Anda di halaman 1dari 15

TINEA KORPORIS

“Korelasi Patogenesis dengan Manifestasi Klinis pada Kulit Pasien Tinea


Korporis”
LAPORAN KASUS
Rinitha Dinda Savitri
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram – Rumah Sakit Umum Daerah
Patut Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat NTB

PENDAHULUAN

Dermatofitosis merupakan penyakit yang menyerang jaringan yang


mengandung zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, dan
kuku, disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatofita mempunyai sifat
mencerna keratin. Dermatofita terbagi dalam tiga genus yaitu, Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. 1
Berdasarkan bagian tubuh yang terkena, dermatofitosis dibagi menjadi
beberapa bentuk antara lain tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis,
tinea unguium, tinea korporis. Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang
terjadi pada kulit tubuh tidak berambut.2 Tinea korporis dapat ditularkan langsung
dari manusia atau hewan yang terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui
benda-benda yang mengandung squama yang terinfeksi. Pakaian tertutup dan
kelembapan tinggi berhubungan dengan frekuensi dan tingkat keparahan
penyakit.3
Dermatofitosis menjadi salah satu masalah di negara berkembang
termasuk di Indonesia. Prevalensi dermatofitosis sebesar 52% dari seluruh
dermatomikosis. Berdasarkan urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis
(57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae
(6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya.4 Etiologi terbanyak dari tinea korporis yaitu
Tricophyton rubrum. Epidermophyton floccosum, Tricophyton interdigitale,

1
Microsporum canis, dan Tricophyton tonsurans juga patogen yang umum. Tinea
imbricata, disebabkan oleh Tricophyton konsentrisum, terbatas pada daerah-
daerah Timur, Pasifik Selatan, dan Amerika Selatan dan Tengah.2

Lesi kulit dapat eritema, skuama, terkadang dijumpai vesikel dan papul di
tepi. Daerah tengahnya lebih tenang. Lesi pada umumnya merupakan bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat pula terlihat sebagai lesi- lesi dengan pinggir
polisiklik, karena beberapa lesi menjadi satu.1 Patogenesis pada tinea koproris
melibatkan keratosit, sistem imun bawaan maupun adaptif.3 Tiap manifestasi
klinis pada kulit disebabkan oleh patogenesis yang berbeda. Oleh karena itu,
tulisan ini akan membahas korelasi patogenesis tinea korporis dengan beberapa
manifestasi klinis yang ada pada pasien dengan tinea korporis di Poli Kulit dan
Kelamin RSUD Patut Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat.

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. UR
Usia : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Taman Ayu, Gerung
Suku : Sasak
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2017
No RM : 425923
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Bercak merah pada punggung
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Gerung dengan keluhan bercak-
bercak merah pada punggung. Bercak ini dikatakan timbul sejak 4
minggu yang lalu, kemudian semakin banyak bercak yang timbul
di punggung. Bercak merah ini dirasakan gatal. Satu minggu
setelah bercak pada punggung, muncul kemerahan dan benjolan
kecil pada punggung kaki kiri pasien. Pasien juga mengeluhkan
gatal pada punggung kaki tersebut, dan kulitnya juga dikatakan
mengelupas. Gatal dirasakan tidak menentu sepanjang harinya,
memberat terutama saat berkeringat. Gatal dikatakan berkurang
saat pasien menggaruk.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat keluhan serupa pada keluarga pasien.
E. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal oleh pasien.

3
F. Riwayat Pengobatan
Pasien membeli obat amoksisilin serta salep gentamisin. Keluhan
tidak berkurang dengan pengobatan tersebut.
G. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien menyangkal adanya kontak dengan hewan- hewan maupun
aktivitas di sawah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Berat Badan : 55 kg
B. Status Dermatologis

Regio : Punggung
UKK : Patch eritema, multipel, bentuk bulat, batas tegas, ukuran
bervariasi dari numular hingga plakat, susunan anular, dengan tepi
lebih aktif central healing (+) terdistribusi regional

4
a.Tampak depan b. Tampak samping
Regio : Punggung
UKK : Patch eritema multipel, bentuk bulat hingga tidak
beraturan, batas tegas, ukuran bervariasi, diameter terbesar 5 cm,
terkecil 3 cm, tersusun konfluens, distribusi regional, disertai papul
eritema, bentuk datar, multipel, batas tegas, ukuran lentikular pada
bagian tepi.

