Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
20204010137
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh:
Ayuningtyas Dewi R
20204010137
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
BAB II......................................................................................................................5
LAPORAN KASUS.................................................................................................5
A. IDENTITAS...................................................................................................5
B. ANAMNESA...................................................................................................5
C. PEMERIKSAAN FISIK.................................................................................6
D. DIAGNOSIS KERJA......................................................................................7
E. DIAGNOSIS BANDING................................................................................7
F. TATALAKSANA............................................................................................7
BAB III....................................................................................................................9
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................9
A. DEFINISI.........................................................................................................9
B. ETIOLOGI.......................................................................................................9
C. EPIDEMIOLOGI...........................................................................................10
D. PATOGENESIS.............................................................................................11
E. GEJALA KLINIS..........................................................................................13
F. DIAGNOSIS..................................................................................................17
G. TATALAKSANA..........................................................................................18
H. EDUKASI......................................................................................................19
H. PROGNOSIS.................................................................................................19
3
I. DIAGNOSIS BANDING..............................................................................19
BAB III..................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
4
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangat kompleks, elastik, dan
sensitif, yang bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh. Kulit merupakan pembungkus yang elastik
yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan.
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis. Dermatitis disebabkan oleh berbagai faktor (multifaktorial).
Dermatitis kontak adalah peradangan akibat bahan atau substansi yang
menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling umum yang
berkaitan dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan
keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
adalah suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan alergen sehingga
menyebabkan gejala sensitisasi yang melibatkan stimulasi terhadap sel T. terdapat
dua tahap dalam terjadinya dermatitis kontak alergi yaitu tahap sensitisasi dan
tahap elisitasi. Sedangkan, Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi
peradangan kulit nonimunologik yang tidak melibatkan stimulasi sel T, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. . Respon kulit
terhadap DKA dan DKI tergantung pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari
kontak serta kelemahan individu. Bahan kimia yang menyebabkan dermatitis
kontak ditemukan pada perhiasan, produk untuk perawatan diri, tanaman,
pengobatan topikal ataupun
sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes
tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang
dicurigai.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Nomor RM : 13-41-64
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 61 th
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Alamat : Bantul
Agama : Islam
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama:
- Riwayat HT (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat HT (-)
- Riwayat DM (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
2. Vital Sign
TD : 140/80 mmHg
Suhu : 37,2 oC
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 20x/menit
6
a. Kepala : Tidak ada keluhan
e. Ektremitas : Gatal dan perih pada tangan kanan dan kaki kanan
3. Status Lokalis
7
D. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Kontak Alergi
E. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis Atopik
Psoriasis
F. TATALAKSANA
1. Non medikamentosa :
2. Medikamentosa :
Medikantosa
R/ Asam fusidat 5 gr
Desoximethasone 10 gr
Mfla da in pot
ʃ 2 dd ue dioleskan pada daerah lesi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan kondisi peradangan kulit
yang diperantarai oleh proses hipersensitivitas tipe empat. Pada dermatitis
kontak alergi terdapat proses imunologi dan terpapar oleh alergen. Dermatitis
kontak sendiri bisa melalui jalur eksogen maupun endogen. Jalur eksogen
merupakan jalur dari dermatitis kontak alergen. (Brasch et al., 2014)
B. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai
faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi
alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. (Sulastri,2016)
Sekitar 25 bahan kimia terlibat atas sebanyak setengah dari semua kasus
dermatitis kontak alergi. Ini termasuk nikel, pengawet, pewarna, dan
wewangian. Bahan–bahan tersebut antara lain di bawah ini :
