Anda di halaman 1dari 29

Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Dermatitis Kontak Alergi

Disusun oleh :
Zuniva Andan P.B (1510029010)

Pembimbing
Dr. dr. Natanael Shem, Dip.Derm, DDSc, MSc.Derm

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin
Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Maret, 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul Dermatitis Kontak Alergi.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1 Dr. dr. Natanael Shem, Dip.Derm, DDSc, MSc.Derm, sebagai dosen
pembimbing klinik selama stase Penyakit Kulit dan Kelamin.
2 Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3 Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4 Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Maret, 2017

Penulis

DAFTAR ISI

2
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
..................................................................................................................................
1
KATA PENGANTAR.............................................................................................
..................................................................................................................................
2
DAFTAR ISI...........................................................................................................
..................................................................................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................
1 Latar Belakang............................................................................................
2 Tujuan.........................................................................................................
BAB 2 LAPORAN KASUS....................................................................................
5
1 Identitas........................................................................................................ 5
2 Anamnesis....................................................................................................
......................................................................................................................
5
3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................
......................................................................................................................
6
4 Pemeriksaan Penunjang................................................................................
......................................................................................................................
7
5 Diagnosis...................................................................................................... 7
6 Penatalaksanaan............................................................................................ 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................
9
BAB 4 PEMBAHASAN......................................................................................... 26
BAB 5 PENUTUP................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
..................................................................................................................................
29

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah
reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit disekitarnya (spreading
phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA
dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin
sulit untuk dibedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan
maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering.
Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational
Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data terakhir dari
Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa persentase dermatitis kontak
akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih tinggi, berkisar antara 50 dan 60
persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja DKA.2,3

4
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya refleksi kasus ini adalah agar dokter muda mengetahui
definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi
sinusitis paranasal. Dan diharapkan juga, dengan membuat refleksi kasus ini dapat
menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis maupun teman-teman sejawat
lainnya.

BAB 2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Ny. NS
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Suryanata RT 13 Samarinda
Tanggal Pemeriksaan : 10 Maret 2017

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 40 tahun datang ke poliklinik kulit & kelamin
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tanggal 10 Maret 2017 dengan :

Keluhan Utama
Bercak kehitaman yang gatal pada kedua punggung kaki sejak 2 minggu yang
lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh terdapat bercak kehitaman yang gatal pada kedua punggung kaki
muncul sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan terus menerus dan tidak
bertambah jika berkeringat. Selain hal tersebut pasien juga mengeluh bahwa kakinya

5
terasa kering. Awalnya berupa kulit yang memerah saja pada bagian punggung kaki
namun semakin lama berubah menjadi kehitaman dan terasa gatal. Pasien sehari-hari
menggunakan sendal jepit dari bahan karet. Kemerahan pada kulit tidak langsung
muncul melainkan setelah kontak berulang dengan sendal karet. Kemudian kulit
yang memerah tersebut mulai terasa gatal dan mulai menjadi bercak kehitaman
pada punggung kaki yang berkontak dengan sendal karet. Bercak tersebut tidak
terasa nyeri, tidak pedih, tidak ada rasa terbakar dan tidak panas. Pasien
mengatakan bahwa tidak ada bercak kehitaman pada bagian tubuh yang lain. Pasien
belum pernah berobat sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sering mengalami hal serupa sejak kecil terakhir dirasakan tujuh tahun yang lalu.
Saat itu pasien mengalami keluhan serupa namun telah sembuh dengan diobati oleh
dokter puskesmas dan mendapat obat yang diminum serta salep (nama obat lupa).

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki bercak kehitaman pada tubuhnya.
Riwayat asma (-), DM (-), HT (-).