Regio : Antebrachii- brachii sinistra

5
UKK : Makula eritema, multipel, bentuk bulat, batas tegas,
ukuran numular, distribusi regional, disertai dengan skuama halus
dan krusta berwarna coklat.

Regio : Pedis Sinistra


UKK : Patch eritema soliter, bentuk geografikal, batas tegas,
ukuran 8 x 5,5 cm, distribusi regional, disertai papul eritema,
bentuk datar, multipel, batas tegas, ukuran bervariasi, diameter
terbesar 0,5 cm, terkecil 0,2 cm pada bagian tepi dan adanya erosi
serta skuama halus.

6
Regio : Pedis Dextra
UKK : Patch eritema soliter, bentuk bulat, batas tegas, ukuran
1,5x 1 cm distribusi regional, disertai papul eritema, bentuk datar,
multipel, batas tegas, ukuran lentikular pada bagian tepi dan
skuama halus.

IV. DIAGNOSIS BANDING


1. Tinea korporis
2. Dermatitis kontak alergi
3. Pitriasis rosea

V. PLANNING PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan KOH 10%

VI. DIAGNOSIS KERJA


Tinea korporis

7
VII. TATALAKSANA

R/ Cetirizine tab No X

∫ 1 dd I

R/ Ketokonazol tab 200 mg No. X

∫ 1dd I

R/ Mikonazole 2% Tube I

∫ 2dd ue

R/ Gentamisin 0,1% Tube I

∫ 2dd ue

Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien penyakit yang dialami disebabkan oleh jamur
- Menyarankan agar tidak memakai handuk, pakaian bersamaan dengan
anggota keluarga lain karena dapat menularkan
- Menyarankan untuk tidak memakai baju yang ketat, segera mengganti baju
jika berkeringat atau basah untuk mencegah pertumbuhan jamur lebih
lanjut
- Menjelaskan kepada pasien tentang obat yang diberikan dan cara
penggunaannya.
- Menyarankan pasien untuk rutin berobat dan kontrol

VIII. PROGNOSIS
Qua ad vitam : bonam
Qua ad sanationam : bonam
Qua ad fungsionam : bonam
Qua ad kosmetikum : dubia ad bonam

8
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien mengalami tinea korporis. Tinea korporis merupakan
salah satu dermatofitosis. Dermatofitosis disebabkan oleh golongan dermatofita.1
Terdapat tiga lesi kulit yang berbeda yang dijumpai pada pasien ini, antara lain
didapatkan pada regio punggung patch eritema dengan bagian tengah yang lebih
tenang (central healing) dan papul eritema, serta skuama halus pada regio pedis
sinistra.
Dermatofit masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka, bekas luka
atau adanya luka bakar. Infeksi disebabkan oleh arthrospora atau konidia. Patogen
ini menyerang stratum korneum, menghasilkan keratinase exo-enzim dan
menginduksi reaksi inflamasi di lokasi infeksi.5 Penetrasi dermatofit ke dalam
epidermis menimbulkan respons sistem imun. Ini tergantung baik pada dermatofit
(spesies, bahkan mungkin strain) dan pertahanan host Spesies dermatofit zoophilic
dan geophilic biasanya menghasilkan reaksi peradangan yang berat dibandingkan
spesies anthropophilic. Faktor lain yang berpengaruh menentukan sistem imun
yaitu usia pasien, jenis kelamin, sistem imun ada tidaknya imunokompromise.
Keratinosit, faktor antimikroba serta respon imun spesifik dan tidak spesifik
terlibat dalam pertahanan melawan patogen.6
Tanda-tanda reaksi inflamasi seperti indurasi, panas dan alopesia terlihat
pada lokasi infeksi. Inflamasi tersebut menyebabkan patogen bergerak jauh dari
lokasi infeksi dan tinggal di tempat yang baru.5 Patogenesis tersebut sesuai
dengan lesi kulit central healing yang dijumpai pada regio punggung pasien.
Berikut patogenesis central healing dijelaskan dengan gambar.

