Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus

DERMATITIS KONTAK ALERGI


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :

dr. Dwi Rini Marganingsih, M. Kes, Sp. KK

Disusun Oleh :

Ayuningtyas Dewi Ratri

20204010137

KSM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2021
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun oleh:
Ayuningtyas Dewi R
20204010137

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal 26 Agustus 2021

Pembimbing

dr. Dwi Rini Marganingsih, M. Kes, Sp. KK

2
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................1

dr. Dwi Rini Marganingsih, M. Kes, Sp. KK..........................................................1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN...................................................................................................3

BAB II......................................................................................................................5

LAPORAN KASUS.................................................................................................5

A. IDENTITAS...................................................................................................5

B. ANAMNESA...................................................................................................5

C. PEMERIKSAAN FISIK.................................................................................6

D. DIAGNOSIS KERJA......................................................................................7

E. DIAGNOSIS BANDING................................................................................7

F. TATALAKSANA............................................................................................7

BAB III....................................................................................................................9

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................9

A. DEFINISI.........................................................................................................9

B. ETIOLOGI.......................................................................................................9

C. EPIDEMIOLOGI...........................................................................................10

D. PATOGENESIS.............................................................................................11

E. GEJALA KLINIS..........................................................................................13

F. DIAGNOSIS..................................................................................................17

G. TATALAKSANA..........................................................................................18

H. EDUKASI......................................................................................................19

H. PROGNOSIS.................................................................................................19

3
I. DIAGNOSIS BANDING..............................................................................19

BAB III..................................................................................................................21

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN...............................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

4
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangat kompleks, elastik, dan
sensitif, yang bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh. Kulit merupakan pembungkus yang elastik
yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan.
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis. Dermatitis disebabkan oleh berbagai faktor (multifaktorial).
Dermatitis kontak adalah peradangan akibat bahan atau substansi yang
menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling umum yang
berkaitan dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan
keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
adalah suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan alergen sehingga
menyebabkan gejala sensitisasi yang melibatkan stimulasi terhadap sel T. terdapat
dua tahap dalam terjadinya dermatitis kontak alergi yaitu tahap sensitisasi dan
tahap elisitasi. Sedangkan, Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi
peradangan kulit nonimunologik yang tidak melibatkan stimulasi sel T, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. . Respon kulit
terhadap DKA dan DKI tergantung pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari
kontak serta kelemahan individu. Bahan kimia yang menyebabkan dermatitis
kontak ditemukan pada perhiasan, produk untuk perawatan diri, tanaman,
pengobatan topikal ataupun
sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes
tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang
dicurigai.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. M

Nomor RM : 13-41-64
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 61 th
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

Alamat : Bantul

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 13 Agustus 2021

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama:

Gatal-gatal pada lengan kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Panembahan Senopati


Bantul dengan keluhan gatal pada lengan kanan. Pasien juga mengeluhkan
gatal tersebut terdapat di perut dan kaki kanan. Gatal timbul sudah sekitar
satu minggu yang lalu. Gatal kadang diikuti rasa panas, dan sensasi ingin
menggaruk terutama di malam hari. Saat digaruk, pada bagian gatal timbul
berair. Gejala terasa lebih ringan ketika pasien mengompres dengan es
batu. Gejala sistemik seperti demam, pusing, mual, muntah, dan lainnya
disangkal. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, dan pasien
mengatakan bahwa keluhan muncul setelah pasien bersih-bersih kebun dan
kontak dengan tumbuh-tumbuhan liar. Pasien mengatakan selama ini
sudah menggunakan sabun bayi untuk mandi karna pasien mempunyai
riwayat alergi.
3. Riwayat Pengobatan :

- Sebelum ke RS pasien sempat membeli obat di apotek, namun tidak


membaik
4. Riwayat Penyakit Dahulu:

- Penyakit serupa (+)

- Riwayat alergi (+)

- Riwayat HT (-)

- Riwayat DM (-)

- Riwayat jantung (-)

- Riwayat Asma (+)

5. Riwayat Penyakit Keluarga:


- Penyakit serupa (-)

- Riwayat HT (-)

