tinggi. Dalam bentuk Omega
23

3, Omega 6, DHA (Docoso Hexsaconic Acid) dan Acachidonid acid merupakan

komponen penting untuk meilinasi bayi (Hubertin, 2004).

b. Komposisi Mikro ASI

Mineral dan vitamin merupakan komposisi mikro yang terkandung dalam

ASI. Mineral utama yang terdapat di dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai

fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan

pembekuan darah. Mineral zink dibutuhkan oleh tubuh karena merupakan mineral

yang banyak membantu berbagai proses metabolisme di dalam tubuh (IDAI

Cabang DKI Jakarta,2008).

Vitamin yang terkandung dalam ASI yakni vitamin A, vitamin D, vitamin

E, vitamin K, dan vitamin yang larut dalam air. Hampir semua vitamin larut

dalam air seperti vitamin B, asam folat, vitamin C terdapat dalam ASI. Makanan

yang dikonsumsi ibu berpengaruh terhadap kadar vitamin ini dalam ASI. Kadar

vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI tetapikadar vitamin B6, B12 dan asam

folat mungkin rendah pada ibu dengan gizi kurang (Badriul, 2008).

ASI mengandung bahan beta karoten yang terkandung dalam vitamin A

dalam jumlah yang tinggi. Vitamin A selain berfungsi untuk kesehatan mata, juga

berfungsi untuk mendukung pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan pertumbuhan

(Hendarto dan Pringgadini, 2008). ASI mengandung berbagai zat yang berfungsi

sebagai pertahanan nonspesifik maupun spesifik. Pertahanan nonspesifik

diperankan oleh sel seperti makrofag dan neutrofil serta produknya dan faktor

protektif larut, sedangkan sel spesifik oleh sel limfosit dan produknya

(Matondang, dkk, 2008). Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang
24

terdapat dalam ASI. Sel limfosit T dapat menghancurkan kapsul bakteri E.coli dan

mentransfer kekebalan selular dari ibu ke bayi yang disusuinya (Munasir dan

Kurniati, 2008).

Tabel II.2 :Faktor Protektif dalam ASI

Faktor Anti Bakteri Efektif terhadap antara lain


sIgA E. coli, C. tetani, C. diphteriae. K.
pneumoniae, Salmonella, Shigella,
Streptokokus, H. influenzae
Virus: Polio, Rubella, CMV,
Rotavirus, Influenza, RSV
Parasit: G. lamblia, E.histolitica
IgG, IgM V. Cholerae, E. coli
Virus: Rubella, CMV, RSV
IgD E. coli
Bifidobacterium bifidum Enterobacteriacea, patogen enterik
Laktoferin E. Coli
Laktoperoksidase Streptokokus, Pseudomonas, E. coli,
S. Typhimurium
Lisozim E. coli, Salmonella
Makrofag,neutrofil,limfosit Dengan cara fogositosis,
pembentukan interferon, sitokin dan
limfokin
Lipid S. aureus
H. simplex
G. lamblia, E. histolytica T.
Vaginalis
Sumber : Sari Pediatri IDAI vol. 3, 2001
25

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Virus Bakteri Parasit


Sel T

Selular
Infeksi

Sistem Imunitas
Kejang Demam
Spesifik
Demam

Non-infeksi Humoral

Imunoglobulin

Imunisasi Genetik Malnutrisi

ASI eksklusif

Keterangan :

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti


26

Kejang demam dicetuskan oleh demam. Demam merupakan tanda infeksi dan

noninfeksi bagi tubuh yang merupakan tanda adanya reaksi sistem imun.ASI

eksklusif mengandung immunoglobulin yang berfungsi mencegah gangguan

sistem imun pada tubuh bayi. Peneliti akan meneliti apakah ada hubungan antara

pemberian ASI eksklusif dengan penurunan kejadian kejang demam.

B. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara penurunan kejadian kejang demam pada bayi usia 6-18

bulan dengan pemberian ASI eksklusif.