Riwayat Atopi
riwayat alergi makanan tidak ada
riwayat bersin-bersin 5x di pagi hari tidak ada
riwayat mata merah, berair dan gatal tidak ada
riwayat alergi obat-obatan tidak ada
riwayat asma tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sehat
Kesadaran : komposmentis
Status Gizi : baik
TB : 155 cm
BB : 52 kg

6
BMI : 23,1 %
Kepala / leher : Anemis (-/-) Ikterus (-/-) Pupil isokor
(3mm/3mm) Refleks cahaya +/+
Thoraks : Vesikuler (+/+) S1S2 reguler tunggal
Abdomen : Flat, Soefl, BU(+)N, Mass (-)
Eksrimitas : Akral hangat (+) edem (-)

Status Dermatologikus
Lokasi : regio dorsum pedis deksra et sinistra
Distribusi : terlokalisir dan simetris
Bentuk : tidak khas
Susunan : tidak khas
Batas : tegas
Ukuran : plakat
Efloresensi : plak hiperpigmentasi dengan skuama kasar diatasnya dan
terdapat likenifikasi

7
Status Venereologikus
Tidak diperiksa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji tempel (tidak dilakukan)

DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak alergi ec sendal karet

DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak iritan ec sendal karet

PENATALAKSANAAN
a. Terapi Umum
Hindari kontak secara langsung dengan sendal karet

8
Jaga kebersihan kaki
Jaga kaki tetap kering

b. Terapi Khusus
Cetirizin 10 mg, 1 x 1 tab / hari
Betametason 0,05% cream 2x/hari
Krim pelembab : Urea 20% 40 g 3x/hari

PROGNOSIS
quo ad sanam : bonam
quo ad vitam : bonam
quo ad kosmetikam : dubia et bonam
quo ad functionam : bonam

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul

9
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis
cenderung residif dan menjadi kronis.1, 2
Dermatitis kontak ialah respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang
dapat bersifat akut maupun kronik, karena paparan dari bahan iritan/alergen
eksternal yang mengenai kulit1, 2.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi inflamasi akibat
pemaparan bahan alergen pada dermal yang mampu mengaktivasi sel T dan
kemudian akan bermigrasi pada tempat pemaparan tersebut. Dermatitis kontak
alergi (DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen. 1, 2

B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada semua umur dan pria
maupun wanita memiliki frekuensi yang sama untuk terkena. Bila
dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan
kulitnya sangat peka (hipersensitif) 1,3.
Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait dengan
pekerjaan di Amerika Serikat3. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan,
insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu.
Pada penelitian epidemiologi di St Spiridion, Romania tahun 200-2009 bahwa
wanita lebih sering terkena dermatitis kontak dibanding laki-laki, yaitu 1.83: 1
dan 64.46% berusia di atas 45 tahun. Akan tetapi, usia dan jenis kelamin
sendiri sebenarnya bukan merupakan faktor risiko DKA, tetapi berhubungan
dengan paparan alergen ketika beraktivitas di luar maupun ibu rumah tangga3.

C. ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana
dengan berat molekul umumnya rendah (< 1000 dalton) yang disebut hapten, 4
bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup)2.
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi,
misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, lama pajanan, suhu,

10
dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,
terpajan sinar matahari)1.

D. PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sistem imun spesifik
yang menyebabkan perkembangan sel T efektor atau reaksi tipe IV 4,5.
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya.
Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana
berukuran sangat kecil (low molecul weight) yang akan terikat dengan protein
epiderma membentuk antigen lengkap yang disebut hapten protein complex4.
Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel Langerhans,
diekspresikan ke permukaan dengan bantuan MHC II. Antigen tidak hanya
dipresentasikan di kelenjar getah bening, tetapi juga di kulit ke sel memori T
spesifik6. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke
kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. 4
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi4,5. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu. Fase sensitasi tidak menimbulkan gejala klinis pada
kebanyakan kasus, tetapi menginduksi DKA primer yang dikarakteristikan
sebagai inflamasi kulit karena hapten spesifik pada 5-15 hari setelah kontak
kulit5. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan
individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi.
Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer
lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada

11
umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan
tersebut, bisa bulanan atau tahunan 1.
Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang
sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi,
umumnya berlangsung antara 24-48 jam pada tikus dan 72 jam pada manusia.
Sel T diaktifkan baik oleh kontak direk melalui ikatan reseptor antigen dengan
antigen-kompleks MHC, keratinosit, dan sel T lain yang menginfiltrasi kulit.
Sel T memproduksi sitokin antara lain IL 4 dan IFN pada dermatitis fase akut
dan sitokin tipe I yang lebih menonjol pada fase kronis. Sitokin dan kemokin
menimbulkan akumulasi sel T efektor 6. Reaksi inflamasi ini akan bertahan
selama beberapa hari setelah itu akan menurun dengan mekanisme down
regulation5.