- Riwayat DM (-)

- Riwayat jantung (-)

- Riwayat Asma (-)

6. Riwayat Personal Sosial:


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis

- Keadaan Umum : Baik

- Kesadaran : Compos Mentis

2. Vital Sign

TD : 140/80 mmHg

Suhu : 37,2 oC

Nadi : 88x/menit

Respirasi : 20x/menit

6
a. Kepala : Tidak ada keluhan

b. Leher : Tidak ada keluhan

c. Thorax : Tidak ada keluhan

d. Abdomen : Gatal dan perih pada perut sisi kanan

e. Ektremitas : Gatal dan perih pada tangan kanan dan kaki kanan

f. Genital : Tidak ada keluhan

3. Status Lokalis

a. Regio : Tangan kanan, kaki kanan, dan perut

b. Efloresensi : Lesi papul eritem, multiple, bergerombol, dengan


hiperpigmentasi dengan skuama berbatas tidak tegas, ekskoriasi (+),
distribusi di tangan kanan, kaki kanan, dan perut sebelah kana

7
D. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Kontak Alergi

E. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis Atopik
Psoriasis

F. TATALAKSANA
1. Non medikamentosa :

 Menghindari kontak dengan alergen dengan menggunakan APD pada


saat bekerja.

 Menjaga kebersihan lesi dan tidak menggaruk lesi agar tidak


menimbulkan infeksi.

 Kontrol ke dokter setelah pengobatan untuk memantau perkembangan


lesi dan perbaikan klinis.

2. Medikamentosa :
Medikantosa

R/ Metil Prednisolon 8mg tab No. XIV


ʃ 2 dd 1 tab

R/ Cetirizine 10mg tab No.X

ʃ 1 dd 1 tab (malam hari)

R/ Asam fusidat 5 gr
Desoximethasone 10 gr
Mfla da in pot
ʃ 2 dd ue dioleskan pada daerah lesi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan kondisi peradangan kulit
yang diperantarai oleh proses hipersensitivitas tipe empat. Pada dermatitis
kontak alergi terdapat proses imunologi dan terpapar oleh alergen. Dermatitis
kontak sendiri bisa melalui jalur eksogen maupun endogen. Jalur eksogen
merupakan jalur dari dermatitis kontak alergen. (Brasch et al., 2014)

B. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai
faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi
alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. (Sulastri,2016)

Sekitar 25 bahan kimia terlibat atas sebanyak setengah dari semua kasus
dermatitis kontak alergi. Ini termasuk nikel, pengawet, pewarna, dan
wewangian. Bahan–bahan tersebut antara lain di bawah ini :

1. Poison ivy (Toxicodendron radicans) adalah contoh klasik dari


dermatitis kontak alergi akut di Amerika Utara. Dermatitis kontak
alergi dari poison ivy ditandai dengan garis-garis linier dermatitis akut
yang berkembang di mana bagian tanaman telah bersentuhan langsung
dengan kulit. (Thomas, 2020)

2. Nikel kebanyakan kasus terjadi pada pekerja seperti penata rambut,


katering, pekerja rumah tangga serta pekerja pada bidang industri
(Thomas, 2020)

9
3. Sarung tangan karet dapat menjadi alergen bagi beberapa orang.
(Thomas, 2020)

4. P-Phenylenediamine(PPD) merupakan zat yang terdapat pada produk


sensitizer dalam produk pewarna rambut atau hena. Paparan zat ini
dapat menyebabkan dermatitis akut. (Thomas, 2020)

5. Bahan pewarna, pewangi dan pencuci dalam produk tekstil dapat


menjadi alergen pada beberapa individu. Lesi yang dihasilkan berupa
papula folikel kecil atau bahkan plak yang luas. (Thomas, 2020)

6. Produk kosmetik, mosturizers, dannpobatan topikal bisa menyebabkan


dematitis kontak alergi. Formaldehyde merupakan penyebab utama
pada dermatitis kontak alergi. Selain itu dapat pula pada
imidazolidinyl urea dan isothiazolinones. (Allergic Contact
Dermatitis, 2020)