27

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian analitik observasional

dengan pendekatan potong lintang (cross sectional).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Islam Jemursari, Surabaya. Waktu

penelitian dilakukan pada bulan Juli-September 2015.

C. Populasi dan Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah bayi yang berusia 6-18 bulan yang berobat Rumah Sa-

kit Islam Jemursari di Surabaya dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Pemilihan rentang usia bayi berdasarkan jumlah insidens tertinggi penderita

kejang demam dan usia pemberian ASI eksklusif.

a. Kriteria inklusi

1) Berusia 6-18 bulan

2) Mengalami kejang demam

3) Orang tua / wali penderita setuju (secara tertulis) untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini

b. Kriteria eksklusi
28

1) Menderita infeksi intrakranial

2) Memiliki riwayat epilepsi sebelumnya

3) Menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian

Keterangan : Peneliti dibantu oleh dokter spesialis anak dalam

mengeksklusi responden

2. Sampel Penelitian

a. Besar Sampel

Perkiraan besarnya sampel ditentukan dengan rumus penyederhanaan Lemeshow

dkk (1997) :

4 pq
n
d2

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

p = proporsi anak yang kejang demam

q = 1-p = proporsi anak yang tidak kejang demam

d2 = limit dari error atau presisi absolut (10%)

Berdasarkan data rekam medis jumlah pasien di poliklinik anak RSI Jemursari

pada bulan Juli 2014 sampai Juli 2015 sebanyak 15.648 pasien dan pasien kejang

demam sebanyak 66 kasus.


29

66
p= 0,0042
15648

q = 1 - p = 1 - 0,0042 = 0,9958

4 0,0042 0,9958
n= 16,7 17 sampel
(0,1) 2

b. Prosedur Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel secara konsekutif. Bayi penderita kejang demam

yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung

Penurunan kejadian kejang demam

2. Variabel Bebas

Pemberian ASI eksklusif

E. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Kategori dan Kriteria Parameter Skala


1. Kejang Demam Kejang yang diprovokasi Terbagi menjadi dua Kuesioner Nominal
oleh demam dan tidak jenis, yakni kejang Score :
disebabkan oleh infeksi demam simpleks dan A=3
intrakranial. kejang demam B=2
kompleks C=1
30

2. Pemberian ASI ASI yang diberikan selama Kuesioner Nominal


Eksklusif 6 bulan tanpa susu lain dan Score :
makanan pendamping A=3
B=2
C=1

F. Prosedur Penelitian
1. Alur Prosedur Penelitian

Bayi usia 6-18 bulan dengan riwayat kejang demam

Membagikan kuesioner pada ibu bayi usia 6-18 bulan dengan riwayat kejang demam

Bayi tidak diberi


Bayi diberi ASI
ASI eksklusif
eksklusif

Analisis data dan penulisan laporan

Pertama-tama peneliti akan mencari pasien bayi usia 6-18 bulan yang menderita

kejang demam, kemudian meminta persetujuan ibu bayi untuk mengisi kuesioner
31

tentang pemberian ASI eksklusif. Dari data yang didapat tentunya ada ibu yang

memberi ASI eksklusif dan ada yang tidak. Selanjutnya semua data tersebut akan

dianalisis dan dituliskan dalam laporan.

2. Kualifikasi dan Jumlah Petugas

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dan dokter spesialis anak yang

membantu diagnosis kriteria eksklusi.

3. Bahan / Alat / Instrumen yang Digunakan

Jenis data yang diambil oleh peneliti dalam penelitian ialah data primer.

Pengambilan data dilakukan secara langsung dengan membagikan

kuesioner kepada responden. Alat yang dibutuhkan untuk penelitian ini

ialah lembar kuesioner dan alat tulis.

G. Analisis Data

Data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for Windows. Uji hipotesis untuk

mengetahui hubungan antar variabel :

Analisis bivariat dengan uji korelasi Spearmen untuk menganalisis hubungan

pemberian ASI eksklusif dengan penurunan kejang demam.

Anda mungkin juga menyukai