Gambar 1. Patogenesis DKA4

12
E. GEJALA KLINIS

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung


pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema
berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah) 1,2. Pada
yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin
juga fisur, batasnya tidak jelas1,2. Kelainan ini sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.1,2

Tabel 1. Erupsi akut, sub akut, atau kronis6


Akut Subakut Kronis
- Vesikel atau bula yang terisi - Eritem bertambah - Kemerahan dan
- Edema mengurang
cairan jernih multiple dan bengkak
- Papul menggantikan
- Lebih menonjolkan
berat. Bila terjadi
vesikel
sisik, hyperkeratosis,
vesikel/berair, timbul erosi
dan likenifikasi di
dan eczema
- Edema, eritem daerah yang terkena
- Infeksi sekunder dengan
bakteri gram (+)

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak1 :


1. Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling
sering di tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula
kebanyakan dermatitis kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian
besar memang oleh karena bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen, dan pestisida1.

13
Gambar 2. DKA pada Tangan, Subakut2
2. Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam
tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila
umumnya oleh bahan pengharum1.

Gambar 3. DKA pada Lengan2

3. Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan


kosmetik, obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata).
Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi,
getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat
kuku, cat rambut, eyeshadows, dan obat mata1.

14
Gambar 4. DKA pada Wajah2

4. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai
kaca mata, cat rambut, hearing-aids1.
5. Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung
jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian1.

Gambar 5. DKA pada Leher2


6. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat
warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen1.
7. Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, dan alergen yang ada di tangan1.
8. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal
(misalnya anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.1

15
F. DIAGNOSA

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan


pemeriksaan klinis yang teliti1,2,7.

1. Anamnesis

Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada


peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien terkena
penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai DKA merupakan
standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai dengan diskusi tentang
penyakit ini dan fokus pada tempat timbulnya masalah dan agen topikal yang
digunakan untuk mengobati masalah. Riwayat penyakit kulit, atopi, dan
kesehatan umum juga secara rutin diselidiki. Gambaran klinis DKA
tergantung pada jenis alergen yang menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi
pada lokasi aplikasi alergen tetapi penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi.
Dalam anamnesis riwayat pasien, penting untuk mempertimbangkan
pekerjaan, rumah tangga, dan kemungkinan paparan terhadap alergen saat
bepergian, dan juga tentu saja waktu, lokalisasi, alergen sebelumnya
diidentifikasi, diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan obat topikal
maupun sistemik 1,2,7.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan


pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan
di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen.4
Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan
durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula dan
papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari respon

16
alergi. Namun, dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh, seperti kelopak
mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi
dibandingkan vesikel. Batas-batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada
wajah dapat mengakibatkan pembengkakan periorbital yang menyerupai
angioedema. Pada fase subakut, vesikel kurang menonjol, dan pengerasan
kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa saja terjadi. Pada DKA kronis hampir
semua kulit muncul scaling, lichenifikasi, dermatitis yang pecah-pecah
(membentuk fisura), dengan atau tanpa papulovesikelisasi yang menyertainya
1,2,7
. DKA tidak selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup
lichenoid kontak, eritema multiformis (EM), hipersensitivitas kontak kulit
seperti selulitis, leukoderma kontak, purpura kontak, dan erythema
dyschromicum perstans8.
Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam kemudahan
tersensitisasi. Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor yang
tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat kelamin
adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan telapak tangan,
telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten1.

