Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL KLINIK

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Disusun oleh :
Velica Kressentia Yunus 42190336
Chatarina Triskawardani Kusumaningrum 42190337
Brahmastra Megasakti 42190338

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Gabriel Erny Widyanti, M. Kes, Sp. KK (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


PRDIODE 8 MARET 2021 – 3 APRIL 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
RUMAH SAKIT BETHESDA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. A. I. A.
No. Rekam Medis : 00-XX-XX-XX
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 39 tahun
Tanggal Lahir : 17 Juli 1981
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Kristen
Status Pekawinan : Belum Kawin
Alamat : Yogyakarta
Tgl. Masuk ke RS Bethesda : 12 Maret 2021 pukul 09.30 WIB
DPJP : dr. Gabriel Erny Widyanti, M. Kes, Sp. KK

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
1. Keluhan Utama

Bintil pada ibu jari tangan kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Pada permukaan kulit ibu jari tangan kiri bintil kemerahan yang berisi
cairan kuning dan bekas bintil yang sudah pecah, kulit yang terkelupas dan
lecet pada sekitar bintil. Bintil mulai muncul sejak 7 hari yang lalu. Awalnya
bintil hanya berukuran sebesar jarum pentul dan muncul pada jari telunjuk saja,
bintil pecah sendiri, keluar cairan bening, lalu mengering. Kemudian bintil
muncul pula pada ibu jari dengan ukuran seperti biji jagung. Bintil tidak
menyebar ke bagian tangan lainnya.

Awalnya kulit jari pasien terasa kasar, panas, dan gatal, disertai dengan
kulit tangan yang terkelupas. Keluhan ini terasa hampir setiap saat, paling
mengganggu terutama saat dan setelah mencuci tangan dengan sabun, air
mengalir, dan hand sanitizer.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Keluhan serupa : disangkal


Alergi : disangkal
Asma : disangkal
DM : disangkal
Hipertensi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Keluhan serupa : disangkal


Asma : disangkal
DM : disangkal
Hipertensi : disangkal

5. Riwayat Pengobatan

Belum mencoba menggunakan pengobatan maupun periksa ke


pelayanan kesehatan
6. Gaya Hidup

Living Condition
Pasien tinggal di rumah dengan keluarga, kebersihan rumah baik, tidak
lembab, ada ventilasi udara. Tidak pernah ada orang yang datang menginap atau
berkunjung di tempat tinggal pasien selain keluarga pasien. Tidak ada keluarga
yang mengalami gejala serupa.
Daily Activity
Kegiatan pasien sehari-hari adalah bekerja sebagai pegawai swasta, sudah
kembali WFO sejak 1 bulan yang lalu. Pasien jarang keluar rumah jika bukan
untuk keperluan mendesak. Pasien tidak mengetahui apakah ada rekan kerja di
kantor yang mengalami gejala serupa.
Physical Excercise
Aktivitas fisik pasien sedang, meskipun jarang berolah-raga namun
pasien sering berjalan kaki setiap harinya di tempat kerja.
Personal Hygiene
Pasien mandi 2x sehari (sebelum dan sepulang dari bekerja), mengganti
pakaian 2x sehari, kualitas air mandi pasien baik. Saat berada di luar rumah dan
di kantor sangat sering mencuci tangan dengan hand sanitizer dan sabun dan
membilasnya hingga bersih, terutama karena mematuhi potokol kesehatan
secara ketat di masa pandemic Covid-19.
Diet
Pola makan bergizi seimbang, 2x sehari dengan variasi menu yang
dikonsumsi cukup bervariasi, yaitu nasi, lauk, sayur, namun jarang
mengonsumsi buah dan air putih. Riwayat alergi makanan disangkal.
Social Economy
Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sehari-hari pasien
bersosialisasi dengan keluarga dan rekan kerja di kantor. Keadaan ekonomi
pasien cukup baik, segala kebutuhan sehari-hari dapat tepenuhi.
Relationship
Pasien belum menikah dan sedang tidak memiliki pasangan.
Sexual Activity
Pasien tidak aktif berhubungan seksual.
.
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum (KU) : Baik
2. Kesadaran : CM, E4 V5 M6
3. VAS :