9
3. Sarung tangan karet dapat menjadi alergen bagi beberapa orang.
(Thomas, 2020)
C. Epidemiologi
Sebuah penelitian di Swedia menemukan bahwa prevalensi dermatitis
kontak alergi pada tangan adalah 2,7 kasus per 1000 populasi. Sebuah
penelitian di Belanda menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi
10
pada tangan adalah 12 kasus per 1000 populasi. Berkaitan dengan ras, jenis
kelamin, dan
11
demografi terkait usia tidak ada predileksi rasial untuk dermatitis kontak
alergi. Dermatitis kontak alergi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pada pria. Ini terutama disebabkan oleh alergi terhadap nikel, yang lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria di kebanyakan negara. Dermatitis
kontak alergi dapat terjadi pada neonatus. Pada orang tua, perkembangan
dermatitis kontak alergi mungkin agak tertunda, tetapi dermatitis mungkin
lebih persisten setelah berkembang. Alergi kontak terhadap obat topikal lebih
sering terjadi pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun. (Thomas,2020)
D. Patogenesis
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe
lambat) pada lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas
tipe IV (delayed atau cytotoxic type cell mediated hypersensitivity) ini
dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T. Sel T yang telah
tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan berikutnya dengan
antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin yang
diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages
inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha(TNF α) dan
interpheron gamma(IFN γ). Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang
terutama sel T dan makrofag di tempat antigen. ( Castadeno, et all, 2012)
Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan
fase elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai
limfosit mengenal dan memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu.
Sedangkan fase elisitasi ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang
sama atau serupa sampai timbul gejala klinis.( Castadeno, et all, 2012)
1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada
fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh
bahan kontaktan yang disebut alergen kontak.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses
secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada
molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans
dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan
sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin
(IL- 1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel
Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II,
ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan
MHC kelas I dan II.(Sulastri,2016)
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak.
Turunan sel ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
.(Sulastri,2016)
E. Gejala klinis
Gejala klasik yang ditemui pada Dermatitis Kontak Alergi adalah
pruritus yang terlokalisasi pada daerah yang terpapar alergen. Kelainan
kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang
akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak alergi
akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema
dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas. Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi, skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap dermatitis kontak alergi. (Sulastri,2016)
1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan atau alergi paling sering
ditangan, mungkin karena tangan merupaka organ tubuh yang paling
sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari – hari. Penyakit
kulit akibat kerja, sepertiga atu lebih mengenai tangan. Tidak jarang
ditemukan riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan yang basah
(wet work), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur
rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
(Sulastri,2016)
Etiologi dermamtitis di tangan sangat kompleks karena banyak
sekali faktor yang berperan disamping atopi. Contoh bahan yang dapat
menimbulkan dermatitis tangan, misalnya detergen, antiseptik, getah
sayuran, semen dan pestisida. (Sulastri,2016)
2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh
jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di
ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, anti perspiran, formaldehid
yang ada di pakaian. (Sulastri,2016)
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan
kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen diudara (aero – alergen).
Nikel (tangkai kaca mata), semua alergen yang kontak dengan tangan
dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka
keringat. Bila dibibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik,
pasta gigi, getah buah – buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes
mata,salep mata. (Sulastri,2016)
4. Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai
kaca mata, cat rambut, hearing aids, gagang telepon. (Sulastri,2016)
5. Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung
jari), parfum,alergen di udara, zat warna pakaian. (Sulastri,2016)
6. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh teksitil, zat
warna, kancing logam, karet (elastis,busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian. (Sulastri,2016)
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat
antihemoroid. (Sulastri,2016)
8. Paha dan tungkai bawah
F. Diagnosis
Menurut PERDOSKI 2017 untuk mendiagnosis dermatitis merupakan
hasil dari anamnesia, pemeriksaan fisik dan serta pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesia di tanyakan riwayat terpajan dengan bahan alergen. Terjadi
reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan ulang dengan alergen tersangka yang
sama. Bila pajanan dihentikan maka lesi akan membaik. Pada anamnesis akan
ditemukan gejala subjektif gatal.
G. Tatalaksana Nonmedikamentosa
1. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen tersangka.
2. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan,
apron,sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit. (PERDOSKI,
2017)
Medikamentosa:
1. Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis
Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan
prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari)
2. Topikal: Pelembab setelah bekerja. disarankan pelembab yang kaya
kandungan lipid misalnya vaselin (petrolatum).