3. Pemeriksaan Penunjang
Standar emas untuk menegakkan diagnosis DKA, termasuk yang
dicurigai akibat kerja adalah uji tempel7,9,10. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya finn
chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan Amerika Serikat.
Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan negara lain.1,7,10
Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar, dapat
berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan
ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun jarang dapat
memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu bila menggunakan
bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati - hati sekali,
jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui.1
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan

17
apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan
air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih
dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam
vaselin atau minyak mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
detergen hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.1
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab
alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang
direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan
ditempelkan dikulit dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-
kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan karena
iritasi.1
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan
akut atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif
palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin
memburuk1.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel
dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau
dosis ekivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi
negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar
sinar matahari (sunburn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan
juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik
tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak1,10.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacaan kedua
dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi1,10.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karena memberi hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48

18
jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai1.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria
type karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur
khusus.1
Patch test biasanya dilakukan di punggung, tetapi dapat juga dilakukan
1,7
di lengan atas bagian luar . Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji
tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal 1. Hasilnya
dicatat sebagai berikut :

Tabel 2. Interpretasi Hasil Patch Test10


Simbol Morfologi Interpretasi
- Tidak ada reaksi Negatif
? Hanya eritema, tanpa infiltrasi Hasil meragukan
+ Eritema, infiltrasi, dan bisa ditemukan Reaksi positif lemah
papul diskret
++ Eritema, infiltrasi, papul, vesikel Reaksi positif kuat
+++ Eritema, infiltrasi, vesikel konfluen Reaksi positif ekstrim
Ir Tipe reaksi yang berbeda (reaksi sabun, Reaksi iritan
vesikel, bula )
Nt Tidak dites

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah


aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi 1,7,10. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan
juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif
dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada
pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 10% pasien menjadi (+) pada hari ke-
7, padahal pada hari ke-2 dan ke-4 menunjukkan hasil negatif. Alergen yang

19
paling sering menjadi positif setelah hari ke-4 adalah neomycin, tixocortol
pivalate, dan nikel7.
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++
bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe descrecendo). Bila ditemukan respon positif terhadap
suatu alergen, perlu ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat
penyakit dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif
tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu
yang pernah dialami, atau merupakan reaksi silang dari allergen lain yang
sejenis, atau mungkin tidak ada hubungannya (tidak diketahui)7.
Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-vesikel kecil
yang letaknya berdekatan. Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain apabila
konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam
keadaan tertutup (oklusi), efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi,
bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi
ringan atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya
konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain karena efek tekan,
terjadi bila menggunakan bahan padat. Reaksi negatif palsu dapat terjadi
misalnya konsetrasi terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel
tidak melekat dengan baik atau longgar akibat pergerakan, kurang cukup
waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang
lama dipakai pada uji tempel dilakukan.1

20
Alogaritma Patch Test

G. DIAGNOSIS BANDING

21
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan
gambaran morfologik yang khas. Diagnosis banding yang terutama ialah
dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel
perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena
kontak alergi.1,2
Tabel 3. Perbandingan DKA dan DKI6
Variabel Iritan Alergi
Penderita Banyak orang Tidak banyak yang
menderita
Timbulnya reaksi Biasanya dalam 48 jam Beberapa jam, 5-6 jam
sesudah kontak
Lokasi Terlokalisasi Tersebar
Batas tegas Sering khas Dapat terjadi
Waktu untuk resolusi Sering mengurang setelah Beberapa hari
klinis setelah bahan 96 jam
disingkirkan
Terjadinya reaksi Terjadi cepat dengan iritan 24-72 jam
kuat (menit-jam); lambat
dengan iritan lemah
Hubungan dengan Membaik dengan liburan Dapat membaik bahkan
pekerjaan lama (4 minggu) pada akhir minggu
Atopi Predisposisi Predisposisi tidak diketahui
Morfologi Eritem, sisik, fisura Vesikel yang sulit
dibedakan dari iritan
Agen penyebab Tergantung pada Relatif tidak terkait dengan
konsentrasi agen dan jumlah aplikasi, biasanya
kondisi barier kulit; hanya konsentrasi yang sangat
terjadi di atas ambang sedikit pun cukup
batas menyebabkan DKA, tetapi
tergantung pada derajat
sensitasi
Sistem imun Respon imun tidak Tipe IV DTH
spesifik
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penanganan DKA meliputi11:
1. Perlindungan terhadap kulit, seperti penggunaan sarung tangan dan perubahan
gaya hidup, termasuk edukasi adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.

