Anda di halaman 1dari 18

PRESENTASI KASUS

TINEA CRURIS

Disusun oleh:
Indah Eka Putri
112017262

FK UKRIDA
Dipresentasikan pada tanggal 21 Maret 2019

Moderator :
dr. Widyo Atmoko, SpKK

KEPANITERAAN DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 18 MARET 2019 S/D 20 APRIL 2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
TINEA CRURIS

Oleh :
Nama : Indah Eka Putri
NIM : 112017262

Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan guna memenuhi persyaratan
dalam Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.

Jakarta, April 2019


Menyetujui :
Moderator

dr. Widyo Atmoko, Sp.KK

2
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. SS
Tempat tanggal lahir : 14 oktober 1966 (51 Tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. H. Ipin No.36 RT 008 RW 001 Pondok Labu
Pekerjaan : IRT
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis, tanggal 19 Maret 2018.

Keluhan Utama : Bercak kehitaman pada sela paha kanan dan kiri
disertai rasa gatal terutama saat berkeringat.

Keluhan Tambahan : Tidak ada.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan bercak kehitaman pada sela paha kanan dan kiri disertai rasa gatal terutama
saat berkeringat. Keluhan gatal dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Sebelumnya,
pasien tidak mengetahui lesi awal hingga muncul keluhan. Saat terasa gatal, pasien
suka menggaruk sela pahanya. Pasien pernah mengalami keluhan serupa 5 tahun
yang lalu dan sembuh. 1 hari SMRS, gatal dirasakan semakin mengganggu. Pasien
belum melakukan pengobatan.
Pasien tidak pernah menggunakan pemakaian handuk bersama. Pasien rutin
mandi 2-3x hari dan badan tidak pernah dibiarkan lembab terlalu lama serta selalu
mengganti baju yang bersih setelah mandi. Anggota keluarga pasien tidak ada yang
mengalami keluhan atau penyakit kulit seperti pada pasien.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada.

III. STATUS GENERALIS


Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan Umum : Baik
Status gizi : BB/TB2 = 61 kg/1,552m = 25, 39 kg/m2 = status obes I
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 74 x /menit, reguler
Pernapasan : 20 x /menit
Suhu : Afebris
Kepala : Normocephali, rambut hitam, pertumbuhan rambut merata.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Leher : Kelenjar tiroid dan KGB tidak teraba pembesaran.
Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak ada murmur dan tidak
ada gallop
Paru : Gerak napas kedua dada simetris, tidak ada ronki dan tidak
ada wheezing
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema.

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS


 Lokasi : Regio Inguinal Dextra dan Sinistra
Efloresensi :Tampak gambaran bercak hiperpigmentasi berukuran plakat,
polisiklik, berskuama, berbatas tegas dengan tepi papul eritema.

Gambar 1. Gambaran lesi pada pada lipat paha kanan

4
Gambar 2. Gambaran lesi pada pada lipat paha kiri.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan KOH 10 %.
Hasil pemeriksaan KOH positif, ditemukan gambaran athrospora dan hifa sejati.

Gambar 2. Tampak gambaran arthrospora

VI. RESUME
Pasien perempuan, Ny. SS, 51 tahun, datang ke poli kulit kelamin RSPAD
dengan keluhan bercak kehitaman di sela paha kanan kiri disertai rasa gatal terutama
saat berkeringat.
Dari hasil pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Dari hasil
pemeriksaan dermatologis, pada regio inguinalis dextra dan sinistra Tampak
gambaran bercak hiperpigmentasi berukuran plakat, polisiklik, berskuama, berbatas
tegas dengan tepi papul eritema. Pada pemeriksaan kerokan kulit, KOH (+) dengan
gambaran arthtrospora dan hifa sejati.

5
VII. DIAGNOSIS
 Tinea Cruris

VIII. DIAGNOSIS BANDING


-

IX. ANJURAN PEMERIKSAAN


 Kultur Jamur

X. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit ini adalah penyakit yang
disebabkan oleh jamur.
 Memberi tahu pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan
tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
 Menganjurkan pasien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat.
 Menjaga kebersihan tubuh.
 Olahraga dan diet yang baik untuk mengurangi bobot tubuh.

Medikamentosa :
 Sistemik : CTM 1x4 mg bila gatal pada malam hari
Ketokonazol 2x200 mg selama 14 hari
 Topikal : ketokonazole cream 2 % dipakai 2x sehari setelah mandi

XI. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Bonam


 Quo ad functionam : Bonam
 Quo ad sanationam : Bonam

6
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA CRURIS

I. Pendahuluan
Mikosis superfisialis merupakan infeksi jamur pada kulit yang disebabkan
oleh kolonisasi jamur atau ragi. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah
dermatofitosis, pitiriasis versikolor, dan kandidiasis superfisialis. Mikosis superfisialis
cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia merupakan salah satu
negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, merupakan
suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir
di semua tempat. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi
sehingga menjadi bentuk infeksi yang tersering. 1-2
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan keratin.
Insiden dan prevalensi dermatofitosis cukup tinggi di dalam masyarakat baik di dalam
maupun diluar negeri.1-2