7. Seseorang mungkin mengalami alergi terhadap wewangian.


Wewangian tidak hanya ditemukan dalam parfum, cat kuku,
aftershave, deodoran, dan sabun, tetapi juga di banyak produk lain,
sering kali sebagai masker untuk menyamarkan bau yang tidak sedap.
Produk tanpa pewangi mungkin mengandung bahan kimia pewangi
yang digunakan sebagai komponen produk dan tidak diberi label
sebagai pewangi. Deodoran mungkin merupakan penyebab paling
umum dari dermatitis kontak alergi terhadap wewangian karena
diaplikasikan untuk menutupi kulit yang sering terkelupas oleh
pencukuran pada wanita. Terapis pijat dan fisik serta perawat geriatri
berisiko lebih tinggi terkena dermatitis kontak alergi akibat kerja
terhadap wewangian. (Allergic Contact Dermatitis, 2020)

C. Epidemiologi
Sebuah penelitian di Swedia menemukan bahwa prevalensi dermatitis
kontak alergi pada tangan adalah 2,7 kasus per 1000 populasi. Sebuah
penelitian di Belanda menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi
10
pada tangan adalah 12 kasus per 1000 populasi. Berkaitan dengan ras, jenis
kelamin, dan

11
demografi terkait usia tidak ada predileksi rasial untuk dermatitis kontak
alergi. Dermatitis kontak alergi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pada pria. Ini terutama disebabkan oleh alergi terhadap nikel, yang lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria di kebanyakan negara. Dermatitis
kontak alergi dapat terjadi pada neonatus. Pada orang tua, perkembangan
dermatitis kontak alergi mungkin agak tertunda, tetapi dermatitis mungkin
lebih persisten setelah berkembang. Alergi kontak terhadap obat topikal lebih
sering terjadi pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun. (Thomas,2020)

D. Patogenesis
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe
lambat) pada lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas
tipe IV (delayed atau cytotoxic type cell mediated hypersensitivity) ini
dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T. Sel T yang telah
tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan berikutnya dengan
antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin yang
diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages
inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha(TNF α) dan
interpheron gamma(IFN γ). Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang
terutama sel T dan makrofag di tempat antigen. ( Castadeno, et all, 2012)

Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan
fase elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai
limfosit mengenal dan memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu.
Sedangkan fase elisitasi ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang
sama atau serupa sampai timbul gejala klinis.( Castadeno, et all, 2012)

1. Fase Sensitisasi

Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada
fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh
bahan kontaktan yang disebut alergen kontak.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses
secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada
molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans
dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan
sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin
(IL- 1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel
Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II,
ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan
MHC kelas I dan II.(Sulastri,2016)
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak.
Turunan sel ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
.(Sulastri,2016)

Menurut konsep, bahwa sinyal antigenik murni suatu hapten


cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen
kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan,
dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari
ketiganya. Jadi sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal
dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya.
Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.(
Sulastri,2016)
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti
mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
(Sulastri,2016)
2. Fase Elisitasi

Jika seseorang telah tersensitisasi mengalami paparan alergen


berulang. Hal ini berarti bahwa sel yang telah tersensitisasi telah tersedia
di dalam kompartemen dermis. Reaksiklinik yang terjadi biasanya sangat
cepat dan terjadi dalam kurun waktu 24-48 jam, namun hal ini juga
tergantung pada derajat sensitivitas, penetrasi dan faktor lainnya.
(Sulastri,2016)
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T
untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF
(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Selain itu kejadian ini akan menarik
neutrofil, monosit dan sel darah lain dari dalam darah masuk ke dermis
sehingga akan menimbulkan respon klinis dermatitis kontak alergi.
(Sulastri,2016)

E. Gejala klinis
Gejala klasik yang ditemui pada Dermatitis Kontak Alergi adalah
pruritus yang terlokalisasi pada daerah yang terpapar alergen. Kelainan
kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang
akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak alergi
akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema
dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas. Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi, skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap dermatitis kontak alergi. (Sulastri,2016)

Berbagai lokasi terjadinya dermatitis kontak alergi berupa :