4. Tanda Vital : Suhu 36,5ºC; BP 110/70 mmHg; HR 80 x/menit;


RR 18 x/menit.
5. Kepala : normocephalic, tidak terdapat lesi
a. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil iskor, tidak terdapat lesi
b. Hidung : simetris, tidak terdapat lesi
c. Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), mukosa intak, tidak
terdapat lesi
d. Telinga : simetris, tidak terdapat lesi
6. Toraks : tidak terdapat lesi
7. Abdomen : tidak terdapat lesi
8. Genital : tidak terdapat lesi
9. Esktremitas : akral hangat, CRT <2 detik, terdapat lesi pada digiti I
manus sinistra

STATUS LOKALIS DERMATOLOGIS


Inspeksi - Deskripsi UKK : Pada digiti I manus sinistra terdapat lesi makulopustular
dengan dasar eritem, terdapat skuama dan erosi pada permukaan dan sekitar lesi. Lesi
berbentuk bulat reguler, berbatas tegas, berukuran lentikular, soliter, distribusi lokal
asimetris.

IV. DIAGNOSIS BANDING


1. Dermatitis Kontak Iritan
2. Dermatitis Kontak Alergi
3. Dermatitis Numularis
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG USULAN
 Pemeriksaan Histopatologi pada DKI akut menunjukkan epidermal cell necrosis,
neutrophils,vesiculation, and necrosis, sedangkan pada DKI kronis tampak acanthosis,
hyperkeratosis, and lymphocytic infiltrate.
 Pada pemeriksaan Patch Test didapatkan hasil negative kecuali DKI terjadi bersama
dengan DKA.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Dermatitis Kontak Iritan

VII. TATALAKSANA
Farmakoterapi
R/ NaCl 0,9% 100 ml Plabott No. I
S.2.d.d.u.e.m.et.v. (setelah mandi, tutul dengan kasa steril)___ V
R/ Asam Fusidat 2% Cr 5 g
Mometasone Furoate 0,1% Cr 5 g
m.f.l.a.Cr.da in tube. No. I
S.2.d.d.u.e.m.et.v. (setelah mandi)______________________ V
R/ Asam Mefenamate Tab 500 mg No. X
S.p.r.n.2.Tab I.p.c. (jika nyeri)_________________________ V
VIII. EDUKASI
 Minimalisir kontak dengan iritan atau bahan kimia
 Gunakan sabun dan hand sanitizer yang lembut di kulit
 Gunakan krim pelembab kulit

IX. PLANNING
- Kontrol 1 minggu lagi untuk follow up perkembangan penyembuhan lesi

X. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : bonam
Quo Ad functionam : bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Dermatitis kontak merupakan istilah yang diberikan terhadap reaksi inflamasi baik
akut maupun kronis terhadap substansi yang terkena pada kulit. Dermatitis Kontak Iritan
(DKI) adalah inflamasi pada kulit, akibat respon terhadap pajanan bahan iritan, fisik, atau
biologis yang kontak pada kulit tanpa dimediasi oleh respon imunologis sehingga
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan/sensitisasi (Sularsito
dan Sobaryo, 2019), sedangkan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) disebabkan antigen
(allergen) yang dimediasi reaksi hipersensitivitas tipe IV (PERDOSKI, 2017).
Bentuk akut dari DKI terjadi setelah paparan pertama terhadap agen yang bersifat
toksik terhadap kulit (minyak, phenol, kerosene, organic solvent, sodium dan potassium
hidoksida, asam jeruk) dan pada kasus yang parah menyebabkan nekrosis tergantung dari
konsentrasi paparan dan ketebalan kulit. DKI merupakan penyakit yang terlokalisasi pada
area yang terpapar iritan. Selain dermatitis, respons kontak iritan pada kulit meliputi:
iritasi subyektif, reaksi iritan sementara, reaksi iritan persisten, luka bakar toksik
(kaustik). Respon kontak iritan pada pelengkap kulit dan sistem pigmen meliputi: erupsi
folikel dan akneiformis, miliaria, perubahan pigmen (hipo- dan hiperpigmentasi), reaksi
granulomatosa, dan alopecia (Wolf et al, 2011).