II. Definisi
Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the
groin) adalah salah satu dermatofitosis yang sering ditemukan pada kulit lipat paha,
genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.3

III. Epidemiologi
Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan
tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak.1

IV. Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperpecti yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trychophyton, dan Epidermophyton.3

7
Penyebab utama dari tinea kruris adalah Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichophyton
tonsurans (6%).4

Gambar 3. Trichophyton mentragrophytes Gambar 4. Trichophyton rubrum

Gambar 5. Epidermophyton floccosum

8
V. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim
panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris
memberikan kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan
perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi
dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak langsung dengan
penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual. Tetapi bisa
juga melalui kontak tidak langsung dan melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian,
handuk, sprei, bantal dan lain-lain”.Obesitas dan diabetes mellitus merupakan faktor
resiko tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan
infeksi. Selain itu penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat
imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur .
Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Tinea kruris lebih sering menyerang pria
dibandingkan wanita. Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun.5

VI. Patofisiologi
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita
melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan
diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.6
- Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi
dengan flora normal. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga
bersifat fungistatik.6-7
- Penetrasi
Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang
juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai
lapisan terdalam epidermis.6

9
- Perkembangan respon pejamu
Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita
diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di
nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi menjadi inflamasi, dan barier
epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi.
Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh. 6

VII. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal yang meningkat saat
berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah
perineum. Berupa lesi yang berbentuk polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi
polimorfik, dan tepi lebih aktif. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluat ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang
lain.3-5

Gambar 6. Lesi pada tinea cruris

10
VIII. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien yang mendasari


datangnya pasien mencari pertolongan. Perlu ditanyakan kapan waktu timbulnya
bercak atau kelainan yang dirasakan oleh pasien. Perlu juga diitanyakan apakah ada
anggota keluarga atau orang serumah yang menderita keluhan yang sama, dan adanya
riwayat kontak dengan penderita kusta. Adanya riwayat pengobatan sebelumnya juga
perlu ditanyakan untuk menilai kepatuhan berobat dan kemungkinan resistensi
pengobatan.

Pemeriksaan Fisik

Secara klinis tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel eritematosa


yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi. Terdapat central healing yang
ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi, dengan tepi yang meninggi dan
memerah sering ditemukan. Pruritus sering ditemukan, seperti halnya nyeri yang
disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder. Tinea kruris yang disebabkan
oleh E. floccosum paling sering menunjukkan gambaran central healing, dan paling
sering terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian pertengahan paha atas.
Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum sering memberikan gambaran lesi yang bergabung
dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak
terdapat keterlibatan pada daerah genitalia.3-4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis atas


pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.3

Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan


klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan langsung
sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula – mula dengan pembesaran 10 X
10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan
bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH. Konsentrasi
larutan untuk kulit adalah 20 %. Setelah sediaan dicamur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk

11
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api
kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan tidak tercapai.
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan
KOH, misalnya tinta parker superchroom blue black.3-4

Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit
lama dan atau sudah diobati. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menanamkan bahan klinis pada media buatan
yaitu medium agar dekstrosa sabouraud.3,8

Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur


merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas
sebagai teknik skrining awal.

Kultur Jamur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun


membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga
yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak
berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan
spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung.

Sangat penting bagi masing-masing laboratorium untuk menggunakan media


standar yakni tersedia beberapa varian untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada
suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan dibuang bila tidak ada
pertumbuhan.4

Lampu Wood

Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar
“hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan rambut.
Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi melanin
yang subtle bisa divisualisasi. Lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan
adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.3

12
Gambar 7. Lampu wood pada eritrasma

IX. Diagnosis Banding

Kandidosis

Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan
oleh spesies candida, biasanya oleh spesies candida albicans dan dapat mengenai
mulut, vagina,kulit, kuku, bronchi atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan
septicemia, endokarditis, atau meningitis. Kandidosis lesi intertrigenosa, didaerah
lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau
kaki, glands penis dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah,
dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan
pustulepustul kecil atau bulla yang bila pecah meninggalknan daerah yang erosi,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.3-5

Gambar 8. Kandidosis Intertriginosa

13
Eritrasma

Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan
skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu
wood dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red).