3. Sesuai dengan gambaran klinis
Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan
larutan NaCl 0,9%
Kering : beri krim kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi
(mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol butirat)
Bila dermatitis berjalan kronis : klobetasol propionate interiten.
4. Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid bisa
diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi BB/NB UVB atau obat
imunosupresif sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin.
5. Bila ada superinfeksi oleh bakteri : antibiotika topikal/sistemik
Tindak lanjut:
Pada DKA yang mengenai telapak tangan (hand dermatitis) dapat sangat
menyulitkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari sehingga dianjurkan
pemakaian APD yang sesuai dan pemberian emolien (PERDOSKI,
2017)
H. Edukasi
Edukasi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan
penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi
lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.
2. Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis
pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja.
3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap
alergen berdasarkan hasil uji tempel.
H. Prognosis
Pada kasus dermatitis kontak ringan, prognosis sangat bergantung pada
kemampuan menghindari bahan iritan penyebab. Pada kasus dermatitis kontak
yang berat diakibatkan pekerjaan keluhan dapat bertahan hingga 2 tahun
walaupun sudah berganti pekerjaan. (PERDOSKI,2017)
I. Diagnosis Banding
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas dapat menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis numularis, dermatitis
atopik, psoriasis, liken simplek kronis. Pada dermatitis seboroik ada
kecenderungan umum ke arah kulitnya yang sifatnya berminyak, predileksi lesi
ini adalah kulit kepala, wajah, dada tengah, dan lipatan inguinal. Dermatitis atopik
sering onsetnya pada masa bayi atau anak usia dini. Kulit tampak kering dan
meskipun pruritus merupakan fitur yang menonjol, pruritus akan muncul sebelum
lesi, bukan setelah lesi. Daerah yang paling sering terlibat adalah permukaan
fleksura. Batas dermatitis tidak tegas, dan perkembangan dari eritema ke papula
dan ke vesikel tidak terlihat. (Sulastri,2016). Dermatitis psoriatik ditandai oleh
plak eritematosa berbatas tegas dengan sisik warna putih keperakan. Lesi sering
didistribusikan secara simetris di atas permukaan ekstensor seperti lutut atau siku.
Dermatitis iritan primer mungkin hampir tidak bisa dibedakan dalam penampilan
fisiknya dari DKA. Sedangkan pada liken simplek kronis lesi berupa plak terdapat
likenifikasi serta gatal cenderung pada saat istirahat dan gatal erkurang sesaat
setelah di garuk. (Soutor & Hordinsky, 2013.
BAB IV
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Brasch, J., Becker, D., Aberer, W., Bircher, A., Kränke, B., Jung, K., Przybilla,
B., Biedermann, T., Werfel, T., John, S. M., Elsner, P., Diepgen, T.,
Trautmann, A., Merk, H. F., Fuchs, T., & Schnuch, A. (2014). Guideline
contact dermatitis: S1-Guidelines of the German Contact Allergy Group
(DKG) of the German Dermatology Society (DDG), the Information
Network of Dermatological Clinics (IVDK), the German Society for
Allergology and Clinical Immunology (DGAKI), the Working Group for
Occupational and Environmental Dermatology (ABD) of the DDG, the
Medical Association of German Allergologists (AeDA), the Professional
Association of German Dermatologists (BVDD) and the DDG. Allergo
Journal International, 23(4), 126–138. https://doi.org/10.1007/s40629-
014-0013-5
Castanedo, T., & Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. In: Goldsmith, L.A., Katz,
S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. editor
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2012.
Fonacier, L., & Noor, I. (2018). Contact dermatitis and patch testing for the
allergist. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 120(6), 592–598.
https://doi.org/10.1016/j.anai.2018.03.003
James, W. D., Elston, D. M., & Berger, T. G. (2016). Andrews’ Diseases of the
skin: Clinical dermatology (Twelfth edition). Elsevier.
PERDOSKI, 2017. Panduan Praktek Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia.
S. Carol, H. Maria, "Clinical Dermatology", 1st ed. United State of America :
McGraw Hill, 2013
Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin.Ed-7. Jakarta: Fk-UI; 2016