II. EPIDEMIOLOGI
DKI dapat dialami oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis
kelamin. Jumlah orang yang mengalami DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang
berbuhubungan dengan pekerjaan namun angka secara tepat sulit diketahui dikarenakan
banyak pasien dengan kelainan ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak merasakan
adanya (Sularsito dan Sobaryo, 2019).
Menurut Wolf et al (2011), DKI merupakan penyakit terkait okupasi yang paling
sering mengenai kulit, meskipun DKI tidak harus disebabkan karena okupasi dan dapat
terjadi pada siapapun yang terpapar iritan pada kulit. Beberapa jenis okupasi yang
beresiko tinggi terkena DKI, yaitu pembersih rumah, penata rambut, tenaga medis umum,
gigi, dan dokter hewan, cleaning service, pekerja di bidang pertanian, kehutanan, bagian
penyiapan makanan dan catering, percetakan, pekerja logam, teknik mesin, perawatan
mobil, bagian konstruksi, dan nelayan.
Di AS, prevalensi okupasi dermatitis pada tangan ditemukan 55,6% di ICU dan
69,7% pada pekerja yang lebih sering terpapar. Seringnya mencuci tangan >35 kali setiap
jaga yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. DKI lebih sering terjadi pada wanita
dibanding pria dikarenakan faktor lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja sebagai
asisten rumah tangga. Berdasarkan umur kebanyakan kasus terjadi pada bayi karena
kontak dengan urin dan feses dan pada lansia yang memiliki kulit yang lebih tipis dan
kering (Aneja, 2020).
Di Indonesia, 97% di antara 389 kasus PKAK adalah dermatitis kontak, yang
66,3% di antaranya adalah dermatitis kontak iritan (DKI) dan 33,7% adalah dermatitis
kontak alergi (DKA) (Hudyono, 2002) Insidens DKI pada tenaga kesehatan sebesar
44,4% dan DKA 16,5% dengan alergen tersering berupa nikel, benzalkonium klorida,
glutaraldehide, dan karet (Fisher, 2008).
III. ETIOLOGI
DKI disebabkan oleh bahan abrasif, bahan pembersih, zat pengoksidasi (misalnya,
natrium hipoklorit); agen pereduksi, enzim tumbuhan dan hewan, sekresi; bubuk
dessicant, debu, tanah; paparan air yang berlebihan; sabun, deterjen, pembersih tangan
tanpa air, minyak pelumas, serbuk kayu; asam dan basa: asam fluorida, semen, asam
kromat, fosfor, etilen oksida, fenol, garam logam; Pelarut industri: pelarut tar batubara,
minyak bumi, hidrokarbon terklorinasi, pelarut alkohol, etilen glikol eter, terpentin, etil
eter, aseton, karbon dioksida, DMSO, dioksan, stirena; Tumbuhan: Euphorbiaceae
(spurges, crotons, poinsettia, pohon machneel). Racunculaceae (buttercup), Cruciferae
(mustard hitam), Urticaceae (jelatang), Solanaceae (lada, capsaicin), Opuntia (pir
berduri); Lainnya: fiberglass, wol, pakaian sintetis kasar, kain tahan api, kertas “NCR”
(Wolf et al, 2011).

IV. FAKTOR RISIKO


Faktor predisposisi terjadinya DKI dibagi menjadi faktor yang berasal dari
individu dan faktor yang berasal dari substansi iritan.
Faktor individu seperti ketebalan kulit, usia (<8 tahun/ lansia lebih mudah
teriritasi, ras (kulit hitam lebih tahan disbanding kulit putih), jenis kelamin (insidensi DKI
banyak pada perempuan), atau riwayat penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun) seperti dermatitis atopic. Selain itu,
suhu rendah, iklim (kelembaban rendah), oklusi, dan iritasi mekanis juga dapat
memengaruhi tingkat kejadian DKI.
Faktor yang berasal dari substansi iritan dipengaruhi oleh ukuran molekul, daya
larut, konsentrasi bahan dan vehikulum substansi iritan. Selain itu, durasi kontak dengan
substansi iritan, kekerapan oklusi yang menyebbakan kulit lebih permeable, serta adanya
gesekan atau trauma fisik pada kulit juga dapat memengaruhi tingkat kejadian DKI.

V. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Secara skematis, struktur anatomi yang diamati dengan mikroskop cahaya memiliki
lapisan yang cukup mirip pada Sebagian besar area tubuh. Namun, pada daerah khusus
seperti telapak tangan, telapak kaki, alat kelamin, dan kulit kepala, kulit mengalami
perubahan bentuk dan struktur sesuai dengan fungsi regional. Kulit dibagi menjadi 3
lapisan utama, yaitu (Bolognia dkk., 2018):
a. Epidermis, berfungsi sebagai penghalang untuk mencegah ilangnya cairan dan
elektrolit dan untuk melindungi dari kerusakan eksternal seperti trauma kimia,
mekanik, maupun mikroba.
b. Dermis, yang memberikan dukungan struktural dan nutrisi. Struktur adneksa,
seperti folikel rambut, kelenjar sebaseus, kelenjar ekrin, kelenjar apokrin,
ditemukan di lapisan dermis.
c. Lemak Subkutan
Gambar 1. Skema representatif dari lapisan normal kulit (Bolognia dkk., 2018).

Lapisan Epidermis
Lapisan luar kulit (epidermis), terdiri dari lapisan matriks sel yang tipis. Pada
manusia, epidermis mengandung empat produk utama: keratinosit, melanosit, sel
Langerhans, dan sel Merkel. Keratinosit, produk utama, berasal dari kumpulan sel
induk yang terletak di basal lapisan epidermis. Sel-sel yang sudah mengalami
pematangan akan bermigrasi ke atas dan membentuk lapisan stratum korneum.
Epidermis manusia memiliki ketebalan rata-rata 50 mikron, dengan kepadatan
permikaan sekitar 50.000 sel berinnti/mm2. Pada saat masih berada di basal lapisan
epidermis, keratinosit yang terdiferensiasi membutuhkan sekitar 14 hari untuk keluar
dari kompartemen berinti dan tambahan 14 hari untuk bergerak melalui stratum
korneum. Keratinosit memiliki kapasitas untuk meningkatkan laju proliferasi dan
pematangan ke tingkat yang lebih besar ketika dirangsang oleh cedera, peradangan,
atau penyakit (Bolognia dkk., 2018).
Gambar 2. Skema representatif dari lapisan epidermis. Lapisan epidermis terdiri dari (1)
stratum korneum, (2) stratum granulosum, (3) stratum spinosum, dan (4) stratum basale. Zona
membran basal merupakan peralihan antara epidermis dan dermis, terdapat sel tambahan
seperti melanosit yang memasok melanin ke keratinosit disekitarnya melalui melanosom; dan
sel Langerhans yang berfungsi sebagai antigen-presenting cells (Bolognia dkk., 2018).

Melanosit, pada seluruh epidermis memiliki kapasitas untuk menguraikan


melanin pigmen penyerap cahaya yang berperan besar dalam melindungi kulit dari
radiasi UV. Melanososm, dengan komplemen melaninnya, diproduksi oleh
melanosit dan kemudian ditransfer melalui ekskresi dan fagositosis ke keratinosit
terdekat, di mana mereka mengasumsikan lokasi yang disukai keratinosit adalah di
atas nukleus (Bolognia dkk., 2018).