Gambar 9. Eritrasma

X. Penatalaksanaan

Medikamentosa

Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal.
Steroid topikal tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek menenangkan,
yang akan meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea corporis
atau tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole,
ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox. Formulasi topikal dapat membasmi area yang
lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang
lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang.3,9-10

a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi


dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per
kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2
minggu agar tidak residif. Untuk mempertinggi absorpsi dalam usus, sebaiknya
obat dimakan bersama – sama makanan yang banyak mengandung lemak.3

14
b. Ketokonazol
Obat ini bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada
pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikai untuk penderita
kelainan hepar.3
c. Itrakonazol
Sebagai pengganti ketokonazol yag me dapat diberikan lebih dari sepuluh hari,
dapat itrakonazol. Dosis 400 mg / hari diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg
untuk satu minggu.3
d. Terbinafine 62,5 - 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-3 minggufamping terbinafin ditemukan pada 10 % penderita,
yang tersering gangguan gastrointestinal seperti nausea, vomitus, nyeri lambung,
diarea, konstipasi, umumnya ringan.3
e. Obat – obatan topikal
Obat – obat topikal konvensional seperti asam salisi 2-4 %, asam benzoat 6-12 %,
sulfur 4-6 %, vioform 3 %, asam undesilenat 2-5 % dan zat warna ( hijau brilian 1
% dalam cat castellani) . 3
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.3

Infeksi dermatofita dapat diobati dengan agen antifungal topikal ataupun sistemik.
Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain: - Infeksi kulit yang
luas, Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topical, Infeksi kulit kepala, Onychomicosis
dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.10

15
Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya
membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan
krim terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih. Terapi
ketokonazole diberikan 200mg perhari dan mikonazol topikal 2 kali sehari. Selama terapi 10
hari, gambaran klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.3

Non medika mentosa

Pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting, seperti mengurangi faktor


predisposisi, seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh
setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi.10

Pencegahan

Personal hygiene

Personal hygiene dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan
hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk
memelihara kesehatan. Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik
akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang pada akhirnya
mencegah seseorang terkena yang pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit.
Personal hygiene merupakan perawatan diri dimana seseorang merawat fungsifungsi tertentu
seperti mandi dan kebersihan tubuh secara umum.. Personal hygiene yang tidak baik akan
mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit seperti penyakit kulit, penyakit infeksi,
penyakit mulut dan penyakit saluran cerna.10

a. Kebersihan Kulit
Kulit merupakan organ terbesar manusia, kulit berfungsi untuk melindungi
jaringan dibawahnya dari cidera, mengatur suhu, menghasilkan minyak,
mentransmisikan sensasi melalui reseptor saraf, menghasilkan dan mengabsorpsi
vitamin. Kulit sebagai organ yang berfungsi sebagai proteksi, kulit memegang peranan
penting dalam meminimalkan setiap gangguan dan ancaman yang masuk melewati kulit.
Hal yang perlu dilakukan dalam pemeliharaan kulit adalah: 1) Membersihkan tubuh
dengan menggunakan air bersih, 2) Mandi dilakukan oleh setiap orang setidaknya
minimal 2 kali dalam sehari, 3) Mandi dengan menggunakan sabun, 4) Menjaga

16
kebersihan pakaian dengan mengganti pakaian setiap hari, 5) Makan-makanan yang
bergizi terutama sayur dan buah, 6) Menjaga kebersihan lingkungan.
b. Kebersihan Rambut
Penampilan dan kesejahteraan seseorang seringkali tergantung dari cara
penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Kurangnya kebersihan rambut seseorang
akan membuat penampilan tampak kusut, kusam, dan tidak rapi selain itu dapat
menimbulkan permasalahan atau gangguan kesehatan. Hal-hal yang diperlukan dalam
perawatan rambut dan kulit kepala agar tetap ebrsih dan sehat yaitu: 1) Mencuci rambut
sekurang-kurangnya dua kali seminggu, 2) Mencuci rambut dengan menggunakan sampo
, 3) Menggunakan alat-alat pmeliharaan rambut sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit


kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2013.h 92-100.
2. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SLSW,
Bramono K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-
7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015: h.
87-102.
3. Budijanto D, Yudianto, Hardhana B, Soenardi TA, penyunting. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016: h. 175-9.
4. Anonim. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Kusta. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2015: h. 1-7.
5. Adiguna MS. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011.
6. Wiratma MK. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes melitus.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2011.
7. Abdelal EB, Shalaby MAS, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakr AA. Detection
of dermatophytes in clinically normal extracrural sites in patients with tinea cruris.
The Gulf Journal of Dermatology and Venereology. 2013; (20)1: 31-9.
8. Yadav A, Urhekar AD, Mane V, Danu MS, Goel N, Ajit KG. Optimization and
isolation of dermatophytes from clinical samples and in vitro antifungal
susceptibility testing by disc diffusion method. Journal of Microbiology and
Biotechnology. 2013; 2(3)19-34.
9. Haber M. Dermatological fungal infections. Canadian Journal of Diagnosis
University of Calgary’s: 2007.
10. Gupta KA, Cooper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis.
Mycopathologia 166. 2008; h. 353-67.
11. Nadalo D, Montoya C. What is the best way to treat tinea kruris?. The journal of
Family Practice. 2006; 55(3): 256-7. 12. Wiederkehr M. Tinea cruris. [Online].
2014 Jul 21 [cited 2019 March 19 ]; Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/ 1091806.

18

Anda mungkin juga menyukai