9
Gambar 1. Rute dermatofit masuk ke dalam tubuh

Terdapat dua tahapan dari dermatofit, yaitu adherens atau perlekatan serta
invasi. Artrokonidia menempel pada jaringan keratin. Protease yang dikeluarkan
membantu proses penempelan. Pertumbuhan artrokonidia dan hifa berlangsung
secara radial dalam berbagai arah. Kemampuan Trichophyton rubrum saat adhesi
dikaitkan dengan adhesins karbohidrat yang spesifik. Tahap penetrasi, protease
tersebut juga berperan dalam mencerna lapisan keratin. Setelah terbentuk, spora
harus menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada
deskuamasi. Penetrasi ini juga diserta sekresi beberapa serin-subtilisin dan
metallo-endoprotease (fungalysins) yang sebelumnya disebut keratinase yang
ditemukan hampir secara eksklusif pada dermatofit.7
Papul eritema (regio punggung dan pedis dextra) yang muncul pada pasien
ini dikaitkan dengan respons kulit Delayed Type Hypersensitivity. Respon
disebabkan hasil produk metabolisme dari jamur yang menyebar melalui lapisan

10
malphigi sehingga menyebabkan eritema, vesikel atau bahkan pembentukan
pustula bersamaan dengan pruritus.
Namun, respon imun yang meningkat, dan terutama tingkat peradangan,
bervariasi sesuai dengan spesies dermatofit, sistem imun host. Secara umum,
spesies zoophilic menyebabkan lebih banyak inflamasi yang dapat sembuh secara
spontan dan menyebabkan resistensi terhadap infeksi ulang. Spesies
anthropophilic biasanya menyebabkan infeksi yang kronis dan cenderung kurang
resisten terhadap infeksi ulang.7 Berikut daftar spesies zoophilic dan
anthropophilic disajikan dalam gambar 2.

Gambar 2. Daftar Spesies Zoophilic dan Anthropophilic

11
Dermatofit mengandung molekul karbohidrat dinding sel (β-glucan) yang
dikenali oleh sistem imun bawaan, seperti Dectin-1 dan Dectin-2, yang
mengaktifkan TLR-2 dan TLR-4. Dectin-1 memperkuat produksi TNF-α, IL-17,
IL-6, dan IL-10, yang keseluruhan merangsang sistem imun adaptif. Adanya
antigen dermatofit seperti trichophytin, menyebabkan pelepasan IL-8 oleh
keratinosit. Sebuah studi baru menunjukkan keterlibatan TLR-2 dan TLR-4 pada
dermatofitosis lokal dan luas disebabkan Tricophyton rubrum.5
Teori lain menyebutkan, setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit
menyerang dengan pola sentrifugal. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut,
tepi yang aktif meningkatkan proliferasi sel epidermis sehingga muncul
peninggian pada tepi yang aktif tersebut. Hal ini juga menciptakan pertahanan
parsial dengan cara mengelupaskan kulit yang terinfeksi.8 Berdasarkan
patogenesis ini dapat kita lihat pada lesi pada regio pedis sinistra pada kasus,
dimana pada lesi terdapat skuama yang menandakan mekanisme pertahanan
tubuh.
Pemeriksaan mikologik dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Diperlukan bahan klinis yaitu kerokan kulit. Sediaan dibuat dengan
meletakkan bahan di atas preparat kaca, kemudian ditambahkan KOH 10%.
Setelah 15-20 menit hasil diamati dengan mikroskop. Hifa dapat ditemukan
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora).1