Sel epidermal utama ketiga, sel Langerhans, memiliki kapasitas dalam


metabolism bahan antigen kompleks menjadi peptida dan beberapa diantaranya
bersifat imunogenik. Setelah aktivasi, sel-sel keluar dari epidermis menuju kelenjar
getah bening regional, dimana sel-sel ini akan memainkan peran penting dalam
presentasi antigen selama induksi dan regulasi imunitas (Bolognia dkk., 2018).
Sel Merkel, yang mengandung peptide neuroendokrin dalam butiran
intrasitoplasma, juga ditemukan di lapisan basal epidermis, meskipun mungkin tidak
terlihat pada histopatologi rutin (Bolognia dkk., 2018).
Fungsi epidermis yang paling jelas terletak pada bagian stratum korneum,
agregat permukaan laminasi semipermeable dari sel epitel skuamosa berkeratin yang
berfungsi sebagai penghalang fisiologi untuk penetrasi kimia dan invasi
mikrobiologis dari lingkungan, juga sebagai pengalang cairan dan zat terlarut dari
dalam (Bolognia dkk., 2018).
Gambar 4. Gambaran histopatologi kulit normal dari tiga regio anatomi yang berbeda,
gambar (A) menunjukkan spesimen biopsi dari lengan, gambar (B) panggul, dan gambar (C)
punggung. Perbandingan ketiga specimen menunjukkan peningkatan ketebalan pada dermis,
serta struktur yang berada di dalamnya seperti pembuluh darah, struktur adneksa termasuk
glandula ekrin. Gambar (D) menunjukkan pada spesimen biopsi plantar, stratum korneum
sangat tebal untuk melindungi dari tekanan mekanis (Bolognia dkk., 2018).

Lapisan antara Epidermis dan Dermis


Batas antara epidermis dan dermis terdiri dari agregasi khusus molekul
perlekatan dan secara kolektif dikenal sebagai membran basal. Struktur ini sangat
menarik karena berbagai penyakit yang berasal dari defek genetik pada lapisan ini
dan dapat berfungsi sebagai target serangan autoimun (Bolognia dkk., 2018).

Lapisan Dermis
Dibawah lapisan epidermis, vaskularisasi dari lapisan dermis memberikan
dukungan struktural dan nutrisi. Lapisan dermis terdiri dari gel glikosaminoglikan
yang disatukan oleh matriks berserat yang mengandung kolagen dan elastin. Struktus
pembuluh darah disertai saraf dan sel mast, melalui dermis untuk memberikan
nutrisi, sel resirkulasi, dan sensasi kulit. Tiga sel tambahan, fibroblas, makrofag, dan
sel dendritic dermal, melengkapi daftar struktur yang tersedia di lapisan dermis.
Dalam kondisi seperti peradangan akut, fungsi dan jenis sel dermal berubah secara
substansial, dengan berbagai leukosit yang menginfiltrasi teragregasi melalui jalur
vaskular. Faktanya, komposisi infiltras kulit berbeda, tergantung pada entitas
penyakit yang memberikan petunjuk diagnostic yang berguna bagi dermatopatologi
(Bolognia dkk., 2018).

Gambar 5. Skema representatif dari bagian Dermis. Matriks ekstraseluler dermis terdiri dari
protein struktural (kolagen, elastin) dan zat asar (gel glikosaminoglikan). Terdapat juga
pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan serabut saraf. Struktur adneksa terdapat pada lokasi
tubuh, juga sel lain seperti sel mast, fibroblas, makrofag, sel dendritik dermal (Bolognia dkk.,
2018)
VI. PATOFISIOLOGI
Patogenesis dermatitis kontak melibatkan pajanan terhadap alergen dan iritan,
faktor endogen dan lingkungan yang berinteraksi secara dinamis. Secara patofisiologi
dermatitis kontak dibedakan menjadi dermatitis kontak alergik (DKA) yang merupakan
respons kontak terhadap alergen pada individu yang telah tersensitisasi dan dermatitis
kontak iritan (DKI) yang diakibatkan pajanan terhadap iritan. Pada DKI, pajanan pertama
terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi pada kulit. Sel T memori tidak
berperan dalam timbulnya DKI. Terdapat empat mekanisme utama yang saling
berinteraksi dalam kejadian DKI: kehilangan lipid dan substansi pengikat air epidermis,
kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada epidermis, dan efek sitotoksik langsung.
Telah dibuktikan bahwa sistem imun nonspesifik berperan dalam patogenesis DKI.
Pajanan terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi
sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin proinflamatorik IL-1 sebelum
terjadi kerusakan kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah keratin, makrofag,
netrofil, eosinofil, dan sel T naïve. Gambaran histologis respons inflamasi DKI berupa
spongiosis dan pembentukan mikrovesikel. Gambaran perbedaan keterlibatan berbagai
sitokin pada DKI dan DKA ditampilkan pada tabel 2.