22
2. Pengobatan topical [emollient, cream/ointment corticosteroid, topical
immunomodulator, dan irradiasi dengan sinar ultraviolet (UV) atau X-rays].
3. Pengobatan sistemik [azathioprine, methotrexate (MTX), cyclosporine,
retinoids, dan oral kortikosteroid jangka pendek].
Kebanyakan pasien akan membaik hanya dengan perlindungan kulit
dan pengobatan topical. Akan tetapi, pada pasien yang masih persisten meski
dengan pemberian topical kortikosteroid yang adekuat, di mana hal ini
merupakan terapi utama pada DKA, sampai saat ini belum ada terapi yang
memuaskan untuk hal tersebut. Pengobatan sistemik mungkin menyebabkan
kesembuhan remisi temporer, tetapi tidak selalu cocok untuk control jangka
panjang11.

1. Menghindari Alergen
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul.7,11
Deteksi dan menghindari allergen adalah hal yang penting tetapi
terkadang sulit untuk dilaksanakan7. Setelah kemungkinan penyebab masalah
dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk
menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan cara yang mudah
dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang
mengandung alergen7,11. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat
kerja ini buruk7. Menasihati pekerja dengan DKA untuk meninggalkan posisi
mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik, terutama jika perubahan
pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan buruk7.
Pekerja yang mempunyai riwayat DKA terhadap allergen tertentu harus
tercatat dalam rekam medis dan riwayat tersebut akan selalu diperhatikan
ketika dia menerima pekerjaan baru agar pihak industri juga dapat ikut
menjaga kesehatan kulitnya9. Penggunaan sabun cuci tangan dengan emulsi
dan cream yang dipakai setelah bekerja dilaporkan dapat menurunkan
insidensi dan prevalensi dermatitis kontak7.

23
Gambar 7. Algoritma Pasien dengan Dermatitis Kontak Akibat Kerja9

Pengobatan dengan agen fisikokimia yang mengurangi respon juga


mungkin diperlukan. Orang-orang ini mungkin dapat menggunakan sarung
tangan dengan bahan sesuai risiko paparan allergen7.

Tabel 4. Bahan Sarung Tangan untuk Pencegahan Dermatitis Kontak7


Hazard Tipe Sarung Tangan
Mikroorganisme NRL thermoplastic elastomer
Desinfektan NRL, polyvinyl chloride (PVC), polyethylene (PE), ethylene
methylmethacrylate (EMA)
Bahan farmasi NRL
Bahan material NRL, 4H glove
Bahan terlarut PE, PVC, nitril, NRL, neoprene, butyl rubber, viton, 4H glove
Oli Mesin PVC, nitril, NRL, neoprene, 4H glove

2. Pengobatan Topikal
Kortikosteoroid topical digunakan secara luas untuk pengobatan DKA.
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa kombinasi steroid topical dan
antibiotic topical memiliki manfaat pada pengobatan eczema yang disertai
infeksi atau potensial untuk terinfeksi7. Kortikosteroid oral dapat diberikan

24
dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak
alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel. Umumnya
kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup
dikompres dengan larutan garam faal1.
Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat
bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi
likenifikasi paling baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol
dengan antipruritus topikal atau antihistamin oral, antihistamin topikal atau
anestesi sebaiknya dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada
kulit yang sudah mengalami dermatitis1.

I. PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis,
bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang
tidak mungkin dihindari.1,27