12
Pengobatan tinea korporis dapat diberikan antifungal topikal dan sistemik.
Indikasi anti jamur topikal yaitu untuk lesi yang terbatas. Indikasi terapi oral
adalah jika lesi luas atau gagal dengan pengobatan topikal, pada pasien dengan
imunokompromis, lesi yang luas dan rekuren.1,9 Pasien ini diberikan obat
antifungal topikal dan sistemik. Obat sistemik juga diberikan dengan alasan lesi
yang luas pada pasien. Pilihan obat yang diberikan yaitu ketokonazol 1x 200 mg,
selama 10 hari. Ketokonazol dipilih karena tergolong spektrum luas, jarang
dijumpai resistensi, efek samping minimal, serta lama terapi lebih singkat
dibandingkan dengan griseofulvin oral.2

Gambar 3. Mekanisme kerja antifungal sistemik golongan terbinafine dan


azole
Sedangkan obat topikal diberikan mikonazol dan gentamisin. Mikonazol
termasuk golongan imidazol. Lama pengobatan dengan imidazol bervariasi.
Untuk tinea korporis membutuhkan pengobatan selama kurang lebih 2 minggu.2
Pemberian antibiotik topikal gentamisin dimaksudkan untuk mencegah
adanya infeksi sekunder berulang oleh bakteri. Antihistamin juga diberikan untuk
mengurangi gejala gatal pada pasien. Hal terpenting disamping terapi farmakologi
yaitu edukasi pada pasien untuk menjaga higienitas serta mencegah penularan
lebih lanjut.

13
KESIMPULAN

Dilaporkan satu kasus tinea korporis pada pria berusia 42 tahun. Faktor
resiko tinea korporis belum dapat ditemukan pada pasien ini. Terdapat tiga bentuk
manifestasi klinis pada kulit yang bervariasi pada pasien ini. Manifestasi klinis
central healing yang muncul pada pasien ini disebabkan oleh patogen yang
berpindah mencari kulit yang sehat yang belum terinfeksi. Lesi papul eritema
yang dijumpai merupakan respon Delayed Type Hypersensitivity oleh sel T.
Sedangkan adanya skuama dikaitkan dengan pengelupasan kulit akibat proliferasi
epidermis kulit sebagai mekanisme pertahanan tubuh.
Beberapa faktor seperti jenis spesies dermatofita, sistem imun host
menentukan reaksi tubuh yang muncul terhadap jamur. Disamping terapi
farmakologi, edukasi pasien mengenai penyebab, hal yang memperberat, serta
cara penularan sangat dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan jamur serta
penularan pada orang lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Widaty S, Budiulja U. Dermatofitosis. Dalam: Adhi Djuanda, Ed. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, 2015;109-110
2. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting.
Fitzpatick’s Dermatology In General Medicine. Edisi ke-8. United State:
Mc Graw-Hill, 2012; 2288
3. Risdianto A, Kadir D, Amin S. Tinea Korporis and Tinea Cruris Caused
By Trichophyton Mentagrophytes Type Granular in Asthma Bronchiale
Patient. IJDV Vol 2 No 2. 2012; 32
4. Yossela T. Diagnosis and Treatment Tinea Cruris. J Majority. Vol 4 No 2.
2015; 122-3
5. Suganthi M. Pathogenesis and clinical significance of dermatophytes: A
comprehensive review. IPP. Vol 4. No 1. 2017; 63-64.
6. Brasch J. Pathogenesis of tinea. JDDG. Vol.10. 2010; 780-81
7. Tainwala R, Sharma YK. Pathogenesis of Dermatophythoses. Indian J
Dermatol. Vol 56(3). 2011;259-60
8. Lesher JR. Tinea corporis. Emedicine Medscape Dermatology. 2009; 1-2
9. Idris IS. Tinea Korporis Et Causa Trichophyton rubrum Tipe Granular.
Jurnal Bionature. Volume 14, Nomor 1.2013;44-48

15

Anda mungkin juga menyukai