1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan atau alergi paling sering
ditangan, mungkin karena tangan merupaka organ tubuh yang paling
sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari – hari. Penyakit
kulit akibat kerja, sepertiga atu lebih mengenai tangan. Tidak jarang
ditemukan riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan yang basah
(wet work), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur
rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
(Sulastri,2016)
Etiologi dermamtitis di tangan sangat kompleks karena banyak
sekali faktor yang berperan disamping atopi. Contoh bahan yang dapat
menimbulkan dermatitis tangan, misalnya detergen, antiseptik, getah
sayuran, semen dan pestisida. (Sulastri,2016)
2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh
jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di
ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, anti perspiran, formaldehid
yang ada di pakaian. (Sulastri,2016)
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan
kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen diudara (aero – alergen).
Nikel (tangkai kaca mata), semua alergen yang kontak dengan tangan
dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka
keringat. Bila dibibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik,
pasta gigi, getah buah – buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes
mata,salep mata. (Sulastri,2016)
4. Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai
kaca mata, cat rambut, hearing aids, gagang telepon. (Sulastri,2016)

5. Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung
jari), parfum,alergen di udara, zat warna pakaian. (Sulastri,2016)
6. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh teksitil, zat
warna, kancing logam, karet (elastis,busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian. (Sulastri,2016)
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat
antihemoroid. (Sulastri,2016)
8. Paha dan tungkai bawah

Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet,


kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,sepatu atau
sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh deterjen, bahan
pembersih lantai. (Sulastri,2016)
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)

Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas


terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat
ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil.tempelan dihapus
setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar pada
kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi
pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul
sebelumnya menunjukkan interpretasi reaksi uji tempel.(James et al.,
2016). Dalam penelitian patch test masih menjadi gold standart untuk
pemeriksaan dermatitis kontak alergi. (Fonacier & Noor, 2018)
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
uji temple: 1) Dermatitis harus sudah sembuh, 2) Tes dilakukan
sekurang- kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid,
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca, 4) Penderita
dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
memberikan hasil negatif palsu, 5) Uji tempel dengan bahan standar
jangan lakukan pada penderita urtikaria. ( Sulastri,2016)
b. Provocative Use Test

Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang


mendekati positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menguji produk-produk untuk
kulit. Bahan di gosok ke kulit normal pada bagian dalam lengan atas
beberapa kali sehari selama lima hari. (James et al., 2016)
c. Uji Photopatch

Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi


kontak terhadap zat seperti sulfonamid, fenotiazin, asam p-
aminobenzoic, oxybenzone, 6-metil kumarin, musk ambrette, atau
tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar diterapkan
selama
24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari
ultraviolet- A dan dibaca setelah 48 jam. (James et al., 2016)

F. Diagnosis
Menurut PERDOSKI 2017 untuk mendiagnosis dermatitis merupakan
hasil dari anamnesia, pemeriksaan fisik dan serta pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesia di tanyakan riwayat terpajan dengan bahan alergen. Terjadi
reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan ulang dengan alergen tersangka yang
sama. Bila pajanan dihentikan maka lesi akan membaik. Pada anamnesis akan
ditemukan gejala subjektif gatal.

Pada pemerisaan fisik akan di temukan gambaran klinisnya polimorfik,


sangat bervariasi bergantung stadiumnya:

1. Stadium akut : eritema, edema, dan vesikel


2. Subakut : eritema, eksudatif (madidans), krusta
3. Kronik : likenifikasi, fisura, skuama
Selain itu lesi dapat juga non-eksematosa, misalnya: purpurik, likenoid,
pigmented, dan limfomatoid. Berdasarkan letaknya, pada DKA lokalisata, lesi
berbatas tegas dan berbentuk sesuai dengan bahan penyebab. Pada DKA
sistemik, lesi dapat tersebar luas/generalisata.
Bila berhubungan dengan pekerjaan, memenuhi 4 dari 7 kriteria Mathias
yaitu:

1. Manifestasi klinis sesuai dengan dermatitis kontak


2. Pada lingkungan kerja terdapat bahan yang dicurigai dapat menjadi iritan
atau alergen
3. Distribusi anatomis sesuai dengan area terpajan
4. Terdapat hubungan temporal antara waktu terpajan dan timbulnya
manifestasi klinis
5. Penyebab lain telah disingkirkan
6. Kelainan kulit membaik pada saat tidak bekerja/libur/cuti
7. Tes tempel atau tes provokasi dapat mengidentifikasi penyebab
Adapun kunci untuk mendiagnosis pada dermatitis kontak alergi yakni
terdapat rasa gatal pada vesikel, plak likenifikasi sebagai korespon pada area
yang berkontak. Gatal selalu ada pada dermatitis kontak alergi, perlunya
ditanyakan perjalanan dari lesi. (Soutor & Hordinsky, 2013)

G. Tatalaksana Nonmedikamentosa
1. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen tersangka.
2. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan,
apron,sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit. (PERDOSKI,
2017)

Medikamentosa:
1. Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis
Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan
prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)
2. Topikal: Pelembab setelah bekerja. disarankan pelembab yang kaya
kandungan lipid misalnya vaselin (petrolatum).
3. Sesuai dengan gambaran klinis
Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan
larutan NaCl 0,9%
Kering : beri krim kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi
(mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol butirat)
Bila dermatitis berjalan kronis : klobetasol propionate interiten.
4. Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid bisa
diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi BB/NB UVB atau obat
imunosupresif sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin.
5. Bila ada superinfeksi oleh bakteri : antibiotika topikal/sistemik
Tindak lanjut:
Pada DKA yang mengenai telapak tangan (hand dermatitis) dapat sangat
menyulitkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari sehingga dianjurkan
pemakaian APD yang sesuai dan pemberian emolien (PERDOSKI,
2017)

H. Edukasi
Edukasi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan
penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi
lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.
2. Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis
pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja.
3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap
alergen berdasarkan hasil uji tempel.

H. Prognosis
Pada kasus dermatitis kontak ringan, prognosis sangat bergantung pada
kemampuan menghindari bahan iritan penyebab. Pada kasus dermatitis kontak
yang berat diakibatkan pekerjaan keluhan dapat bertahan hingga 2 tahun
walaupun sudah berganti pekerjaan. (PERDOSKI,2017)

I. Diagnosis Banding
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas dapat menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis numularis, dermatitis
atopik, psoriasis, liken simplek kronis. Pada dermatitis seboroik ada
kecenderungan umum ke arah kulitnya yang sifatnya berminyak, predileksi lesi
ini adalah kulit kepala, wajah, dada tengah, dan lipatan inguinal. Dermatitis atopik
sering onsetnya pada masa bayi atau anak usia dini. Kulit tampak kering dan
meskipun pruritus merupakan fitur yang menonjol, pruritus akan muncul sebelum
lesi, bukan setelah lesi. Daerah yang paling sering terlibat adalah permukaan
fleksura. Batas dermatitis tidak tegas, dan perkembangan dari eritema ke papula
dan ke vesikel tidak terlihat. (Sulastri,2016). Dermatitis psoriatik ditandai oleh
plak eritematosa berbatas tegas dengan sisik warna putih keperakan. Lesi sering
didistribusikan secara simetris di atas permukaan ekstensor seperti lutut atau siku.
Dermatitis iritan primer mungkin hampir tidak bisa dibedakan dalam penampilan
fisiknya dari DKA. Sedangkan pada liken simplek kronis lesi berupa plak terdapat

likenifikasi serta gatal cenderung pada saat istirahat dan gatal erkurang sesaat
setelah di garuk. (Soutor & Hordinsky, 2013.
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan keluhan gatal pada tangan


kanan, kaki kanan, dan perut yang dirasakan sudah sekitar satu minggu. Gatal
kadang diikuti rasa panas, dan sensasi ingin menggaruk terutama di malam hari.
Saat digaruk, pada bagian gatal timbul berair. Gejala terasa lebih ringan ketika
pasien mengompres dengan es batu. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, dan
pasien mengatakan bahwa keluhan muncul setelah pasien bersih-bersih kebun dan
kontak dengan tumbuh-tumbuhan liar. Pasien mengatakan selama ini sudah
menggunakan sabun bayi untuk mandi karna pasien mempunyai riwayat alergi.