BAB 4
PEMBAHASAN

25
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada pasien perempuan
usia 40 tahun yang datang ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda tanggal 10 Maret 2017.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Riwayat penyakit kulit, atopi, dan Bercak kehitaman yang gatal pada
kesehatan umum juga secara rutin kedua punggung kaki muncul
diselidiki. ] sejak 2 minggu yang lalu
Gambaran klinis DKA tergantung Kakinya terasa kering, tidak terasa
pada jenis alergen yang nyeri, tidak pedih, tidak ada rasa
menyebabkan. Biasanya, dermatitis terbakar dan tidak panas
terjadi pada lokasi aplikasi alergen Awalnya berupa kulit yang
tetapi penyebaran dermatitis juga memerah saja pada bagian
mungkin terjadi. punggung kaki namun semakin
Dalam anamnesis riwayat pasien, lama berubah menjadi kehitaman
penting untuk mempertimbangkan dan terasa gatal
pekerjaan, rumah tangga, dan Pasien sehari-hari menggunakan
kemungkinan paparan terhadap sendal jepit dari bahan karet.
alergen saat bepergian, dan juga Pasien sering mengalami hal
tentu saja waktu, lokalisasi, alergen serupa sejak kecil terakhir
sebelumnya diidentifikasi, diatesis dirasakan tujuh tahun yang lalu.
topik, perawatan kulit, kosmetik, Riwayat bersin-bersin 5x di pagi
dan obat topikal maupun sistemik hari ada
PEMERIKSAAN FISIK
DKA akut eritema dan edema Keadaan umum: tampak sehat
biasanya mendominasi Kesadaran : komposmentis
dibandingkan vesikel. Batas-batas Status Gizi : baik
dermatitis umumnya tidak tegas. Tanda Vital
DKA subakut, vesikel kurang - Tekanan Darah : 120/80
menonjol, dan pengerasan kulit, mmHg
skala, dan lichenifikasi dini bisa - Nadi : 80x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
saja terjadi - Suhu : 36,8oC
DKA kronis hampir semua kulit

26
muncul scaling, lichenifikasi, Status Dermatologis
dermatitis yang pecah-pecah Lokasi : regio dorsum pedis deksra
(membentuk fisura), dengan atau et sinistra
tanpa papulovesikelisasi yang Efloresensi: plak hiperpigmentasi
menyertainya dengan skuama kasar diatasnya dan
terdapat likenifikasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Gold Standard adalah uji tempel Tidak Dilakukan
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis DKA Dermatitis kontak alergi ec sendal
berdasarkan anamnesis karet
danpemeriksaan fisik dan dapat
ditunjang dengan pemeriksaan
penunjang.
PENATALAKSANAAN
Menghindari Alergen Hindari kontak secara langsung
Pengobatan topikal dengan sendal karet
Pengobatan sistemik
Cetirizin 10 mg, 1 x 1 tab / hari
Betametason 0,05% cream
2x/hari
Krim pelembab : Urea 20% 40 g
3x/hari

BAB 5
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

27
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta
nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk
mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid,
mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk
mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA and Djuanda S. Dermatitis; in: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009, pp 148-150.
2. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 20
33.
3. Statescua L, Branisteanu D, Dobreb C, Solovastru LG, Vasilcab A, Petrescu Z,
Azoicaic D. Contact dermatitis epidemiological study. Maedica A Journal of
Clinical Medicine, Volume 6 No.4; 2011. P 277-281

28
4. Matthias Peiser. Role of Th17 cells in skin Inflammation of allergic contact
dermatits. Clinical and Developmental Immunology Hindawi 2013, 261037 : p
1-10
5. Vocanson M, Hennino A, Rozi A, Poyet, Nicolas JF. Effector and regulatory
mechanisms in allergic contact dermatitis. John Wiley & Sons A/S Allergy
2009: 64: 16991714
6. Baratawijaya KG, Rengganis I. Alergi Dasar. Edisi 1. 2009. Jakarta: Interna
Publishing, p 299-314
7. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for care of contact dermatitis.
British Journal of Dermatology 2001; 145: 877-885
8. Bonamonte D, Foti C, Vestita M, Angelini G. Noneczematous contact
dermatitis. Allergy Hindawi 2013, p 1-10
9. Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D, Wilkinson M. U.K. standards of
care for occupational contact dermatitis and occupational contact urticaria.
British Journal of Dermatology 2013, 168, pp11671175
10. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch PJ,
Fuchs T, Geier J, Hillen U, Lffler H, Mahler V, Richter G, Szliska C. Patch
testing with contact allergens. JDDG 92008. P 770-775
11. Diepgen TL, Agner T, Aberer W, Jones JB, Cambazard FR, Elsner P,
Mcfadden J, Coenra PJ. Management of chronic hand eczema. Contact
Dermatitis 2007: 57: 203210

29

Anda mungkin juga menyukai