VII. MANIFESTASI KLINIS


Anamnesis teliti dan terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi intensitas,
frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan. Suatu iritan pada saat yang
bersamaan dapat pula bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI
dapat meningkatkan kejadian DKA, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut terjadi akibat
adanya gangguan fungsi sawar kulit yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan
penetrasi alergen. Fenomena ini menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi
masalah yang menarik dan kompleks. Pembahasan manifestasi dermatitis kontak pada
geriatri umumnya mengacu pada gambaran dermatitis kontak secara umum. Gambaran
klinis DKI maupun DKA secara klinis bervariasi, dapat berupa bercak eritematosa
berskuama tanpa disertai vesikel rasa gatal maupun sensasi terbakar. Perubahan sistem
imun pada populasi geriatri menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda iritasi kulit
yang dapat diobservasi. Sebagian besar dermatitis kontak bermanifestasi klinis subakut
dan kronik. Namun apabila terdapat pajanan dengan iritan kuat, misalnya: asam kuat atau
basa kuat, dapat bermanifestasi akut berupa vesikel dan area eritematosa yang sesuai pola
distribusi pajanan. Gatal merupakan gejala utama dermatitis kontak alergik. Rasa gatal
yang dihubungkan dengan alergi kulit harus dibedakan dari penyebab gatal lainnya pada
individu usia lanjut, misalnya: rasa gatal akibat xerosis dan penyakit sistemik. Identifikasi
etiologi dermatitis kontak kerap memerlukan usaha keras dan menjadi tantangan
tersendiri. Petunjuk klinis yang paling dapat dipercaya adalah distribusi geografisnya.
Lokasi dan distribusi dermatitis dapat menjadi petunjuk penting diagnosis dermatitis
kontak pada populasi usia lanjut. Dermatitis kontak awalnya terdapat pada area kulit yang
terpajan. Namun dalam perkembangannya, dapat menyebar ke tempat lain yang lebih jauh
baik dengan kontak yang tidak disengaja, atau dalam kondisi tertentu, misalnya
autosensitisasi. Lebih jauh lagi, kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki yang relatif
resisten terhadap dermatitis kontak, dapat menunjukkan karakteristik patologis akibat
pajanan agen berulang disertai faktor mekanis misalnya pemijatan. Cheilitis dan
stomatitis pada orang tua mungkin berkaitan dengan dermatitis kontak terhadap perasa
pada pasta gigi, tabir surya, atau bahan gigi palsu. Pada DKI, kontak pertama dengan
iritan telah dapat menimbulkan kelainan kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada
kontak dengan iritan kuat, misalnya: pajanan asam kuat, yang menimbulkan reaksi DKI
akut dalam beberapa menit. Namun pajanan iritan lemah kronik yang kerap dialami
populasi geriatri menampilkan manifestasi klinis subakut maupun kronik, menjadi lebih
sulit didiagnosis. Untuk mempermudah diagnosis Berbeda dengan DKI, kejadian DKA
memerlukan fase sensitisasi, namun kapan fase sensitisasi pada populasi geriatri lebih
sulit ditentukan, karena dapat terjadi di sepanjang usia kehidupannya. Fenomena kontak
alergik pada uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas dapat
membantu menegakkan diagnosis DKA.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dermatitis kontak dapat disebabkan karena alergi atau iritan. Diagnosis biasanya
diperoleh dari anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, yaitu patch test yang memberikan kontribusi bermakna dalam menegakkan