Pemeriksaan fisik didapat lesi papul eritem, multiple, bergerombol,


dengan hiperpigmentasi dengan skuama berbatas tidak tegas, ekskoriasi (+),
distribusi di lengan kanan, kaki kanan, dan perut sebelah kanan. Hasil ini sesuai
dengan teori pada penelitian Sulastri et al; 2016 yaitu lesi pada DKA dan
predileksi DKA.
Pada pasien ini didiagnosis dengan dermatitis kontak alergi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis ditemukan adanya rasa gatal
pada tempat sebelummnya yang terpapar oleh allergen, selain itu keluhan juga
dirasakan pada daerah yang lainnya yakni pada kaki kanan dan perut. Pada
pemeriksaan fisik dan perjalanan penyagkit ini juga menunjang ke dermatitis
kontak alergi yakni dengan lesi berbentuk papul eritem multipel. Karena luka ini
sudah lama dan terdapat riwayat penggarukan maka terlihat adanya skuama pada
lesi tersebut. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

Untuk terapi yang diberikan pada pasien berupa kortikostroid yang


berguna untuk meredakan reaksi alergi serta mengurangi gelaja peradangan.
Cetirizine merupakan antihistamin diberikan yang berguna untuk mengurangi
gejala rasa gatal. Sedangkan untuk obat topikal kortikosteroid karena lesi ini pada
fase kering sehingga menurut PERDOKSI lebih digunakan untuk mengurangi
peradangan.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan kasus diatas, dapat ditarik kesimpulan yaitu :


 Pasien mengalami Dermatitis Kontak Alergi, dikarenakan keluhan muncul gatal-
gatal pada bagian kulit yang kontak dengan alergen berupa tumbuh-tumbuhan,
yaitu dengan etiologi Poison Ivy
 Penegakan diagnosis bisa dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, akan ditemui
gejala yang khas. Jika meragukan bisa dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang seperti patch test
 Tatalaksana diberikan dengan tujuan untuk mengurangi reaksi peradangan,
mengurangi rasa gatal supaya tidak digaruk karena dapat menimbulkan infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Brasch, J., Becker, D., Aberer, W., Bircher, A., Kränke, B., Jung, K., Przybilla,
B., Biedermann, T., Werfel, T., John, S. M., Elsner, P., Diepgen, T.,
Trautmann, A., Merk, H. F., Fuchs, T., & Schnuch, A. (2014). Guideline
contact dermatitis: S1-Guidelines of the German Contact Allergy Group
(DKG) of the German Dermatology Society (DDG), the Information
Network of Dermatological Clinics (IVDK), the German Society for
Allergology and Clinical Immunology (DGAKI), the Working Group for
Occupational and Environmental Dermatology (ABD) of the DDG, the
Medical Association of German Allergologists (AeDA), the Professional
Association of German Dermatologists (BVDD) and the DDG. Allergo
Journal International, 23(4), 126–138. https://doi.org/10.1007/s40629-
014-0013-5
Castanedo, T., & Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. In: Goldsmith, L.A., Katz,
S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. editor
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2012.

Fonacier, L., & Noor, I. (2018). Contact dermatitis and patch testing for the
allergist. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 120(6), 592–598.
https://doi.org/10.1016/j.anai.2018.03.003
James, W. D., Elston, D. M., & Berger, T. G. (2016). Andrews’ Diseases of the
skin: Clinical dermatology (Twelfth edition). Elsevier.

PERDOSKI, 2017. Panduan Praktek Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia.
S. Carol, H. Maria, "Clinical Dermatology", 1st ed. United State of America :
McGraw Hill, 2013

Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin.Ed-7. Jakarta: Fk-UI; 2016

Thomas et all., Allergic Contact Dermatitis: Practice Essentials, Background,


Pathophysiology. (2020).
https://emedicine.medscape.com/article/1049216-overview#a2

Anda mungkin juga menyukai