diagnosis.
Patch Test
Uji tempel merupakan alat yang sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis dermatitis kontak. Dengan uji tempel, dapat dibedakan apakah
dermatitis kontak yang terjadi disebabkan karena iritan atau karena alergi. Sebagai
langkah pencegahan, uji tempel juga dapat dilakukan sebelum pemberian regimen
topikal pada pasien, terutama pada pasien yang berisiko tinggi terkena dermatitis
kontak, misalnya: pasien dengan dermatitis kronik ekstremitas bawah yang
berkaitan dengan stasis vena.
Teknis pelaksanaan uji tempel adalah sebagai berikut. Sampel zat terdilusi
berdasarkan standar internasional diletakkan pada disk kecil yang dipasang pada
strip hipoalergi. Tempelan ini kemudian diletakkan di punggung pasien selama
kira-kira 48 jam (selama uji ini pasien tidak boleh basah). Tes akan
diinterpretasikan pertama kali 15-30 menit setelah preparat dilepaskan. Evaluasi
hasil uji tempel yang kedua dilakukan pada setelah 48-72 jam, digunakan untuk
membantu menentukan reaksi iritasi (yang menghilang) dan reaksi alergi
sebenarnya. Reaksi positif ditandai dengan eritema, gatal, atau timbul infiltrat
ringan. Hasil uji tempel kemudian di kategorikan sebagai negatif atau lemah (+)
dengan gejala nonvesikular, eritema, dan papul, kuat (++) dengan gejala
edematous atau vesicular, dan ekstrim (+++) dengan gambaran terdapat bula dan
ulserasi (Hannam dan Nixon, 2013). Edema, pembentukan vesikel sampai bula
hampir tidak pernah dijumpai. Pengobatan topikal merupakan salah satu penyebab
tersering terjadinya dermatitis kontak alergi, termasuk neomisin dan
kortikosteroid. Namun, reaksi positif uji tempel terhadap regimen pengobatan
topikal umumnya lebih lambat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pembacaan
lambat, yaitu sekitar 7-10 hari pada pasien yang menggunakan bahan ini pada uji
tempel. Alergi kortikosteroid, khususnya, dapat tidak terdeteksi jika pembacaan
lambat tidak dilakukan. Biopsi kulit umumnya tidak memberikan banyak manfaat
dalam membedakan DKI dan DKA pada pasien.
IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding DKI termasuk diganosa dermatitis kontak tipe lainnya seperti
dermatitis kontak alergi (DKA), perbedaan kedua tipe dapat digali melalui anamnesa
riwayat alergi terhadap kontak pajanan. Beberapa diagnosa banding yang dapat
dipertimbangkan pada DKI adalah sebagai berikut.
 Dermatitis Kontak Alergi. DKA merupakan salah satu dari tipe dermatitis
kontak selain dermatitis kontak iritan. Perbedaan dari DKA dan DKI adalah
bahwa lesi pasti akan muncul pada DKI di kebanyakan orang ketika iritan
berkontak dengan kulit. Pada DKI tidak diperlukan adanya pajanan terhadap
substansi agar lesi timbul, contohnya DKI akibat racun Paederus sp yang akan
menimbulkan iritasi di kulit kebanyakan orang. Sedangkan pada DKA, hanya
orang-orang tertentu saja dengan riwayat alergi terhadap pajanan tersebut yang
bereaksi hingga menimbulkan lesi. Lesi pada DKA terdiri dari beberapa fase
klinis, pada fase eritematosa didapatkan eritema dan edema pada kulit. Di
tahap berikutnya akan terbentuk krusta dan berlanjut pada fase skuamosa (fase
perbaikan). Lesi umumnya asimetris dan terlimitasi pada daerah yang
mengalami kontak saja, kemudian lesi akan menyebar dalam waktu 24-48 jam
di area pajanan. Pada kasus yang berat mungkin didapatkan lesi melepuh.
Pasien DKA akan mengeluhkan keluhan khas berupa gatal. Pada DKA kronis,
UKK umumnya didapatkan likensifikasi, fisura, dan pruritus.

 Dermatitis Numularis. Dermatitis numularis adalah peradangan kulit yang


bersifat kronis, ditandai dengan lesi berbentuk mata uang (koin) aatau agak
lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel yang
biasanya mudah pecah sehingga membasah (oozing). Pathogenesis dermatitis
numularis belum diketahui. Sebagian besar pasien dermatitis numularis tidak
memiliki riwayat atopi, baik pada diri sendiri maupun keluarga, walaupun plak
nummular dapat ditemukan pada dermatitis atopic. Pada pasien berusia lanjut
dengan dermatitis numularis didapatkan kelembaban kulit yang menurun.
 Dyshidrosis Eczema. Eksim Dishidrosis, disebut pula pompholyx, adalah
sejenis eksim/dermatitis dimana kondisi kulit ditandai dengan lepuh yang
sangat gatal di tepi jari tangan, jari kaki, telapak tangan, dan telapak kaki.
Eksim dishidrosis mungkin akut, berulang, atau kronis, dan mempengaruhi
remaja dan orang dewasa. Perjalanan klinis eksim dyshidrotic dapat berkisar
dari sembuh sendiri hingga kronis, parah, atau melemahkan. Lesi eksim
dishidrosis berbentuk vesikel dan/atau bula pada tangan, biasanya di daerah
telapak dan sisi lateral-medial jari, disertai dengan keluhan gatal, dan
penampakan tapioca-like vesikel.
X. TATALAKSANA
Farmakoterapi
Terapi sistemik bertujuan simtomatis, sesuai gejala, dan presentasi klinis; seperti
keluhan gatal dengan pemberian antihistamin.
Terapi topikal dapat diberikan pelembap terutama pelembap yang memiliki
kandungan lipid dan/atau petrolatum karena produk kebersihan tangan merusak kulit
dengan menyebabkan denaturasi protein stratum korneum, perubahan lipid antar sel (baik
penipisan atau reorganisasi bagian lipid), penurunan kohesi dan penurunan kapasitas
pengikatan air stratum korneum. Sesuai presentasi klinis: (a) basah/madidans dikompres
terbuka dengan 2-3 lapis kassa dengan larutan NaCl 0,9%; (b) kering dapat diberikan krim
kortikosteroid potensi sedang seperti flusionolon asetoid; (c) apabila dermatitis berjalan
klinis, kortikosteroid yang diberikan adalah mometason fuorate intermiten.
Non Farmakterapi
 Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan iritan yang dicurigai.
 Pada DKI okupasional dapat diberikan anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD),
misalnya sarung tangan apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat
penggunaan sarung tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit.

XI. EDUKASI
 Edukasi mengenai prognosis dan proses perjalanan penyakit yang akan lama
walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi lingkungan pekerjaan dan perawatan
kulit.
 Memilih produk kebersihan tangan yang tidak terlalu menyebabkan iritasi. Produk
kebersihan tangan dapat diganti dengan produk yang lebih tidak mengiritasi, beberapa
produk kebersihan tangan tersedia dalam sediaan dengan pelembap humektan yang
tidak membuat kulit kering dengan memerangkap kelembapan kulit.
 Menghindari praktik tertentu yang meningkatkan risiko iritasi kulit
 Menggunakan produk perawatan kulit yang melembabkan setelah pembersihan
tangan.

XI. PROGNOSIS
Penyembuhan DKI biasanya terjadi dalam 2 minggu setelah mengidentifikasi dan
menghindari agen penyebab; dalam kasus yang lebih kronis, mungkin diperlukan 6 minggu
atau lebih. Dalam pengaturan DKI okupasional, hanya sepertiga individu yang memiliki
remisi penuh dan dua pertiga mungkin memerlukan alokasi untuk pekerjaan lain; individu
atopik memiliki prognosis yang lebih buruk. Dalam kasus yang lebih kronis, beberapa
pekerja mampu mengembangkan toleransi terhadap pajanan.
Quo Ad vitam : bonam
Quo Ad functionam : bonam
Quo Ad sanationam : bonam
DAFTAR PUSTAKA

Harlim, A. 2019. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
PERDOSKI. 2017. Paduan Praktek Klinis: Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit PP PERDOSKI.
Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, AS., & Leffell, D.
(2011). Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition. McGraw-Hill.
Hudyono. Dermatosis akibat kerja. MKI-JInMA. 2002;49(9):16-23
Fisher A.Occupational dermatitis. Rietschel, Fowler, penyunting. Fisher’s contact
dermatitis 6. Ontario: 2008;h.484-519.
Aneja, Savina. 2020. Irritant Contact Dermatitis. Diakses pada tanggal 12 Maret 2021 di
https://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview#a4

Anda mungkin juga menyukai